Hari ini sempurna. Sempurna, seperti biasa kalau aku melewatinya bersama Ellie. Walaupun siang tadi dia ngambek, walaupun kami hanya melakukan hal-hal biasa, walaupun kami hanya menghabiskan hari sambil nonton TV di kamar dan makan junkfood sampai kekenyangan, walaupun kami seharian hanya mandi sekali karena malas dan cuacanya dingin, walaupun Ellie tidak pakai make up dan tidak pakai baju seksi. Ellie sudah terlelap, di sampingku, semantara aku masih nonton TV karena tanggung film nya belum selesai.
Kulihat HP Ellie menyala, tapi tak ada suaranya. Kuambil dan kulihat, ternyata ada pesan dari Ryan. Ryan, atau Ellie menyimpan namanya sebagai ‘Hubby to be’, tentu saja adalah calon suami Ellie. Ya Tuhan. Rasanya aku seperti habis ditonjok. Saat sang calon istri tidur bersama lelaki lain, sang calon suami masih dengan manisnya mengucapkan selamat tidur tanpa tahu calon istrinya tidak tidur sendirian. Mendadak rasanya aku menjadi orang paling jahat dan paling tega yang pernah hidup di dunia ini.
Ellie dan calon suaminya, Ryan sudah menjalin hubungan selama delapan tahun, dimulai dari saat mereka sama-sama kuliah di Jepang dulu. Ryan seumuran denganku, empat tahun lebih tua daripada Ellie. Mereka sudah tujuh tahun menjalani long distance relationship karena saat Ellie masih belum lulus kuliah, Ryan sudah lulus dan kembali ke Indonesia, dan kini menetap di Singapura.
Sebenarnya hubungan mereka sempurna dan baik-baik saja. Ellie pun sebelumnya tak pernah macam-macam, walaupun tentu saja banyak laki-laki brengsek sepertiku yang selalu mencoba mendekatinya, sekadar ingin berteman atau berharap bisa mendapatkan sesuatu yang lebih darinya. Ellie pun hanya bisa bilang “aneh, kenapa harus kamu?” setiap kali kami membahas hubungan kami ini.
Ellie melarangku untuk kepo melihat isi HP-nya, dan biasanya aku juga tidak sepenasaran ini, karena aku tahu kalau pasti tak akan ada sesuatu yang spesial yang berkaitan denganku yang dia simpan di HP-nya. Dan memang benar, galeri foto di HP-nya tidak berisi foto yang berdua saja denganku, semua pasti bersama teman-teman kami yang lain, padahal Ellie selalu mengajakku berfoto kalau lagi berdua, tapi tentu pakai HP-ku sendiri. Kucari namaku di kontak-nya pun, dia hanya menamaiku : Mas Gamma, seperti dia menamai Mas Bara, atau Mas Adam atau Mas Arya. Padahal aku menyimpan namanya di HP-ku sebagai Lovely E.
Ya, mungkin dia hanya membutuhkan seseorang yang dapat menggantikan posisi Ryan di saat mereka berjauhan. Seseorang yang nyata, yang memperhatikannya, dan diperhatikan olehnya, bukan hanya sekedar dari obrolan manja lewat HP-nya. Seseorang yang memang ada di setiap hari-harinya, bukan yang hanya bertemu sebulan sekali seperti calon suaminya. Seseorang yang menemaninya setiap hari dari pagi sampai malam, berbicara dengannya, menggandeng tangannya, mencium bibirnya, memeluknya, memberikan apapun yang dia inginkan. Tapi nanti ada saatnya, posisi itu akan kembali kepada pemilik seharusnya. Dan aku tidak tahu akan seperti apa perasaanku jika saat itu tiba.
Aku suka sekali saat melihat Ellie bekerja. Mengamati wajah cantiknya yang terlihat fokus pada layar komputer, sesekali mengerut karena merasa bingung dengan apa yang dibacanya, atau kadang marah-marah sendiri kalau menemukan e-mail menyebalkan dari rekan-rekan bisnis bos kami, tak jarang juga ada yang mengajaknya kencan atau dengan polosnya berani bilang ‘mau booking nona sekretaris’. Biasanya dia akan berteriak-teriak memanggilku dan menghardik karena kesal.
