Jenia membuka mata lalu mengerjap berkali-kali. Matanya terasa panas. Akibat demam yang menyerang. Dia merasa heran ketika mengingat seharusnya sedang pingsan di ruang depan, bukan di kamar.
"Kenapa aku bisa pindah ke kamar? Apa Thomas yang melakukannya?" Jenia hendak duduk, tetapi rasa nyeri di kepala langsung terasa.Jenia menghela napas sejenak. "Ini bukan pertama kalinya aku sakit. Aku pasti bisa mengurus diri sendiri."Jenia memaksakan diri untuk berjalan ke dapur. Tertatih-tatih langkahnya. Dia harus duduk di kursi untuk mengatur napas yang terasa berat.Jenia menahan semua keinginan untuk berbaring meringkuk di dalam selimut. Tidak ada alasan untuk mengasihani diri. Jenia harus makan dan minum obat.Hanya ada roti yang bisa langsung dimakan. Maka Jenia menyeduh teh agar bisa langsung mengisi perutnya. Sebutir pereda demam dan sakit kepala, pun ditelan setelah perut rampingnya terisi.Jenia merasa tenaganya terkuras banyak. Dia kembali tertatih-tatih menuju sofa. Ada ingatan menyedihkan yang mampir ketika melihat sofa itu.Langkahnya berbalik, menuju kamar saja. Entah kenapa, Jenia merasa tersakiti dengan perlakuan buruk Thomas semalam.Jenia menyembunyikan diri di bawah selimut. Sampai akhirnya tertidur kembali karena pengaruh obat.Tanpa sepengetahuannya, Thomas dan keluarga sudah memutuskan sesuatu. Jenia memang tidak pernah dilibatkan dalam acara apa pun di kediaman Thomas. Bahkan nyatanya tidak dianggap.Ketika Jenia terbangun, Thomas masih belum kembali. Namun, Jenia tak pernah diperbolehkan untuk bertanya mengenai jam kerja, sedang apa dan di mana. Thomas tak menyukainya."Sepertinya tubuhku sudah jauh lebih baik. Aku harus segera membersihkan rumah. Jangan sampai dia pulang dan melihat semua masih berantakan."Jenia segera mengikat tinggi rambutnya.Dia berubah seperti sosok yang tidak pingsan di lantai. Betapa cekatannya Jenia merapikan semuanya. Aroma sup kaldu ayam yang menguar harum pun sudah siap untuk dihidangkan.Sayangnya, dia harus makan sendiri lagi. Karena sampai jam makan malam terlewati, masih belum ada tanda-tanda kepulangan Thomas.Namun, begitu selesai merapikan meja makan, Thomas masuk. "Papa meninggal.""Kapan?" Jenia sama sekali tidak diberi tahu tentang kondisi kesehatan papa mertuanya itu."Tadi, saat kau pingsan. Aku harus bergegas pergi mengurusinya." Datar saja nada bicara Thomas. Seperti Jenia tidak penting baginya.Jenia memejamkan mata. Ada rasa sakit yang mungkin sudah terlalu familiar di hatinya. Namun, papa mertua tetaplah orang tua yang harus dihormati. Dan dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memberikan penghormatan terakhir?"Ke-kenapa tidak membawaku ke sana?" Susah payah bibir Jenia mengucapkan kalimat protes itu.Tatapan Thomas berubah sengit. "Untuk apa membawamu ke sana? Semua orang akan mempermalukan aku di sana." Laki-laki itu menunjuk-nunjuk. "Apa kau lupa berkaca? Lihatlah penampilanmu! Kurus, kumal dan bau."Thomas bergidik jijik sembari memindai penampilan istrinya dari ujung rambut hingga kaki. "Begitu bodohnya aku terpesona pada penampilanmu yang pintar menipu. Jalang!""Kalau begitu, lepaskan saja aku." Jenia menantangnya.Seperti kesurupan, Thomas menghadiahkan tamparan keras berkali-kali ke pipi tirus Jenia. "Kau pikir kau siapa, hah? Putri Kerajaan? Kau ini hanyalah pelayanku! Kau tidak akan aku buang, sebelum aku menemukan mainan baru."Jenia terduduk di lantai. Tubuh dan hatinya sudah terlanjur sering disakiti. Hanya kematian saja yang belum mendatanginya. Walau terkadang dia ingin sekali menjemputnya agar datang lebih awal."Kau