“Alex awas!”Alexandra menoleh tapi tubuhnya ambruk ke belakang karena bola basket yang mengenai keningnya.“Alexa! Alexa!” Suara gemuruh itu terdengar begitu berisik hingga kemudian perlahan menjadi samar lalu Alexandra tidak mendengar apa apa lagi.**Jam 10 pagi di UKS.Alexandra merasa pusing, kepalanya masih sakit, benturan bola basket tadi masih terasa sampai sekarang.“Lex, gimana? Masih sakit?” tanya Emily, dia sudah mengenakan seragam sekolahnya.“Pusing,” jawabnya jujur. “Siapa sih yang main bola tadi.”“Andreas. Kenal, kan?” bisik Emily seakan dia sedang menyebut nama Voldemort. “Cowok yang populer itu lho.”“Oh, dia,” katanya tanpa minat. “Andreas bilang, nanti mau ketemu sama kamu.”“Mau ngapain?”Emily menaikkan kedua bahunya. “Naksir kamu kalik.”Alexandra mencoba untuk duduk dan menyunggingkan senyum. “Kalau dia suka sama aku, aku bakal jadiin dia pacarku.”Mata Emily membulat tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Alexandra barusan. Padahal Emily tahu jika Alexan
William melihat Thea mengenakan gaun putih panjang dengan rambut yang dia gerai. Thea terlihat begitu cantik dengan wajah dan kulit yang bersinar hingga William ingin menggapainya.Thea berdiri dengan satu buket bunga di tangan dan tersenyum pada William. Dia melambai ke arah William seakan memintanya untuk segera datang kepadanya.Tanpa ragu William berjalan dengan langkah ringan. Mendatangi Thea kemudian memeluk pinggang mungil itu dengan erat. Ia cium bibir Thea dengan lembut dan mengulumnya lidahnya.“Aku mencintaimu,” kata Thea ketika ciuman itu terlepas.“Aku juga,” sahut William seakan kata kata itu bukan terlontar dari mulutnya.“Om!” panggil gadis kecil seperti masih TK dengan rambut kuncir dua. “Kenapa om ciuman di depanku? Kenapa om nikah sama dia bukan sama aku?”“Om!”Kali ini William tersentak. Keringat mengucur di keningnya dan dia baru menyadari jika dirinya ternyata hanya bermimpi.Langit sudah gelap dan lampu di kamarnya belum menyala.Hari ini dia pulang lebih cepat
William akhirnya mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu kamar Alexandra. Dia berjalan ke arah mini bar kemudian meminum beberapa kaleng bir.Hari ini entah mengapa ada beberapa hal yang membuatnya merasa asing dan aneh dalam waktu bersamaan. Dia merasa asing dengan Alexandra dan merasa aneh ketika memimpikan Thea dengan mimpi vulgar seperti itu.Tangan William memijat kepalanya yang sedikit pusing. Dia tidak tahu pasti apakah yang menyebabkan pusingnya itu adalah bir yang dia minum atau karena masalah Alexandra.Padahal dia hanya ingin yang terbaik untuk Alexandra. Tapi mengapa semuanya menjadi rumit seperti ini?Di sisi lain, Alexandra keluar dari dalam kamar. Dia mengambil potongan melon dan dibawa ke meja makan. Dia melihat punggung William dari arahnya dan tanpa sadar memandangnya begitu lama.Kendati sudah berpacaran dengan Andreas hari ini. Tapi dia merasa seperti ada yang kosong.Entah ide gila apa yang terlintas dalam pikirannya mengapa dia mengiyakan ajakan pacaran dari An
William sudah berada di dalam mobil. Mereka sudah berjalan selama dua jam dan tinggal satu jam lagi sampai ke vila jika jalanan tidak macet.William terlihat gelisah, dia pun mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Alexandra.Untung saja gadis itu sedang mau mengangkat telepon dari William.“Aku ada perjalanan keluar kota, mungkin aku pulang pagi. Atau menginap,” kata William.“Oke.”“Sebaiknya kamu pulang tepat waktu.”“Iya.”“Jangan lupa makan. Dan jangan… “Alexandra diam.“Aku akan kembali besok.”“Iya.”Telepon pun ditutup. William merasa bahwa keputusannya untuk menghubungi Alexandra adalah kesalahan. Karena dia sudah berharap hal lain ketika dia menghubungi Alexandra. Dia berharap keponakannya menjadi seperti waktu dulu, memintanya untuk membawakan makanan yang enak atau menyuruhnya agar lekas pulang. Tidak seperti ini.“Sebentar lagi kita akan sampai, Pak. Karena kebetulan hari ini jalanan tidak macet.”William mengangguk.**Thea keluar dari mobil saat sudah sampai