Oh iya, aku dan Ellie berada di ruangan yang berseberangan di ruangan khusus bos kami, Mr. Ishikawa. Jadi di sini ini satu ruangan besar, saat pintunya dibuka akan ada semacam ruang tamu lengkap dengan sofa dan tv. Di sisi kanan adalah ruangan Ellie, di tengah adalah ruangan Mr. Ishikawa dan di sisi kiri adalah ruanganku. Ellie adalah sekretaris pribadinya Mr. Ishikawa, dan aku adalah salah satu orang kepercayaannya Mr. Ishikawa, sampai-sampai aku dikasih fasilitas ruangan sendiri di samping ruangannya. Dan bagian yang paling kusuka adalah, di ruangan ini tidak ada cctv nya, jadi kalau Mr. Ishikawa sedang tidak ada di dalam, aku tinggal mengunci pintu dan bisa berduaan dengan Ellie, hehehe.
Telepon yang ada di atas mejaku berdering, dan biasanya Ellie yang menelepon. Kami memang suka ngobrol pakai telepon kantor ini, kadang-kadang hanya untuk obrolan iseng aja sih.
“Mas, minggu depan kita ke Bali loh…” ujar Ellie, ada luapan rasa senang dari nada suaranya. Kebetulan juga nih sudah lama ngga liburan, apalagi ke Bali.
“Ada acara apa, nih?” tanyaku, karena Mr. Ishikawa belum bilang apa-apa sih padaku kalau akan mengajakku pergi ke Bali. Tapi biasanya beliau memang seperti itu sih, tidak pernah tanya-tanya dulu, tahu-tahu sudah membelikanku tiket pesawat dan booking hotel agar aku ikut dengannya.
“Hmm, di sini sih acaranya cuma gathering dan pembahasan akhir tahun sama sister company yang di Jepang.” jawab Ellie. “Acaranya seminggu, tiga hari acara resmi, sisanya acara bebas, Mr.Ishikawa sekalian bawa anak, istri sama cucu-cucunya.”
“Jadi, kita bisa liburan juga dong berdua?”
Padahal sudah setua ini, tapi membayangkan akan liburan berdua dengan Ellie tetap membuatku begitu excited, debaran rasa yang sama persis seperti ketika dulu aku mengajak cewek yang kusuka untuk nonton di bioskop saat masih SMP.
“Tapi aku harus bilang dulu ke Ryan, soalnya tanggal segitu kan lagi jadwalku ke tempatnya…”
“Oh iya…”
Ya dan aku merasa menang double begini. Seharusnya Ellie ke Singapura untuk mengunjungi Ryan, tapi nanti Ellie akan menghabiskan waktu liburan dengan berduaan denganku. Hmm kalau membahas segala sesuatu tentang calon suaminya itu suasana di antara kami selalu langsung berubah canggung. Seperti hal yang tak ingin kami bicarakan, tapi tetap harus dibicarakan. Karena bagaimanapun di sini, akulah si pecundang, seenaknya membawa calon istri orang ke ilusiku sendiri, menganggap dia memang pasangan sejatiku yang kelak akan kunikahi.
Dan anehnya, aku dan Ellie sama-sama tak mau, atau tak pernah untuk mencoba berhenti. Kalau alasanku ya sudah jelas, aku terlalu mencintainya. Aku memang sengaja membiarkan semua ini menjadi kebahagian bagiku, sampai kelak waktunya tiba, ketika Ellie akan sungguh-sungguh meninggalkanku. Kalau diibaratkan seperti orang pacaran, aku sudah tahu kapan Ellie akan memutuskanku, dan karena kutahu waktunya itu kapan, maka kubiarkan dan kunikmati saja selama dia masih bersamaku.
Dan alasannya yang tidak kumengerti adalah, mengapa dia tidak pergi? Mengapa dia tetap tinggal di sini denganku?
“Tapi kayaknya kalau aku bilang mau ke Bali, dia bakalan nyusulin ke Bali juga deh.”
“Kenapa begitu?” tanyaku mulai agak kecewa. Jujur aku belum pernah bertemu dengan Ryan. Yang kutahu tentangnya selama ini hanyalah dari cerita-cerita Ellie saja. Dan setiap dia cerita pun, dia tidak pernah menjelek-jelekkan calon suaminya itu. Dia selalu bilang kalau Ryan itu baik, sangat pengertian, sangat perhatian, yang akhirnya hanya akan membuatku bingung, jika memang Ryan itu sempurna, kenapa dia tetap mau menjalin hubungan denganku?