tidak akan aku lepaskan semudah itu. Kau dengar aku? Aku akan menjadi mimpi dan kenyataan paling buruk untukmu!" Thomas berkacak pinggang.Jenia hanya bisa menangis tergugu. Setiap perbuatan dan ucapan sang suami, serupa sayatan belati. Membuatnya sakit tak berperi."Sekarang, bereskan semua pakaian milikku. Kita akan pindah ke rumah Mama. Harus ada laki-laki pengganti sosok papa di sana."Jenia semakin menangis membayangkan bagaimana hidupnya jika tinggal satu atap dengan ibu mertua dan adik iparnya. Kedua wanita lintas usia itu kompak menaruh benci yang begitu besar pada Jenia.Jenia tak bisa mengatakan tetap ingin tinggal terpisah. Rumah ini walau tidak menjanjikan keamanan karena sikap kasar Thomas, tetapi masih jauh lebih baik ketimbang tinggal bersama keluarga sang suami.Di rumah ini, Jenia bisa melakukan hobinya. Bercocok tanam di tanah belakang yang tersisa. Entah menanam bunga atau tanaman obat. Dia juga bisa memasak menu tanpa beban. Karena Thomas jarang mau makan bersamanya.Kaki Thomas melayang ke arah paha Jenia. "Jangan melamun, Bodoh! Kau lambat seperti siput! Pergi berberes, sekarang!"Susah payah Jenia berusaha untuk bangkit dari duduknya. Agak terseok-seok langkahnya menuju kamar. Dan dia bingung hendak memulai dari mana."Astaga! Kau masih saja belum melakukan apa-apa? Bawa barang seperlunya. Sisanya bisa menyusul." Thomas memberi perintah.Jenia pun bergegas memindahkan setelan kantor yang biasa dikenakan Thomas. Lengkap dengan segala keperluan pribadi sang suami. Usai melakukannya, barulah Jenia mengepak barang ala kadar yang dimilikinya.Hanya satu tas ukuran sedang. Sementara milik Thomas, dua koper besar. Ketika suaminya kembali ke kamar, hanya tatapan datar yang diberikan atas upaya Jenia itu."Karena rumah ini akan kosong untuk sementara, kau tetap harus datang mengurusi semuanya. Setelah urusanmu di rumah Mama selesai. Kau paham?" Thomas berkata ketus.'Astaga, aku jadi pembantu di dua rumah?' Jenia bergidik ngeri."Kenapa wajahmu tampak tak senang begitu?!" Thomas menghardik.Jenia menelan ludah. "Kau tau aku tak punya uang pegangan. Bagaimana bisa aku berpindah ke dua tempat tanpa uang ongkos?"Thomas mendengkus keras. "Kau memang sangat menyusahkan! Nanti aku beri kau uang tambahan."Melihat Jenia menganggukkan kepala, Thomas menggeleng cepat. "Giliran tentang uang, cepat sekali otakmu mencerna. Selebihnya, kau tak pernah bisa diharapkan!"Usai berkata sangat ketus, laki-laki itu beranjak pergi. Baru saja mencapai bingkai pintu, Thomas berbalik. "Kau menyiapkan makanan apa untukku?"Jenia gelagapan. "Emh, itu ... maaf, aku tak masak apa pun hari ini."Thomas langsung berkacak pinggang. "Jenia! Bisakah sehari saja kau tak membuatku kesal? Kau benar-benar keledai!"Mata Jenia berkaca-kaca. Lagi-lagi hanya bisa ditelannya semua penghinaan itu. Hukuman yang diterima selama ini, tenyata masih belum cukup untuk menebus semua kesalahannya di awal pernikahan mereka."Air mata palsu! Jangan tunjukkan muka memelas dan sok sedih di hadapanku! Aku jijik melihatnya. Kau tampak semakin jelek." Thomas bergidik jijik.Jenia cepat-cepat mengusap air mata yang tak bisa lagi dibendung. Bukan hanya satu kali, sepertinya dia sudah terlalu sering berandai-andai. Jika mengetahui sikap Thomas akan berbalik 360 derajat seperti ini, tak akan sudi diterimanya ajakan untuk menikah."Aku lapar! Bawa keluar semua barang bawaan itu. Sekarang juga kita ke rumah Mama. Di sana pasti sudah ada makanan yang enak. Tidak seperti masakanmu!" Lagi-lagi Thomas menggoreskan luka di hati Jenia."I-iya. Tunggu sebentar." Jenia