Tubuh Jenia yang ringkih itu sudah banjir peluh. Seisi rumah yang biasa ditempati bersama Thomas, sudah dibersihkan.
Jenia masih sibuk mengatur napas yang terasa ngos-ngosan sambil duduk di depan televisi. Benda yang cukup jarang ditonton di waktu pagi hingga petang.Jenia duduk di kursi makan. Semilir angin berhembus masuk dari jendela kaca yang sengaja dibiarkan terbuka lebar.Bahan makanan yang masih tersisa di kulkas, bisa diolah agar Jenia bisa makan. Tanpa harus pulang ke kediaman mertuanya dengan perut lapar. Apalagi Thomas hanya memberikan uang sekadar untuk ongkos saja.Jenia menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali diembuskannya agar merasa lebih lega. Nyatanya, tidak. Ganjalan di dalam hatinya tetap saja enggan beranjak."Kenapa takdir hidup selucu ini? Aku harus bertemu dengan mantan pacar yang berengsek itu dengan status ipar." Jenia menatap kesal pada satu titik objek di depan matanya.Terlebih lagi melihat sikap sok polos yang ditampilkan Jamael. Jenia benci. Ingin rasanya Jenia memukuli Jamael atas semua sikap pengecut yang menyeretnya dalam kubangan lumpur kesedihan.Pernikahan yang diimpikan Jenia kandas dua kali. Pertama, ketika Jamael mengingkari janji. Kedua, ketika Thomas menyadari bahwa istrinya bukanlah perawan.Jenia tidak pernah tahu kalau Thomas yang pernah didengarnya suka gonta-ganti pasangan, ternyata menuntut kesempurnaan Jenia sebagai perawan. Miris sekali.Bukan satu atau dua kali Jenia mendengar selentingan kabar tentang Thomas yang menjadi pusat perhatian di tempatnya bekerja. Pun ada yang terang-terangan menunjukkan sikap ketus setiap kali Thomas datang menjemput.Jenia pikir dengan sikap playboy yang pernah dimiliki Thomas, kekurangannya tidak menjadi masalah besar. Ternyata semua menjadi mimpi paling buruk yang entah kapan berakhirnya."Kenapa aku dipertemukan dengan dua laki-laki pengecut? Mereka hanya tau menyakiti hati perempuan saja." Jenia menghapus air mata dengan cara kasar.Jenia benci sikap lemah ini. Namun, ingin melawan, dia tak berdaya. Thomas tak segan main tangan. Jenia sendiri tak bisa melarikan diri. Semua dokumen dan keuangan, diatur Thomas.Nasib Jenia semakin buruk saja sejak menikah dengan Thomas. Belum lagi perlakuan buruk dari keluarga suaminya. Lengkaplah sudah.Jenia melarikan perasaan kesalnya dengan menyantap makan siang buatannya. Setelah energinya terkuras banyak karena membereskan rumah, Jenia harus mengisi perut sebelum kembali ke kediaman mertuanya.Usai membersihkan semua peralatan makan bekas pakai, Jenia pun pulang. Perempuan bertubuh ringkih itu sudah terbiasa menaiki transportasi umum. Walau Thomas memiliki mobil, tetap saja Jenia jarang ikut di dalamnya, sejak menikah.Baru saja Jenia menjulurkan tangan untuk memutar kenop pintu, suara teriakan muncul dari arah belakang."Hebat sekali. Dari mana saja kau? Lupa kalau di sini cuma numpang, hah?"Jenia memejamkan mata sejenak sebelum berbalik badan, dan memasang senyuman tipis. "Aku disuruh Thomas untuk membersihkan rumah kami setiap pagi."Wanita yang memegang kantong belanjaan di kedua tangannya itu tertawa mengejek. "Pantas saja kau berbau apek. Ternyata hanya dijadikan pembantu."Jenia masih terus tersenyum. Menanggapi tingkah adik ipar dan mertuanya, cuma akan menambah panjang daftar hukuman dari sang suami. Jadi, Jenia pilih aman saja."Lihat aku! Dinikahi untuk dijadikan ratu. Walau Papa sudah tidak ada, tetapi suamiku hebat. Dia begitu mencintai dan memanjakan aku."Jenia