“Kemarin sih dia bilang mau ke Bali juga, tapi mau nyocokin jadwalnya sama aku biar bisa bareng-bareng di Bali.”
“Oh, mau liburan bareng juga.”
“Ngambek, ya?” ejeknya langsung to the point.
“Ngga.” jawabku datar, dia pasti tahu kalau aku memang kesal.
“Mas, udahan dulu ya? Ini ada telepon masuk kayaknya nanyain si Mister deh.”
“Oke.” Kemudian kututup telepon dan kembali kupandangi layar komputerku. Ada satu email yang baru masuk, dengan judul ‘FAMILY GATHERING - BALI’. Seperti yang Ellie bilang, kalau acaranya akan berlangsung tujuh hari, dengan tiga hari acara kantor, dan empat hari acara bebas. Sayangnya itu bukan acara untuk semua karyawan, jadi Bara dan Lily tidak bisa ikut. Karena aku dan Ellie adalah bawahan langsung dari Mr. Ishikawa, jadinya kami bisa ikut acara ini.
Sedikit cerita tentang bos kami itu, Mr. Ishikawa, beliau adalah orang yang paling mengharapkan hubungan kami segera mengalami kemajuan. Aku pun sangat berterima kasih padanya, karena dirinyalah aku bisa bertemu Ellie. Jadi sebenarnya, Ellie itu kuliah jurusan desain saat di Jepang dulu. Dan saat interview untuk bekerja di perusahaan ini, dia melamar posisi sebagai Art Director, namun karena Ellie dapat berkomunikasi dengan Bahasa Jepang, maka Mr. Ishikawa menawarkannya posisi sebagai sekretaris pribadinya.
Saat itu aku pun baru naik jabatan menjadi asisten dari asistennya Mr. Ishikawa. Jadilah aku sering bertemu dengan Ellie, pergi bersama dengannya, menemani bos kami meeting atau makan siang, atau mengunjungi rekanan bisnisnya. Awalnya hanya rekan kerja biasa, malah kuanggap Ellie adalah tipe wanita yang merepotkan. Kadang-kadang dia manja, banyak minta tolongnya, banyak maunya, tipikal wanita high maintenance pada umumnya. Tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa bisa memahaminya, begitu pun dengannya.
Selanjutnya kami menjadi semakin dekat, terbiasa berangkat dan pulang kantor bersama, sarapan sampai makan malam pun bersama. Aku juga sudah tahu kok kalau Ellie sudah punya kekasih yang hanya bisa ditemuinya sebulan atau dua bulan sekali, namun hal itu sama sekali tidak melunakkan niatku untuk mencoba hubungan yang baru bersamanya.
Kuingat betul, saat itu kami sedang berdua di ruang tamuku, menonton tv sambil makan cemilan. Dia tertawa-tawa menonton film komedi yang kulupa judulnya apa karena aku terlalu fokus pada persiapanku untuk mengajaknya ‘level up’.
“Ell, gimana kalau kita pacaran aja?” tanyaku kala itu. Dia langsung berhenti menonton dan segera memandangiku dengan mimik wajah agak panik.
“Tapi kan aku…” jawabnya terlihat gugup. Lucu sekali jika kuingat lagi saat itu. Kok bisa-bisanya dia gugup, padahal hal seperti itu pasti biasa dialaminya. Beberapa kali dia pernah cerita kok kalau ada beberapa orang di kantor yang mengajaknya pacaran seperti itu, tapi semuanya ditolak dengan judes dan dingin.
Sedikit nekad, aku beranikan diriku untuk mengecup keningnya. Tadinya ingin sekali langsung mencium bibirnya, tapi kupikir agak berlebihan kalau seperti itu, bisa-bisa dia marah dan tak mau dekat denganku lagi. Lucunya dapat kurasakan hawa panas dari wajahnya, dan kini pipinya sudah lebih merah daripada sebelumnya. Apa dia grogi kuperlakukan seperti ini?
