Aku terdiam untuk beberapa saat setelah kepergian Mas Feri. Kemudian melangkah ke kursi kerjaku dan menghenyakkan bobotku di sana. Ketengadahkan kepala di sandaran kursi dan menghirup udara pelan. Pikiranku larut dengan kejadian-kejadian beberapa menit lalu. Rasa sakit, perih yang dibalut amarah masih berkecamuk di hati. Aku benci lelaki itu. Benci!
Sakit yang ia torehkan dua tahun lalu belum sempurna kusamarkan. Kini, ia datang dengan tak tahu malu, berbuat seolah-olah ia masih pantas untuk kuperhitungkan. Kanker servik? Hhh! Mungkin itu memang balasan yang setimpal untuk wanita jala** itu. Apakah ia sudah insyaf? Bagaimana rupanya saat ini?
Mas Feri! Iya, aku ingat dia. Aku ingat bagaimana ia berusaha menyelamatkan dan membelaku di hadapan Mas DIvo. Tapi, mengapa ia tak membantah semua tudingan Mas Divo? Dan Kenapa ia seperti tak ingin jujur padaku? Padahal, walau aku sedikit kaget, tapi aku tidak membencinya karena itu. Karena s
“Aku dan mas Feri memasuki pelataran pameran dengan santai. Suasana sangat ramai, semua stan nyaris dipenuhi oleh banyak pengunjung. Mungkin karena masing-masing pelaku usaha menggratiskan beberapa inovasi makanan mereka kepada pengunjung yang beruntung. Demikian juga yang kulakukan untuk stan kulinerku. Stan-ku itu juga dipenuhi banyak pengunjung.Aku memasuki stan itu beriringan dengan Mas Feri. Ketika kami datang, beberapa karyawan yang bertugas menyapa dengan anggukan sopan. Aku balas tersenyum kepada mereka. Aku mencari tempat nyaman, dimana aku bisa mengawasi mereka dengan baik. Sementara Mas Feri langsung berbincang-bincang dengan salah satu karyawan.Hingga puluhan menit berlalu, aku masih saja terdiam di tempatku, sambil sesekali mengamati ponsel dalam genggaman. Hingga akhirnya aku bosan juga. Aku berniat untuk berkeliling ke stan tetangga.“Mas, aku mau cuci mata dulu,” ujarku pada Mas Feri yang
“Kau kecewa, Viona?” tanya Mas Feri sambil menatap debur ombak di balik kegelapan malam. Suara bisingnya tak sedikitpun mampu mengalahkan kesunyianku. Aku mengeluarkan senyuman yang penuh keterpaksaan, sambil mengaduk coklat di cangkir keramik yang ada di hadapanku. Aku mendengkus.“Hidupku sangat menyedihkan! Hatiku terlalu polos memahami cinta dan dunianya. Kepolosan yang membuat aku terkhianati dan diabaikan oleh orang yang pernah kujadikan sandaran. Kepolosan juga yang membuat aku percaya, bahwa aku tidak akan tersakiti lagi. Aku bahkan tak peka saat seseorang menginginkanku pergi.”“Ini semua salahku. Aku membiarkan hatiku yang saat itu rentan terlalu gampang menerima dan memutuskan serta mengartikan kebaikan orang. Di saat aku rapuh, seharusnya aku tidak cepat membuat kesimpulan. Aku lupa memperhitungkan fakta. Aku larut dengan rasa yang tak seharusnya aku biarkan tumbuh dan berkembang.”Aku terdiam s
Pagi ini, aku terdiam di ruanganku. Aku teingat ucapanku semalam pada Mas Feri, itu benar-benar terlalu berani. Aku betindak tanpa perhitungan yang matang. Saat itu yang ada hanya rasa iba. Padahal, aku tak tahu, apakah aku benar-benar sanggup menjalaninya. Sama dengan keraguanku pada hatiku, sanggupkah aku kelak menatap Mas Dion dengan tersenyum, saat ia menggandeng wanita lain sebagai istrinya. Namun, faktanya, aku mengatakannya, memberi sebuah harapan pada Mas Feri. Harapan yang akhirnya membuat ia tersenyum. Aku tak mungkin membuatnya terpuruk lagi. Mengajaknya bersama kemudian dengan mudah membatalkannya. Hufffft! Ternyata, aku hanya seorang wanita yang plin-plan. Tok! Tok! Tok! Pintu ruanganku diketuk dari luar. Aku menoleh ke pintu. Mas Feri telah berdiri di sana dengan meletakkan satu tangannya di belakang. Ia tersenyum padaku. “Hai, Viona! Selamat pagi!” ucapnya kemudian sambil melangkah ke mejaku. Aku membala
Situasi aman terkendali. Tidak ada hal-hal yang terjadi selama penutupan acara Vieera Cooperation. Bahkan lelaki itu juga tidak menampakkan batang hidungnya di D-Vion. Akhirnya, aku dan Mas Feri bisa tersenyum lega. Mungkin, pukulan dari Mas Feri tempo hari cukup ia perhitungkan, sehingga ia tak berani lagi membuat onar di kafe ini. Hal itu membuat aku senang dan tersenyum ketika menuruni tangga ke lantai dua. Ya, aku akan menuruni tangga lantai dua, ketika para eksekutif-eksekutif itu mulai meninggalkan D-Vion satu persatu. Mas Feri melepas para petinggi-petinggi Vieera Cooperation dengan sebuah senyum hangat. Ia membungkuk hormat pada mereka. Mungkin untuk menjaga image D-Vion di mata mereka. Bagaimanapun, mereka adalah pelanggan D-Vion, dan mereka tak tahu tragedy yang terjadi dengan atasan mereka di ruanganku. Mas Feri tersenyum saat melihat kehadiranku di puncak tangga. Aku juga balas tersenyum sambil menurun