menganggukkan kepala. Walau ada gerimis di hatinya mengingat dahulu pernah berada di posisi seperti sang ipar perempuannya itu.Baik Jamael maupun Thomas, pernah melumuri hidup Jenia dengan kemewahan. Tak hanya barang bermerek, tetapi juga perhiasan dan cinta yang hangat.Sayangnya, semua perhiasan dari Jamael, terpaksa dijual demi menyambung hidup. Jenia harus pontang-panting membiayai pendidikan dan hidupnya sendirian.Ketika sudah mulai mendapatkan pekerjaan yang layak, Thomas datang. Lalu semua kembali lebih mengerikan ketimbang saat Jenia masih gadis.Sudah sering kali Jenia berharap agar bisa kembali ke masa-masa awal menjadi remaja. Seandainya tahu akan berujung seperti apa, dia tak ingin membuang waktu dengan cinta picisan yang ditawarkan dua laki-laki berengsek itu."Ck! Susah memang kalau mengajak ngobrol perempuan miskin. Mana mengerti kamu tentang fashion kekinian." Tatapan mata Freya jelas-jelas menunjukkan sikap mencemooh apa yang dikenakan kakak iparnya.Kaos dan celana jeans sepertiga kaki itu sama-sama berwarna pudar. Belum lagi ditambah dengan sendal selop yang ketinggalan zaman."Tapi, bagus banget kalo kau tetap bergaya kampungan seperti ini. Karena aku bisa meminta uang lebih ke Thomas. Aku harus membayar uang arisan sosialitaku minggu ini. Bye, Jenia Si Gadis Kampungan."Jenia hanya bisa menatap sedih. Ingin meratapi nasib? Jenia sudah lelah melakukannya. Terkadang Jenia ingin pergi sejauh mungkin, tetapi ternyata kedua kakinya terikat kuat.Tidak ada jalan selain pasrah dan mengikuti saja apa alur kehidupan yang digariskan untuknya. Jenia masuk menyusul langkah Freya.Tiba-tiba, dari arah yang tidak terduga, tangan Jenia ditarik. Belum sempat berteriak karena terkejut, Jenia serasa ingin murka melihat siapa pelakunya."Kau!"Di dalam ruang keluarga itu, Jamael mengunci lengan Jenia. "Ya. Ini aku, Pumpkins Juice."Jenia berusaha memberontak. "Lepaskan aku! Kau pengecut!"Jika bersama Thomas, Jenia sulit sekali untuk memberontak, apalagi berucap kasar. Tidak dengan Jamael. Emosinya selalu bisa meledak kapan saja tiap kali melihat wajah tampan sang mantan."Aku rindu, Jenia. Tolong, izinkan aku untuk menjelaskan semuanya." Tatapan mata Jamael mengiba.Bukan hanya itu, keterangan dari koki di kediaman sang mertua, membuat Jamael harus melakukan sesuatu. Ia ingin menolong Jenia.Air mata Jenia menetes. Rasa kesal dan amarah itu mengkristal. "Tidak ada gunanya untuk menjelaskan apa pun, Jamael. Kau dan aku sudah punya ikatan masing-masing. Maka menjauhlah!""Kau tak bahagia bersamanya, kan? Dia terus menyakitimu, kan?" Jamael seakan-akan tidak mendengar ucapan pengusiran dari mantan pacar pemilik hatinya itu."Apa urusannya denganmu, hah? Bukannya kau seharusnya tertawa karena berhasil menikah dengan adik iparku? Kau memperlakukan dia seperti ratu. Kalian bahagia, bukan? Kenapa harus mengusik ketenanganku?" Jenia meledak."Maafkan aku, Sayang. Aku memang pengecut."Jenia meronta sekuat tenaga. Ketika cekalan di tangannya mengendur, Jenia tak menyia-nyiakan kesempatan.Plakkk!Jenia menampar pipi Jamael. Pipi yang pernah menjadi tempatnya melabuhkan kecupan manis dan hangat.Jamael tersenyum perih. "Pukul saja sepuasmu, Pumpkins Juice. Aku memang layak mendapatkannya."Seandainya bukan di kediaman sang mertua, Jenia pasti akan menerjang dan memukuli Jamael membabi buta. Namun, di sini, sebelum kewarasannya hilang, Jenia memilih untuk berbalik badan.Jamael bergerak refleks. Jamael menarik lengan Jenia. Tubuh ringkih