Share

Cinta Manis Masa Sekolah
Cinta Manis Masa Sekolah
Penulis: Widia

AKU TERASINGKAN

"Kamu yakin mau titipin Dinda di keluargamu, pah?"

"Mau bagaimana lagi, itu pilihan yang terbaik untuk masa depan Dinda supaya dia bisa tetap sekolah!"

Aku dengan jelas mendengar percakapan mereka (mama dan papa) di ruang keluarga membuat piala yang ada di tanganku tiba-tiba terlepas begitu saja.

Sore itu, aku baru tiba di rumah setelah merayakan perpisahan sekolah bersama teman-temanku.

Lulus dengan nilai terbaik tentu sebuah kebanggaan. Apalagi, selama ini prestasiku di SMP selalu stabil. Menjadi kebanggaan guru-guru gak semua orang bisa mendapatkannya. Itu adalah usahaku untuk membuat kedua orang tuaku bangga.

Tadi, aku sudah berjanji pada teman-temanku, untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah yang sama, tapi ternyata tuhan sudah mempersiapkan hal lain yang belum pernah terfikirkan olehku sebelumnya.

Ternyata kebahagiaan itu, hanya sebatas angan-angan dan yang ku capai selama ini sia-sia saja.

"Dinda!" Sontak Mama terkejut melihat keberadaanku.

Aku menatap mama dengan sedih, "Mah, Dinda gak mau tinggal di sana, Dinda udah janji sama teman-teman dinda buat sekolah bareng lagi" ucapku putus asa.

Mama ikut sedih mendengar ucapanku, "bagaimana pah? Mama juga gak siap pisah sama Dinda" Mama menoleh ke Papa.

"Mau bagaimana lagi Din" Papa menatapku dengan raut wajah yang gak kalah sedih "sekarang Papa sudah gak ada pekerjaan, belum mampu biayain kamu lanjut sekolah. Kakekmu sudah mau bantu agar kamu tetap sekolah, jadi kamu disana dulu ya untuk sementara, sampai Papa dapat pekerjaan lagi!"

"Tapi Dinda gak mau disana, Pah! Dinda mau tetap sama Mama & Papa aja" Kataku mulai merengek.

"Papa janji sama Dinda, ini gak akan lama. Papa akan segera jemput Dinda lagi, kita sama-sama lagi!" Kata papa membujukku.

"Tadi Dinda juga janji sama Leni dan Yulia, tapi Dinda gak bisa nepatin janji itu. Gimana kalau Papa juga gak bisa nepatin?" Aku terisak.

Mama memelukku "Mama yang akan jemput dinda lebih cepat. Dinda percaya kan sama janji Mama?" Tanya Mama, ia mengusap air mataku.

Aku mengangguk dan semakin terisak dipelukan Mama. Aku benar-benar gak ingin pisah dengan Mama. Aku gak siap jauh dari Mama dan aku juga gak siap untuk tinggal dirumah kakek nenek dari papaku.

Bertemu dengan kakek dan nenek bisa dihitung jari olehku. Itu yang membuat aku gak akrab dengan mereka dan juga keluarga dari papa. Mereka nyaris asing dengan kepribadianku yang terlalu introvert. Aku gak tau harus bagaimana cara menyesuaikan diri dengan keluarga itu, yang bahkan belum pernah memelukku dengan hangat.

"Sekarang Dinda istirahat dulu ya, biar badannya enakan nanti buat siapin barang-barang yang mau dibawa ke rumah nenek" Mama melepas pelukannya dan kembali menghapus sisa-sisa air mata yang masih ada dipipiku.

"Mah, Dinda bolehkan ketemu temen-temen Dinda sekali lagi, buat yang terakhir?" Tanyaku membuat mama semakin sedih.

"Boleh sayang" mama mengelus rambutku  dengan penuh kasih.

***

Keesokannya, aku mengemasi barang-barangku. Mulai dari pakaian sampai buku-buku pengetahuan dan buku novel kesukaanku.

Baru kemarin rasanya, buku-buku ini aku kumpulkan dari sisa uang saku yang mama beri untukku. Ternyata, sekarang buku-buku itu sudah memenuhi rak sampai aku bingung bagaimana cara mengemasnya.

Aku memang lebih senang berdiam dikamar dengan membaca buku, menulis diary, dan juga mendengarkan musik daripada nongkrong di mall atau cafe-cafe seperti yang anak-anak lain lakukan.

