“Tenanglah, Tuan. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan keduanya. Istri dan bayi Anda harus segera diselamatkan,” hibur Emery.“Dokter Emery, dokter Ruben sudah menunggu Anda di ruang operasi,” perawat memberitahunya.“Baiklah. Aku akan segera ke sana sekarang. Tolong bawa segera pasien ini ke ruang operasi!” perintah Emery pada beberapa perawat di sampingnya.Satu jam kemudian, Emery dan Ruben sudah mengoperasi pasien gawat darurat itu. Mereka bekerja sama mengeluarkan bayi prematur itu dari perut ibunya. Berat badannya kecil sekali karena bayi itu lahir sebelum waktunya.Emery menitikkan air mata. Usai dia memisahkan bayinya ke ruang inkubator. Keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Dia juga menghela napas panjang. Dia merasa lega sudah berhasil menyelamatkan pasiennya. Baik ibu dan bayinya, keduanya selamat.“Sayang,” desis Ruben pelan. Dia mendekati Emery meski keduanya membuat jarak. Agar tidak ada yang mencurigai kedekatan mereka.“Kenapa kamu menangis?” t
Usai jam kerja, Adrian pergi menemui Emery di rumah sakit. Dia datang sambil membawa buket bunga di tangannya. Dia sendiri yang akan memberikannya pada Emery.Keduanya bertemu di lobby rumah sakit. Adrian secara terang-terangan mulai mendekati Emery. Ada banyak pasang mata mengarah pada mereka. Ketika Emery menghampiri Adrian dan menerima buket bunga tersebut.Ruben tak sengaja memerhatikan mereka dari lantai dua. Dia agak kesal dan mulai terbakar api cemburu. Dalam hatinya menggerutu, menyumpahi putra pemilik rumah sakit itu. Sementara, di tangannya, dia sedang memegang pulpen. Pulpen itu hampir rusak dan patah akibat remasan tangannya yang sangat kuat.Ruben mengambil ponsel, lalu mengetik pesan singkat pada Emery.[Aku menunggumu di basement. Kita pulang!]Emery sempat melihat pesan singkat yang dikirim Ruben kepadanya. Dia kesulitan membalas pesan dari suaminya karena sedang berhadap-hadapan dengan Adrian.“Emery, aku akan mengantarmu pulang. Jadi, beritahukan alamat rumahmu padak
“Kamu masih cemberut sejak tadi. Apa kamu marah padaku?” Emery memulai pembicaraan di tengah-tengah perjalanan pulang. Sesekali dia melirik wajah Ruben yang kelihatan gusar sekali malam ini.“Sayang ….” Emery merajuk.Akhirnya, Ruben menoleh dan mengatakan sesuatu kepadanya. “Ya, aku marah sekali sama kamu. Kamu itu istriku, tapi kamu pergi dengan pria lain.”Emery ketawa kecil menanggapinya. “Sayang, ayolah! Aku melakukan hal itu karena tidak ingin membuat Adrian curiga dengan hubungan kita.”“Tetap saja, aku kesal sama kamu, Sayang,” ketus Ruben.Ruben menghentikan laju mobilnya pada saat lampu lalu lintas berwarna merah. Emery melepas sabuk pengaman, lalu dia mendekati suaminya. Kecupan manis mendarat tepat di bibir Ruben.“Jangan marah lagi padaku, Sayang! Aku tidak ingin kamu bad mood malam ini,” bujuk Emery dengan segala bujuk rayunya.“Jangan lakukan lagi hal itu padaku! Karena aku akan marah sekali jika ada pria lain yang mendekatimu,” Ruben memperingatkan.“Tidak akan lagi. A
Adrian mengikutinya dari belakang. Dia tersenyum agak sinis di saat Emery membelakanginya. Sepertinya ada yang sedang direncanakannya saat ini untuk Emery.Mereka bicara di luar gedung perpustakaan yang menghadap ke arah taman kampus. Emery yang akan memulai pembicaraan duluan.“Adrian, jika kamu terus bersikap seperti ini padaku, aku akan langsung bicara pada ayahmu dan membatalkan pertunangan ini,” gertak Emery.“Jangan lakukan itu! Kamu tidak tahu siapa dan bagaimana ayahku, Emery,” cegah Adrian.“Karena itulah, aku harus segera menghentikan kekonyolan ini sebelum semuanya menjadi masalah besar untukku,” jelas Emery.“Jangan coba-coba melawan ayahku! Kamu bisa bekerja lagi di rumah sakit berkat kekuatan ayahku. Apa kamu lupa tentang hal itu?” ancam Adrian.“Apa kamu bilang?” Emery membelalak kaget setelah Adrian mengingatkannya lagi.“Sebaiknya kamu terima saja pertu