“Selama ini kamu anggap aku apa?” tanyaku lagi, mempertegas. “Aku udah terlanjur sayang sama kamu loh, Ell. Setiap hari sama kamu, kamu pikir aku baik-baik aja dan ga jatuh cinta sama kamu?”
Dia menatapku, begitu serius. Entah kenapa bola mata coklatnya tampak lebih besar daripada biasanya. “Apa kita harus pacaran?” balasnya dengan bertanya. Dia masih menatapku, seolah mancari jawaban dari mataku.
“Kalau kamu mau, Ell…” jawabku, dengan berlaga sok pasrah, padahal rasanya aku sudah kocar kacir takut dia malah akan berpaling dan tak mau dekat denganku lagi.
“Do you love me, Mas?” tanyanya kembali, kali ini entah kenapa dia malah meraih jari-jari tanganku dan meremasnya. Matanya berbinar, seperti sedang menahan sesuatu. Air matakah?
“I do. I love you.” jawabku dengan percaya diri. “Aku ngga peduli walaupun kamu sudah punya pacar yang sudah berhubungan bertahun-tahun. Maaf aku egois, tapi aku sekarang cuma peduli sama diriku sendiri, dan kamu.”
Lantas kami hanya diam dan saling menatap. Tapi entah kenapa, rasanya dunia ikut berhenti. Sulit untuk bernapas, sulit untuk berkata-kata. Aku, kami, sungguh tak pernah tahu masa depan macam apa yang akan terjadi nanti. Aku menginginkannya, lebih daripada aku pernah menginginkan apapun dalam hidupku sebelumnya.
Perjalanan ke Bali itu pun memang akhirnya terjadi. Para bos kami dan keluarganya sudah berangkat lebih dulu dari kemarin, sehingga menyisakan aku dan Ellie dan beberapa karyawan yang memang diikutsertakan. Dan karena hanya ingin berduaan, aku sengaja reschedule jadwal pesawat sehingga dapat jadwal penerbangan tengah malam dan kondisi sepi penumpang. Ellie tampak menikmati dengan antengnya bergelayut di sebelahku, walaupun sebenarnya pikirannya sedang kemana-mana karena Ryan pun akan berkunjung juga ke Bali, tepatnya besok. “Besok Ryan minta aku jemput dia di bandara.” ujar Ellie sambil menyeruput kopi panasnya. “Kamu temenin aku, ya?” “Apa ngga jadi canggung nanti?” balasku tak yakin sambil ikut mencicipi kopinya. Bagiku aneh, karena Ellie selalu menikmati kopinya tanpa gula. Dia bilang sudah terbiasa karena sudah dari kecil ikut-ikutan menyicipi kopi racikan kakeknya yang memang dibuat tanpa gula. Malah baginya aneh kalau minum kopi tapi rasanya manis.
Kalau Bara selalu mendukungku untuk merebut Ellie dari Ryan, Lily adalah kebalikannya. Dia selalu berceloteh kalau aku dan Ellie lebih baik pisah saja daripada menjalani hubungan tidak jelas seperti ini. Jadi begitu ada kesempatan seperti ini, Lily dengan semangatnya mengirimiku foto-foto dari beberapa temannya yang dia bilang sedang ada di Bali saat ini. “Pick one and I’ll give you her number.” Begitulah kata Lily tadi di akhir chat-nya padaku. Kulihat-lihat dia mengirim foto dari tiga orang wanita, yang ketiganya terlihat cantik dan seksi. Kuteliti satu-satu dan kucari yang paling mirip dengan Ellie. Walaupun tidak ada, tapi yang paling sesuai seleraku adalah yang bernama Jessica, si rambut panjang dengan ujung bergelombang tipikal cewek salon. Jadilah aku menunggu Jessica ini di salah satu beach club tempat kami janjian tadi. Sebenarnya kalau mau cari pacar itu gampang, contohnya seperti ini, tinggal minta Lily untuk promosikan aku di hadapan teman-tem
