Pagi ini aku sengaja telat ke D-Vion. Aku ingin mengantarkan Bayu dan Winarti ke sekolah Bayu. Sekaligus ingin menekankan pada pihak sekolah, agar tidak memudahkan orang asing menemui anakku. Aku tahu Mas Divo sedang merancang sebuah rerncana buruk untukku. Aku tidak mau kehilangan Bayu, Hidupku tak akan ada artinya lagi, bila aku tidak lagi bisa melihatnya. Aku kuat karenanya. Aku benar-benar tak mau kehilangannya. Bagaimana bila lelaki itu berniat memisahkanku dengan Bayu? Ah! ini akan jadi cobaan terbesar dalam hidupku. Aku tidak mau, tidak!
Aku menunggu kehadiran Winarti di sofa tamu, sambil mengutak-atik handphone dalam genggaman. Sedari subuh, setelah salat, aku telah mempersiapkan semuanya, termasuk Bayu, ia juga sudah rapi. Tinggal bekal yang ia bawa untuk ke sekolah yang dipersiapkan Winarti.
“Ayo, Winarty! Nanti Bayu telat,” panggilku pada Winarty yang masih tak keluar juga dari ruang dapur. Mungkin ia masih menyiapkan bekal untuk Bayu. Namun
Wah! terima kasih untuk semua yang masih mengikuti Dion Viona. Part ini dan seterusnya, akan kejutan-kejutan yang semoga saja teman-teman suka. Semoga teman-teman terhibur dengan 'Cinta Ipar Duda'ku ini. Bagi yang belum sempat aku balas komennya, aku minta maaf, belum bisa buka applikasi soalnya.
Mas Feri masih terdiam menanti jawaban dariku. Sesungguhnya, tentu saja aku penasaran dengan dirinya saat ini. Siapa wanita yang akan ia persunting dan bagaimana dirinya yang sekarang? Namun, aku tak mau membuka lembar lama yang sudah kukubur sejak beberapa hari lalu. Setelah aku tahu, Mas Dion memang hanya menganggapku sebagai adik. Kalau pun ia ingin bertemu, mengapa tidak dia saja yang ke sini? Pikirku dalam hati.“Okey! Aku akan tunggu jawaban kamu, Viona. Aku ke bawah dulu, melihat keadaan pengunjung kita,” ucap Mas Feri sambil bangkit dari sofa. Aku mengangguk lemah dan menampakkan senyum tipis padanya.Usai kepergian Mas Feri, aku kembali melarutkan diri dengan pekerjaan-pekerjaanku di computer. Aku larut hingga beberapa jam lamanya. Hingga tanpa sadar, kulihat waktu di layar desktop menunjukkan pukul 11. 30 wib. Aku kaget bukan kepalang. Teringat Bayu yang masih berada di sekolahnya bersama Winarti yang kupesani unt
Akur turun dari mobil dengan terburu-buru, dan berlari meninggalkan halaman parkir yang tertimpa terik mentari itu. Aku tak peduli Mas Feri dan Winarti yang masih tertinggal di dalam mobil. Apakah mereka masih mengikuti langkahku atau tidak, aku tak peduli. Tatapan dan pikiranku tak lebih pada ruang IGD rumah sakit yang cukup besar itu, yang mana akan kulihat Bayu terbaring lemah di sana, entah dengan kondisi seperti apa?Aku berlari sambil memegangi dada yang terasa menyempit oleh isak tangis yang kutahan. Membuat napas ini tertahan tak beraturan, kadang memburu. Kumasuki area rumah sakit yang megah itu dengan raut penuh kecemasan, sambil mengusap air mata yang mengalir cepat ke sudut netraku. Aku tak sanggup membayangkan segala kemungkinan yang terjadi pada Bayu. Andai saja terjadi sesuatu hal yang buruk pada putra terkasihku itu. Aku akan sangat menyesalinya seumur hidup. Aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Aku lalai! Gara-gara
Setelah melewati masa observasi, Bayu dipindahkan ke ruang rawat inap. VIP, tempat yang aku inginkan untuk ketenangan Bayu. Ruang ber-AC dengan jendela kaca besar di lantai dua itu cukup luas dan nyaman. Dilengkapi fasilitas lengkap dengan segala pernak-perniknya.Aku duduk di samping tubuh Bayu yang terbaring lemah dengan perban membalut kakinya yang menggantung. Ia masih tertidur pulas. Mungkin karena lelah, atau bius penahan rasa sakit itu, atau bisa jadi obat tidur yang ia kosumsi, yang membuat ia belum juga terbangun sejak dipindahkan ke sini. Aku menemaninya sendiri di sini. Mas Feri dan Winarti pulang ke rumah, menyiapkan segala kerperluan kami selama menjaga Bayu, juga membawa pakaian pengganti buat Bayu.Aku menatapnya penuh hiba. Kepegangi jemarinya sambil menahan tangis dalam-dalam. Aku tak pernah sanggup kalau Bayu terluka, walau hanya seujung kuku. Namun sepertinya, Tuhan benar-benar sedang mengujiku