Besok siang, profesor Rudiana sudah diperbolehkan pulang. Ruben akan mengurusnya langsung. Malam ini, dia akan pulang dan mempersiapkan segalanya di rumah ayahnya.Setelah semua orang meninggalkan ruang inap profesor Rudiana, Sean masih memerhatikan gerak-gerik Emery dan Ruben yang sangat mencurigakan. Keduanya pulang bersama dan saling bersenda gurau.“Apa mereka sangat leluasa sekarang?” Sean merasa heran.Ruben dan Emery tiba di basement rumah sakit. Tak lama waktu berselang, mobil Ruben pun melaju dengan cepat meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan pulang, mereka bicara banyak hal. Keduanya sedang berdiskusi tentang kepulangan ayahnya dan masalah pertunangan Emery dengan Adrian.“Aku akan bicara pada Tuan Milano dan membatalkan pertunangan itu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa membatalkannya? Bagaimana kalau dia menolak dan terus melanjutkan pertunangan itu?” Ruben ragu-ragu.“Lalu, a
“Aku tidak akan mengulur waktu lagi. Lebih cepat akan lebih baik,” kata Emery.“Aku sudah memperingatkanmu supaya berhati-hati bicara di depan ayahku, Emery. Namun, jika kamu bersikeras silakan saja. Kuharap kamu tidak merengek dan meminta bantuanku nanti.”“Tidak akan. Jika kamu tidak mau membantuku menyelesaikan masalah ini, maka aku sendiri yang akan menuntaskannya,” tegas Emery. Dia pergi meninggalkan Adrian dengan tergesa-gesa.Usai jam kerja, Emery pergi menemui Tuan Milano di perusahaannya. Sesuai janjinya, hari ini dia akan mengatakan langsung permasalahannya sekaligus membatalkan pertunangannya dengan Adrian.Selang beberapa menit kemudian, Emery dipersilakan masuk menemui Tuan Milano di ruangannya.“Silakan masuk, Nona!” kata sekretaris memberitahu Emery.“Terima kasih,” ucap Emery membalas kebaikan sekretaris itu.Emery memasuki ruang kerja Tuan Milano. Seandainya saja bukan calon menantunya, tidak ada seorang pun yang leluasa memiliki akses bertemu dengan Tuan Milano. Bahk
“Apa tadi siang kamu bertemu dengan Tuan Milano?” tanya Ruben di taman rumah sakit. Emery pergi menemuinya dan janjian bertemu dengan suaminya di sana.“Aku terpaksa menemuinya. Karena menurutku, masalah ini tidak akan selesai kalau aku diam saja. Aku harus berani menghadap Tuan Milano,” sahut Emery.“Tapi, Sayang … aku sudah bilang sama kamu. Jangan gegabah!” sesal Ruben. “Aku sudah menyuruhmu untuk bersabar. Aku akan menemukan jalan keluarnya.”“Sampai kapan?” desak Emery. “Sampai kamu melihat aku menikah dengan Adrian?”“Tidak. Maksudku bukan begitu. Aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan semua permasalahan ini,” bantah Ruben.Emery tersenyum agak sinis menanggapinya. “Kamu selalu menyuruhku bersabar tapi kamu tidak melakukan apa-apa untuk melindungiku.”“Sayang,” desis Ruben. “Tenanglah!”“Aku nggak bisa tenang. Aku sedang memperjuangkan hubungan kita. Memangnya kamu mau aku direbut pria lain? Begitukah?”Emery dan Ruben sedang berdebat di taman. Tanpa sengaja Sean melihat pert
“Hanya ciuman?” Emery tidak merasa puas.Ruben menggeleng. “Tidak hanya itu. Aku membelikanmu sesuatu. Tutup matamu, Sayang!”“Apa itu?” Emery makin tidak sabaran. Dia mengira-ngira, apa yang akan diberikan Ruben kepadanya.“Sekarang, coba buka matamu!” Ruben memerintahkan.“Astaga!” Emery terkejut melihat kado istimewa pemberian dari Ruben. Sebuah kalung berlian.“Ini untukku?” Emery memastikan. Ruben mengangguk mantap.“Terima kasih, suamiku. Kamu yang terbaik yang pernah kumiliki,” puji Emery.Emery meminta izin Ruben untuk menemui ayahnya, profesor Rudiana. Dia ingin sekali pergi ke rumah ayah mertuanya itu untuk memberitahukan bahwa dia berhasil lulus dengan nilai sempurna, sesuai dengan keinginan profesor Rudiana selama ini.Awalnya, Ruben agak keberatan dengan niat Emery pergi menengok ayahnya. Namun, dia tidak bisa menolak keinginan Emer