"Kamu yakin mau titipin Dinda di keluargamu, pah?"
"Mau bagaimana lagi, itu pilihan yang terbaik untuk masa depan Dinda supaya dia bisa tetap sekolah!" Aku dengan jelas mendengar percakapan mereka (mama dan papa) di ruang keluarga membuat piala yang ada di tanganku tiba-tiba terlepas begitu saja. Sore itu, aku baru tiba di rumah setelah merayakan perpisahan sekolah bersama teman-temanku. Lulus dengan nilai terbaik tentu sebuah kebanggaan. Apalagi, selama ini prestasiku di SMP selalu stabil. Menjadi kebanggaan guru-guru gak semua orang bisa mendapatkannya. Itu adalah usahaku untuk membuat kedua orang tuaku bangga. Tadi, aku sudah berjanji pada teman-temanku, untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah yang sama, tapi ternyata tuhan sudah mempersiapkan hal lain yang belum pernah terfikirkan olehku sebelumnya. Ternyata kebahagiaan itu, hanya sebatas angan-angan dan yang ku capai selama ini sia-sia saja. "Dinda!" Sontak Mama terkejut melihat keberadaanku. Aku menatap mama dengan sedih, "Mah, Dinda gak mau tinggal di sana, Dinda udah janji sama teman-teman dinda buat sekolah bareng lagi" ucapku putus asa. Mama ikut sedih mendengar ucapanku, "bagaimana pah? Mama juga gak siap pisah sama Dinda" Mama menoleh ke Papa. "Mau bagaimana lagi Din" Papa menatapku dengan raut wajah yang gak kalah sedih "sekarang Papa sudah gak ada pekerjaan, belum mampu biayain kamu lanjut sekolah. Kakekmu sudah mau bantu agar kamu tetap sekolah, jadi kamu disana dulu ya untuk sementara, sampai Papa dapat pekerjaan lagi!" "Tapi Dinda gak mau disana, Pah! Dinda mau tetap sama Mama & Papa aja" Kataku mulai merengek. "Papa janji sama Dinda, ini gak akan lama. Papa akan segera jemput Dinda lagi, kita sama-sama lagi!" Kata papa membujukku. "Tadi Dinda juga janji sama Leni dan Yulia, tapi Dinda gak bisa nepatin janji itu. Gimana kalau Papa juga gak bisa nepatin?" Aku terisak. Mama memelukku "Mama yang akan jemput dinda lebih cepat. Dinda percaya kan sama janji Mama?" Tanya Mama, ia mengusap air mataku. Aku mengangguk dan semakin terisak dipelukan Mama. Aku benar-benar gak ingin pisah dengan Mama. Aku gak siap jauh dari Mama dan aku juga gak siap untuk tinggal dirumah kakek nenek dari papaku. Bertemu dengan kakek dan nenek bisa dihitung jari olehku. Itu yang membuat aku gak akrab dengan mereka dan juga keluarga dari papa. Mereka nyaris asing dengan kepribadianku yang terlalu introvert. Aku gak tau harus bagaimana cara menyesuaikan diri dengan keluarga itu, yang bahkan belum pernah memelukku dengan hangat. "Sekarang Dinda istirahat dulu ya, biar badannya enakan nanti buat siapin barang-barang yang mau dibawa ke rumah nenek" Mama melepas pelukannya dan kembali menghapus sisa-sisa air mata yang masih ada dipipiku. "Mah, Dinda bolehkan ketemu temen-temen Dinda sekali lagi, buat yang terakhir?" Tanyaku membuat mama semakin sedih. "Boleh sayang" mama mengelus rambutku dengan penuh kasih. *** Keesokannya, aku mengemasi barang-barangku. Mulai dari pakaian sampai buku-buku pengetahuan dan buku novel kesukaanku. Baru kemarin rasanya, buku-buku ini aku kumpulkan dari sisa uang saku yang mama beri untukku. Ternyata, sekarang buku-buku itu sudah memenuhi rak sampai aku bingung bagaimana cara mengemasnya. Aku memang lebih senang berdiam dikamar dengan membaca buku, menulis diary, dan juga mendengarkan musik daripada nongkrong di mall atau cafe-cafe seperti yang anak-anak lain lakukan. Bagiku menulis dapat menghilangkan penat dan unek-unek yang gak bisa disampaikan pada orang lain, apalagi aku ini tipikal orang yang sulit percaya meskipun dengan teman sendiri. Tapi jangan salah, meskipun begini aku dapat menampung banyak curhatan teman-temanku, bahkan terkadang aku dapat memberi solusi pada mereka. "Dinda, sudah