itu langsung masuk dalam dekapannya.Keduanya terjebak dalam nostalgia masa lalu yang indah dan penuh cinta. Seperti terhanyut akan suasana hati, Jamael mendekat.Seperti terhipnotis oleh tatapan mata yang begitu hangat, Jenia pasrah ketika Jamael mendapatkan pagutan.Keduanya larut dalam euforia nostalgia cinta yang sepertinya masih belum usai.Plakkk!Satu tamparan mendarat telak lagi di pipi Jamael. Jari telunjuk Jenia mengacung seiring dengan tatapan marah. "Kau! Benar-benar tidak tahu malu. Kenapa kau melakukan hal seperti tadi, hah? Kau sengaja ingin menempatkan aku seperti perempuan murahan?"Jamael tersenyum, menahan rasa sedih yang menjalar di dada. Padahal tadi ia sudah merasa jemawa. Merasa sudah bisa menggapai kembali hati satu-satunya perempuan yang sangat dicintainya itu."Sampai kapan pun, jangan berakting kalau kita pernah saling kenal! Jangan menambah berat masalah dalam hidupku. Bagiku, kau sudah lama mati, Tuan Jamael Morgan!" Jenia menatap penuh benci dan marah sebelum pergi dari ruang keluarga itu.Air matanya luruh tanpa bisa dicegah. Dia merasa sudah mengkhianati pernikahan bersama Thomas. Walau selama ini, dia sendiri tidak bisa memastikan apakah Thomas setia. Namun, bagi Jenia, pernikahan mereka tetaplah hal yang paling sakral di dunia.'Ampuni aku, Tuhan. Aku malah seperti terkena hipnotis. Bodohnya
"Kenapa kau?" Thomas menatap heran pada wajah pucat Jenia.Jenia tak mampu berkata apa pun. Detak jantungnya menggila. Takut kalau Thomas mendengar semua kalimat ketusnya untuk Jamael."Apa kau sudah selesai membersihkan kamar Freya?" Tatapan Thomas malah semakin tidak bersahabat."I-iya, sudah." Telapak tangan Jenia semakin lembab."Bagus. Aku tak suka mendengarnya menggerutu tentang lambannya kau. Pergilah. Kau bau!" Thomas mengusir Jenia.Dengan segera Jenia berlalu. Tak bisa dipungkiri bahwa di balik sikap takutnya, ada rasa lega luar biasa. Karena Thomas tidak tahu ada hubungan apa di antara dirinya dengan Jamael.Sayangnya, Jamael mendengar ucapan ketus yang dilontarkan Thomas untuk Jenia. Lelaki itu memejamkan mata, merasa bersalah karena ada andilnya dalam kemalangan yang menimpa sang mantan pacar.'Maafkan aku, Jenia. Si pengecut ini memang sangat buruk. Dengan apa aku bisa menebus semua dosa di masa lalu?' Jamael menghela napas berat.Sudah ada ikatan yang sakral di antara m
Jenia mengumpati sikap ingin tahu yang berlebihan di kepalanya. Karena ketika Jamael melirik ke arahnya, lengkap dengan senyum simpul khas itu, Freya malah mendengkus keras. Lalu mengusir Jenia begitu saja.Sudah berkali-kali Jenia berusaha mengalihkan isi kepalanya, tetap saja rasa ingin tahu itu mendominasi. Padahal ada hal yang seharusnya lebih menjadi bahan pemikiran, karena semalaman Thomas tidak kembali ke rumah. "Nona, kenapa?" Emma mengernyitkan dahi.Jenia seperti tertangkap basah. "Hah? Ti-tidak ada apa-apa, Bibi." Dipamerkannya senyum yang malah mirip seperti seringai itu.Bukannya Emma tidak memperhatikan sikap aneh dari Jenia. Hanya saja, jika Jenia tidak bercerita, tentu tak pantas untuk Emma mendesaknya.Emma mungkin hanyalah koki, tetapi semua aktivitas dalam kediaman keluarga Evra, tak luput dari pengamatannya. Termasuk kekejaman yang dialami Jenia. Emma mendekat. Lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada penguping di ruang dapur itu. "Jika terlalu sakit, belaja
