Otak Jenia dipaksa untuk berpikir keras. Baginya ini semua seperti halusinasi yang sudah lama tidak muncul. Hanya saja, rasanya seperti tak tahu diri jika masih menganggap sosok laki-laki itu nyata.
"Berhentilah bersikap bodoh!" Thomas menghardik, pelan, tetapi berdesis di telinga Jenia."Ini suamiku. Jamael Morgan." Freya menoleh ke arah laki-laki bermata kehijauan itu.Tentu saja Jenia tidak tahu-menahu tentang pernikahan Freya. Karena Thomas dan Daisy melarang keras Jenia untuk datang ke acara pesta.Jenia mengerjap, lagi. 'Ternyata ini bukan halusinasi. Dia ... nyata dan masih hidup.'Luka dalam yang ditinggalkan oleh sosok tinggi tegap dengan tatapan hangat meneduhkan hati itu, kembali berdenyut. Jenia terpaksa menundukkan pandangan."Dasar perempuan aneh! Ayo, Jamie. Kita masuk. Aku rindu masakan Mama." Freya menggandeng lengan Jamael.Tawa ceria yang terdengar dari bibir seksi Freya, semakin menambah luka hati Jenia. Bagaimana bisa sang mantan pacar, pemilik cinta pertama, sekaligus laki-laki yang menghabiskan malam panjang bersama Jenia itu, muncul kembali sebagai adik ipar?"Kapan kau berhenti membuatku malu, Keledai? Astaga! Berdekatan denganmu selalu saja bisa membuat tekanan darahku naik ke otak. Bisa-bisanya kau membuatku selalu ingin melenyapkan nyawa seseorang!" Thomas kembali memuntahkan kalimat kasar.Jenia mendadak seperti tuli. Wajah tampan dengan rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu membayang penuh di pelupuk mata. Laki-laki yang menjadi alasan semua kemalangan bagi Jenia.Jamael Morgan yang mencicipi manisnya rasa perawan Jenia. Namun, pergi setelah hubungan mereka hendak melangkah ke jenjang yang lebih serius.Jamael tak kunjung datang ketika mereka sudah berjanji untuk memulai hidup baru berdua saja. Jenia menunggu di bawah hujan deras, dengan harapan yang semakin patah.Ketika Jenia mencoba mendatangi kediaman Morgan, kenyataannya rumah itu sudah kosong. Hanya ada Tuan Morgan yang angkuh dan kasar. Jenia diusir paksa dan dihina seperti tak punya harga diri.Malam itu, Jenia membawa hatinya yang hancur lebur. Tubuhnya menggigil di bawah derasnya hujan. Sampai akhirnya dia tiba di flat lalu pingsan semalaman.Thomas meninggalkan Jenia yang masih belum berdamai dengan luka masa lalunya. Perempuan malang itu masih sibuk memunguti kepingan hati yang kembali berserakan ketika melihat pelaku penghancur hidupnya. Jamael muncul begitu saja, tanpa perlu dicari-cari seperti yang pernah Jenia lakukan dahulu.Jenia mengangkat wajah yang memunculkan senyuman sinis. 'Setelah semua kehancuran yang aku tanggung, dia seenaknya datang dengan wajah tanpa dosa?'Jenia ingin berteriak sekencang-kencangnya lalu mengeluarkan semua kalimat makian untuk mengutarakan isi kepala. Semua hinaan yang diterimanya setiap hari, berasal dari Jamael. Mantan pacar yang menjadikannya seperti sampah busuk tak berharga. Bahkan tak layak untuk didaur ulang.Setiap kali Thomas datang untuk meminta hak, selalu saja diwarnai dengan hinaan. Sampai terkadang Jenia berpikir pelacur pun jauh lebih berharga daripada dirinya. Setidaknya, pelacur diberi uang dan punya kebebasan atas diri.Sedangkan Jenia? Terkurung dalam sangkar besi lengkap dengan rantai yang membelenggu leher, tangan juga kaki.Jenia masih terus berdiri menatap ke arah lorong sepi itu. Dia tak tahu harus melangkah ke mana. Thomas meninggalkannya sendiri, seperti biasa.Jenia lelah. Dia memilih untuk menepi. Baru saja kakinya hendak menaiki anak tangga, suara jeritan keras terdengar."Berhenti!" Freya muncul dengan wajah merah dan tatapan tegas. "Kenapa kau tidak