Terdengar ketukan di pintu kamarku. Ketukan yang terdengar buru-buru, yang kutahu siapa yang sudah pasti mengetuk dengan cara seperti itu. Pasti Elliane. “Kenapa sih, Ell?” ujarku begitu kubukakan pintu. Dan benar, itu Ellie yang terlihat marah dan dia langsung menghambur masuk ke kamarku. “Kenapa sih, Ell?” ulangku lagi sambil menariknya dan berusaha mengajaknya untuk duduk di atas tempat tidur. Tapi dia menolak. Dia buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan menunjukkan sesuatu padaku. “INI APA? INI KENAPA BISA KAYAK GINI?” serunya dengan semakin marah dan menunjukkan isi ponselnya padaku. Yang Ellie tunjukkan adalah tangkapan layar dari akun sosial media yang pasti milik Jessica, menampilkan foto kami berdua yang terlihat begitu dekat dan sungguh mengesankan orang pengar yang baru saja bangun tidur. “Kamu dapat foto ini darimana?” balasku balik bertanya, dan jujur rasanya panik seperti orang yang ketahuan selingku
Sudah satu minggu berlalu sejak huru-hara di Bali itu, dan kini kehidupanku sudah berjalan normal kembali. Sempat ada satu drama lagi saat kami siap untuk pulang ke Jakarta, namun saat itu posisinya Ryan masih dua hari lagi di Bali. Jadilah Ellie mengajukan cuti dadakan karena masih ingin bersama dengan Ryan. Sebenarnya aku ingin melarangnya, tapi aku tak ingin membuatnya mengungkit perihal Jessica lagi karena itulah senjatanya sekarang. Dan di Jumat pagi yang agak mendung ini, aku sedang menunggu Ellie di basement parkiran tower apartemennya. Aku sudah beberapa kali meminta Ellie untuk pindah saja supaya dekat denganku, tapi dia bilang tidak bisa karena apartemen yang dia tempati sekarang itu milik Ryan dan akan jadi pertanyaan besar kenapa malah pindah padahal sudah difasilitasi. Lokasi kantor kami ada di antara apartemenku dan apartemen Ellie, jadi setiap hari aku harus berangkat jauh lebih awal agar bisa menjemputnya dulu. Dia tidak bisa menyetir, dan
Bara dan Lily pulang dari tempatku sekitar pukul sebelas malam, dan itu pun harus kuusir dulu karena aku ingin berduaan saja dengan Ellie. Ellie sendiri baru datang sekitar pukul sembilan dan langsung menyerbu kami dengan keluh kesah dan kelelahannya menjaga cucu balita Mr. Ishikawa yang sedang aktif dan ceriwis. Kini keadaan sudah tenang, aku dan Ellie sudah dalam posisi siap cuddling di atas kasur. Posisi Ellie memunggungiku, dia mengenakkan lingerie hitam yang cukup transparan dan menunjukkan bagian punggung yang terbuka. Putih, mulus, dan seksi tentunya. Kucium bagian tengkuknya dan dia merespon dengan kegelian. Aromanya menenangkan sekali. Obsesiku ingin sekali bisa merasakan hal ini setiap malam dan setiap bangun tidur, seumur hidupku. “Capek banget ya hari ini?” tanyaku sambil memeluknya dari belakang. Kuciumi aroma segar rambutnya yang baru saja keramas. “Mau aku pijitin?” Ellie berbalik ke posisi telentang. “Ngga usah,
Jadi semalam itu Ellie tetap ngotot ingin pulang dan tak ingin diantar olehku. Karena aku juga tak mungkin membiarkannya pulang sendirian tengah malam, mau tak mau aku meminta tolong Lily untuk menjemput Ellie dan mengantarkannya pulang. Sebenarnya pertikaian semalam benar-benar ingin kurahasiakan dari Lily ataupun Bara, tapi yang namanya Lily itu sudah sepaket dengan Bara. Tentu Lily datang berdua dengan Bara dan langsung menanyai kami macam-macam. Lalu hari ini, Ellie tak masuk kerja dengan alasan sakit padahal kata Lily sebenarnya dia masih tak mau bertemu denganku. Jadi sejak Jumat malam itu sampai Senin malam ini, Ellie sama sekali tidak menghubungiku. Aku beberapa kali meneleponnya dan mengiriminya pesan, tapi tetap diabaikan olehnya. “Lil, ajakin Ellie kesini dong!” pintaku pada Lily. Aku, Bara dan Lily, seperti biasa kami bertiga nongkrong di kafe dekat kantor karena percuma kalau langsung pulang jam di jam sekarang ini, jalanan Jaka