Jenia tampak lebih pucat. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat pelampiasan nafsu dari sang suami. Tentu dia tidak bisa mengadukan nasibnya ke siapa pun juga.Bibi Emma tidak enak badan. Karena itulah Jenia yang berkutat di dapur. Walau ada beberapa asisten rumah tangga lain, Daisy tak mengizinkan ada yang meringankan beban pekerjaan Jenia di dapur.Jenia tampak kelelahan karena sejak jam lima pagi sudah harus berkutat pada menu makanan. Dengan semua keinginan yang berbeda pula. Roti dan sosis panggang untuk Thomas. Sup kaldu asparagus lengkap dengan daging matang sempurna untuk Freya. Ayam mentega rendah lemak beserta rolade untuk Daisy. Tanpa sadar, Jenia membuat pie ayam untuk Jamael. Menu yang dahulu selalu dibuatkannya untuk sang mantan. Tepat ketika semua menu sudah terhidang rapi di atas meja, Jamael masuk ke dapur. Laki-laki itu memang tipe manusia pagi. Ia bahkan sudah selesai melakukan olahraga lari keliling perumahan."Selamat pagi, Pumpkins Juice. Di mana Bibi Emma?" tan
Jenia menyeka keringat yang membanjir. Terhitung tiga hari dia tidak mengunjungi rumah lama. Jadi Jenia harus memastikan semua perkakas rumah bebas dari debu.Jenia khawatir tiba-tiba Thomas berkunjung dan memeriksa kondisi rumah. Suaminya itu tak segan untuk mencolek perabotan. Memastikan tidak ada debu yang tertinggal. Jenia membuka kulkas. Masih ada sisa apel, sosis dan telur. "Setidaknya aku masih bisa makan."Dia memang bersikeras menolak keinginan gila Jamael. Untung saja Jamael masih bisa diancam dengan kenekatan Jenia yang akan melompat keluar dari mobil, jika dipaksa mengikuti keinginan sang mantan.Walau jadinya Jamael mengetahui di mana tempat tinggal Jenia bersama Thomas, sebelum diminta untuk pindah. Jamael memang tidak mengatakan apa pun, karena Jenia langsung turun tanpa basa-basi.Setelah makan, Jenia menyeduh secangkir teh chamomile. Masih ada sisa beberapa kantung teh lagi. Jenia masih bisa tersenyum mengingat semua kenangannya di rumah ini.Walau Thomas sering memp
Sedang sibuk berkubang dalam penyesalan tak berkesudahan, Thomas masuk ke kamar dan melihat Jenia duduk melamun di depan jendela kaca.Pasangan normal akan menghampiri lalu memeluk dari belakang, sambil melabuhkan kecupan manis di kepala. Namun, Thomas malah melempar tasnya ke lantai. Sehingga menimbulkan suara berisik yang tentu saja mengagetkan Jenia."Tom, kau sudah pulang." Jenia langsung sibuk memungut tas kerja sang suami. Thomas berdecih lalu mendekati Jenia. Tanpa belas kasihan, dicengkeramnya dagu sang istri. "Dengar, Keledai! Aku tak akan kembali ke rumah lama. Di sana aku selalu ingat semua upaya membangun rumah tangga, kau balas dengan hinaan telak."Jenia meringis. Bukan hanya karena menahan rasa sakit, tetapi aroma alkohol yang cukup menyengat keluar dari bibir Thomas. "Kau ini hanyalah alat balas dendam, Keledai! Jadi jalani saja semua kebusukan yang kau tuai." Thomas menghempaskan tubuh Jenia sampai terduduk di lantai.Tanpa peduli dengan ringisan Jenia, Thomas langs
Ketika membuka mata, Jenia merasa asing dengan objek pandangannya. Saat mencoba beringsut, rasa nyeri menyerang sampai Jenia meringis menahan sakit."Pumpkins Juice, kau sudah sadar?" Jamael yang tadinya berkutat dengan ponsel, langsung berlari menghampiri."Jamael? Kenapa kau ada di sini?"Jamael langsung duduk di sebelah ranjang pasien itu. "Kau pingsan. Jadi aku membawamu ke rumah sakit. Tolong katakan padaku, kenapa kau sampai pingsan, hm?"Ingin sekali Jamael mengelus lembut rambut Jenia. Seperti yang dahulu selalu dilakukannya setiap ada kesempatan berduaan. Betapa cintanya belum pernah meredup untuk perempuan pemilik hatinya ini. "Tidak ada. Aku hanya ... agak ceroboh." Jenia membuang muka, memilih untuk menatap jarum infus di tangan ketimbang wajah Jamael. Jenia tahu kalau Thomas tidak akan suka ada pengaduan tentang sikap monsternya itu. Karena tak ingin menambah panjang masalah, Jenia memilih untuk menutupinya. Walau Jamael mendesaknya. "Katakan, apa kau bahagia?" Jamael