menyusul ke dapur? Banyak yang harus kau bereskan di sana."Jenia menghela napas panjang. "Ya. Aku akan bereskan semuanya."Freya berkacak pinggang. "Jangan lupa bersihkan kamarku! Tapi jangan berani-berani kau mencuri sesuatu di dalamnya!"'Aku akan merebut suamimu!' Jenia mengumpat spontan dalam hati. Karena kesal luar biasa dengan sikap *bossy* yang dilakukan adik iparnya itu.Sejak menikah dengan Thomas, Freya beberapa kali ikut datang ke rumah dengan segudang sikap menyebalkan. Yang paling memuakkan ialah bersikap seenaknya memerintah dan mengadu domba.Belum lagi dengan segala rengekan manja Freya meminta uang dalam jumlah besar. Hanya karena untuk membiayai kebutuhan jiwa hedon si kesayangan seisi rumah itu.Jenia hanya bisa menelan ludah, merasa tersisih atas apa yang diberikan untuk Freya. Jenia seharusnya pun mendapat bagian karena berstatus sebagai istri Thomas.Ketika Jenia berjalan menuju dapur, langkahnya terhenti. Jamael ada di depan matanya. Laki-laki itu menatap sendu, binar kerinduan kentara terbaca oleh Jenia. Persis seperti dahulu, ketika mereka masih saling mencintai."*Pumpkins Juice*," bisik Jamael.Jenia memejamkan mata. Itu adalah panggilan kesayangan dari Jamael untuknya. Perih kembali terasa nyata. Rasanya Jenia seperti sedang disayat oleh panggilan sarat kerinduan itu.Namun, bentakan dan hinaan dari Thomas, mengembalikan kesadaran Jenia. Dibukanya mata lalu menatap sinis ke arah Jamael, si pengecut itu. "Maaf, aku tak punya waktu untuk berbasa-basi dengan pecundang!"Jamael kehilangan kemampuan untuk menjawab sindiran pedas itu. Pecundang? Benar. Ia memang seburuk itu di masa lalu. Namun, tak bisakah Jenia memberinya kesempatan untuk menjelaskan?Jenia sudah berlalu. Meninggalkan Jamael yang berdiri dengan hati hampa. Sehampa yang dirasakannya sejak kehilangan satu-satunya cinta paling indah dalam hidup."Sayang, kenapa kau malah diam di situ?" Freya menyusul dengan wajah ditekuk manja. "Ayo, belikan aku gaun malam yang bagus."Jamael menghela napas. "Bisakah pergi sendiri saja? Aku capek."Freya mendengkus keras. "Kenapa akhir-akhir ini kau selalu enggan menemaniku belanja?"Jamael terpaksa tersenyum. "Kau tau kalau pekerjaan di kantor cukup melelahkan dan menyita waktu, Freya.""Ya, ya, terserah kau sajalah, Tuan Penggila Kerja. Yang penting dompetku selalu terisi penuh dengan uangmu." Freya tertawa lepas. "Mana jatah belanjaku minggu ini?"Tanpa berbasa-basi, Jamael mengeluarkan seluruh lembaran uang dalam dompetnya. "Pergilah bersenang-senang."Freya melingkarkan tangannya ke pinggang Jamael. "Terima kasih, Sayang. Kau yang terbaik." Diciuminya Jamael dengan penuh semangat.Semua itu tidak luput dari pengamatan mata Jenia yang hendak mengambil sesuatu dari lemari penyimpanan barang kebersihan. Namun, urung dilakukan karena melihat sepasang kekasih yang sedang memagut mesra itu."Jangan tunggu aku. Sepertinya aku akan pulang terlambat malam ini." Freya tertawa sambil mencium pipi Jamael.Jamael tidak menanggapi. Hanya menatap datar ke arah Freya yang berjalan dengan semangat. Ada rahasia yang dipendam Jamael terkait dengan pernikahannya bersama Freya."Sepertinya kau bahagia sekali dengan pernikahanmu bersama Freya," sindir Jenia, terang-terangan.Jamael tak langsung berbalik badan. Ada sisi hati yang tercubit keras atas sindiran itu. Jenia tak tahu seperti apa hari yang dijalani Jamael setelah mereka terpisahkan."Apa kau tak bahagia dengan pernikahanmu, Jenia?" Jamael balas bertanya, tanpa berbalik badan.Separuh hatinya terusik melihat bagaimana kondisi Jenia saat ini. Sangat berbanding jauh