Setelah mengetehaui jika William hanya bersama dengan Thea membuat Alexandra merasa khawatir. Firasatnya mengenai Thea entah mengapa tidak pernah begitu baik sejak awal.Sekali lihat pun Alexandra tahu jika wanita itu memiliki maksud tertentu pada William. Akan tetapi, dia sudah tidak bisa memberitahukan hal tersebut pada omnya karena hubungan mereka berdua sedang tidak baik baik saja.“Om Will kapan pulang, Om?” tanya Alexandra pada Evan yang baru saja datang membawakan makan malam untuk Alexandra.“Sepertinya besok karena ada hujan badai di sana. Mereka saat ini sedang menginap di vila, jangan khawatir.”“Itu malah yang membuatku semakin khawatir,” gumam Alexandra. Nafsu makannya menguap begitu saja. Membayangkan bagaimana mereka berakhir berdua di sebuah vila benar benar membuat Alexandra tidak dapat berpikir positif.Ingin sekali Alexandra menelpon omnya tapi dia terlalu gengsi untuk melakukannya.**“Maaf, tapi bisakah kamu keluar dari kamarku sekarang?” pinta William pada Thea,
William mengundang Evan untuk datang ke apartemennya. Tidak, itu bukan seperti undangan. Tapi lebih seperti paksaan agar Evan mau datang untuk menemaninya yang sedang suntuk hari itu.“Jadi… “ Evan duduk di minibar di apartemen William.“Aku bisa menahannya.”Evan menghela napas dengan lega.“Untung saja kamu tidak melakukan yang tidak tidak. Tadi malam Alex gelisah, mungkin firasat dia bagus mengenai kemarin malam.”“Kamu tidak bertanya kenapa tiba tiba aku menjadi panas?”“Mungkin karena suasana yang mendukung. Malam hujan lebat, kamu hanya berdua berada di dalam vila. Lalu apa lagi? Bukankah itu memungkinkan untukmu ingin melakukan hal itu?”William mendecakkan lidahnya. “Tapi tidak dengan Thea.”“Memangnya kenapa? Dia kan wanita bukan pria.”“Bukan itu masalahnya.”“Lalu?”William memilih untuk tidak menjawabnya.“Sudah jam sebelas kenapa Alexandra belum pulang?” Evan baru saja menyadari jika gadis itu belum pulang.William menyadarinya dan Alexandra belum kembali padahal seharusn
“Tidurlah.” William mengantar Alexandra sampai tempat tidurnya. Tapi gadis itu masih bergeming dan duduk di tepi ranjang sambil menatap William.“Jangan pergi,” kata Alexandra, dia memegang tangan William dan mengenggamnya dengan erat seolah tak ingin lelaki itu beranjak dari sana.Tangan William mengusap puncak kepala Alexandra. “Aku di sini… malam ini.”Alexandra menengadah merasakan tatapan William yang begitu lembut dan menenangkannya. Barulah setelah itu Alexandra dapat berbaring di atas tempat tidurnya dengan tenang. Sementara William duduk di tepi ranjang dan membelai kepala Alexandra sampai gadis itu terlelap tidur.Terbersit rasa bersalah dari William untuk kakaknya. Karena dia sudah melewati batas seperti ini. Bukankah hal seperti sekarang sangat lah aneh dilakukan bagi seorang om untuk keponakannya?“Aku benci Thea,” kata Alexandra. William menoleh.“Wanita itu… aku sangat membencinya.”William jadi teringat dengan kejadian tadi malam. Bagaimana jika seandainya dia mengizin
“Pokoknya aku nggak bakal maafin orang yang ganggu acara kita hari ini,” kata Alexandra saat dia masuk ke dalam mobil William.William yang sudah berada di belakang kemudi tersenyum mendengar ucapan dari keponakannya itu.“Kita ke pantai seharian?”“Iya. Kita balik besok pagi.”“Kamu nggak sekolah?”“Izin sakit.”“Nggak boleh.”Alexandra merengek dan mengatakan pada William bahwa dia tidak pernah melakukan perjalanan ke pantai dengan seseorang selama ini. Jadi dia meminta keringanan pada William.“Kalau sampai nilaimu turun, om akan menghukummu.”“Hukum apa?”“Kita nggak akan ketemu satu minggu.”Alexandra menghela napasnya. Lalu menyenderkan punggungnya ke kursi. William sangat tahu bagaimana cara mengancam dirinya.“Oke oke, nilaiku nggak bakalan turun.”“Kalau begitu aku pesan hotel dulu.”“Aku udah pesan kok.”William menoleh. Alexandra tersenyum penuh maksud.**William terkejut ketika Alexandra hanya memesan satu kamar untuk mereka berdua. Hanya saja di dalam kamar ada double be