Pagi ini aku sengaja telat ke D-Vion. Aku ingin mengantarkan Bayu dan Winarti ke sekolah Bayu. Sekaligus ingin menekankan pada pihak sekolah, agar tidak memudahkan orang asing menemui anakku. Aku tahu Mas Divo sedang merancang sebuah rerncana buruk untukku. Aku tidak mau kehilangan Bayu, Hidupku tak akan ada artinya lagi, bila aku tidak lagi bisa melihatnya. Aku kuat karenanya. Aku benar-benar tak mau kehilangannya. Bagaimana bila lelaki itu berniat memisahkanku dengan Bayu? Ah! ini akan jadi cobaan terbesar dalam hidupku. Aku tidak mau, tidak! Aku menunggu kehadiran Winarti di sofa tamu, sambil mengutak-atik handphone dalam genggaman. Sedari subuh, setelah salat, aku telah mempersiapkan semuanya, termasuk Bayu, ia juga sudah rapi. Tinggal bekal yang ia bawa untuk ke sekolah yang dipersiapkan Winarti. “Ayo, Winarty! Nanti Bayu telat,” panggilku pada Winarty yang masih tak keluar juga dari ruang dapur. Mungkin ia masih menyiapkan bekal untuk Bayu. Namun
Mas Feri masih terdiam menanti jawaban dariku. Sesungguhnya, tentu saja aku penasaran dengan dirinya saat ini. Siapa wanita yang akan ia persunting dan bagaimana dirinya yang sekarang? Namun, aku tak mau membuka lembar lama yang sudah kukubur sejak beberapa hari lalu. Setelah aku tahu, Mas Dion memang hanya menganggapku sebagai adik. Kalau pun ia ingin bertemu, mengapa tidak dia saja yang ke sini? Pikirku dalam hati.“Okey! Aku akan tunggu jawaban kamu, Viona. Aku ke bawah dulu, melihat keadaan pengunjung kita,” ucap Mas Feri sambil bangkit dari sofa. Aku mengangguk lemah dan menampakkan senyum tipis padanya.Usai kepergian Mas Feri, aku kembali melarutkan diri dengan pekerjaan-pekerjaanku di computer. Aku larut hingga beberapa jam lamanya. Hingga tanpa sadar, kulihat waktu di layar desktop menunjukkan pukul 11. 30 wib. Aku kaget bukan kepalang. Teringat Bayu yang masih berada di sekolahnya bersama Winarti yang kupesani unt
Akur turun dari mobil dengan terburu-buru, dan berlari meninggalkan halaman parkir yang tertimpa terik mentari itu. Aku tak peduli Mas Feri dan Winarti yang masih tertinggal di dalam mobil. Apakah mereka masih mengikuti langkahku atau tidak, aku tak peduli. Tatapan dan pikiranku tak lebih pada ruang IGD rumah sakit yang cukup besar itu, yang mana akan kulihat Bayu terbaring lemah di sana, entah dengan kondisi seperti apa?Aku berlari sambil memegangi dada yang terasa menyempit oleh isak tangis yang kutahan. Membuat napas ini tertahan tak beraturan, kadang memburu. Kumasuki area rumah sakit yang megah itu dengan raut penuh kecemasan, sambil mengusap air mata yang mengalir cepat ke sudut netraku. Aku tak sanggup membayangkan segala kemungkinan yang terjadi pada Bayu. Andai saja terjadi sesuatu hal yang buruk pada putra terkasihku itu. Aku akan sangat menyesalinya seumur hidup. Aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Aku lalai! Gara-gara
Setelah melewati masa observasi, Bayu dipindahkan ke ruang rawat inap. VIP, tempat yang aku inginkan untuk ketenangan Bayu. Ruang ber-AC dengan jendela kaca besar di lantai dua itu cukup luas dan nyaman. Dilengkapi fasilitas lengkap dengan segala pernak-perniknya.Aku duduk di samping tubuh Bayu yang terbaring lemah dengan perban membalut kakinya yang menggantung. Ia masih tertidur pulas. Mungkin karena lelah, atau bius penahan rasa sakit itu, atau bisa jadi obat tidur yang ia kosumsi, yang membuat ia belum juga terbangun sejak dipindahkan ke sini. Aku menemaninya sendiri di sini. Mas Feri dan Winarti pulang ke rumah, menyiapkan segala kerperluan kami selama menjaga Bayu, juga membawa pakaian pengganti buat Bayu.Aku menatapnya penuh hiba. Kepegangi jemarinya sambil menahan tangis dalam-dalam. Aku tak pernah sanggup kalau Bayu terluka, walau hanya seujung kuku. Namun sepertinya, Tuhan benar-benar sedang mengujiku