Seketika gerakanku terhenti, jantung berhenti berdetak. Netraku menyipit. Setahuku tak ada orang asing yang mengenalku. Karena aku jarang memunculkan diri, kecuali orang-orang yang intens berinteraksi dengan D-Vion.
Bagaimana mungkin orang asing yang menelpon ini tahu namaku? Sementara, sebelumnya aku memiliki staf yang membantu di bidang ini. Aku hanya menggantikan ia beberapa hari saja, karena ia cuti. Lalu, bagaimana mungkin orang di luar sana mengenali suaraku sebagai Viona?
Aku menarik nafas dan menetralkan hati.
“Masf, anda mengenal saya?”
Ia tertawa pelan. Aku terdiam.
“Siapa sih yang tidak kenal Viona, owner muda dan cantik D-Vion?”
Dadaku mulai bergemuruh. Aneh dengan ucapannya barusan. Sejak D-Vion kukelola, Aku nyaris tak mempunyai teman. Ketika baru pindah ke kota ini pun, dulu aku tak mempunyai teman. Menterakan namaku sebagai owner di tempat yang bersifat public, aku tak p
“Assalammualaikum, Viona.”Suara berat seorang lelaki mengejutkanku. Suara yang berasal dari belakangku. Aku bingung, tak menyangka ada lelaki yang mengenaliku di tempat ini. Setahuku aku bukan wanita yang dikenal orang, apalagi lelaki. Seluruh hari-hariku hanya berkutat di D-Vion. Selebihnya untuk Bayu. Adapun aktivitas-aktivitas yang kulakukan untuk kebtuhanku seperti belanja ke mall dan urusan lainnya, semua kulakukan konsisten dengan waktu. Aku nyaris tak punya kenalan. Dari awal aku hadir di kota ini, tetap sama. Lalu siapa lelaki yang mengenaliku di tempat ini?Dan suara itu?“Senang bertemu lagi denganmu, Viona” desis orang itu kemudian yang berhasil membuatku serta merta menolehkan wajah padanya.DEG!Jantungku serasa mau copot saat mata ini bertubrukan dengan sosok lelaki itu. Dadaku berdegub kencang, netraku membulat, nafas serasa sesak dan wajah pun kurasa memucat. Aku
Jangan lupa klik subscribe, love, komen, ya.******* Happy reading *******_____________________________________________________________________________________“Mi. Ami nggak liat, ya? Om selem yang ada di taman itu tadi di sini. Pake mobil yang tablakan itu.”DEG!Untuk ke sekian kalinya jantung ini serasa terhenti. “Om selem? Mobil tabrakan?”tanyaku di hati. Otakku langsung berputar, mengigat kejadian itu. Tabrakan yang kami lihat tadi sebelum sampai di taman berarti Mas Divo. Ia sempat melihat mobilku melintas. Aku mendengkus. Jadi ini yang membuat dia bisa mengikutiku sampai ke taman? Bukannya tak mungkin ia juga mengikutiku sampai ke D-Vion. Oh, Tuhan. Aku benar-benar bodoh! Pantas saja ia bisa mengenaliku. Bukankah mobil yang kugunakan masih pemberiannya dulu.Namun, yang membuat aku bingung, mengapa ia bisa ada di kota ini lagi? Bahkan, membututiku sampai ke sini? Apa ia benar-benar
Part 36Baby SitterHari ini Mas Ferri membawa tiga orang calon Baby sitter untuk Bayu. Sudah dua orang yang kuwawancarai, tapi belum ada yang cocok. Aku jadi putus asa. Aku ingin yang menjaga Bayu adalah wanita yang benar-benar bisa aku percaya, punya rasa kasih sayang yang tulus, single dan amanah. Namun, yang kutemui hanya wanita tegas yang bertanggung jawab pada pekerjaan. Bagus, sih. Namun, aku tak menangkap rasa kasih sayang dalam ucapan dan sikap mereka. Sampai akhirnya wanita terakhir memasuki ruanganku. Langkahnya begitu lugas dan percaya diri.“Assalamualaikum, selamat pagi, Ibu Juragan Viona. Kenalkan saya, Jono Winarti Ningsih,” ucapnya setelah berdiri di pintu sambil memberi senyuman manis padaku. Aku terkejut. Keningku mengkerut. Kutatapi tubuh gempalnya beberapa saat. Detik kemudian tawaku tersembur. Namun, cepat-cepat kubekap mulut dengan dua tangan, kesuli