"Jenia!"Perempuan bertubuh ringkih itu tampak berkeringat. Hari masih pagi, tetapi suara melengking dari dalam kamar, membuatnya harus sigap menghampiri."Kenapa bajuku seperti ini?" Thomas sudah berkacak pinggang seraya mengacungkan setelan jas yang tampak rapi di gantungan baju. "Sebentar, biar aku ganti dengan jas yang lain saja." Jenia memilih untuk mengalah. Hanya karena ada bekas lipatan yang luput dari setrika."Cepatlah! Aku tak mau datang terlambat." Thomas mendengkus keras.Dengan cekatan Jenia mengambil setelan jas pengganti dari lemari pakaian, lalu keluar untuk menyerahkannya. "Yang ini bagaimana?"Thomas meraih setelan itu tanpa berkata apa-apa. Jenia menghela napas panjang. Dia keluar dari kamar untuk menata makanan di meja.Jenia menatap gugup pada sosok yang sudah tampak rapi dengan setelan jasnya itu. Thomas menghampirinya untuk sarapan. Ada rasa resah yang menggelepar karena kalimat itu sudah ada di ujung lidah Jenia."Bi-bisakah hari ini pulang lebih awal?" Sulit
Ketika membuka mata, Jenia merasa asing dengan objek pandangannya. Saat mencoba beringsut, rasa nyeri menyerang sampai Jenia meringis menahan sakit."Pumpkins Juice, kau sudah sadar?" Jamael yang tadinya berkutat dengan ponsel, langsung berlari menghampiri."Jamael? Kenapa kau ada di sini?"Jamael langsung duduk di sebelah ranjang pasien itu. "Kau pingsan. Jadi aku membawamu ke rumah sakit. Tolong katakan padaku, kenapa kau sampai pingsan, hm?"Ingin sekali Jamael mengelus lembut rambut Jenia. Seperti yang dahulu selalu dilakukannya setiap ada kesempatan berduaan. Betapa cintanya belum pernah meredup untuk perempuan pemilik hatinya ini. "Tidak ada. Aku hanya ... agak ceroboh." Jenia membuang muka, memilih untuk menatap jarum infus di tangan ketimbang wajah Jamael. Jenia tahu kalau Thomas tidak akan suka ada pengaduan tentang sikap monsternya itu. Karena tak ingin menambah panjang masalah, Jenia memilih untuk menutupinya. Walau Jamael mendesaknya. "Katakan, apa kau bahagia?" Jamael
Sedang sibuk berkubang dalam penyesalan tak berkesudahan, Thomas masuk ke kamar dan melihat Jenia duduk melamun di depan jendela kaca.Pasangan normal akan menghampiri lalu memeluk dari belakang, sambil melabuhkan kecupan manis di kepala. Namun, Thomas malah melempar tasnya ke lantai. Sehingga menimbulkan suara berisik yang tentu saja mengagetkan Jenia."Tom, kau sudah pulang." Jenia langsung sibuk memungut tas kerja sang suami. Thomas berdecih lalu mendekati Jenia. Tanpa belas kasihan, dicengkeramnya dagu sang istri. "Dengar, Keledai! Aku tak akan kembali ke rumah lama. Di sana aku selalu ingat semua upaya membangun rumah tangga, kau balas dengan hinaan telak."Jenia meringis. Bukan hanya karena menahan rasa sakit, tetapi aroma alkohol yang cukup menyengat keluar dari bibir Thomas. "Kau ini hanyalah alat balas dendam, Keledai! Jadi jalani saja semua kebusukan yang kau tuai." Thomas menghempaskan tubuh Jenia sampai terduduk di lantai.Tanpa peduli dengan ringisan Jenia, Thomas langs