Bagiku menulis dapat menghilangkan penat dan unek-unek yang gak bisa disampaikan pada orang lain, apalagi aku ini tipikal orang yang sulit percaya meskipun dengan teman sendiri. Tapi jangan salah, meskipun begini aku dapat menampung banyak curhatan teman-temanku, bahkan terkadang aku dapat memberi solusi pada mereka.

"Dinda, sudah berkemas ya?" Tanya mama mendekatiku yang masih sibuk menurunkan buku-buku dari tempatnya.

Aku menoleh "iya Mah!" Jawabku tenang.

Sebenarnya sedih itu masih terasa, namun rasanya gak sesedih hari kemarin. Jauh dari orang tua adalah hal baru bagiku. Mungkin akan sangat sulit, tapi aku harus bisa.

"Sini mama bantu!" Tawarnya sembari duduk dan menyusun buku-bukuku yang sudah berserakan untuk dimasukkan dalam box.

"Makasih ma"

"Eh ini ada foto kamu waktu masih kecil" Mama menemukan sebuah foto yang terselip diantara buku-bukuku.

Aku hanya melirik sebentar, kemudian mengabaikan foto tersebut, tak tertarik.

"Kamu ingat gak waktu acara ini Din?" Tanya mama sambil memperhatikan foto itu.

"Nggak" jawabku datar.

Usiaku saat itu masih sekitar 4 tahun, jelas aku gak ingat apa yang terjadi saat itu. Lagipula, meskipun aku ingat, aku gak ingin mengenangnya. Hal apapun tentang papa, aku sama sekali gak ingin mengingatnya. Apalagi setelah harapan bahagiaku dirusak oleh papa. Rasanya aku bahkan mulai membencinya.

Mama tersenyum melihat reaksiku "Dulu tuh kamu kalau kemana-mana maunya digendong papa terus, gak mau sama yang lain. Sampe orang-orang bilang kamu cuma anaknya papa"

"Dinda gak tau!" Jawabku masih datar.

"Semakin besar, kamu malah gak mau digendong-gendong lagi sama papa, jadi mama bisa ajak kamu pergi-pergi tanpa papa. Mama seneng banget waktu itu"

"Mungkin Dinda mulai sadar kali kalo papa jahat" jawabku sekenanya.

"Eh Dinda ga boleh begitu, papa itu sayang banget sama kamu. Papa rela lho lakuin apa aja buat Dinda. Ya meski mungkin sekarang keadaannya sedikit sulit. Dinda harus mengerti ya"

Aku menghela nafas. Untuk memahami suatu keadaan yang tiba-tiba berubah, nyatanya gak semudah itu. Sebaik apapun dan sebesar apapun jasa papa dihidupku, aku tetap masih gak bisa terima dengan yang terjadi kali ini.

"Beresinnya lanjut nanti lagi ya Dinda, sekarang kita makan dulu aja!" Kata mama mengalihkan pembahasan.

Mama pasti tahu kalau aku masih kesal dengan keadaan terutama pada papa.

"Mama masak ayam goreng kesukaan kamu lho!" Sambungnya lagi, lalu mama mengajakku keluar meninggalkan kamarku yang masih berantakan.

Tok... tok... tok...

Suara pintu diketuk bersamaan dengan seruan seseorang dibalik pintu.

"Dinda!" Panggilnya.

"Siapa yang ketuk pintu, Din?" Tanya mama

Mendengar dari suaranya, aku seperti gak asing dan akrab dengan suara itu.

"Dinda bukain dulu mah" jawabku meminta ijin.

"Mama tunggu di meja makan ya!" Kata mama, kemudian berlalu menuju ruang makan.

Aku membuka pintu, dan benar saja...

"Dindaaa!" Teriak Leni dan Yulia berbarengan setelah pintu terbuka, mereka langsung memelukku.

"Akhirnya kalian datang juga!" Jawabku senang.

"Loe beneran mau ninggalin kita?" Tanya Leni sambil melepas pelukannya.

Aku mengangguk pelan,

"Ah..teganya" Ucap Leni kecewa.

"Emang gak bisa dibatalin aja din? Kan kita udah janji mau sekolah bareng lagi" bujuk Yulia padaku.

Aku menggeleng sedih, "tapi aku janji kapan-kapan bakal nemuin kalian lagi!"

"Ada siapa Dinda?" Teriak mama dari ruang makan.

"Leni sama Yulia, mah!" Sahutku.

"Oh kebetulan kalau begitu, sini aja mereka makan bareng!"

"Iya mah!" Jawabku pada mama.

Aku meraih tangan Leni dan Yulia, "Ayo!" Ajakku membawa mereka masuk dan makan bersama kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status