Part 37Jarum Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 18.05. Suasana ruangan sudah terang benderang di penuhi cahaya lampu di setiap sudutnya. Di beberapa sisi, lampu dinding berwarna orange menghiasi, menambah pesona dekorasi ruang yang romantic.Kulangkahkan kaki meninggalkan ruang utama D-Vion dan duduk di sofa tunggu di dekat pintu masuk. Seperti biasa, ini adalah jadwal pulangku kembali ke rumah, setelah memastikan semua proses pelayanan masih terjaga seperti biasa. Memang sudah jadi kebiasaanku berpatroli ke semua sudut sebelum berangkat pulang. Walau sebenarnya aku percaya, Mas Feri selalu telaten mengawasi prosesnya.Beberapa tamu mulai berdatangan. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul 18. 05. Beberapa diantaranya sudah menempati ruang Vip dan ruang utama yang luas itu. Termasuk bagian out door minimalis yang berada di sayap kiri. Halaman yang di sulap menjadi park ganden. Aku mengamati kedatangan mereka dengan
Sosok lelaki berjas hitam itu mendekat dan menampakkan seringainya. Wajah seramnya membuat nyaliku ciut. Entah kenapa aku merasa tujuannya memasuki ruanganku dengan cara tak sopan ini, kuanggap sebagai itikad jahat yang ingin ia lakukan padaku. Aku takut, juga kaget luar biasa.Ia mendekatiku beberapa langkah. Aku beringsut mundur. Hingga tanpa sadar, ujung heels yang ‘kugunakan beradu dengan dinding yang ada di belakangku.“Mau apa kamu? Mengapa kamu bisa berada di sini?” tanyaku dengan napas yang mulai tersengal-sengal. Tatapanku awas mengamati geraknya. Ia menyeringai devil dengan tatapan yang tidak aku mengerti maknanya.“Ternyata,” ucapnya kemudian sambil menyisir ruanganku dengan netranya. “setelah kepergianku, hidupmu bergelimang kebahagiaan dan jauh lebih baik, Vona,” sambungnya tanpa mempedulikan pertanyaan dan wajah piasku.“Bagaimana bisa kamu masuk kesini, Mas?&r
“Jaga bicaramu, Divo! Viona tidak seperti yang kamu pikirkan.”Mas Feri kembali membentak Mas Divo di hadapanku. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Aku tak menyangka Mas Feri berani membelaku begini di hadapan mantan suamiku yang berubah seperti berandalan itu. Ia yang kukenal selama ini tak banyak bicara, ternyata bernyali juga membantah Mas Divo .Mas Divo mendengus kasar dengan tatapan mengintimidasi. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Rautnya terang-terangan mengisyaratkan ejekan. Ia menekurkan wajahnya ke lantai. Kemudian mengangkatnya kembali dan menatapi Mas Feri sambil menahan tawa. Kemudian, ia menatapku. Sebuah seringai kembali menggaris di sudut bibirnya yang telah ditumbuhi rambut-rambut halus. Ia mematung untuk beberapa saat lamanya.“Ternyata kau punya nyali juga membela seorang istri di depan mantannya? Kau masih punya dendam padaku, Fer?” ujarnya. “Maaf, aku terpaksa harus menyingkir
Aku terdiam untuk beberapa saat setelah kepergian Mas Feri. Kemudian melangkah ke kursi kerjaku dan menghenyakkan bobotku di sana. Ketengadahkan kepala di sandaran kursi dan menghirup udara pelan. Pikiranku larut dengan kejadian-kejadian beberapa menit lalu. Rasa sakit, perih yang dibalut amarah masih berkecamuk di hati. Aku benci lelaki itu. Benci!Sakit yang ia torehkan dua tahun lalu belum sempurna kusamarkan. Kini, ia datang dengan tak tahu malu, berbuat seolah-olah ia masih pantas untuk kuperhitungkan. Kanker servik? Hhh! Mungkin itu memang balasan yang setimpal untuk wanita jala** itu. Apakah ia sudah insyaf? Bagaimana rupanya saat ini?Mas Feri! Iya, aku ingat dia. Aku ingat bagaimana ia berusaha menyelamatkan dan membelaku di hadapan Mas DIvo. Tapi, mengapa ia tak membantah semua tudingan Mas Divo? Dan Kenapa ia seperti tak ingin jujur padaku? Padahal, walau aku sedikit kaget, tapi aku tidak membencinya karena itu. Karena s