Jenia menyeka keringat yang membanjir. Terhitung tiga hari dia tidak mengunjungi rumah lama. Jadi Jenia harus memastikan semua perkakas rumah bebas dari debu.Jenia khawatir tiba-tiba Thomas berkunjung dan memeriksa kondisi rumah. Suaminya itu tak segan untuk mencolek perabotan. Memastikan tidak ada debu yang tertinggal. Jenia membuka kulkas. Masih ada sisa apel, sosis dan telur. "Setidaknya aku masih bisa makan."Dia memang bersikeras menolak keinginan gila Jamael. Untung saja Jamael masih bisa diancam dengan kenekatan Jenia yang akan melompat keluar dari mobil, jika dipaksa mengikuti keinginan sang mantan.Walau jadinya Jamael mengetahui di mana tempat tinggal Jenia bersama Thomas, sebelum diminta untuk pindah. Jamael memang tidak mengatakan apa pun, karena Jenia langsung turun tanpa basa-basi.Setelah makan, Jenia menyeduh secangkir teh chamomile. Masih ada sisa beberapa kantung teh lagi. Jenia masih bisa tersenyum mengingat semua kenangannya di rumah ini.Walau Thomas sering memp
Jenia tampak lebih pucat. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat pelampiasan nafsu dari sang suami. Tentu dia tidak bisa mengadukan nasibnya ke siapa pun juga.Bibi Emma tidak enak badan. Karena itulah Jenia yang berkutat di dapur. Walau ada beberapa asisten rumah tangga lain, Daisy tak mengizinkan ada yang meringankan beban pekerjaan Jenia di dapur.Jenia tampak kelelahan karena sejak jam lima pagi sudah harus berkutat pada menu makanan. Dengan semua keinginan yang berbeda pula. Roti dan sosis panggang untuk Thomas. Sup kaldu asparagus lengkap dengan daging matang sempurna untuk Freya. Ayam mentega rendah lemak beserta rolade untuk Daisy. Tanpa sadar, Jenia membuat pie ayam untuk Jamael. Menu yang dahulu selalu dibuatkannya untuk sang mantan. Tepat ketika semua menu sudah terhidang rapi di atas meja, Jamael masuk ke dapur. Laki-laki itu memang tipe manusia pagi. Ia bahkan sudah selesai melakukan olahraga lari keliling perumahan."Selamat pagi, Pumpkins Juice. Di mana Bibi Emma?" tan
Jenia mengumpati sikap ingin tahu yang berlebihan di kepalanya. Karena ketika Jamael melirik ke arahnya, lengkap dengan senyum simpul khas itu, Freya malah mendengkus keras. Lalu mengusir Jenia begitu saja.Sudah berkali-kali Jenia berusaha mengalihkan isi kepalanya, tetap saja rasa ingin tahu itu mendominasi. Padahal ada hal yang seharusnya lebih menjadi bahan pemikiran, karena semalaman Thomas tidak kembali ke rumah. "Nona, kenapa?" Emma mengernyitkan dahi.Jenia seperti tertangkap basah. "Hah? Ti-tidak ada apa-apa, Bibi." Dipamerkannya senyum yang malah mirip seperti seringai itu.Bukannya Emma tidak memperhatikan sikap aneh dari Jenia. Hanya saja, jika Jenia tidak bercerita, tentu tak pantas untuk Emma mendesaknya.Emma mungkin hanyalah koki, tetapi semua aktivitas dalam kediaman keluarga Evra, tak luput dari pengamatannya. Termasuk kekejaman yang dialami Jenia. Emma mendekat. Lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada penguping di ruang dapur itu. "Jika terlalu sakit, belaja
"Kenapa kau?" Thomas menatap heran pada wajah pucat Jenia.Jenia tak mampu berkata apa pun. Detak jantungnya menggila. Takut kalau Thomas mendengar semua kalimat ketusnya untuk Jamael."Apa kau sudah selesai membersihkan kamar Freya?" Tatapan Thomas malah semakin tidak bersahabat."I-iya, sudah." Telapak tangan Jenia semakin lembab."Bagus. Aku tak suka mendengarnya menggerutu tentang lambannya kau. Pergilah. Kau bau!" Thomas mengusir Jenia.Dengan segera Jenia berlalu. Tak bisa dipungkiri bahwa di balik sikap takutnya, ada rasa lega luar biasa. Karena Thomas tidak tahu ada hubungan apa di antara dirinya dengan Jamael.Sayangnya, Jamael mendengar ucapan ketus yang dilontarkan Thomas untuk Jenia. Lelaki itu memejamkan mata, merasa bersalah karena ada andilnya dalam kemalangan yang menimpa sang mantan pacar.'Maafkan aku, Jenia. Si pengecut ini memang sangat buruk. Dengan apa aku bisa menebus semua dosa di masa lalu?' Jamael menghela napas berat.Sudah ada ikatan yang sakral di antara m