berkemas ya?" Tanya mama mendekatiku yang masih sibuk menurunkan buku-buku dari tempatnya. Aku menoleh "iya Mah!" Jawabku tenang. Sebenarnya sedih itu masih terasa, namun rasanya gak sesedih hari kemarin. Jauh dari orang tua adalah hal baru bagiku. Mungkin akan sangat sulit, tapi aku harus bisa. "Sini mama bantu!" Tawarnya sembari duduk dan menyusun buku-bukuku yang sudah berserakan untuk dimasukkan dalam box. "Makasih ma" "Eh ini ada foto kamu waktu masih kecil" Mama menemukan sebuah foto yang terselip diantara buku-bukuku. Aku hanya melirik sebentar, kemudian mengabaikan foto tersebut, tak tertarik. "Kamu ingat gak waktu acara ini Din?" Tanya mama sambil memperhatikan foto itu. "Nggak" jawabku datar. Usiaku saat itu masih sekitar 4 tahun, jelas aku gak ingat apa yang terjadi saat itu. Lagipula, meskipun aku ingat, aku gak ingin mengenangnya. Hal apapun tentang papa, aku sama sekali gak ingin mengingatnya. Apalagi setelah harapan bahagiaku dirusak oleh papa. Rasanya aku bahkan mulai membencinya. Mama tersenyum melihat reaksiku "Dulu tuh kamu kalau kemana-mana maunya digendong papa terus, gak mau sama yang lain. Sampe orang-orang bilang kamu cuma anaknya papa" "Dinda gak tau!" Jawabku masih datar. "Semakin besar, kamu malah gak mau digendong-gendong lagi sama papa, jadi mama bisa ajak kamu pergi-pergi tanpa papa. Mama seneng banget waktu itu" "Mungkin Dinda mulai sadar kali kalo papa jahat" jawabku sekenanya. "Eh Dinda ga boleh begitu, papa itu sayang banget sama kamu. Papa rela lho lakuin apa aja buat Dinda. Ya meski mungkin sekarang keadaannya sedikit sulit. Dinda harus mengerti ya" Aku menghela nafas. Untuk memahami suatu keadaan yang tiba-tiba berubah, nyatanya gak semudah itu. Sebaik apapun dan sebesar apapun jasa papa dihidupku, aku tetap masih gak bisa terima dengan yang terjadi kali ini. "Beresinnya lanjut nanti lagi ya Dinda, sekarang kita makan dulu aja!" Kata mama mengalihkan pembahasan. Mama pasti tahu kalau aku masih kesal dengan keadaan terutama pada papa. "Mama masak ayam goreng kesukaan kamu lho!" Sambungnya lagi, lalu mama mengajakku keluar meninggalkan kamarku yang masih berantakan. Tok... tok... tok... Suara pintu diketuk bersamaan dengan seruan seseorang dibalik pintu. "Dinda!" Panggilnya. "Siapa yang ketuk pintu, Din?" Tanya mama Mendengar dari suaranya, aku seperti gak asing dan akrab dengan suara itu. "Dinda bukain dulu mah" jawabku meminta ijin. "Mama tunggu di meja makan ya!" Kata mama, kemudian berlalu menuju ruang makan. Aku membuka pintu, dan benar saja... "Dindaaa!" Teriak Leni dan Yulia berbarengan setelah pintu terbuka, mereka langsung memelukku. "Akhirnya kalian datang juga!" Jawabku senang. "Loe beneran mau ninggalin kita?" Tanya Leni sambil melepas pelukannya. Aku mengangguk pelan, "Ah..teganya" Ucap Leni kecewa. "Emang gak bisa dibatalin aja din? Kan kita udah janji mau sekolah bareng lagi" bujuk Yulia padaku. Aku menggeleng sedih, "tapi aku janji kapan-kapan bakal nemuin kalian lagi!" "Ada siapa Dinda?" Teriak mama dari ruang makan. "Leni sama Yulia, mah!" Sahutku. "Oh kebetulan kalau begitu, sini aja mereka makan bareng!" "Iya mah!" Jawabku pada mama. Aku meraih tangan Leni dan Yulia, "Ayo!" Ajakku membawa mereka masuk dan makan bersama kami."Din, nanti Tante Dewi mau datang. Kamu main dirumah Nia jangan lama-lama ya" pesan Nenek padaku.Pada akhirnya, aku menurut keputusan Mama dan Papa untuk tinggal bersama Kakek dan Nenekku."Iya Nek!" Jawabku singkat.Meski sudah 6 bulan tinggal bersama Kakek dan Nenek, aku masih tetap merasa canggung. Hanya berbicara seperlunya dan menjawab 'iya' dari setiap perintah yang diberikan padaku saja rasanya lebih dari cukup.Entah diriku yang salah atau keadaan yang membuatku jadi orang yang salah diantara mereka. Aku juga gak tau, yang jelas aku gak suka dengan kecanggungan ini.Aku yakin Mama juga tahu ketidak nyamananku ini, tapi mau bagaimana lagi, aku hanya bisa menunggu janji Mama yang akan berusaha untuk segera menjemputku kembali.Dan meskipun terlambat,Perkenalkan, namaku Adinda Kirana. Sekarang aku sudah duduk di kelas 7 SMK Dwiputera, Jawa barat. Aku terlahir sebagai seorang anak tunggal dengan kepribadian tomboy, tapi gak urakan. Aku pendiam, dan hanya asyik dengan beberapa or