“Aku dan mas Feri memasuki pelataran pameran dengan santai. Suasana sangat ramai, semua stan nyaris dipenuhi oleh banyak pengunjung. Mungkin karena masing-masing pelaku usaha menggratiskan beberapa inovasi makanan mereka kepada pengunjung yang beruntung. Demikian juga yang kulakukan untuk stan kulinerku. Stan-ku itu juga dipenuhi banyak pengunjung.Aku memasuki stan itu beriringan dengan Mas Feri. Ketika kami datang, beberapa karyawan yang bertugas menyapa dengan anggukan sopan. Aku balas tersenyum kepada mereka. Aku mencari tempat nyaman, dimana aku bisa mengawasi mereka dengan baik. Sementara Mas Feri langsung berbincang-bincang dengan salah satu karyawan.Hingga puluhan menit berlalu, aku masih saja terdiam di tempatku, sambil sesekali mengamati ponsel dalam genggaman. Hingga akhirnya aku bosan juga. Aku berniat untuk berkeliling ke stan tetangga.“Mas, aku mau cuci mata dulu,” ujarku pada Mas Feri yang
Beberapa saat menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza keluaran lama muncul dari gerbang masuk. Mas Danny melangkah beberapa langkah mendekat sambil melirik ke mobil itu. kaca mobil terbuka, seraut wajah melongok di sana. Kemudian mobil berhenti di hadapan kami. Laki-laki yang tadinya berada di balik kemudi menyerahkan kunci mobil pada Mas Danny. “Sekalian, gue isikan bahan bakar tadi. Ada apaan, sih? Masa’, malam pertama lu masih ada urusan emergency begini?” tanya lelaki itu. “Saudara bini gue masuk rumah sakit, Gem. Sedang darurat,” sahut Mas Danny. Lelaki itu menoleh padaku dan mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan senyum sungkan. “Okey! Hati-hati, ya? Mobil gue udah tua. Kebetulan yang stand by tinggal ini. Take care.” Habis berkata begitu lelaki itu berpamitan dan menaiki sebuah motor yang sudah menantinya di gerbang hotel. Mas Danny kemudian mengajakku naik ke mobil. Mobil pun melaju keluar dari pelataran. Belum beberapa menit
Semua telah usai, juga pestaku. Malam ini kami sekeluarga masih menginap di hotel ini, termasuk aku dan Mas Danny yang mendapat kamar khusus penganten. Aku yang masih dibingungkan dengan kejadian tadi siang masih terpana memikirkan semua yang terjadi. Sementara, Mas Danny masih sedang membereskan diri di kamar mandi yang ada di room penganten tempat kami menghabiskan malam ini.Mas Danny keluar sambil mengibaskan handuk berwarna putih bersih di rambutnya yang basah. Tubuh berototnya yang hanya tertutup sebatas pinggang membuat aku sedikit merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan. Tubuh tinggi itu benar-benar sempurna dan penuh pesona.“Hai! Ngapain bengong? Kaget melihat tubuh suami sendiri?” ujarnya mengejutkan lamunanku. Aku yang duduk di bibir ranjang ukuran king size itu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu. Wajahku memerah kurasa. Masih sempat kulihat senyum terkembang di wajah tampan itu.Detik berikutnya aku terkejut saat merasakan
Hari pernikahanku dengan Mas Danny, sekaligus resepsi pernikahan akhirnya datang juga. Semua persiapan sudah sangat rampung. Seluruh dekorasi dan segala pernak pernik pernikahan telah tertata dengan indah di ball room hotel yang cukup luas itu. Aku duduk anggun di kursi penganten yang diapit Mas Danny dan Mama yang tak henti tersenyum sumringah menatapi suasana pesta yang cukup elegan ini. Sementara aku juga ikut menatapi suasana pesta yang terkesan lumayan akbar itu dari tempat aku duduk.Menatapi suasana pesta dengan dekorasi interior bernuansa out door itu membuat rasa haruku bermunculan. Tatanan yang didominasi warna putih dipadu cream dan lumut itu sangat menyejukkan mata. Semua persiapan ini hanya inisiatif Mas Danny tanpa sepengetahuanku. Aku salut dengan nilai estetika yang dia miliki. Iringan Sound system ruangan yang menyentuh telinga dengan kekuatan yang nyaman untuk di dengar membuat aku kian terbuai. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi ratu di pesta in
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
