Sedang sibuk berkubang dalam penyesalan tak berkesudahan, Thomas masuk ke kamar dan melihat Jenia duduk melamun di depan jendela kaca.Pasangan normal akan menghampiri lalu memeluk dari belakang, sambil melabuhkan kecupan manis di kepala. Namun, Thomas malah melempar tasnya ke lantai. Sehingga menimbulkan suara berisik yang tentu saja mengagetkan Jenia."Tom, kau sudah pulang." Jenia langsung sibuk memungut tas kerja sang suami. Thomas berdecih lalu mendekati Jenia. Tanpa belas kasihan, dicengkeramnya dagu sang istri. "Dengar, Keledai! Aku tak akan kembali ke rumah lama. Di sana aku selalu ingat semua upaya membangun rumah tangga, kau balas dengan hinaan telak."Jenia meringis. Bukan hanya karena menahan rasa sakit, tetapi aroma alkohol yang cukup menyengat keluar dari bibir Thomas. "Kau ini hanyalah alat balas dendam, Keledai! Jadi jalani saja semua kebusukan yang kau tuai." Thomas menghempaskan tubuh Jenia sampai terduduk di lantai.Tanpa peduli dengan ringisan Jenia, Thomas langs
Ketika membuka mata, Jenia merasa asing dengan objek pandangannya. Saat mencoba beringsut, rasa nyeri menyerang sampai Jenia meringis menahan sakit."Pumpkins Juice, kau sudah sadar?" Jamael yang tadinya berkutat dengan ponsel, langsung berlari menghampiri."Jamael? Kenapa kau ada di sini?"Jamael langsung duduk di sebelah ranjang pasien itu. "Kau pingsan. Jadi aku membawamu ke rumah sakit. Tolong katakan padaku, kenapa kau sampai pingsan, hm?"Ingin sekali Jamael mengelus lembut rambut Jenia. Seperti yang dahulu selalu dilakukannya setiap ada kesempatan berduaan. Betapa cintanya belum pernah meredup untuk perempuan pemilik hatinya ini. "Tidak ada. Aku hanya ... agak ceroboh." Jenia membuang muka, memilih untuk menatap jarum infus di tangan ketimbang wajah Jamael. Jenia tahu kalau Thomas tidak akan suka ada pengaduan tentang sikap monsternya itu. Karena tak ingin menambah panjang masalah, Jenia memilih untuk menutupinya. Walau Jamael mendesaknya. "Katakan, apa kau bahagia?" Jamael
"Jenia!"Perempuan bertubuh ringkih itu tampak berkeringat. Hari masih pagi, tetapi suara melengking dari dalam kamar, membuatnya harus sigap menghampiri."Kenapa bajuku seperti ini?" Thomas sudah berkacak pinggang seraya mengacungkan setelan jas yang tampak rapi di gantungan baju. "Sebentar, biar aku ganti dengan jas yang lain saja." Jenia memilih untuk mengalah. Hanya karena ada bekas lipatan yang luput dari setrika."Cepatlah! Aku tak mau datang terlambat." Thomas mendengkus keras.Dengan cekatan Jenia mengambil setelan jas pengganti dari lemari pakaian, lalu keluar untuk menyerahkannya. "Yang ini bagaimana?"Thomas meraih setelan itu tanpa berkata apa-apa. Jenia menghela napas panjang. Dia keluar dari kamar untuk menata makanan di meja.Jenia menatap gugup pada sosok yang sudah tampak rapi dengan setelan jasnya itu. Thomas menghampirinya untuk sarapan. Ada rasa resah yang menggelepar karena kalimat itu sudah ada di ujung lidah Jenia."Bi-bisakah hari ini pulang lebih awal?" Sulit
Seorang perempuan dengan tinggi 167cm tampak tidur nyenyak di atas sofa. Rambut cokelat gelap miliknya tampak berantakan. Tadinya dia berniat untuk menunggu sang suami yang sudah dua hari belum kembali. Namun, malah ketiduran di ruang keluarga.Suara pintu yang dibuka tak mampu membuatnya terbangun. Karena seharian tadi, ibu mertuanya memaksa untuk ditemani ke supermarket. Wanita itu baru kembali setelah Jenia memasak makanan yang dibawa pulang tanpa disisakan sama sekali.Tubuh sempoyongan Thomas berhenti di depan sofa. "Lihatlah, Keledai ini! Seharian di rumah kerjanya hanya bermalas-malasan."Melihat bawahan piyama pendek yang dikenakan Jenia agak tersingkap, seringai nakal muncul di kepala Thomas. Tanpa aba-aba, dilemparnya tas kerja ke lantai. Lalu ditindihnya tubuh Jenia. Tentu saja istrinya terkejut."Thomas, kau sudah pulang?" tanya Jenia dengan suara serak. Khas bangun tidur.Thomas tak menjawab, malah sibuk mencari kepuasannya sendiri. Jenia meringis. "Ah. Sakit. Bi-bisakah