ingin menarik kedua koper itu secara bersamaan, tetapi tenaganya tidak cukup kuat.Tubuh Jenia belum pulih sepenuhnya. Dia hanya memaksakan diri saja agar tak tampak lemah dan menyusahkan. Seperti makian yang setiap hati kenyang ditelannya dari sang suami.Thomas malah tidak peduli berapa kali Jenia mondar-mandir membawakan barang. Laki-laki itu malah asyik tertawa di ponsel dalam kondisi mobil yang sudah menyala."Iya. Aku pulang ke rumah Mama. Selamat malam. Mimpi indah, ya." Thomas berucap begitu santai, tak peduli Jenia sudah duduk di sebelahnya.Jenia yang sudah enggan mendengar caci maki dan hinaan itu, tak ingin peduli siapa yang dihubungi Thomas. Jenia malah dengan sengaja memejamkan mata.Thomas mengernyit. 'Kenapa dia sama sekali tidak cemburu?'Melihat angkuhnya sosok berstatus Ibu mertua itu, Jenia berkali-kali meneguk ludah. Kesan tak ramah yang selama ini selalu muncul, sekarang semakin tampak saja.Wanita paruh baya yang sudah dihinggapi dengan kerut-kerutan halus di wajah itu, hanya menatap masam. "Kenapa lama sekali?"Thomas mendengkus keras. "Mama jangan menambah buruk moodku. Semua gara-gara siput tak berguna di belakangku."Jenia menggigit bibirnya. Padahal sejak turun dari mobil tadi, Thomas hanya melenggang santai. Semua barang bawaan Jenia lah yang membawanya sampai ke hadapan sang mertua. "Bawa masuk ke kamar putraku. Astaga, bisakah aku meletakkan kau di kamar pembantu saja?" Daisy tampak sangat kesal. "Terserah Mama saja. Aku lapar." Thomas masuk begitu saja, mengabaikan Jenia yang masih direpotkan dengan koper-koper itu.Tidak ada satu pun yang berniat untuk membantu Jenia. Lagipula Jenia sudah mengetahui di mana letak kamar Thomas, di lantai dua. Jadi semuanya seperti membiarkan saja kegiatan itu. Jenia n
Otak Jenia dipaksa untuk berpikir keras. Baginya ini semua seperti halusinasi yang sudah lama tidak muncul. Hanya saja, rasanya seperti tak tahu diri jika masih menganggap sosok laki-laki itu nyata."Berhentilah bersikap bodoh!" Thomas menghardik, pelan, tetapi berdesis di telinga Jenia."Ini suamiku. Jamael Morgan." Freya menoleh ke arah laki-laki bermata kehijauan itu. Tentu saja Jenia tidak tahu-menahu tentang pernikahan Freya. Karena Thomas dan Daisy melarang keras Jenia untuk datang ke acara pesta. Jenia mengerjap, lagi. 'Ternyata ini bukan halusinasi. Dia ... nyata dan masih hidup.'Luka dalam yang ditinggalkan oleh sosok tinggi tegap dengan tatapan hangat meneduhkan hati itu, kembali berdenyut. Jenia terpaksa menundukkan pandangan."Dasar perempuan aneh! Ayo, Jamie. Kita masuk. Aku rindu masakan Mama." Freya menggandeng lengan Jamael.Tawa ceria yang terdengar dari bibir seksi Freya, semakin menambah luka hati Jenia. Bagaimana bisa sang mantan pacar, pemilik cinta pertama, se
Cuaca di kota Chesnut cukup baik pagi ini. Sayangnya, tubuh Jenia terasa remuk. Semalam, Thomas tega membiarkannya tidur di lantai yang dingin. Hanya berlapis selembar selimut tipis, milik Jenia sendiri.Tak hanya itu, entah jam berapa akhirnya Jenia bisa memejamkan mata. Karena tak mudah baginya untuk membuang rasa yang bercampur aduk. Mengingat ada Jamael di lantai bawah. Jenia benci melihat sikap sok tenang yang ditampilkan mantan kekasihnya itu. Jenia benci melihat bagaimana mesranya Freya menggelayut manja di lengan kokoh yang pernah menawarkan kedamaian padanya. Entah berapa lama dan banyak Jenia membatin sambil menatap hampa ke langit-langit kamar. Bukan hanya itu, Jenia pun melengkapinya dengan ratapan tanpa suara. Hanya air mata yang berlinang sampai akhirnya dia kelelahan.Sekarang, Jenia terbangun dengan wajah yang mengerikan. Mata panda itu berpadu dengan cekungan yang tampak makin dalam. Belum lagi tulang pipi yang menonjol.Jenia bergegas bangun lalu melipat selimut. T