"Si Dinda dari tadi di kamar mulu, mak!"Itu suara Tanteku, adik Papa yang paling bungsu, namanya Tante Diah. Orang yang paling rese diantara adik Papa yang lain. Maklumlah ya, namanya juga anak bungsu.Suaranya berasal dari dapur, tapi bisa-bisanya terdengar jelas sampai ke kamarku yang memiliki jarak cukup jauh dari dapur, bahkan memiliki sekat 2 kamar lain, karna kamarku berada di paling ujung, berdekatan dengan jalan setapak."Iya gak tau itu anak, kenapa betah-betah banget dikamar!" Jawab Nenekku, suaranya gak kalah nyaring.Aku tahu mereka sedang menyindirku, kalau ngomongin kan pasti bisik-bisik ya, gak mungkin sekenceng itu.Lantas, memangnya kenapa kalau aku lebih sering dikamar? Lagipula, aku dikamar buat baca buku. Memangnya salah?Pergi main salah, diem dikamar salah, terus yang benar buatku apa?"Ngasuh si Galang kek, daripada diem di kamar terus. Bersosialisasi gitu kaya manusia pada umumnya" suara Tante Diah meninggi seolah-olah aku harus mendengar ucapannya.Aku menutu
Kalian tahu??Apa rasanya setelah dilecehkan oleh sepupu sendiri? Sedangkan, yang seharusnya sebagai korban malah disudutkan? Kecewa, Marah, trauma, campur aduk deh, pokoknya. Apalagi gak ada satu orang pun yang percaya sama kamu dalam posisi traumamu sekarang.Parahnya, selain harus menangani segala rasa itu, aku juga harus memulihkan trauma itu sendiri, semuanya, dan pastinya, aku harus tetap bersikap baik-baik aja didepan mereka. Karena percuma, sekuat apapun aku membela diri pada mereka. Aku tetap gak akan pernah benar.Aku mengelap bibirku, kesal. Jijik! Jika tiba-tiba ingat lagi kejadian kemarin. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?Apa aku sekuat itu? hingga Tuhan memberiku berbagai masalah yang gak kunjung habisnya. Aku menghela nafasku, menatap langit yang biru dengan awan putih yang indah siang itu."Dor!" Nia mengagetiku, ia baru saja keluar dari kelasnya.Aku tersentak "Ampun deh na, bisa gak sih loe gak ngangetin gue begitu."Aku memang selalu menunggu nia di dekat
Aku setengah berlari menuju lapang sekolah setelah melihat teman-teman yang lain sudah berbaris dengan rapih dari gerbang sekolah.Hari ini sepertinya aku terlambat. Ini semua gara-gara aku begadang semalam memikirkan kekesalanku pada tante diah, sampai-sampai aku mencari cara untuk melarikan diri dari rumah itu."Cepat...cepat!! Segera masuk ke barisan kelas kalian masing-masing ya" Pak Muh menginstruksi siswa-siswa yang terlambat untuk masuk ke barisan.Dengan tergesa-gesa aku menaruh tasku disembarang tempat. Lalu, aku berdiri disamping barisan paduan suara, menunggu aba-aba dari protokol upacara.Ya... seperti yang sudah-sudah, aku selalu dapat posisi sebagai dirigen di setiap acara upacara bendera sejak aku SMP dan hal itu membuatku jadi terbiasa tampil aktif menjadi bagian dari petugas upacara."Pengibaran bendera merah putih diiringi lagu indonesia raya, penghormatan dipimpin oleh pemimpin upacara" nina yang saat itu terpilih sebagai pembawa acara, membaca dengan lantang poin-
