Part 37
Jarum Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 18.05. Suasana ruangan sudah terang benderang di penuhi cahaya lampu di setiap sudutnya. Di beberapa sisi, lampu dinding berwarna orange menghiasi, menambah pesona dekorasi ruang yang romantic.
Kulangkahkan kaki meninggalkan ruang utama D-Vion dan duduk di sofa tunggu di dekat pintu masuk. Seperti biasa, ini adalah jadwal pulangku kembali ke rumah, setelah memastikan semua proses pelayanan masih terjaga seperti biasa. Memang sudah jadi kebiasaanku berpatroli ke semua sudut sebelum berangkat pulang. Walau sebenarnya aku percaya, Mas Feri selalu telaten mengawasi prosesnya.
Beberapa tamu mulai berdatangan. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul 18. 05. Beberapa diantaranya sudah menempati ruang Vip dan ruang utama yang luas itu. Termasuk bagian out door minimalis yang berada di sayap kiri. Halaman yang di sulap menjadi park ganden. Aku mengamati kedatangan mereka dengan
Sosok lelaki berjas hitam itu mendekat dan menampakkan seringainya. Wajah seramnya membuat nyaliku ciut. Entah kenapa aku merasa tujuannya memasuki ruanganku dengan cara tak sopan ini, kuanggap sebagai itikad jahat yang ingin ia lakukan padaku. Aku takut, juga kaget luar biasa.Ia mendekatiku beberapa langkah. Aku beringsut mundur. Hingga tanpa sadar, ujung heels yang ‘kugunakan beradu dengan dinding yang ada di belakangku.“Mau apa kamu? Mengapa kamu bisa berada di sini?” tanyaku dengan napas yang mulai tersengal-sengal. Tatapanku awas mengamati geraknya. Ia menyeringai devil dengan tatapan yang tidak aku mengerti maknanya.“Ternyata,” ucapnya kemudian sambil menyisir ruanganku dengan netranya. “setelah kepergianku, hidupmu bergelimang kebahagiaan dan jauh lebih baik, Vona,” sambungnya tanpa mempedulikan pertanyaan dan wajah piasku.“Bagaimana bisa kamu masuk kesini, Mas?&r
“Jaga bicaramu, Divo! Viona tidak seperti yang kamu pikirkan.”Mas Feri kembali membentak Mas Divo di hadapanku. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Aku tak menyangka Mas Feri berani membelaku begini di hadapan mantan suamiku yang berubah seperti berandalan itu. Ia yang kukenal selama ini tak banyak bicara, ternyata bernyali juga membantah Mas Divo .Mas Divo mendengus kasar dengan tatapan mengintimidasi. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Rautnya terang-terangan mengisyaratkan ejekan. Ia menekurkan wajahnya ke lantai. Kemudian mengangkatnya kembali dan menatapi Mas Feri sambil menahan tawa. Kemudian, ia menatapku. Sebuah seringai kembali menggaris di sudut bibirnya yang telah ditumbuhi rambut-rambut halus. Ia mematung untuk beberapa saat lamanya.“Ternyata kau punya nyali juga membela seorang istri di depan mantannya? Kau masih punya dendam padaku, Fer?” ujarnya. “Maaf, aku terpaksa harus menyingkir
Aku terdiam untuk beberapa saat setelah kepergian Mas Feri. Kemudian melangkah ke kursi kerjaku dan menghenyakkan bobotku di sana. Ketengadahkan kepala di sandaran kursi dan menghirup udara pelan. Pikiranku larut dengan kejadian-kejadian beberapa menit lalu. Rasa sakit, perih yang dibalut amarah masih berkecamuk di hati. Aku benci lelaki itu. Benci!Sakit yang ia torehkan dua tahun lalu belum sempurna kusamarkan. Kini, ia datang dengan tak tahu malu, berbuat seolah-olah ia masih pantas untuk kuperhitungkan. Kanker servik? Hhh! Mungkin itu memang balasan yang setimpal untuk wanita jala** itu. Apakah ia sudah insyaf? Bagaimana rupanya saat ini?Mas Feri! Iya, aku ingat dia. Aku ingat bagaimana ia berusaha menyelamatkan dan membelaku di hadapan Mas DIvo. Tapi, mengapa ia tak membantah semua tudingan Mas Divo? Dan Kenapa ia seperti tak ingin jujur padaku? Padahal, walau aku sedikit kaget, tapi aku tidak membencinya karena itu. Karena s
“Aku dan mas Feri memasuki pelataran pameran dengan santai. Suasana sangat ramai, semua stan nyaris dipenuhi oleh banyak pengunjung. Mungkin karena masing-masing pelaku usaha menggratiskan beberapa inovasi makanan mereka kepada pengunjung yang beruntung. Demikian juga yang kulakukan untuk stan kulinerku. Stan-ku itu juga dipenuhi banyak pengunjung.Aku memasuki stan itu beriringan dengan Mas Feri. Ketika kami datang, beberapa karyawan yang bertugas menyapa dengan anggukan sopan. Aku balas tersenyum kepada mereka. Aku mencari tempat nyaman, dimana aku bisa mengawasi mereka dengan baik. Sementara Mas Feri langsung berbincang-bincang dengan salah satu karyawan.Hingga puluhan menit berlalu, aku masih saja terdiam di tempatku, sambil sesekali mengamati ponsel dalam genggaman. Hingga akhirnya aku bosan juga. Aku berniat untuk berkeliling ke stan tetangga.“Mas, aku mau cuci mata dulu,” ujarku pada Mas Feri yang