Tubuh Jenia yang ringkih itu sudah banjir peluh. Seisi rumah yang biasa ditempati bersama Thomas, sudah dibersihkan. Jenia masih sibuk mengatur napas yang terasa ngos-ngosan sambil duduk di depan televisi. Benda yang cukup jarang ditonton di waktu pagi hingga petang. Jenia duduk di kursi makan. Semilir angin berhembus masuk dari jendela kaca yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Bahan makanan yang masih tersisa di kulkas, bisa diolah agar Jenia bisa makan. Tanpa harus pulang ke kediaman mertuanya dengan perut lapar. Apalagi Thomas hanya memberikan uang sekadar untuk ongkos saja. Jenia menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali diembuskannya agar merasa lebih lega. Nyatanya, tidak. Ganjalan di dalam hatinya tetap saja enggan beranjak."Kenapa takdir hidup selucu ini? Aku harus bertemu dengan mantan pacar yang berengsek itu dengan status ipar." Jenia menatap kesal pada satu titik objek di depan matanya. Terlebih lagi melihat sikap sok polos yang ditampilkan Jamael. Jenia benci. Ingin
Plakkk!Satu tamparan mendarat telak lagi di pipi Jamael. Jari telunjuk Jenia mengacung seiring dengan tatapan marah. "Kau! Benar-benar tidak tahu malu. Kenapa kau melakukan hal seperti tadi, hah? Kau sengaja ingin menempatkan aku seperti perempuan murahan?"Jamael tersenyum, menahan rasa sedih yang menjalar di dada. Padahal tadi ia sudah merasa jemawa. Merasa sudah bisa menggapai kembali hati satu-satunya perempuan yang sangat dicintainya itu."Sampai kapan pun, jangan berakting kalau kita pernah saling kenal! Jangan menambah berat masalah dalam hidupku. Bagiku, kau sudah lama mati, Tuan Jamael Morgan!" Jenia menatap penuh benci dan marah sebelum pergi dari ruang keluarga itu.Air matanya luruh tanpa bisa dicegah. Dia merasa sudah mengkhianati pernikahan bersama Thomas. Walau selama ini, dia sendiri tidak bisa memastikan apakah Thomas setia. Namun, bagi Jenia, pernikahan mereka tetaplah hal yang paling sakral di dunia.'Ampuni aku, Tuhan. Aku malah seperti terkena hipnotis. Bodohnya
"Kenapa kau?" Thomas menatap heran pada wajah pucat Jenia.Jenia tak mampu berkata apa pun. Detak jantungnya menggila. Takut kalau Thomas mendengar semua kalimat ketusnya untuk Jamael."Apa kau sudah selesai membersihkan kamar Freya?" Tatapan Thomas malah semakin tidak bersahabat."I-iya, sudah." Telapak tangan Jenia semakin lembab."Bagus. Aku tak suka mendengarnya menggerutu tentang lambannya kau. Pergilah. Kau bau!" Thomas mengusir Jenia.Dengan segera Jenia berlalu. Tak bisa dipungkiri bahwa di balik sikap takutnya, ada rasa lega luar biasa. Karena Thomas tidak tahu ada hubungan apa di antara dirinya dengan Jamael.Sayangnya, Jamael mendengar ucapan ketus yang dilontarkan Thomas untuk Jenia. Lelaki itu memejamkan mata, merasa bersalah karena ada andilnya dalam kemalangan yang menimpa sang mantan pacar.'Maafkan aku, Jenia. Si pengecut ini memang sangat buruk. Dengan apa aku bisa menebus semua dosa di masa lalu?' Jamael menghela napas berat.Sudah ada ikatan yang sakral di antara m
