Beberapa detik berikutnya, aku tersadar dari lamunanku. Cepat-cepat aku bangkit dari rengkuhan Mas Dion. Dengan kikuk aku kembali merapikan diri dengan napas yang masih belum teratur. Sekilas aku menatap Bayu yang juga menatapku kebingungan. Aku tak tahu lagi apa yang akan aku katakan padanya. Rasa kikuk dan malu mendominasi pikiranku. Sesegera mungkin aku berlalu dari tempat itu, meninggalkan Mas Dion yang masih terdiam tanpa suara.
Sampai di teras, aku kembali mentralkan diri. Aku takut wajah pucat dan kikukku ini disadari Mas Feri dan Mbak Venya. Aku menarik napas berulang kali. Hingga akhirnya aku telah merasa tenang kembali. Barulah langkah kembali kuayunkan ke taman, di mana kulihat Mas Feri masih berbicara dengan Mbak Venya. Namun, kali ini mereka telah duduk di kursi taman sambil membelakangi teras. Sampai di dekat mereka, aku melambatkan langkah ketika telingaku sekilas menangkap pembicaraan mereka.
“Ya, kurasa begitu! Kita hanya oran
Namun, belum berhasil aku mendorong pintu, lenganku terasa direngggut seseorang. Tubuhku oleng dan berbalik dengan terpaksa. Dua netraku membelalak ketika menyaksikan tubuh tinggi tegap dengan kemeja dan celana slimfit yang mencetak tubuh atletisnya. Ia telah berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan sayu. penuh pengharapan. Aku terperanjat dengan tubuh membatu. Dua netraku membulat, dadaku bergemuruh. Semua bulu-bulu halus di sekujur tubuhku merinding dan darahku berdesir hebat. Aku bergeming tanpa suara. Tatapan iris coklatnya yang tajam mengunci seluruh inderaku.Napasku terasa terjeda beberapa detik dengan mulut menganga. Aku tak menyangka Mas Dion berdiri di hadapanku dengan tatapan lekat dan dalam yang meminmbulkan desiran aneh di dadaku. Bagaimana mungkin ia mengikutiku sampai ke sini dan menatapku sedemikian rupa? Jantungku makin berdetak tak karuan ketika ia melangkah pelan mendekat dan mengayunkan tangannya ke udara seperti hendak memelukku.
Mobil melaju dengan kecepatan tenang meninggalkan rumah megah Mas Dion. Bayu yang berada di belakang masih tertidur pulas sejak digendong tadi. Beberapa kali aku mencoba mencuri pandang pada Mas Feri yang lebih memilih diam sejak detik pertama mobil ini melaju. Ia bahkan tidak melihat padaku ataupun mengajakku berbicara sama sekali. Aku juga tak tahu, benarkah ia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi tadi antara aku dan Mas Dion? Ah! Aku benar-benar malu dan merasa sangat bersalah padanya. Bagaimana mungkin aku membiarkan semua ini terjadi? Andaikan aku lebih bisa mengendalikan hati, tentu saja aku bisa lebih tegas pada sikap Mas Dion tadi. Toh! Ia juga tidak dalam keadaan yang waras. Tunggu! Apakah ia melakukan itu karena ia benar juga memiliki rasa sepertiku? Atau karena ia sedang terpengaruh minuman yang ia minum? Kasihan Mas Feri dan Mbak Venya. Aku telah melukai mereka.Kupandangai wajah Mas Feri dari samping yang masih memandangi jala
Malam ini, seperti yang dijanjikan, aku akan bertemu lelaki yang pernah aku rindukan selama dua tahun itu. Tentunya, tanpa sepengetahuan Mas Feri. Aku takut ia salah paham lagi. Permasalahan kami kemaren belum sepenuhnya kelar. Aku dan ia hanya memilih saling diam dalam beberapa hari belakangan. Aku mengiyakan ajakan Mas Dion, berharap semua kembali seperti semula. Sebenarnya dadaku juga bergemuruh, merasa sungkan mengingat kejadian kemaren. Walau aku tahu, Mas Dion melakukan semua itu karena dalam pengaruh alcohol yang ia kosumsi. Aku saja yang naïf, tak mampu mengelak dari rasa yang ingin kulenyapkan. Aku akan bertemu kembali dengan orang yang belum sepenuhnya dapat aku hapus segala keindahannya di dalam hati. Betapa naifnya aku, yang tidak mampu menghapus jejaknya sama sekali, meski di lahir aku selalu berkata akan belajar untuk melupakannya. Apakah aku sanggup? Aku tak tahu, langkah apa yang akan ia tempuh dengan melibatkanku dalam p
