Pagi ini, aku terdiam di ruanganku. Aku teingat ucapanku semalam pada Mas Feri, itu benar-benar terlalu berani. Aku betindak tanpa perhitungan yang matang. Saat itu yang ada hanya rasa iba. Padahal, aku tak tahu, apakah aku benar-benar sanggup menjalaninya. Sama dengan keraguanku pada hatiku, sanggupkah aku kelak menatap Mas Dion dengan tersenyum, saat ia menggandeng wanita lain sebagai istrinya.
Namun, faktanya, aku mengatakannya, memberi sebuah harapan pada Mas Feri. Harapan yang akhirnya membuat ia tersenyum. Aku tak mungkin membuatnya terpuruk lagi. Mengajaknya bersama kemudian dengan mudah membatalkannya. Hufffft! Ternyata, aku hanya seorang wanita yang plin-plan.
Tok! Tok! Tok!
Pintu ruanganku diketuk dari luar. Aku menoleh ke pintu. Mas Feri telah berdiri di sana dengan meletakkan satu tangannya di belakang. Ia tersenyum padaku.
“Hai, Viona! Selamat pagi!” ucapnya kemudian sambil melangkah ke mejaku. Aku membala
Situasi aman terkendali. Tidak ada hal-hal yang terjadi selama penutupan acara Vieera Cooperation. Bahkan lelaki itu juga tidak menampakkan batang hidungnya di D-Vion. Akhirnya, aku dan Mas Feri bisa tersenyum lega. Mungkin, pukulan dari Mas Feri tempo hari cukup ia perhitungkan, sehingga ia tak berani lagi membuat onar di kafe ini. Hal itu membuat aku senang dan tersenyum ketika menuruni tangga ke lantai dua. Ya, aku akan menuruni tangga lantai dua, ketika para eksekutif-eksekutif itu mulai meninggalkan D-Vion satu persatu. Mas Feri melepas para petinggi-petinggi Vieera Cooperation dengan sebuah senyum hangat. Ia membungkuk hormat pada mereka. Mungkin untuk menjaga image D-Vion di mata mereka. Bagaimanapun, mereka adalah pelanggan D-Vion, dan mereka tak tahu tragedy yang terjadi dengan atasan mereka di ruanganku. Mas Feri tersenyum saat melihat kehadiranku di puncak tangga. Aku juga balas tersenyum sambil menurun
Pagi ini aku sengaja telat ke D-Vion. Aku ingin mengantarkan Bayu dan Winarti ke sekolah Bayu. Sekaligus ingin menekankan pada pihak sekolah, agar tidak memudahkan orang asing menemui anakku. Aku tahu Mas Divo sedang merancang sebuah rerncana buruk untukku. Aku tidak mau kehilangan Bayu, Hidupku tak akan ada artinya lagi, bila aku tidak lagi bisa melihatnya. Aku kuat karenanya. Aku benar-benar tak mau kehilangannya. Bagaimana bila lelaki itu berniat memisahkanku dengan Bayu? Ah! ini akan jadi cobaan terbesar dalam hidupku. Aku tidak mau, tidak! Aku menunggu kehadiran Winarti di sofa tamu, sambil mengutak-atik handphone dalam genggaman. Sedari subuh, setelah salat, aku telah mempersiapkan semuanya, termasuk Bayu, ia juga sudah rapi. Tinggal bekal yang ia bawa untuk ke sekolah yang dipersiapkan Winarti. “Ayo, Winarty! Nanti Bayu telat,” panggilku pada Winarty yang masih tak keluar juga dari ruang dapur. Mungkin ia masih menyiapkan bekal untuk Bayu. Namun
Mas Feri masih terdiam menanti jawaban dariku. Sesungguhnya, tentu saja aku penasaran dengan dirinya saat ini. Siapa wanita yang akan ia persunting dan bagaimana dirinya yang sekarang? Namun, aku tak mau membuka lembar lama yang sudah kukubur sejak beberapa hari lalu. Setelah aku tahu, Mas Dion memang hanya menganggapku sebagai adik. Kalau pun ia ingin bertemu, mengapa tidak dia saja yang ke sini? Pikirku dalam hati.“Okey! Aku akan tunggu jawaban kamu, Viona. Aku ke bawah dulu, melihat keadaan pengunjung kita,” ucap Mas Feri sambil bangkit dari sofa. Aku mengangguk lemah dan menampakkan senyum tipis padanya.Usai kepergian Mas Feri, aku kembali melarutkan diri dengan pekerjaan-pekerjaanku di computer. Aku larut hingga beberapa jam lamanya. Hingga tanpa sadar, kulihat waktu di layar desktop menunjukkan pukul 11. 30 wib. Aku kaget bukan kepalang. Teringat Bayu yang masih berada di sekolahnya bersama Winarti yang kupesani unt