Jenia mengumpati sikap ingin tahu yang berlebihan di kepalanya. Karena ketika Jamael melirik ke arahnya, lengkap dengan senyum simpul khas itu, Freya malah mendengkus keras. Lalu mengusir Jenia begitu saja.Sudah berkali-kali Jenia berusaha mengalihkan isi kepalanya, tetap saja rasa ingin tahu itu mendominasi. Padahal ada hal yang seharusnya lebih menjadi bahan pemikiran, karena semalaman Thomas tidak kembali ke rumah. "Nona, kenapa?" Emma mengernyitkan dahi.Jenia seperti tertangkap basah. "Hah? Ti-tidak ada apa-apa, Bibi." Dipamerkannya senyum yang malah mirip seperti seringai itu.Bukannya Emma tidak memperhatikan sikap aneh dari Jenia. Hanya saja, jika Jenia tidak bercerita, tentu tak pantas untuk Emma mendesaknya.Emma mungkin hanyalah koki, tetapi semua aktivitas dalam kediaman keluarga Evra, tak luput dari pengamatannya. Termasuk kekejaman yang dialami Jenia. Emma mendekat. Lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada penguping di ruang dapur itu. "Jika terlalu sakit, belaja
Jenia tampak lebih pucat. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat pelampiasan nafsu dari sang suami. Tentu dia tidak bisa mengadukan nasibnya ke siapa pun juga.Bibi Emma tidak enak badan. Karena itulah Jenia yang berkutat di dapur. Walau ada beberapa asisten rumah tangga lain, Daisy tak mengizinkan ada yang meringankan beban pekerjaan Jenia di dapur.Jenia tampak kelelahan karena sejak jam lima pagi sudah harus berkutat pada menu makanan. Dengan semua keinginan yang berbeda pula. Roti dan sosis panggang untuk Thomas. Sup kaldu asparagus lengkap dengan daging matang sempurna untuk Freya. Ayam mentega rendah lemak beserta rolade untuk Daisy. Tanpa sadar, Jenia membuat pie ayam untuk Jamael. Menu yang dahulu selalu dibuatkannya untuk sang mantan. Tepat ketika semua menu sudah terhidang rapi di atas meja, Jamael masuk ke dapur. Laki-laki itu memang tipe manusia pagi. Ia bahkan sudah selesai melakukan olahraga lari keliling perumahan."Selamat pagi, Pumpkins Juice. Di mana Bibi Emma?" tan
Ketika membuka mata, Jenia merasa asing dengan objek pandangannya. Saat mencoba beringsut, rasa nyeri menyerang sampai Jenia meringis menahan sakit."Pumpkins Juice, kau sudah sadar?" Jamael yang tadinya berkutat dengan ponsel, langsung berlari menghampiri."Jamael? Kenapa kau ada di sini?"Jamael langsung duduk di sebelah ranjang pasien itu. "Kau pingsan. Jadi aku membawamu ke rumah sakit. Tolong katakan padaku, kenapa kau sampai pingsan, hm?"Ingin sekali Jamael mengelus lembut rambut Jenia. Seperti yang dahulu selalu dilakukannya setiap ada kesempatan berduaan. Betapa cintanya belum pernah meredup untuk perempuan pemilik hatinya ini. "Tidak ada. Aku hanya ... agak ceroboh." Jenia membuang muka, memilih untuk menatap jarum infus di tangan ketimbang wajah Jamael. Jenia tahu kalau Thomas tidak akan suka ada pengaduan tentang sikap monsternya itu. Karena tak ingin menambah panjang masalah, Jenia memilih untuk menutupinya. Walau Jamael mendesaknya. "Katakan, apa kau bahagia?" Jamael
Sedang sibuk berkubang dalam penyesalan tak berkesudahan, Thomas masuk ke kamar dan melihat Jenia duduk melamun di depan jendela kaca.Pasangan normal akan menghampiri lalu memeluk dari belakang, sambil melabuhkan kecupan manis di kepala. Namun, Thomas malah melempar tasnya ke lantai. Sehingga menimbulkan suara berisik yang tentu saja mengagetkan Jenia."Tom, kau sudah pulang." Jenia langsung sibuk memungut tas kerja sang suami. Thomas berdecih lalu mendekati Jenia. Tanpa belas kasihan, dicengkeramnya dagu sang istri. "Dengar, Keledai! Aku tak akan kembali ke rumah lama. Di sana aku selalu ingat semua upaya membangun rumah tangga, kau balas dengan hinaan telak."Jenia meringis. Bukan hanya karena menahan rasa sakit, tetapi aroma alkohol yang cukup menyengat keluar dari bibir Thomas. "Kau ini hanyalah alat balas dendam, Keledai! Jadi jalani saja semua kebusukan yang kau tuai." Thomas menghempaskan tubuh Jenia sampai terduduk di lantai.Tanpa peduli dengan ringisan Jenia, Thomas langs