Kuhentikan laju mobil sesaat setelah Jessica meminta untuk berhenti. Tampak sebuah rumah kos-kosan yang tidak terlalu besar. Apakah Jessica tinggal di kosan ini? “Ngga usah heran.” Ucap Jessica seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. “Gue memang tinggal di sini kok.” “Sorry, bukan gitu…” aku jadi merasa tidak enakan. Saat ini sudah hampir pukul sebelas malam, dan aku disuruh Lily untuk mengantarkan Jessica pulang. Sebenarnya aku menghindari hal-hal seperti ini, seperti hanya berduaan dengannya tapi aku juga tidak bisa membiarkan dia pulang sendirian. “Kehidupan nyata ngga seindah sosial media, Gam…” Aku sudah ingin mematikan mesin mobil, tapi Jessica masih terlihat duduk dengan nyaman dan seperti belum ada niatan untuk turun. “Gimana rasanya jadi terkenal, Jess?” tanyaku, yang memang penasaran. Bagaimana rasanya punya pengikut hampir 100.000 orang? Bagaimana rasanya menghadapi banyak komentar dari oran
Kami benar-benar check in di hotel. Dan aku baru merasa menyesal sekarang. Kenapa aku melakukan hal ini lagi, dan mengkhianati Ellie lagi. Ah tapi aku begini kan karena Ellie juga cuek padaku berhari-hari. Ah itu hanya pembenaran. Ah memang akunya saja yang brengsek. Berbagai pemikiran muncul di kepalaku. Tak mungkin kan kalau aku dan Jessica hanya ngobrol berduaan di kamar sampai besok? Sekarang aku sedang di parkiran mobil, mengambil baju yang ada di bagasi, sedangkan Jessica sudah di kamar dan katanya mau mandi. Baju-baju yang kuambil ini adalah bajunya Ellie yang memang dia siapkan di dalam mobilku, niatnya mau dia simpan di lemariku, tapi karena kemarin dia keburu marah jadi baju-baju ini masih ada dalam bagasi. Aku rindu Ellie. Aku ingin mendengar suaranya. Sekali lagi aku mencoba meneleponnya, dan kalau dia mau angkat teleponku kali ini, saat ini juga aku akan kabur dari Jessica dan akan langsung mendatangi Ellie. Setelah tiga kali pang
Sebelum berangkat tadi aku langsung menelepon Bara dan memintanya untuk mengikuti sandiwaraku kalau-kalau Ellie sampai menanyakan pada Bara kemana aku. Tentu saja karena aku dan Bara sudah seperti botol dan tutupnya, dia hanya oke oke saja. Jadi di sinilah aku, di depan rumah kosan Jessica, padahal 20 menit lalu aku masih mengecup bibir wanita yang kuyakini sebagai cinta sejatiku. Tak lama, muncullah Jessica yang seperti dugaanku hanya mengenakan tanktop hitam dan celana pendek berwarna pink. Rambut panjangnya nampak digulung berantakan. Dia menyambutku dengan memberikan senyuman yang malah tampak seperti ejekan. Aku pun mengikutinya masuk ke dalam kosannya ini, melihat pintu-pintu kamar yang sunyi dan sepi, hanya ada rak sepatu, tempat sampah atau keranjang baju kotor. Tidak ada pintu yang terbuka. Kamar Jessica teletak di lantai dua, dan posisi paling pojok. Di depan kamarnya ada rak sepatu berisi sandal, tempat sampah, dan dua pot tanaman. Begitu masuk ke kamarnya, isi kamarn
Di hari ketiga Yaya menginap di sini, akhirnya dia bertemu dengan Ellie. Entah kenapa keduanya memintaku untuk mempertemukan mereka. Padahal aku sebenarnya tidak mau mereka saling kenal, karena ya, tentu saja hubunganku dan Ellie tidak akan berlangsung lama lagi. Dan sepertinya Yaya pun menyukai Ellie, tidak seperti responnya terhadap seluruh wanita yang pernah kukenalkan dulu. Seandainya saja aku bisa mengenalkan Ellie sebagai calon kakak iparnya… Kukira Yaya akan menanyakan tentangku seperti kenapa bisa jadi pacarku atau hal-hal semacamnya, tapi ternyata Yaya malah lebih tertarik membicarakan hal-hal seperti parfum, baju, salon bahkan drama Korea dan berbagai hal yang biasanya dibicarakan teman wanita. Yaya malah mengajak Ellie menginap di tempatku dan menyuruhku tidur di sofa karena mereka mau bergadang untuk menonton film. “Adek aja deh yang tidur di sofa. Mas sama Mbak Ell tidur di kamar.” godaku pada Yaya yang sedang mencoba beberapa pakaian Ellie yang terlihat ‘mini’. “Eh en