Jenia membuka mata lalu mengerjap berkali-kali. Matanya terasa panas. Akibat demam yang menyerang. Dia merasa heran ketika mengingat seharusnya sedang pingsan di ruang depan, bukan di kamar."Kenapa aku bisa pindah ke kamar? Apa Thomas yang melakukannya?" Jenia hendak duduk, tetapi rasa nyeri di kepala langsung terasa. Jenia menghela napas sejenak. "Ini bukan pertama kalinya aku sakit. Aku pasti bisa mengurus diri sendiri."Jenia memaksakan diri untuk berjalan ke dapur. Tertatih-tatih langkahnya. Dia harus duduk di kursi untuk mengatur napas yang terasa berat. Jenia menahan semua keinginan untuk berbaring meringkuk di dalam selimut. Tidak ada alasan untuk mengasihani diri. Jenia harus makan dan minum obat.Hanya ada roti yang bisa langsung dimakan. Maka Jenia menyeduh teh agar bisa langsung mengisi perutnya. Sebutir pereda demam dan sakit kepala, pun ditelan setelah perut rampingnya terisi.Jenia merasa tenaganya terkuras banyak. Dia kembali tertatih-tatih menuju sofa. Ada ingatan m
Melihat angkuhnya sosok berstatus Ibu mertua itu, Jenia berkali-kali meneguk ludah. Kesan tak ramah yang selama ini selalu muncul, sekarang semakin tampak saja.Wanita paruh baya yang sudah dihinggapi dengan kerut-kerutan halus di wajah itu, hanya menatap masam. "Kenapa lama sekali?"Thomas mendengkus keras. "Mama jangan menambah buruk moodku. Semua gara-gara siput tak berguna di belakangku."Jenia menggigit bibirnya. Padahal sejak turun dari mobil tadi, Thomas hanya melenggang santai. Semua barang bawaan Jenia lah yang membawanya sampai ke hadapan sang mertua. "Bawa masuk ke kamar putraku. Astaga, bisakah aku meletakkan kau di kamar pembantu saja?" Daisy tampak sangat kesal. "Terserah Mama saja. Aku lapar." Thomas masuk begitu saja, mengabaikan Jenia yang masih direpotkan dengan koper-koper itu.Tidak ada satu pun yang berniat untuk membantu Jenia. Lagipula Jenia sudah mengetahui di mana letak kamar Thomas, di lantai dua. Jadi semuanya seperti membiarkan saja kegiatan itu. Jenia n
Otak Jenia dipaksa untuk berpikir keras. Baginya ini semua seperti halusinasi yang sudah lama tidak muncul. Hanya saja, rasanya seperti tak tahu diri jika masih menganggap sosok laki-laki itu nyata."Berhentilah bersikap bodoh!" Thomas menghardik, pelan, tetapi berdesis di telinga Jenia."Ini suamiku. Jamael Morgan." Freya menoleh ke arah laki-laki bermata kehijauan itu. Tentu saja Jenia tidak tahu-menahu tentang pernikahan Freya. Karena Thomas dan Daisy melarang keras Jenia untuk datang ke acara pesta. Jenia mengerjap, lagi. 'Ternyata ini bukan halusinasi. Dia ... nyata dan masih hidup.'Luka dalam yang ditinggalkan oleh sosok tinggi tegap dengan tatapan hangat meneduhkan hati itu, kembali berdenyut. Jenia terpaksa menundukkan pandangan."Dasar perempuan aneh! Ayo, Jamie. Kita masuk. Aku rindu masakan Mama." Freya menggandeng lengan Jamael.Tawa ceria yang terdengar dari bibir seksi Freya, semakin menambah luka hati Jenia. Bagaimana bisa sang mantan pacar, pemilik cinta pertama, se
Cuaca di kota Chesnut cukup baik pagi ini. Sayangnya, tubuh Jenia terasa remuk. Semalam, Thomas tega membiarkannya tidur di lantai yang dingin. Hanya berlapis selembar selimut tipis, milik Jenia sendiri.Tak hanya itu, entah jam berapa akhirnya Jenia bisa memejamkan mata. Karena tak mudah baginya untuk membuang rasa yang bercampur aduk. Mengingat ada Jamael di lantai bawah. Jenia benci melihat sikap sok tenang yang ditampilkan mantan kekasihnya itu. Jenia benci melihat bagaimana mesranya Freya menggelayut manja di lengan kokoh yang pernah menawarkan kedamaian padanya. Entah berapa lama dan banyak Jenia membatin sambil menatap hampa ke langit-langit kamar. Bukan hanya itu, Jenia pun melengkapinya dengan ratapan tanpa suara. Hanya air mata yang berlinang sampai akhirnya dia kelelahan.Sekarang, Jenia terbangun dengan wajah yang mengerikan. Mata panda itu berpadu dengan cekungan yang tampak makin dalam. Belum lagi tulang pipi yang menonjol.Jenia bergegas bangun lalu melipat selimut. T