Berita panas itu ternyata dengan cepat sampai ke telinga keluarga Mas Dion. Mama dan Papa segera kembali ke kota ini. Panggilan telepon mendadak yang kudapatkan dari Mama sore itu, membuat aku terkejut di ruangan kerjaku. Mama ingin aku dan dirinya bertemu, di rumah Mas Dion, malam, setelah aku pulang kerja. Padahal, selama ini ia sangat jarang menghubungiku. Walau hanya untuk menanyakan Bayu sekali pun.Sepulang kerja sore itu aku bergegas pulang, mempersiapkan diri untuk ke rumah Mas Dion, memenuhi panggilan Mama. Kurasa beliau ingin membicarakan hal yang penting denganku, karena Mama tidak memintaku membawa Bayu. Aku pun menitipkan Bayu pada Winarty. Walau hati bertanya-tanya hal apa yang membuat Mama ingin bertemu denganku malam ini di rumah Mas Dion?Aku memasuki rumah megah itu dengan jantung berdebar, berkira-kira apa yang ingin beliau sampaikan padaku. Memasuki ruang tamu, aku mendapati Mama, Papa dan Mas Dion sudah duduk melin
POV DionRuang besar yang dipenuhi desain interior yang megah ini sangat sepi. Hanya ada aku, berdiam di balik kaca besar dengan rasa yang selalu kembali, setelah berusaha kuhilangkan selama dua tahun belakangan. Menatapi pemandangan pantai yang ada di hadapanku, menyeretku kembali ke lorong waktu, pada masa dua tahun silam, saat terakhir kulihat tatapan sendu mata bermanik coklat seorang wanita untuk terakhir kalinya, sebelum aku memutuskan pergi dan menghilang.Kutatapi pemandangan pantai yang luas itu sambil memasukkan satu tangan ke saku celana. Suasana pantai selalu saja menyejukkan hatiku. Memandangi situasi pantai dari lantai empat gedung perusahaan tempatku bekerja ini, aku serasa sedang di sana, di antara orang-orang yang sedang bercengkerama dengan angin dan ombak pantai. Aku seakan ikut merasakan hembusan angin sejuk di pori-poriku. Indera pendengaranku seakan menyentuh debur ombak yang menggelisik menghempas gelomb
POV : DionBelum berapa lama kami saling terdiam dengan pikiran masing-masing, Aku dikejutkan dengan dering suara handphone-ku yang berputar di atas meja. Aku menoleh dan meraihnya. Kulihat sebuah nama tertera di sana. Setelah lebih dari seminggu ia tak lagi memberi kabar padaku, pagi ini ia kembali menghubungiku. Ia memang selalu menghubungiku, memberikan khabar yang selalu kutunggu tentang Viona. Aku sengaja tidak memulai kontak terlebih dahulu, takut bila ia sedang berada di dekat Viona.“Hallo, Fer! Tumben nelpon pagi begini. Ada apa?” tanyaku dengan nada tenang. Feri berdecak seperti orang menahan rasa kesal di seberang sana. Aku jadi penasaran dengan apa yang sedang ia kesalkan saat ini.“Yon, lu udah tau, kan? Divo sekarang berada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Meskipun itu tak terlihat olehnya.“Iya, aku tahu! Ia sempat menghubungi Bagas—teman kita—ketika baru sampai di s
“M-mas!”Divo begitu kaget melihat kehadiranku di ruang rawatnya. Aku berdiri di sisi ranjangnya ketika tak berapa lama setelah ia sadarkan diri. Aku memposisikan diri tepat di sampingnya malam itu. Duduk di kursi samping ranjang Divo. Kutatapi balutan perban di kepala dan kakinya yang menggantung. Kudengar dari Venya, luka kepalanya tidak begitu serius. Namun, luka kaki yang sempat terjepit di antara dashboard dan bangku kemudi membuat banyak syarat dan otot yang terputus. Tulangnya hancur tak berbentuk. Sehingga kaki kirnya itu harus diamputasi hingga batas atas lutut. Aku miris melihat kondisinya itu.“Ba-bagaimana M-mas bisa tahu a-aku di sini? Bu-bukankah Mas di Jakarta?” tanyanya heran penuh tanya. Aku mengangkat salah satu sudut bibirku sambil menatapnya hiba. Namun, teringat kembali semua kelakuannya yang tak berubah aku kembali merasa miris.“Kau masih tidak berubah, Vo. Mengapa kau masih berusaha menyakiti Viona?” ta
Bab 60Hari ini Mama dan Papa akan datang menjenguk Divo. Aku sengaja tidak bekerja hari ini, karena telah berjanji menemani Divo dan bertemu dengan Mama Papa di rumah sakit, sekalian menjenguk Bayu di ruangannya.Aku melangkah pasti menuju ruang perawatan Divo dengan langkah tenang. Kuhela napas ringan, kala berdiri tepat di depan pintu bertuliskan Kenanga Room itu. kutekan handle pintu dan mendorongnya pelan. Pemandangan tubuh Divo yang terbaring lemah, langsung menjadi pemandangan awal yang kulihat. Aku maju beberapa langkah dan berbalik menutup pintu. Kemudian, mendekati tubuh Divo yang terbaring di ranjang. Adik angkatku itu ternyata sudah bangun. Dua netranya menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan tatapan aneh.Aku langsung memposisikan diri duduk di sampingnya dan menatap ke arahnya. Baru saja bobot kuhenyakkan di kursi, baru aku sadari, wajah Divo ternyata memerah dan menegang. Sepuluh jemarinya meremas sisi tempat tidur denga