dengan ingatan manis yang masih menjejali kepalanya. Segala keindahan alami yang dimiliki Jenia, seperti menguap begitu saja."Memangnya kau tau apa arti bahagia setelah mematahkan semangat hidup seseorang, Tuan Jamael Morgan?" Lagi-lagi Jenia tak bisa menahan diri untuk tidak berkata ketus.Reuni dengan mantan yang tiba-tiba muncul dan sialnya berstatus ipar, tak pernah terbayangkan akan terjadi di hidup Jenia. Jadi, jangan salahkan jika mulutnya benar-benar kehilangan kontrol dan tak bisa berucap manis atau sewajarnya.Jamael berbalik badan, tetapi Jenia sudah tidak ada lagi di sana. Perempuan malang itu memilih untuk menjauh karena sedikit lagi bertahan di sana, air matanya pasti akan berlomba-lomba unjuk gigi.Jenia benci terlihat lemah dan tidak berdaya, di depan laki-laki yang pernah sangat dicintainya itu.Cuaca di kota Chesnut cukup baik pagi ini. Sayangnya, tubuh Jenia terasa remuk. Semalam, Thomas tega membiarkannya tidur di lantai yang dingin. Hanya berlapis selembar selimut tipis, milik Jenia sendiri.Tak hanya itu, entah jam berapa akhirnya Jenia bisa memejamkan mata. Karena tak mudah baginya untuk membuang rasa yang bercampur aduk. Mengingat ada Jamael di lantai bawah. Jenia benci melihat sikap sok tenang yang ditampilkan mantan kekasihnya itu. Jenia benci melihat bagaimana mesranya Freya menggelayut manja di lengan kokoh yang pernah menawarkan kedamaian padanya. Entah berapa lama dan banyak Jenia membatin sambil menatap hampa ke langit-langit kamar. Bukan hanya itu, Jenia pun melengkapinya dengan ratapan tanpa suara. Hanya air mata yang berlinang sampai akhirnya dia kelelahan.Sekarang, Jenia terbangun dengan wajah yang mengerikan. Mata panda itu berpadu dengan cekungan yang tampak makin dalam. Belum lagi tulang pipi yang menonjol.Jenia bergegas bangun lalu melipat selimut. T
Tubuh Jenia yang ringkih itu sudah banjir peluh. Seisi rumah yang biasa ditempati bersama Thomas, sudah dibersihkan. Jenia masih sibuk mengatur napas yang terasa ngos-ngosan sambil duduk di depan televisi. Benda yang cukup jarang ditonton di waktu pagi hingga petang. Jenia duduk di kursi makan. Semilir angin berhembus masuk dari jendela kaca yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Bahan makanan yang masih tersisa di kulkas, bisa diolah agar Jenia bisa makan. Tanpa harus pulang ke kediaman mertuanya dengan perut lapar. Apalagi Thomas hanya memberikan uang sekadar untuk ongkos saja. Jenia menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali diembuskannya agar merasa lebih lega. Nyatanya, tidak. Ganjalan di dalam hatinya tetap saja enggan beranjak."Kenapa takdir hidup selucu ini? Aku harus bertemu dengan mantan pacar yang berengsek itu dengan status ipar." Jenia menatap kesal pada satu titik objek di depan matanya. Terlebih lagi melihat sikap sok polos yang ditampilkan Jamael. Jenia benci. Ingin
Plakkk!Satu tamparan mendarat telak lagi di pipi Jamael. Jari telunjuk Jenia mengacung seiring dengan tatapan marah. "Kau! Benar-benar tidak tahu malu. Kenapa kau melakukan hal seperti tadi, hah? Kau sengaja ingin menempatkan aku seperti perempuan murahan?"Jamael tersenyum, menahan rasa sedih yang menjalar di dada. Padahal tadi ia sudah merasa jemawa. Merasa sudah bisa menggapai kembali hati satu-satunya perempuan yang sangat dicintainya itu."Sampai kapan pun, jangan berakting kalau kita pernah saling kenal! Jangan menambah berat masalah dalam hidupku. Bagiku, kau sudah lama mati, Tuan Jamael Morgan!" Jenia menatap penuh benci dan marah sebelum pergi dari ruang keluarga itu.Air matanya luruh tanpa bisa dicegah. Dia merasa sudah mengkhianati pernikahan bersama Thomas. Walau selama ini, dia sendiri tidak bisa memastikan apakah Thomas setia. Namun, bagi Jenia, pernikahan mereka tetaplah hal yang paling sakral di dunia.'Ampuni aku, Tuhan. Aku malah seperti terkena hipnotis. Bodohnya