Akur turun dari mobil dengan terburu-buru, dan berlari meninggalkan halaman parkir yang tertimpa terik mentari itu. Aku tak peduli Mas Feri dan Winarti yang masih tertinggal di dalam mobil. Apakah mereka masih mengikuti langkahku atau tidak, aku tak peduli. Tatapan dan pikiranku tak lebih pada ruang IGD rumah sakit yang cukup besar itu, yang mana akan kulihat Bayu terbaring lemah di sana, entah dengan kondisi seperti apa?Aku berlari sambil memegangi dada yang terasa menyempit oleh isak tangis yang kutahan. Membuat napas ini tertahan tak beraturan, kadang memburu. Kumasuki area rumah sakit yang megah itu dengan raut penuh kecemasan, sambil mengusap air mata yang mengalir cepat ke sudut netraku. Aku tak sanggup membayangkan segala kemungkinan yang terjadi pada Bayu. Andai saja terjadi sesuatu hal yang buruk pada putra terkasihku itu. Aku akan sangat menyesalinya seumur hidup. Aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Aku lalai! Gara-gara
Setelah melewati masa observasi, Bayu dipindahkan ke ruang rawat inap. VIP, tempat yang aku inginkan untuk ketenangan Bayu. Ruang ber-AC dengan jendela kaca besar di lantai dua itu cukup luas dan nyaman. Dilengkapi fasilitas lengkap dengan segala pernak-perniknya.Aku duduk di samping tubuh Bayu yang terbaring lemah dengan perban membalut kakinya yang menggantung. Ia masih tertidur pulas. Mungkin karena lelah, atau bius penahan rasa sakit itu, atau bisa jadi obat tidur yang ia kosumsi, yang membuat ia belum juga terbangun sejak dipindahkan ke sini. Aku menemaninya sendiri di sini. Mas Feri dan Winarti pulang ke rumah, menyiapkan segala kerperluan kami selama menjaga Bayu, juga membawa pakaian pengganti buat Bayu.Aku menatapnya penuh hiba. Kepegangi jemarinya sambil menahan tangis dalam-dalam. Aku tak pernah sanggup kalau Bayu terluka, walau hanya seujung kuku. Namun sepertinya, Tuhan benar-benar sedang mengujiku
“Ohya, Bayu mau nggak, main sama Om lagi?” tanya Mas Dion kembali mengejutkanku. Bayu tersenyum dan menganggukkan kepala berulang kali.“Kita akan main bersama sering-sering? Jalan-jalan? Makan Es krim dan bermain di arena permianan. Bayu mau?” sambungnya lagi dengan gaya antusias. Bayu kembali mengangguk senang.“Okey! Bayu berdoa dan berusaha buat sembuh, ya? Kita akan sering bermain bersama kalau Bayu sudah sembuh,” Lagi-lagi putraku itu hanya mengangguk dengan rasa senang di wajahnya. Aku hanya terdiam mengamati percakapan mereka.“Ohya, jangan panggil Om lagi, ya? Bayu boleh panggil Papa sama Om. Papa Dion,” ucapnya kemudian kembali mengejutkanku. Aku serasa terlempar pada masa lalu di dua tahun yang lalu.‘Anak ganteng Papa Dion. Jangan nakal, ya? Kasian Mimi, seharian kerja sendirian.”Masih sangat jelas di pelupuk mata dan ingatan raut wajahnya kala itu
Aku kembali memasuki ruangan Bayu dan merebahkan tubuh di brankar yang ada di sampingnya, khusus untuk keluarga. Aku menatapi Bayu yang tertidur pulas dengan tatapan nanar. Aku tak tahu apa yang kini kurasakan. Sejak kedatangan Mas Divo tempo hari bersama Vieera cooperation situasi hatiku selalu bak roller coaster saja, didera oleh kejutan demi kejutan. Kehadiran Mas Divo yang bak hantu. Prilaku kriminalnya, kecelakaan Bayu dan kini kehadiran Mas Dion dengan kekasih cantiknya yang tiba-tiba dan menampar kesadaranku, juga kebohongan Mas Feri yang ia jaga rapi selama dua tahun. Aku masih kesulitan mencerna semua kebetulan-kebetulan yang terjadi. Mengapa semua terkuak di waktu yang bersamaan? Mengapa Mas Dion dan Mas Divo bisa hlang secara bersamaan? Dan kembali juga di waktu yang sama? Mengapa kehadiran lelaki itu harus dengan membawa tamparan telak bagiku. Membuat aku tak bernyali lagi untuk bermimpi.Besok Mama dan Papa Mas Dion akan ke si