Jenia menyeka keringat yang membanjir. Terhitung tiga hari dia tidak mengunjungi rumah lama. Jadi Jenia harus memastikan semua perkakas rumah bebas dari debu.Jenia khawatir tiba-tiba Thomas berkunjung dan memeriksa kondisi rumah. Suaminya itu tak segan untuk mencolek perabotan. Memastikan tidak ada debu yang tertinggal. Jenia membuka kulkas. Masih ada sisa apel, sosis dan telur. "Setidaknya aku masih bisa makan."Dia memang bersikeras menolak keinginan gila Jamael. Untung saja Jamael masih bisa diancam dengan kenekatan Jenia yang akan melompat keluar dari mobil, jika dipaksa mengikuti keinginan sang mantan.Walau jadinya Jamael mengetahui di mana tempat tinggal Jenia bersama Thomas, sebelum diminta untuk pindah. Jamael memang tidak mengatakan apa pun, karena Jenia langsung turun tanpa basa-basi.Setelah makan, Jenia menyeduh secangkir teh chamomile. Masih ada sisa beberapa kantung teh lagi. Jenia masih bisa tersenyum mengingat semua kenangannya di rumah ini.Walau Thomas sering memp
Jenia tampak lebih pucat. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat pelampiasan nafsu dari sang suami. Tentu dia tidak bisa mengadukan nasibnya ke siapa pun juga.Bibi Emma tidak enak badan. Karena itulah Jenia yang berkutat di dapur. Walau ada beberapa asisten rumah tangga lain, Daisy tak mengizinkan ada yang meringankan beban pekerjaan Jenia di dapur.Jenia tampak kelelahan karena sejak jam lima pagi sudah harus berkutat pada menu makanan. Dengan semua keinginan yang berbeda pula. Roti dan sosis panggang untuk Thomas. Sup kaldu asparagus lengkap dengan daging matang sempurna untuk Freya. Ayam mentega rendah lemak beserta rolade untuk Daisy. Tanpa sadar, Jenia membuat pie ayam untuk Jamael. Menu yang dahulu selalu dibuatkannya untuk sang mantan. Tepat ketika semua menu sudah terhidang rapi di atas meja, Jamael masuk ke dapur. Laki-laki itu memang tipe manusia pagi. Ia bahkan sudah selesai melakukan olahraga lari keliling perumahan."Selamat pagi, Pumpkins Juice. Di mana Bibi Emma?" tan
Jenia mengumpati sikap ingin tahu yang berlebihan di kepalanya. Karena ketika Jamael melirik ke arahnya, lengkap dengan senyum simpul khas itu, Freya malah mendengkus keras. Lalu mengusir Jenia begitu saja.Sudah berkali-kali Jenia berusaha mengalihkan isi kepalanya, tetap saja rasa ingin tahu itu mendominasi. Padahal ada hal yang seharusnya lebih menjadi bahan pemikiran, karena semalaman Thomas tidak kembali ke rumah. "Nona, kenapa?" Emma mengernyitkan dahi.Jenia seperti tertangkap basah. "Hah? Ti-tidak ada apa-apa, Bibi." Dipamerkannya senyum yang malah mirip seperti seringai itu.Bukannya Emma tidak memperhatikan sikap aneh dari Jenia. Hanya saja, jika Jenia tidak bercerita, tentu tak pantas untuk Emma mendesaknya.Emma mungkin hanyalah koki, tetapi semua aktivitas dalam kediaman keluarga Evra, tak luput dari pengamatannya. Termasuk kekejaman yang dialami Jenia. Emma mendekat. Lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada penguping di ruang dapur itu. "Jika terlalu sakit, belaja
