“Assalammualaikum, Viona.”
Suara berat seorang lelaki mengejutkanku. Suara yang berasal dari belakangku. Aku bingung, tak menyangka ada lelaki yang mengenaliku di tempat ini. Setahuku aku bukan wanita yang dikenal orang, apalagi lelaki. Seluruh hari-hariku hanya berkutat di D-Vion. Selebihnya untuk Bayu. Adapun aktivitas-aktivitas yang kulakukan untuk kebtuhanku seperti belanja ke mall dan urusan lainnya, semua kulakukan konsisten dengan waktu. Aku nyaris tak punya kenalan. Dari awal aku hadir di kota ini, tetap sama. Lalu siapa lelaki yang mengenaliku di tempat ini?
Dan suara itu?
“Senang bertemu lagi denganmu, Viona” desis orang itu kemudian yang berhasil membuatku serta merta menolehkan wajah padanya.
DEG!
Jantungku serasa mau copot saat mata ini bertubrukan dengan sosok lelaki itu. Dadaku berdegub kencang, netraku membulat, nafas serasa sesak dan wajah pun kurasa memucat. Aku
Jangan lupa klik subscribe, love, komen, ya.******* Happy reading *******_____________________________________________________________________________________“Mi. Ami nggak liat, ya? Om selem yang ada di taman itu tadi di sini. Pake mobil yang tablakan itu.”DEG!Untuk ke sekian kalinya jantung ini serasa terhenti. “Om selem? Mobil tabrakan?”tanyaku di hati. Otakku langsung berputar, mengigat kejadian itu. Tabrakan yang kami lihat tadi sebelum sampai di taman berarti Mas Divo. Ia sempat melihat mobilku melintas. Aku mendengkus. Jadi ini yang membuat dia bisa mengikutiku sampai ke taman? Bukannya tak mungkin ia juga mengikutiku sampai ke D-Vion. Oh, Tuhan. Aku benar-benar bodoh! Pantas saja ia bisa mengenaliku. Bukankah mobil yang kugunakan masih pemberiannya dulu.Namun, yang membuat aku bingung, mengapa ia bisa ada di kota ini lagi? Bahkan, membututiku sampai ke sini? Apa ia benar-benar
Part 36Baby SitterHari ini Mas Ferri membawa tiga orang calon Baby sitter untuk Bayu. Sudah dua orang yang kuwawancarai, tapi belum ada yang cocok. Aku jadi putus asa. Aku ingin yang menjaga Bayu adalah wanita yang benar-benar bisa aku percaya, punya rasa kasih sayang yang tulus, single dan amanah. Namun, yang kutemui hanya wanita tegas yang bertanggung jawab pada pekerjaan. Bagus, sih. Namun, aku tak menangkap rasa kasih sayang dalam ucapan dan sikap mereka. Sampai akhirnya wanita terakhir memasuki ruanganku. Langkahnya begitu lugas dan percaya diri.“Assalamualaikum, selamat pagi, Ibu Juragan Viona. Kenalkan saya, Jono Winarti Ningsih,” ucapnya setelah berdiri di pintu sambil memberi senyuman manis padaku. Aku terkejut. Keningku mengkerut. Kutatapi tubuh gempalnya beberapa saat. Detik kemudian tawaku tersembur. Namun, cepat-cepat kubekap mulut dengan dua tangan, kesuli
Part 37Jarum Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 18.05. Suasana ruangan sudah terang benderang di penuhi cahaya lampu di setiap sudutnya. Di beberapa sisi, lampu dinding berwarna orange menghiasi, menambah pesona dekorasi ruang yang romantic.Kulangkahkan kaki meninggalkan ruang utama D-Vion dan duduk di sofa tunggu di dekat pintu masuk. Seperti biasa, ini adalah jadwal pulangku kembali ke rumah, setelah memastikan semua proses pelayanan masih terjaga seperti biasa. Memang sudah jadi kebiasaanku berpatroli ke semua sudut sebelum berangkat pulang. Walau sebenarnya aku percaya, Mas Feri selalu telaten mengawasi prosesnya.Beberapa tamu mulai berdatangan. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul 18. 05. Beberapa diantaranya sudah menempati ruang Vip dan ruang utama yang luas itu. Termasuk bagian out door minimalis yang berada di sayap kiri. Halaman yang di sulap menjadi park ganden. Aku mengamati kedatangan mereka dengan
Sosok lelaki berjas hitam itu mendekat dan menampakkan seringainya. Wajah seramnya membuat nyaliku ciut. Entah kenapa aku merasa tujuannya memasuki ruanganku dengan cara tak sopan ini, kuanggap sebagai itikad jahat yang ingin ia lakukan padaku. Aku takut, juga kaget luar biasa.Ia mendekatiku beberapa langkah. Aku beringsut mundur. Hingga tanpa sadar, ujung heels yang ‘kugunakan beradu dengan dinding yang ada di belakangku.“Mau apa kamu? Mengapa kamu bisa berada di sini?” tanyaku dengan napas yang mulai tersengal-sengal. Tatapanku awas mengamati geraknya. Ia menyeringai devil dengan tatapan yang tidak aku mengerti maknanya.“Ternyata,” ucapnya kemudian sambil menyisir ruanganku dengan netranya. “setelah kepergianku, hidupmu bergelimang kebahagiaan dan jauh lebih baik, Vona,” sambungnya tanpa mempedulikan pertanyaan dan wajah piasku.“Bagaimana bisa kamu masuk kesini, Mas?&r