“Kau kecewa, Viona?” tanya Mas Feri sambil menatap debur ombak di balik kegelapan malam. Suara bisingnya tak sedikitpun mampu mengalahkan kesunyianku. Aku mengeluarkan senyuman yang penuh keterpaksaan, sambil mengaduk coklat di cangkir keramik yang ada di hadapanku. Aku mendengkus.“Hidupku sangat menyedihkan! Hatiku terlalu polos memahami cinta dan dunianya. Kepolosan yang membuat aku terkhianati dan diabaikan oleh orang yang pernah kujadikan sandaran. Kepolosan juga yang membuat aku percaya, bahwa aku tidak akan tersakiti lagi. Aku bahkan tak peka saat seseorang menginginkanku pergi.”“Ini semua salahku. Aku membiarkan hatiku yang saat itu rentan terlalu gampang menerima dan memutuskan serta mengartikan kebaikan orang. Di saat aku rapuh, seharusnya aku tidak cepat membuat kesimpulan. Aku lupa memperhitungkan fakta. Aku larut dengan rasa yang tak seharusnya aku biarkan tumbuh dan berkembang.”Aku terdiam s
Pagi ini, aku terdiam di ruanganku. Aku teingat ucapanku semalam pada Mas Feri, itu benar-benar terlalu berani. Aku betindak tanpa perhitungan yang matang. Saat itu yang ada hanya rasa iba. Padahal, aku tak tahu, apakah aku benar-benar sanggup menjalaninya. Sama dengan keraguanku pada hatiku, sanggupkah aku kelak menatap Mas Dion dengan tersenyum, saat ia menggandeng wanita lain sebagai istrinya. Namun, faktanya, aku mengatakannya, memberi sebuah harapan pada Mas Feri. Harapan yang akhirnya membuat ia tersenyum. Aku tak mungkin membuatnya terpuruk lagi. Mengajaknya bersama kemudian dengan mudah membatalkannya. Hufffft! Ternyata, aku hanya seorang wanita yang plin-plan. Tok! Tok! Tok! Pintu ruanganku diketuk dari luar. Aku menoleh ke pintu. Mas Feri telah berdiri di sana dengan meletakkan satu tangannya di belakang. Ia tersenyum padaku. “Hai, Viona! Selamat pagi!” ucapnya kemudian sambil melangkah ke mejaku. Aku membala
Situasi aman terkendali. Tidak ada hal-hal yang terjadi selama penutupan acara Vieera Cooperation. Bahkan lelaki itu juga tidak menampakkan batang hidungnya di D-Vion. Akhirnya, aku dan Mas Feri bisa tersenyum lega. Mungkin, pukulan dari Mas Feri tempo hari cukup ia perhitungkan, sehingga ia tak berani lagi membuat onar di kafe ini. Hal itu membuat aku senang dan tersenyum ketika menuruni tangga ke lantai dua. Ya, aku akan menuruni tangga lantai dua, ketika para eksekutif-eksekutif itu mulai meninggalkan D-Vion satu persatu. Mas Feri melepas para petinggi-petinggi Vieera Cooperation dengan sebuah senyum hangat. Ia membungkuk hormat pada mereka. Mungkin untuk menjaga image D-Vion di mata mereka. Bagaimanapun, mereka adalah pelanggan D-Vion, dan mereka tak tahu tragedy yang terjadi dengan atasan mereka di ruanganku. Mas Feri tersenyum saat melihat kehadiranku di puncak tangga. Aku juga balas tersenyum sambil menurun
Pagi ini aku sengaja telat ke D-Vion. Aku ingin mengantarkan Bayu dan Winarti ke sekolah Bayu. Sekaligus ingin menekankan pada pihak sekolah, agar tidak memudahkan orang asing menemui anakku. Aku tahu Mas Divo sedang merancang sebuah rerncana buruk untukku. Aku tidak mau kehilangan Bayu, Hidupku tak akan ada artinya lagi, bila aku tidak lagi bisa melihatnya. Aku kuat karenanya. Aku benar-benar tak mau kehilangannya. Bagaimana bila lelaki itu berniat memisahkanku dengan Bayu? Ah! ini akan jadi cobaan terbesar dalam hidupku. Aku tidak mau, tidak! Aku menunggu kehadiran Winarti di sofa tamu, sambil mengutak-atik handphone dalam genggaman. Sedari subuh, setelah salat, aku telah mempersiapkan semuanya, termasuk Bayu, ia juga sudah rapi. Tinggal bekal yang ia bawa untuk ke sekolah yang dipersiapkan Winarti. “Ayo, Winarty! Nanti Bayu telat,” panggilku pada Winarty yang masih tak keluar juga dari ruang dapur. Mungkin ia masih menyiapkan bekal untuk Bayu. Namun