"Kenapa kau?" Thomas menatap heran pada wajah pucat Jenia.Jenia tak mampu berkata apa pun. Detak jantungnya menggila. Takut kalau Thomas mendengar semua kalimat ketusnya untuk Jamael."Apa kau sudah selesai membersihkan kamar Freya?" Tatapan Thomas malah semakin tidak bersahabat."I-iya, sudah." Telapak tangan Jenia semakin lembab."Bagus. Aku tak suka mendengarnya menggerutu tentang lambannya kau. Pergilah. Kau bau!" Thomas mengusir Jenia.Dengan segera Jenia berlalu. Tak bisa dipungkiri bahwa di balik sikap takutnya, ada rasa lega luar biasa. Karena Thomas tidak tahu ada hubungan apa di antara dirinya dengan Jamael.Sayangnya, Jamael mendengar ucapan ketus yang dilontarkan Thomas untuk Jenia. Lelaki itu memejamkan mata, merasa bersalah karena ada andilnya dalam kemalangan yang menimpa sang mantan pacar.'Maafkan aku, Jenia. Si pengecut ini memang sangat buruk. Dengan apa aku bisa menebus semua dosa di masa lalu?' Jamael menghela napas berat.Sudah ada ikatan yang sakral di antara m
Jenia mengumpati sikap ingin tahu yang berlebihan di kepalanya. Karena ketika Jamael melirik ke arahnya, lengkap dengan senyum simpul khas itu, Freya malah mendengkus keras. Lalu mengusir Jenia begitu saja.Sudah berkali-kali Jenia berusaha mengalihkan isi kepalanya, tetap saja rasa ingin tahu itu mendominasi. Padahal ada hal yang seharusnya lebih menjadi bahan pemikiran, karena semalaman Thomas tidak kembali ke rumah. "Nona, kenapa?" Emma mengernyitkan dahi.Jenia seperti tertangkap basah. "Hah? Ti-tidak ada apa-apa, Bibi." Dipamerkannya senyum yang malah mirip seperti seringai itu.Bukannya Emma tidak memperhatikan sikap aneh dari Jenia. Hanya saja, jika Jenia tidak bercerita, tentu tak pantas untuk Emma mendesaknya.Emma mungkin hanyalah koki, tetapi semua aktivitas dalam kediaman keluarga Evra, tak luput dari pengamatannya. Termasuk kekejaman yang dialami Jenia. Emma mendekat. Lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada penguping di ruang dapur itu. "Jika terlalu sakit, belaja
Jenia tampak lebih pucat. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat pelampiasan nafsu dari sang suami. Tentu dia tidak bisa mengadukan nasibnya ke siapa pun juga.Bibi Emma tidak enak badan. Karena itulah Jenia yang berkutat di dapur. Walau ada beberapa asisten rumah tangga lain, Daisy tak mengizinkan ada yang meringankan beban pekerjaan Jenia di dapur.Jenia tampak kelelahan karena sejak jam lima pagi sudah harus berkutat pada menu makanan. Dengan semua keinginan yang berbeda pula. Roti dan sosis panggang untuk Thomas. Sup kaldu asparagus lengkap dengan daging matang sempurna untuk Freya. Ayam mentega rendah lemak beserta rolade untuk Daisy. Tanpa sadar, Jenia membuat pie ayam untuk Jamael. Menu yang dahulu selalu dibuatkannya untuk sang mantan. Tepat ketika semua menu sudah terhidang rapi di atas meja, Jamael masuk ke dapur. Laki-laki itu memang tipe manusia pagi. Ia bahkan sudah selesai melakukan olahraga lari keliling perumahan."Selamat pagi, Pumpkins Juice. Di mana Bibi Emma?" tan