“Jaga bicaramu, Divo! Viona tidak seperti yang kamu pikirkan.”Mas Feri kembali membentak Mas Divo di hadapanku. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Aku tak menyangka Mas Feri berani membelaku begini di hadapan mantan suamiku yang berubah seperti berandalan itu. Ia yang kukenal selama ini tak banyak bicara, ternyata bernyali juga membantah Mas Divo .Mas Divo mendengus kasar dengan tatapan mengintimidasi. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Rautnya terang-terangan mengisyaratkan ejekan. Ia menekurkan wajahnya ke lantai. Kemudian mengangkatnya kembali dan menatapi Mas Feri sambil menahan tawa. Kemudian, ia menatapku. Sebuah seringai kembali menggaris di sudut bibirnya yang telah ditumbuhi rambut-rambut halus. Ia mematung untuk beberapa saat lamanya.“Ternyata kau punya nyali juga membela seorang istri di depan mantannya? Kau masih punya dendam padaku, Fer?” ujarnya. “Maaf, aku terpaksa harus menyingkir
Aku terdiam untuk beberapa saat setelah kepergian Mas Feri. Kemudian melangkah ke kursi kerjaku dan menghenyakkan bobotku di sana. Ketengadahkan kepala di sandaran kursi dan menghirup udara pelan. Pikiranku larut dengan kejadian-kejadian beberapa menit lalu. Rasa sakit, perih yang dibalut amarah masih berkecamuk di hati. Aku benci lelaki itu. Benci!Sakit yang ia torehkan dua tahun lalu belum sempurna kusamarkan. Kini, ia datang dengan tak tahu malu, berbuat seolah-olah ia masih pantas untuk kuperhitungkan. Kanker servik? Hhh! Mungkin itu memang balasan yang setimpal untuk wanita jala** itu. Apakah ia sudah insyaf? Bagaimana rupanya saat ini?Mas Feri! Iya, aku ingat dia. Aku ingat bagaimana ia berusaha menyelamatkan dan membelaku di hadapan Mas DIvo. Tapi, mengapa ia tak membantah semua tudingan Mas Divo? Dan Kenapa ia seperti tak ingin jujur padaku? Padahal, walau aku sedikit kaget, tapi aku tidak membencinya karena itu. Karena s
“Aku dan mas Feri memasuki pelataran pameran dengan santai. Suasana sangat ramai, semua stan nyaris dipenuhi oleh banyak pengunjung. Mungkin karena masing-masing pelaku usaha menggratiskan beberapa inovasi makanan mereka kepada pengunjung yang beruntung. Demikian juga yang kulakukan untuk stan kulinerku. Stan-ku itu juga dipenuhi banyak pengunjung.Aku memasuki stan itu beriringan dengan Mas Feri. Ketika kami datang, beberapa karyawan yang bertugas menyapa dengan anggukan sopan. Aku balas tersenyum kepada mereka. Aku mencari tempat nyaman, dimana aku bisa mengawasi mereka dengan baik. Sementara Mas Feri langsung berbincang-bincang dengan salah satu karyawan.Hingga puluhan menit berlalu, aku masih saja terdiam di tempatku, sambil sesekali mengamati ponsel dalam genggaman. Hingga akhirnya aku bosan juga. Aku berniat untuk berkeliling ke stan tetangga.“Mas, aku mau cuci mata dulu,” ujarku pada Mas Feri yang
“Kau kecewa, Viona?” tanya Mas Feri sambil menatap debur ombak di balik kegelapan malam. Suara bisingnya tak sedikitpun mampu mengalahkan kesunyianku. Aku mengeluarkan senyuman yang penuh keterpaksaan, sambil mengaduk coklat di cangkir keramik yang ada di hadapanku. Aku mendengkus.“Hidupku sangat menyedihkan! Hatiku terlalu polos memahami cinta dan dunianya. Kepolosan yang membuat aku terkhianati dan diabaikan oleh orang yang pernah kujadikan sandaran. Kepolosan juga yang membuat aku percaya, bahwa aku tidak akan tersakiti lagi. Aku bahkan tak peka saat seseorang menginginkanku pergi.”“Ini semua salahku. Aku membiarkan hatiku yang saat itu rentan terlalu gampang menerima dan memutuskan serta mengartikan kebaikan orang. Di saat aku rapuh, seharusnya aku tidak cepat membuat kesimpulan. Aku lupa memperhitungkan fakta. Aku larut dengan rasa yang tak seharusnya aku biarkan tumbuh dan berkembang.”Aku terdiam s