Pagi ini Mama Papa Mas Dion akan dating berkunjung ke rumah sakit ini. Kudengar ia sudah sampai dari semalam. Aku tak tahu nanti akan bersikap seperti apa. Berpura-pura, atau bersikap datar saja, setelah semua masalah yang pernah aku hadapi. Andai saja ia sedikit saja peduli padaku saat itu. tentunya hatiku tak sehambar ini. Walau ia pernah meminta maaf lewat telepon, tapi itu bagiku hanya sebuah b**a-basi. Tetap saja, aku terluka sendiri menjalani hidup dari sikap buruk anaknya. Syukur saja, Mas Dion telah menjadi penyelamatku. Walau akhirnya ia tetap meninggalkanku. Namun, aku percaya, semua yang aku alami hanya cara Allah membuat aku kuat dengan segala rintangan kehidupan. “Mi,” panggilan lembut Bayu Bayu mengejutkan lamunanku . Aku mengarahkan pandangan padanya sambil “ Ini udah bica di buka, nggak, Mi?” tanyanya padaku. Aku merapatkan tubuh padanya. dan tersenyum. “Eh, kok nggak bilang-bilang udah bangun!” seruku sambil menaikan sandaran bra
Beberapa saat menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza keluaran lama muncul dari gerbang masuk. Mas Danny melangkah beberapa langkah mendekat sambil melirik ke mobil itu. kaca mobil terbuka, seraut wajah melongok di sana. Kemudian mobil berhenti di hadapan kami. Laki-laki yang tadinya berada di balik kemudi menyerahkan kunci mobil pada Mas Danny. “Sekalian, gue isikan bahan bakar tadi. Ada apaan, sih? Masa’, malam pertama lu masih ada urusan emergency begini?” tanya lelaki itu. “Saudara bini gue masuk rumah sakit, Gem. Sedang darurat,” sahut Mas Danny. Lelaki itu menoleh padaku dan mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan senyum sungkan. “Okey! Hati-hati, ya? Mobil gue udah tua. Kebetulan yang stand by tinggal ini. Take care.” Habis berkata begitu lelaki itu berpamitan dan menaiki sebuah motor yang sudah menantinya di gerbang hotel. Mas Danny kemudian mengajakku naik ke mobil. Mobil pun melaju keluar dari pelataran. Belum beberapa menit
Semua telah usai, juga pestaku. Malam ini kami sekeluarga masih menginap di hotel ini, termasuk aku dan Mas Danny yang mendapat kamar khusus penganten. Aku yang masih dibingungkan dengan kejadian tadi siang masih terpana memikirkan semua yang terjadi. Sementara, Mas Danny masih sedang membereskan diri di kamar mandi yang ada di room penganten tempat kami menghabiskan malam ini.Mas Danny keluar sambil mengibaskan handuk berwarna putih bersih di rambutnya yang basah. Tubuh berototnya yang hanya tertutup sebatas pinggang membuat aku sedikit merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan. Tubuh tinggi itu benar-benar sempurna dan penuh pesona.“Hai! Ngapain bengong? Kaget melihat tubuh suami sendiri?” ujarnya mengejutkan lamunanku. Aku yang duduk di bibir ranjang ukuran king size itu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu. Wajahku memerah kurasa. Masih sempat kulihat senyum terkembang di wajah tampan itu.Detik berikutnya aku terkejut saat merasakan
Hari pernikahanku dengan Mas Danny, sekaligus resepsi pernikahan akhirnya datang juga. Semua persiapan sudah sangat rampung. Seluruh dekorasi dan segala pernak pernik pernikahan telah tertata dengan indah di ball room hotel yang cukup luas itu. Aku duduk anggun di kursi penganten yang diapit Mas Danny dan Mama yang tak henti tersenyum sumringah menatapi suasana pesta yang cukup elegan ini. Sementara aku juga ikut menatapi suasana pesta yang terkesan lumayan akbar itu dari tempat aku duduk.Menatapi suasana pesta dengan dekorasi interior bernuansa out door itu membuat rasa haruku bermunculan. Tatanan yang didominasi warna putih dipadu cream dan lumut itu sangat menyejukkan mata. Semua persiapan ini hanya inisiatif Mas Danny tanpa sepengetahuanku. Aku salut dengan nilai estetika yang dia miliki. Iringan Sound system ruangan yang menyentuh telinga dengan kekuatan yang nyaman untuk di dengar membuat aku kian terbuai. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi ratu di pesta in
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