“Ma!” ucapku tanpa menoleh pada Mama. “Mama kenal ‘kan sama Tante Widia Anggita? Putri tunggal Bapak Baskoro, teman SMA Mama dulu!” ucapku dengan nada dingin.Ada api benci yang tiba-tiba menjalar mengingat apa yang pernah Mama lakukan dulu, sehngga aku juga mendapatkan hal yang sama dalam hidupku ini. Namun, yang paling aku benci, aku tidak suka penjahat wanita itu ternyata mamaku. Aku benci mengingat rasa sakit yang Mama Mbak Venya rasakan dahulu. Aku benci mengingat kakakku yang baik itu sekian lama harus meredam rasa sakit karena orang yang kupanggil Mama ini.Tak ada jawaban yang bisa aku dengar dari mulut Mama. Hanya suara hening malam yang kian beranjak. Aku menoleh ke arah Mama, setelah beberapa detik jawaban yang kunanati tak kunjung ada. Kutatapi Mama yang terdiam dengan wajah terpekur ke lantai dengan wajah sendu. Aku ikut terpaku menatapnya.“Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa Mama sama Tante Wd
Usai menjaga Mbak Venya beberapa hari dan sempat juga menjaga bayinya di ruang rawat bayi, aku kembali ke rumah. Usaha yang telah hampir semnggu kutinggalkan tidak kuketahui lagi bagaimana perkembangannya. Kepulanganku ke kampung halaman yang sempat kuberitahukan pada Mama, ternyata juga diketahui oleh Mas Danny. Sesampai di rumah, aku sudah disambut dengan kehadirannya di ruang tamuku. Ia menatapku dengan wajah tenang. Seonggok undangan pernkahan telah tergeletak di atas meja tamuku. Aku menatapinya dengan keheranan .“Mas Danny?” tanyaku dengan langkah terhenti beberapa langkah dari pintu rumahku. Bayu yang langsung riang melihat kemunculan Mama di pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah, langsung saja melepaskan genggamanku. Ia memeluk Mama dengan hangat yang dibalas Mama dengan manis pula.“Sayang, cucu Oma. Oma kangen,” ucap Mama sambil memeluk Bayu. Kemudian membawa Bayu ke dalam, meninggalkan aku dan Mas Danny yang masih menatapku deng
“Vi, Mbak senang kamu masih di sini,” ucap Mbak Venya kala aku mendampinginya saat ia sudah berada di tempat yang baru. Ia mash terlihat lemah. Namun, beberapa selang sudah tidak terpasang di tubuhnya. Mas Dion duduk di sisi kanannya, sementara aku berada di sisi kiri. Ia tersenyum padaku kemudian pada Mas Dion.“Aku ingin Mbak cepat sembuh,” ujarku. Ia kembali tersenyum padaku. Mas Dion meraih jemarinya dan mengusap punggung tangan Mbak Venya.“Mengapa kamu selalu berusaha menyembunyikan semua dariku, Ve? Bukankah aku suamimu, aku berhak tahu tentang semuanya,” sela Mas Dion dengan tatapan penuh kasih. Mbak Venya kembali tersenyum.“Aku cuma tidak anak keberadaan anak kita terancam, Mas. Aku ingin bayi kita baik-baik saja,” sambungnya lagi. Mas Dion bangkit dari duduknya dan mengecup kening Mbak Venya hangat. Kemudian, kembali duduk di bangku yang ada di samping ranjang Mbak Venya. Mbak Venya memejamkan mata
Seorang lelaki berwajah tampan dan bertubuh tegap melangkah ke arahku dan Mas Dion. Lelaki yang ditemani wanita paruh baya itu berbelok dari persimpangan yang ada di belakangku. Ternyata ia melihatku ketika melangkah melintasi persimpangan itu. Karena ia berasal dari arah kiriku. Wajahnya terlihat menahan geram menatapku kemudian Mas Dion yang ada di sampingku. Sementara, wanita yang berjalan di sampingnya menatap dengan wajah tegang. Wanita itu bermata sembab dan berusaha menahan lengan lelak itu. Tanpa di duga, sebuah bogem mentah mendarat di pipi Mas Dion yang tetap menatapnya tenang.Aku terperanjat melihat hal itu. Demikian juga wanita yang ada di sebelahnya. Ia bahkan sempat berteriak ketika lelaki itu mendekat dan melayangkan sebuah pukulan di wajah Mas Dion. Seakan ingin menghentikan gerakan lelaki yang ada di sampingnya. Sementara, Bayu yang berada di sampingku juga tak luput dari keterkejutan. Ia terlihat ketakutan dan berbalik menyembunyikan wajah di tubuhku