Plakkk!Satu tamparan mendarat telak lagi di pipi Jamael. Jari telunjuk Jenia mengacung seiring dengan tatapan marah. "Kau! Benar-benar tidak tahu malu. Kenapa kau melakukan hal seperti tadi, hah? Kau sengaja ingin menempatkan aku seperti perempuan murahan?"Jamael tersenyum, menahan rasa sedih yang menjalar di dada. Padahal tadi ia sudah merasa jemawa. Merasa sudah bisa menggapai kembali hati satu-satunya perempuan yang sangat dicintainya itu."Sampai kapan pun, jangan berakting kalau kita pernah saling kenal! Jangan menambah berat masalah dalam hidupku. Bagiku, kau sudah lama mati, Tuan Jamael Morgan!" Jenia menatap penuh benci dan marah sebelum pergi dari ruang keluarga itu.Air matanya luruh tanpa bisa dicegah. Dia merasa sudah mengkhianati pernikahan bersama Thomas. Walau selama ini, dia sendiri tidak bisa memastikan apakah Thomas setia. Namun, bagi Jenia, pernikahan mereka tetaplah hal yang paling sakral di dunia.'Ampuni aku, Tuhan. Aku malah seperti terkena hipnotis. Bodohnya
Tubuh Jenia yang ringkih itu sudah banjir peluh. Seisi rumah yang biasa ditempati bersama Thomas, sudah dibersihkan. Jenia masih sibuk mengatur napas yang terasa ngos-ngosan sambil duduk di depan televisi. Benda yang cukup jarang ditonton di waktu pagi hingga petang. Jenia duduk di kursi makan. Semilir angin berhembus masuk dari jendela kaca yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Bahan makanan yang masih tersisa di kulkas, bisa diolah agar Jenia bisa makan. Tanpa harus pulang ke kediaman mertuanya dengan perut lapar. Apalagi Thomas hanya memberikan uang sekadar untuk ongkos saja. Jenia menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali diembuskannya agar merasa lebih lega. Nyatanya, tidak. Ganjalan di dalam hatinya tetap saja enggan beranjak."Kenapa takdir hidup selucu ini? Aku harus bertemu dengan mantan pacar yang berengsek itu dengan status ipar." Jenia menatap kesal pada satu titik objek di depan matanya. Terlebih lagi melihat sikap sok polos yang ditampilkan Jamael. Jenia benci. Ingin
Cuaca di kota Chesnut cukup baik pagi ini. Sayangnya, tubuh Jenia terasa remuk. Semalam, Thomas tega membiarkannya tidur di lantai yang dingin. Hanya berlapis selembar selimut tipis, milik Jenia sendiri.Tak hanya itu, entah jam berapa akhirnya Jenia bisa memejamkan mata. Karena tak mudah baginya untuk membuang rasa yang bercampur aduk. Mengingat ada Jamael di lantai bawah. Jenia benci melihat sikap sok tenang yang ditampilkan mantan kekasihnya itu. Jenia benci melihat bagaimana mesranya Freya menggelayut manja di lengan kokoh yang pernah menawarkan kedamaian padanya. Entah berapa lama dan banyak Jenia membatin sambil menatap hampa ke langit-langit kamar. Bukan hanya itu, Jenia pun melengkapinya dengan ratapan tanpa suara. Hanya air mata yang berlinang sampai akhirnya dia kelelahan.Sekarang, Jenia terbangun dengan wajah yang mengerikan. Mata panda itu berpadu dengan cekungan yang tampak makin dalam. Belum lagi tulang pipi yang menonjol.Jenia bergegas bangun lalu melipat selimut. T