“Ohya, Bayu mau nggak, main sama Om lagi?” tanya Mas Dion kembali mengejutkanku. Bayu tersenyum dan menganggukkan kepala berulang kali.“Kita akan main bersama sering-sering? Jalan-jalan? Makan Es krim dan bermain di arena permianan. Bayu mau?” sambungnya lagi dengan gaya antusias. Bayu kembali mengangguk senang.“Okey! Bayu berdoa dan berusaha buat sembuh, ya? Kita akan sering bermain bersama kalau Bayu sudah sembuh,” Lagi-lagi putraku itu hanya mengangguk dengan rasa senang di wajahnya. Aku hanya terdiam mengamati percakapan mereka.“Ohya, jangan panggil Om lagi, ya? Bayu boleh panggil Papa sama Om. Papa Dion,” ucapnya kemudian kembali mengejutkanku. Aku serasa terlempar pada masa lalu di dua tahun yang lalu.‘Anak ganteng Papa Dion. Jangan nakal, ya? Kasian Mimi, seharian kerja sendirian.”Masih sangat jelas di pelupuk mata dan ingatan raut wajahnya kala itu
Aku kembali memasuki ruangan Bayu dan merebahkan tubuh di brankar yang ada di sampingnya, khusus untuk keluarga. Aku menatapi Bayu yang tertidur pulas dengan tatapan nanar. Aku tak tahu apa yang kini kurasakan. Sejak kedatangan Mas Divo tempo hari bersama Vieera cooperation situasi hatiku selalu bak roller coaster saja, didera oleh kejutan demi kejutan. Kehadiran Mas Divo yang bak hantu. Prilaku kriminalnya, kecelakaan Bayu dan kini kehadiran Mas Dion dengan kekasih cantiknya yang tiba-tiba dan menampar kesadaranku, juga kebohongan Mas Feri yang ia jaga rapi selama dua tahun. Aku masih kesulitan mencerna semua kebetulan-kebetulan yang terjadi. Mengapa semua terkuak di waktu yang bersamaan? Mengapa Mas Dion dan Mas Divo bisa hlang secara bersamaan? Dan kembali juga di waktu yang sama? Mengapa kehadiran lelaki itu harus dengan membawa tamparan telak bagiku. Membuat aku tak bernyali lagi untuk bermimpi.Besok Mama dan Papa Mas Dion akan ke si
Pagi ini Mama Papa Mas Dion akan dating berkunjung ke rumah sakit ini. Kudengar ia sudah sampai dari semalam. Aku tak tahu nanti akan bersikap seperti apa. Berpura-pura, atau bersikap datar saja, setelah semua masalah yang pernah aku hadapi. Andai saja ia sedikit saja peduli padaku saat itu. tentunya hatiku tak sehambar ini. Walau ia pernah meminta maaf lewat telepon, tapi itu bagiku hanya sebuah b**a-basi. Tetap saja, aku terluka sendiri menjalani hidup dari sikap buruk anaknya. Syukur saja, Mas Dion telah menjadi penyelamatku. Walau akhirnya ia tetap meninggalkanku. Namun, aku percaya, semua yang aku alami hanya cara Allah membuat aku kuat dengan segala rintangan kehidupan. “Mi,” panggilan lembut Bayu Bayu mengejutkan lamunanku . Aku mengarahkan pandangan padanya sambil “ Ini udah bica di buka, nggak, Mi?” tanyanya padaku. Aku merapatkan tubuh padanya. dan tersenyum. “Eh, kok nggak bilang-bilang udah bangun!” seruku sambil menaikan sandaran bra
Malam ini, Mas Dion dan Mbak Venya mengundang aku, Bayu dan Mas Feri ke kediaman Mas Dion untuk mengadakan acara pesta taman. Aku terpaksa menerima ajakan tersebut karena desakan Bayu dan Mas Feri. Mas Dion ingin membawa Bayu bermain bersama. Setelah itu, ia ingin berkumpul dengan aku, Mas Feri dan Mbak Venya, menjalin kembali kebersamaan kami.Memasuki halaman rumah berpagar besi ukir tinggi itu membuat aku takjub dengan pencapaiannya selama menghilang. Ia benar-benar sudah mencapai puncak kejayaannya tergambar dari asset yang ia miliki. Rumah itu cukup besar dan megah.Kami benhenti tepat di depan gerbang yang di dalamnya terdapat pos penjagaan yang dikawal oleh seorang security. Aku juga melihat aura kaget yang sama di raut wajah Mas Feri. Sepertinya, ia juga tak mengetahui keadaan terkini Mas Dion. Bahkan, ia juga sepertinya tak tahu dengan kehadiran Mbak Venya. Mungkinkah Mas Dion membeli rumah megah ini bersama Mbak Venya sebagai persiapan unt
Beberapa detik berikutnya, aku tersadar dari lamunanku. Cepat-cepat aku bangkit dari rengkuhan Mas Dion. Dengan kikuk aku kembali merapikan diri dengan napas yang masih belum teratur. Sekilas aku menatap Bayu yang juga menatapku kebingungan. Aku tak tahu lagi apa yang akan aku katakan padanya. Rasa kikuk dan malu mendominasi pikiranku. Sesegera mungkin aku berlalu dari tempat itu, meninggalkan Mas Dion yang masih terdiam tanpa suara.Sampai di teras, aku kembali mentralkan diri. Aku takut wajah pucat dan kikukku ini disadari Mas Feri dan Mbak Venya. Aku menarik napas berulang kali. Hingga akhirnya aku telah merasa tenang kembali. Barulah langkah kembali kuayunkan ke taman, di mana kulihat Mas Feri masih berbicara dengan Mbak Venya. Namun, kali ini mereka telah duduk di kursi taman sambil membelakangi teras. Sampai di dekat mereka, aku melambatkan langkah ketika telingaku sekilas menangkap pembicaraan mereka.“Ya, kurasa begitu! Kita hanya oran