"Kenapa kau?" Thomas menatap heran pada wajah pucat Jenia.Jenia tak mampu berkata apa pun. Detak jantungnya menggila. Takut kalau Thomas mendengar semua kalimat ketusnya untuk Jamael."Apa kau sudah selesai membersihkan kamar Freya?" Tatapan Thomas malah semakin tidak bersahabat."I-iya, sudah." Telapak tangan Jenia semakin lembab."Bagus. Aku tak suka mendengarnya menggerutu tentang lambannya kau. Pergilah. Kau bau!" Thomas mengusir Jenia.Dengan segera Jenia berlalu. Tak bisa dipungkiri bahwa di balik sikap takutnya, ada rasa lega luar biasa. Karena Thomas tidak tahu ada hubungan apa di antara dirinya dengan Jamael.Sayangnya, Jamael mendengar ucapan ketus yang dilontarkan Thomas untuk Jenia. Lelaki itu memejamkan mata, merasa bersalah karena ada andilnya dalam kemalangan yang menimpa sang mantan pacar.'Maafkan aku, Jenia. Si pengecut ini memang sangat buruk. Dengan apa aku bisa menebus semua dosa di masa lalu?' Jamael menghela napas berat.Sudah ada ikatan yang sakral di antara m
Plakkk!Satu tamparan mendarat telak lagi di pipi Jamael. Jari telunjuk Jenia mengacung seiring dengan tatapan marah. "Kau! Benar-benar tidak tahu malu. Kenapa kau melakukan hal seperti tadi, hah? Kau sengaja ingin menempatkan aku seperti perempuan murahan?"Jamael tersenyum, menahan rasa sedih yang menjalar di dada. Padahal tadi ia sudah merasa jemawa. Merasa sudah bisa menggapai kembali hati satu-satunya perempuan yang sangat dicintainya itu."Sampai kapan pun, jangan berakting kalau kita pernah saling kenal! Jangan menambah berat masalah dalam hidupku. Bagiku, kau sudah lama mati, Tuan Jamael Morgan!" Jenia menatap penuh benci dan marah sebelum pergi dari ruang keluarga itu.Air matanya luruh tanpa bisa dicegah. Dia merasa sudah mengkhianati pernikahan bersama Thomas. Walau selama ini, dia sendiri tidak bisa memastikan apakah Thomas setia. Namun, bagi Jenia, pernikahan mereka tetaplah hal yang paling sakral di dunia.'Ampuni aku, Tuhan. Aku malah seperti terkena hipnotis. Bodohnya
Tubuh Jenia yang ringkih itu sudah banjir peluh. Seisi rumah yang biasa ditempati bersama Thomas, sudah dibersihkan. Jenia masih sibuk mengatur napas yang terasa ngos-ngosan sambil duduk di depan televisi. Benda yang cukup jarang ditonton di waktu pagi hingga petang. Jenia duduk di kursi makan. Semilir angin berhembus masuk dari jendela kaca yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Bahan makanan yang masih tersisa di kulkas, bisa diolah agar Jenia bisa makan. Tanpa harus pulang ke kediaman mertuanya dengan perut lapar. Apalagi Thomas hanya memberikan uang sekadar untuk ongkos saja. Jenia menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali diembuskannya agar merasa lebih lega. Nyatanya, tidak. Ganjalan di dalam hatinya tetap saja enggan beranjak."Kenapa takdir hidup selucu ini? Aku harus bertemu dengan mantan pacar yang berengsek itu dengan status ipar." Jenia menatap kesal pada satu titik objek di depan matanya. Terlebih lagi melihat sikap sok polos yang ditampilkan Jamael. Jenia benci. Ingin
Cuaca di kota Chesnut cukup baik pagi ini. Sayangnya, tubuh Jenia terasa remuk. Semalam, Thomas tega membiarkannya tidur di lantai yang dingin. Hanya berlapis selembar selimut tipis, milik Jenia sendiri.Tak hanya itu, entah jam berapa akhirnya Jenia bisa memejamkan mata. Karena tak mudah baginya untuk membuang rasa yang bercampur aduk. Mengingat ada Jamael di lantai bawah. Jenia benci melihat sikap sok tenang yang ditampilkan mantan kekasihnya itu. Jenia benci melihat bagaimana mesranya Freya menggelayut manja di lengan kokoh yang pernah menawarkan kedamaian padanya. Entah berapa lama dan banyak Jenia membatin sambil menatap hampa ke langit-langit kamar. Bukan hanya itu, Jenia pun melengkapinya dengan ratapan tanpa suara. Hanya air mata yang berlinang sampai akhirnya dia kelelahan.Sekarang, Jenia terbangun dengan wajah yang mengerikan. Mata panda itu berpadu dengan cekungan yang tampak makin dalam. Belum lagi tulang pipi yang menonjol.Jenia bergegas bangun lalu melipat selimut. T