Aku sudah berbaikan lagi dengan Ellie. Kami menjalani hari-hari kami seperti biasa. Tiga hari ini kami susah bertemu karena Ellie di luar menemani si bos dan pulangnya langsung diantarkan ke apartemennya oleh supir kantor. Jadi, Rabu malam ini Ellie sengaja minta diantarkan ke tempatku karena dia akan menginap di sini. Aku yang sudah pulang dari pukul enam sore langsung bersih-bersih semua ruangan, terutama kamar tidur dan kamar mandi. Bel pintu depanku berbunyi. Hmm tumben sekali Ellie menekan bel dulu, biasanya dia langsung masuk, apa dia ingin aku menyambutnya dengan sebuah pelukan? Dengan semangat aku menuju pintu depan, sudah kubayangkan aku akan memeluknya, membawanya masuk lalu menciumnya. Tapi aku kaget sekali begitu kubuka pintu, ternyata bukan Ellie yang ada di sana. Yaya-lah yang berdiri di sana. Iya, Yaya adikku. Adik bungsuku. “Mas Gamma!!” Yaya menubruk untuk memelukku. “Adek kok di sini?” aku bing
Sesampainya di restoran sushi tujuan kami, aku dan Ellie masih diam-diaman. Ellie duduk sebelah Lily, dan di hadapannya adalah Bara, sedangkan aku duduk di sebelah Bara sehingga aku berhadapan dengan Lily. Sebenarnya aku tidak terlalu lapar dan aku juga tidak terlalu suka sushi. Ellie bilang sih ini restoran sushi yang paling enak karena rasanya otentik, mirip sushi yang biasa dia makan langsung di Jepang saat kuliah dulu. Dengan seenaknya, Ellie dan Lily memesan porsi yang cukup banyak. Aku tahu kalau Bara juga tidak terlalu suka sushi, makanya kami berpandangan dan merasa kesal karena kalau dua wanita ini kekenyangan, maka kami yang akan disuruh menghabiskan makanan mereka. “Enak kan?” tanya Ellie pada Lily sambil mengunyah makanannya. Entah kenapa dia lahap sekali kalau makan sushi. “Iya, enak!” Lily menjawab, tak kalah lahap makannya. “Gue sukanya sushi asli begini nih, kalau yang rasanya udah nyesuaiin lidah Indonesia, gue m
“Hah nemuin apa?” aku mengulang pertanyaannya. Takutnya aku salah dengar. “Bekas kondom Pak, di tempat sampah Bapak.” Ternyata aku memang tidak salah dengar. Bekas kondom yang menjadi perkara. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mbak Ira ini pasti akan mengancamku, memerasku agar dia tidak buka mulut mengenai penemuannya ini. Nyatanya dia masih berdiri di depanku, tersenyum penuh arti. “Mau berapa?” tanyaku langsung to the point. “Satu juta, Pak.” Jawab Mbak Ira dengan sangat lancar. Hari ini aku sudah merasa sangat lelah, sehingga aku malas berdebat dengannya. Kuambil dompetku, kebetulan aku baru saja mengambil uang cash dan langsung kukeluarkan sepuluh lembar uang Rp 100.000. Tanpa ragu dan malu-malu, si Mbak Ira itu langsung mengambil uang tersebut dan tersenyum senang. “Terima kasih ya Pak Gamma…” serunya, dapat terlihat jelas matanya berbinar memandangi kertas merah itu. “Ini untuk b