Di jam istirahat aku memutuskan untuk meninggalkan uks dan kembali ke kelasku. Setelah mendapat perhatian ekstra dari kak wito dan membolos pelajaran karna sakit perut, sekarang aku lebih semangat untuk melanjutkan pelajaran. Apalagi lepas istirahat nanti ada pelajaran multimedia yang di bimbing langsung dari guru kesukaanku, pak Muh. "Eh temen-temen dengerin gue ya!" Aji, ketua kelas kami berdiri didepan papan tulis bersiap memberi pengumuman. "Apaan?" Jawab tedi, teman sebangkunya. "Iya ada apa sih?" Tanya mira, sontak anak-anak di kelas menjadi gaduh. "Masih istirahat woy!" saeful meneriaki aji dari kursi belakang, ia baru bangun tidur gara-gara kelas berubah gaduh. Kebiasaan si epul emang begitu, dia rajin bolos, nah sekalinya ada dikelas begini nih, kalau telinganya ga disumpelin headset ya sudah bisa dipastikan dia bakal molor di pojok kelas. Guru-guru sampai berenti negur dia saking bosennya lihat kelakuan ajaibnya itu. Kalau ada yang nanya, kenapa sih si epul dipertahanin
Aku berdiri resah didepan pintu ruang BK. Hanya mondar-mandir gak karuan menunggui nia yang masih di konseling oleh bu eni. Tanganku juga gemetar, khawatir anak itu bakal terus ngelawan saat di konseling bu eni di dalam. Aku tahu, sangat tahu sifat nia. Ia gak akan diam jika tertindas."Sini dinda, duduk dulu" Zendra menepuk tempat duduk kosong disebelahnya. Aku bahkan hampir gak menyadari ada orang lain selain aku didepan ruang BK tersebut.Tak lama pintu ruang BK terbuka dan nia muncul setelahnya."Nia, gimana?" Tanyaku cemas, menahan tangan nia yang keluar lesu setelah konseling. Disusul ita, dibelakangnya yang ikut berhenti melangkah setelah melihatku sedang menatapnya penuh emosi.Aku menarik nafas panjang. Sekarang bukan saatnya untuk marah. Apalagi bu eni, masih ada didalam ruang BK.Nia menoleh, menatap ita dengan tatapan masih kesal. Sepertinya mereka belum berbaikan meski sudah di konseling cukup lama. "Gak apa nda, ayo pulang" nia menarik lenganku cepat, menghindari beradu
Siang itu, setelah jam istirahat, seluruh siswa diminta untuk berkumpul di lapangan upacara secara mendadak. Ada pak muh, kak wito, kak febri, dan beberapa orang kakak kelas lainnya yang juga sudah berdiri tegak di hadapan seluruh siswa untuk memberi pengumuman."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang semuanya" pak muh membuka percakapan disusul jawaban salam oleh seluruh siswa yang hadir dilapangan."Baik anak-anakku sekalian, terima kasih sudah mau berkumpul di lapangan siang hari ini" lanjutnya lagi,"Panas pak!" Teriak seorang siswa disampingku, kak hendrik, dia siswa kelas XI. Sontak siswa lain ikut riuh mengeluh menyusul teriakan kak hendrik."Iya bapak paham, makanya untuk mempersingkat waktu, di mohon tenang ya semuanya! Disini bukan bapak yang mau menyampaikan pengumuman, tapi perwakilan dari teman-teman kalian semua. Silahkan wito, atau febri yang akan menyampaikan?" Pak muh bergerak mundur dan mempersilahkan siswanya untuk maju memberi pengumuman yang mem
POV : FEBRIAku mencoret beberapa nama hasil usulan dari teman-teman rapat "yang ini... sama yang ini...diganti aja!" Kataku mengamati dengan cermat barisan nama-nama anak kelas X jurusan multimedia 1 yang akan diikutsertakan dalam kegiatan."Satu..dua..tiga.. ini masih kurang nih, kok cuma delapan orang!" Hitungku, kemudian mengalihkan perhatian pada data-data siswa di buku agenda sekolah."Anak multimedia 1 susah diajak kompak, udah kaya buyut-buyutnya nih!" Tukas ari nyinyir, melirik siska dihadapannya."Sorry aja ya! Kelas kita sih kompak-kompak, beda sama adik kelas kita" Timpalnya membela."Gue baru inget, ini si dinda kok belum masuk list? Dia anak multimedia 1 juga kan?" Tanyaku, sambil menuliskan namanya dalam daftar list dengan huruf kapital semua. DINDA!"Loe yakin mengikutsertakan dinda diacara ambalan besok, feb?" Tanya wito ragu setelah mendengar pendapatku."Iya" jawabku cepat, masih berkutat dengan tumpukan kertas-kertas dimeja yang berantakan.Hari itu, para panitia u