“Ma!” ucapku tanpa menoleh pada Mama. “Mama kenal ‘kan sama Tante Widia Anggita? Putri tunggal Bapak Baskoro, teman SMA Mama dulu!” ucapku dengan nada dingin.Ada api benci yang tiba-tiba menjalar mengingat apa yang pernah Mama lakukan dulu, sehngga aku juga mendapatkan hal yang sama dalam hidupku ini. Namun, yang paling aku benci, aku tidak suka penjahat wanita itu ternyata mamaku. Aku benci mengingat rasa sakit yang Mama Mbak Venya rasakan dahulu. Aku benci mengingat kakakku yang baik itu sekian lama harus meredam rasa sakit karena orang yang kupanggil Mama ini.Tak ada jawaban yang bisa aku dengar dari mulut Mama. Hanya suara hening malam yang kian beranjak. Aku menoleh ke arah Mama, setelah beberapa detik jawaban yang kunanati tak kunjung ada. Kutatapi Mama yang terdiam dengan wajah terpekur ke lantai dengan wajah sendu. Aku ikut terpaku menatapnya.“Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa Mama sama Tante Wd
Usai menjaga Mbak Venya beberapa hari dan sempat juga menjaga bayinya di ruang rawat bayi, aku kembali ke rumah. Usaha yang telah hampir semnggu kutinggalkan tidak kuketahui lagi bagaimana perkembangannya. Kepulanganku ke kampung halaman yang sempat kuberitahukan pada Mama, ternyata juga diketahui oleh Mas Danny. Sesampai di rumah, aku sudah disambut dengan kehadirannya di ruang tamuku. Ia menatapku dengan wajah tenang. Seonggok undangan pernkahan telah tergeletak di atas meja tamuku. Aku menatapinya dengan keheranan .“Mas Danny?” tanyaku dengan langkah terhenti beberapa langkah dari pintu rumahku. Bayu yang langsung riang melihat kemunculan Mama di pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah, langsung saja melepaskan genggamanku. Ia memeluk Mama dengan hangat yang dibalas Mama dengan manis pula.“Sayang, cucu Oma. Oma kangen,” ucap Mama sambil memeluk Bayu. Kemudian membawa Bayu ke dalam, meninggalkan aku dan Mas Danny yang masih menatapku deng
“Vi, Mbak senang kamu masih di sini,” ucap Mbak Venya kala aku mendampinginya saat ia sudah berada di tempat yang baru. Ia mash terlihat lemah. Namun, beberapa selang sudah tidak terpasang di tubuhnya. Mas Dion duduk di sisi kanannya, sementara aku berada di sisi kiri. Ia tersenyum padaku kemudian pada Mas Dion.“Aku ingin Mbak cepat sembuh,” ujarku. Ia kembali tersenyum padaku. Mas Dion meraih jemarinya dan mengusap punggung tangan Mbak Venya.“Mengapa kamu selalu berusaha menyembunyikan semua dariku, Ve? Bukankah aku suamimu, aku berhak tahu tentang semuanya,” sela Mas Dion dengan tatapan penuh kasih. Mbak Venya kembali tersenyum.“Aku cuma tidak anak keberadaan anak kita terancam, Mas. Aku ingin bayi kita baik-baik saja,” sambungnya lagi. Mas Dion bangkit dari duduknya dan mengecup kening Mbak Venya hangat. Kemudian, kembali duduk di bangku yang ada di samping ranjang Mbak Venya. Mbak Venya memejamkan mata
Seorang lelaki berwajah tampan dan bertubuh tegap melangkah ke arahku dan Mas Dion. Lelaki yang ditemani wanita paruh baya itu berbelok dari persimpangan yang ada di belakangku. Ternyata ia melihatku ketika melangkah melintasi persimpangan itu. Karena ia berasal dari arah kiriku. Wajahnya terlihat menahan geram menatapku kemudian Mas Dion yang ada di sampingku. Sementara, wanita yang berjalan di sampingnya menatap dengan wajah tegang. Wanita itu bermata sembab dan berusaha menahan lengan lelak itu. Tanpa di duga, sebuah bogem mentah mendarat di pipi Mas Dion yang tetap menatapnya tenang.Aku terperanjat melihat hal itu. Demikian juga wanita yang ada di sebelahnya. Ia bahkan sempat berteriak ketika lelaki itu mendekat dan melayangkan sebuah pukulan di wajah Mas Dion. Seakan ingin menghentikan gerakan lelaki yang ada di sampingnya. Sementara, Bayu yang berada di sampingku juga tak luput dari keterkejutan. Ia terlihat ketakutan dan berbalik menyembunyikan wajah di tubuhku