Jenia menyeka keringat yang membanjir. Terhitung tiga hari dia tidak mengunjungi rumah lama. Jadi Jenia harus memastikan semua perkakas rumah bebas dari debu.Jenia khawatir tiba-tiba Thomas berkunjung dan memeriksa kondisi rumah. Suaminya itu tak segan untuk mencolek perabotan. Memastikan tidak ada debu yang tertinggal. Jenia membuka kulkas. Masih ada sisa apel, sosis dan telur. "Setidaknya aku masih bisa makan."Dia memang bersikeras menolak keinginan gila Jamael. Untung saja Jamael masih bisa diancam dengan kenekatan Jenia yang akan melompat keluar dari mobil, jika dipaksa mengikuti keinginan sang mantan.Walau jadinya Jamael mengetahui di mana tempat tinggal Jenia bersama Thomas, sebelum diminta untuk pindah. Jamael memang tidak mengatakan apa pun, karena Jenia langsung turun tanpa basa-basi.Setelah makan, Jenia menyeduh secangkir teh chamomile. Masih ada sisa beberapa kantung teh lagi. Jenia masih bisa tersenyum mengingat semua kenangannya di rumah ini.Walau Thomas sering memp
Sedang sibuk berkubang dalam penyesalan tak berkesudahan, Thomas masuk ke kamar dan melihat Jenia duduk melamun di depan jendela kaca.Pasangan normal akan menghampiri lalu memeluk dari belakang, sambil melabuhkan kecupan manis di kepala. Namun, Thomas malah melempar tasnya ke lantai. Sehingga menimbulkan suara berisik yang tentu saja mengagetkan Jenia."Tom, kau sudah pulang." Jenia langsung sibuk memungut tas kerja sang suami. Thomas berdecih lalu mendekati Jenia. Tanpa belas kasihan, dicengkeramnya dagu sang istri. "Dengar, Keledai! Aku tak akan kembali ke rumah lama. Di sana aku selalu ingat semua upaya membangun rumah tangga, kau balas dengan hinaan telak."Jenia meringis. Bukan hanya karena menahan rasa sakit, tetapi aroma alkohol yang cukup menyengat keluar dari bibir Thomas. "Kau ini hanyalah alat balas dendam, Keledai! Jadi jalani saja semua kebusukan yang kau tuai." Thomas menghempaskan tubuh Jenia sampai terduduk di lantai.Tanpa peduli dengan ringisan Jenia, Thomas langs
Ketika membuka mata, Jenia merasa asing dengan objek pandangannya. Saat mencoba beringsut, rasa nyeri menyerang sampai Jenia meringis menahan sakit."Pumpkins Juice, kau sudah sadar?" Jamael yang tadinya berkutat dengan ponsel, langsung berlari menghampiri."Jamael? Kenapa kau ada di sini?"Jamael langsung duduk di sebelah ranjang pasien itu. "Kau pingsan. Jadi aku membawamu ke rumah sakit. Tolong katakan padaku, kenapa kau sampai pingsan, hm?"Ingin sekali Jamael mengelus lembut rambut Jenia. Seperti yang dahulu selalu dilakukannya setiap ada kesempatan berduaan. Betapa cintanya belum pernah meredup untuk perempuan pemilik hatinya ini. "Tidak ada. Aku hanya ... agak ceroboh." Jenia membuang muka, memilih untuk menatap jarum infus di tangan ketimbang wajah Jamael. Jenia tahu kalau Thomas tidak akan suka ada pengaduan tentang sikap monsternya itu. Karena tak ingin menambah panjang masalah, Jenia memilih untuk menutupinya. Walau Jamael mendesaknya. "Katakan, apa kau bahagia?" Jamael
Sedang sibuk berkubang dalam penyesalan tak berkesudahan, Thomas masuk ke kamar dan melihat Jenia duduk melamun di depan jendela kaca.Pasangan normal akan menghampiri lalu memeluk dari belakang, sambil melabuhkan kecupan manis di kepala. Namun, Thomas malah melempar tasnya ke lantai. Sehingga menimbulkan suara berisik yang tentu saja mengagetkan Jenia."Tom, kau sudah pulang." Jenia langsung sibuk memungut tas kerja sang suami. Thomas berdecih lalu mendekati Jenia. Tanpa belas kasihan, dicengkeramnya dagu sang istri. "Dengar, Keledai! Aku tak akan kembali ke rumah lama. Di sana aku selalu ingat semua upaya membangun rumah tangga, kau balas dengan hinaan telak."Jenia meringis. Bukan hanya karena menahan rasa sakit, tetapi aroma alkohol yang cukup menyengat keluar dari bibir Thomas. "Kau ini hanyalah alat balas dendam, Keledai! Jadi jalani saja semua kebusukan yang kau tuai." Thomas menghempaskan tubuh Jenia sampai terduduk di lantai.Tanpa peduli dengan ringisan Jenia, Thomas langs