Ellie menipuku tentang meeting itu. Selain karena ternyata meeting-nya pukul dua siang, yang kebagian tugas presentasi pun memang bukan aku, melainkan Anita dari divisi SDM. Dia benar-benar hanya mencari alasan supaya aku datang ke kantor hari ini. Sekarang Ellie sudah kembali ke ruangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku pun ingin mengecek pending job-ku selama aku cuti kemarin, tapi kondisi mejaku berantakan sekali. Ya, tadi ada Ellie di atas meja ini, dengan berbagai posisi. Kami merasa sudah gila karena melakukannya seperti di film-film cabul dewasa. Ah kalau kuingat tadi rasanya aku jadi tegang lagi. Bukan pertama kalinya kami berbuat mesum di kantor, tapi yang tadi adalah yang paling gila yang pernah kami lakukan. Ellie mendominasi dan mengontrolku untuk melakukan ini dan itu. [I still want you. More. Come here.]. Aku mengiriminya pesan. [Aku masih banyak kerjaan. Laper juga belum sempat lunch.] [Mine getting h
Tepat pukul setengah sebelas aku tiba di kantor. Untungnya di jalan tadi tidak macet, dan aku pun sempat mengantarkan Jessica dulu ke kosannya. Kini aku sedang mengendap-endap di depan ruangan Ellie, aku ingin mendatanginya tapi tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Aku merasa seperti orang yang sudah beres selingkuh lalu kembali pulang ke pasangannya. “Ell?” tanyaku sambil mengetuk pintunya. “Ya, masuk aja.” Jawab Ellie dari dalam. Dengan masih merasa deg-degan kubuka pintu ruangannya dan akhirnya bisa kulihat lagi wanita yang paling kucintai di dunia ini. Hari ini rambutnya tampak agak berantakan, memakai kacamata, make up nya pun kelihatan tipis sekali. Dia memakai dress tanpa lengan berwarna toska. Aku hafal bajunya ini karena aku yang membelikannya beberapa bulan yang lalu. Ellie yang semula sedang fokus pada komputernya, kini dia memandangiku yang berdiri mematung. Tatapannya sangat mengintimidasi, seperti seorang ibu yang ma
Karena bosan di kamar terus, hari ini aku dan Jessica memutuskan untuk jalan-jalan keluar walaupun tanpa tujuan. Untuk sementara, Jessica menggunakan bajuku, daripada dia pakai baju Ellie yang terlihat sangat ketat di tubuhnya. Seharian kami hanya keluar masuk kafe dan tempat makan, jadi intinya kami hanya makan dan minum kopi di beberapa tempat berbeda. Aku ingin menjalin hubungan pertemanan yang benar dengannya, maksudku seperti aku berteman dengan Lily atau teman-teman wanita yang lain, bukan sekadar ‘teman sesaat di atas ranjang saja’. “Gam, kapan balik ke Jakarta?” tanya Jessica sambil menikmati es kopinya, itu sudah gelas ketiga untuk es kopi, dan dia juga meminum beberapa jenis kopi panas saat di kafe-kafe yang kami kunjungi tadi. Katanya sih dia bukan orang yang akan sulit tidur karena minum kopi. Aku iseng mengancamnya kalau nanti malam dia tak bisa tidur, maka aku akan ‘menikmatinya’ semalaman. “Lusa.” Jawabku sambil tetap memperhati
Aku terbangun dan kudapati Jessica masih terlelap di sampingku. Saat ini ternyata sudah hampir pukul sebelas siang. Kuperiksa ponselku dan tetap nihil, tak ada kabar dari Ellie. Yang ada malah Lily dan Bara yang berisik menanyai di mana aku, kenapa aku tiba-tiba cuti, apakah aku memang sedang bersama Jessica. “Emm… Gammmaaa…” kutengok, dan Jessica menggeliat lalu membuka matanya. “Jam berapa sekarang?” “Jam sebelas.” “Waaah lumayan lama juga ya tidurnya…” Semalam, atau tepatnya tadi pagi, Jessica tidur pukul empat sedangkan aku sejam kemudian karena aku mengirim email dulu untuk menginfokan bahwa aku cuti dan mengecek beberapa kerjaan yang untungnya bisa kukerjakan secara mobile. Jessica lantas bangun dan beranjak menuju meja untuk mengambil minum. Aduh kenapa penampilan saat bangun tidurnya ini membuatku nyaris tegang lagi, dengan rambut berantakan, wajah polos tanpa make up dan lingerie Ellie yang me