Jenia menyeka keringat yang membanjir. Terhitung tiga hari dia tidak mengunjungi rumah lama. Jadi Jenia harus memastikan semua perkakas rumah bebas dari debu.Jenia khawatir tiba-tiba Thomas berkunjung dan memeriksa kondisi rumah. Suaminya itu tak segan untuk mencolek perabotan. Memastikan tidak ada debu yang tertinggal. Jenia membuka kulkas. Masih ada sisa apel, sosis dan telur. "Setidaknya aku masih bisa makan."Dia memang bersikeras menolak keinginan gila Jamael. Untung saja Jamael masih bisa diancam dengan kenekatan Jenia yang akan melompat keluar dari mobil, jika dipaksa mengikuti keinginan sang mantan.Walau jadinya Jamael mengetahui di mana tempat tinggal Jenia bersama Thomas, sebelum diminta untuk pindah. Jamael memang tidak mengatakan apa pun, karena Jenia langsung turun tanpa basa-basi.Setelah makan, Jenia menyeduh secangkir teh chamomile. Masih ada sisa beberapa kantung teh lagi. Jenia masih bisa tersenyum mengingat semua kenangannya di rumah ini.Walau Thomas sering memp
Jenia tampak lebih pucat. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat pelampiasan nafsu dari sang suami. Tentu dia tidak bisa mengadukan nasibnya ke siapa pun juga.Bibi Emma tidak enak badan. Karena itulah Jenia yang berkutat di dapur. Walau ada beberapa asisten rumah tangga lain, Daisy tak mengizinkan ada yang meringankan beban pekerjaan Jenia di dapur.Jenia tampak kelelahan karena sejak jam lima pagi sudah harus berkutat pada menu makanan. Dengan semua keinginan yang berbeda pula. Roti dan sosis panggang untuk Thomas. Sup kaldu asparagus lengkap dengan daging matang sempurna untuk Freya. Ayam mentega rendah lemak beserta rolade untuk Daisy. Tanpa sadar, Jenia membuat pie ayam untuk Jamael. Menu yang dahulu selalu dibuatkannya untuk sang mantan. Tepat ketika semua menu sudah terhidang rapi di atas meja, Jamael masuk ke dapur. Laki-laki itu memang tipe manusia pagi. Ia bahkan sudah selesai melakukan olahraga lari keliling perumahan."Selamat pagi, Pumpkins Juice. Di mana Bibi Emma?" tan
Jenia mengumpati sikap ingin tahu yang berlebihan di kepalanya. Karena ketika Jamael melirik ke arahnya, lengkap dengan senyum simpul khas itu, Freya malah mendengkus keras. Lalu mengusir Jenia begitu saja.Sudah berkali-kali Jenia berusaha mengalihkan isi kepalanya, tetap saja rasa ingin tahu itu mendominasi. Padahal ada hal yang seharusnya lebih menjadi bahan pemikiran, karena semalaman Thomas tidak kembali ke rumah. "Nona, kenapa?" Emma mengernyitkan dahi.Jenia seperti tertangkap basah. "Hah? Ti-tidak ada apa-apa, Bibi." Dipamerkannya senyum yang malah mirip seperti seringai itu.Bukannya Emma tidak memperhatikan sikap aneh dari Jenia. Hanya saja, jika Jenia tidak bercerita, tentu tak pantas untuk Emma mendesaknya.Emma mungkin hanyalah koki, tetapi semua aktivitas dalam kediaman keluarga Evra, tak luput dari pengamatannya. Termasuk kekejaman yang dialami Jenia. Emma mendekat. Lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada penguping di ruang dapur itu. "Jika terlalu sakit, belaja
"Kenapa kau?" Thomas menatap heran pada wajah pucat Jenia.Jenia tak mampu berkata apa pun. Detak jantungnya menggila. Takut kalau Thomas mendengar semua kalimat ketusnya untuk Jamael."Apa kau sudah selesai membersihkan kamar Freya?" Tatapan Thomas malah semakin tidak bersahabat."I-iya, sudah." Telapak tangan Jenia semakin lembab."Bagus. Aku tak suka mendengarnya menggerutu tentang lambannya kau. Pergilah. Kau bau!" Thomas mengusir Jenia.Dengan segera Jenia berlalu. Tak bisa dipungkiri bahwa di balik sikap takutnya, ada rasa lega luar biasa. Karena Thomas tidak tahu ada hubungan apa di antara dirinya dengan Jamael.Sayangnya, Jamael mendengar ucapan ketus yang dilontarkan Thomas untuk Jenia. Lelaki itu memejamkan mata, merasa bersalah karena ada andilnya dalam kemalangan yang menimpa sang mantan pacar.'Maafkan aku, Jenia. Si pengecut ini memang sangat buruk. Dengan apa aku bisa menebus semua dosa di masa lalu?' Jamael menghela napas berat.Sudah ada ikatan yang sakral di antara m
Plakkk!Satu tamparan mendarat telak lagi di pipi Jamael. Jari telunjuk Jenia mengacung seiring dengan tatapan marah. "Kau! Benar-benar tidak tahu malu. Kenapa kau melakukan hal seperti tadi, hah? Kau sengaja ingin menempatkan aku seperti perempuan murahan?"Jamael tersenyum, menahan rasa sedih yang menjalar di dada. Padahal tadi ia sudah merasa jemawa. Merasa sudah bisa menggapai kembali hati satu-satunya perempuan yang sangat dicintainya itu."Sampai kapan pun, jangan berakting kalau kita pernah saling kenal! Jangan menambah berat masalah dalam hidupku. Bagiku, kau sudah lama mati, Tuan Jamael Morgan!" Jenia menatap penuh benci dan marah sebelum pergi dari ruang keluarga itu.Air matanya luruh tanpa bisa dicegah. Dia merasa sudah mengkhianati pernikahan bersama Thomas. Walau selama ini, dia sendiri tidak bisa memastikan apakah Thomas setia. Namun, bagi Jenia, pernikahan mereka tetaplah hal yang paling sakral di dunia.'Ampuni aku, Tuhan. Aku malah seperti terkena hipnotis. Bodohnya
Tubuh Jenia yang ringkih itu sudah banjir peluh. Seisi rumah yang biasa ditempati bersama Thomas, sudah dibersihkan. Jenia masih sibuk mengatur napas yang terasa ngos-ngosan sambil duduk di depan televisi. Benda yang cukup jarang ditonton di waktu pagi hingga petang. Jenia duduk di kursi makan. Semilir angin berhembus masuk dari jendela kaca yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Bahan makanan yang masih tersisa di kulkas, bisa diolah agar Jenia bisa makan. Tanpa harus pulang ke kediaman mertuanya dengan perut lapar. Apalagi Thomas hanya memberikan uang sekadar untuk ongkos saja. Jenia menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali diembuskannya agar merasa lebih lega. Nyatanya, tidak. Ganjalan di dalam hatinya tetap saja enggan beranjak."Kenapa takdir hidup selucu ini? Aku harus bertemu dengan mantan pacar yang berengsek itu dengan status ipar." Jenia menatap kesal pada satu titik objek di depan matanya. Terlebih lagi melihat sikap sok polos yang ditampilkan Jamael. Jenia benci. Ingin
Cuaca di kota Chesnut cukup baik pagi ini. Sayangnya, tubuh Jenia terasa remuk. Semalam, Thomas tega membiarkannya tidur di lantai yang dingin. Hanya berlapis selembar selimut tipis, milik Jenia sendiri.Tak hanya itu, entah jam berapa akhirnya Jenia bisa memejamkan mata. Karena tak mudah baginya untuk membuang rasa yang bercampur aduk. Mengingat ada Jamael di lantai bawah. Jenia benci melihat sikap sok tenang yang ditampilkan mantan kekasihnya itu. Jenia benci melihat bagaimana mesranya Freya menggelayut manja di lengan kokoh yang pernah menawarkan kedamaian padanya. Entah berapa lama dan banyak Jenia membatin sambil menatap hampa ke langit-langit kamar. Bukan hanya itu, Jenia pun melengkapinya dengan ratapan tanpa suara. Hanya air mata yang berlinang sampai akhirnya dia kelelahan.Sekarang, Jenia terbangun dengan wajah yang mengerikan. Mata panda itu berpadu dengan cekungan yang tampak makin dalam. Belum lagi tulang pipi yang menonjol.Jenia bergegas bangun lalu melipat selimut. T