Bara dan Lily pulang dari tempatku sekitar pukul sebelas malam, dan itu pun harus kuusir dulu karena aku ingin berduaan saja dengan Ellie. Ellie sendiri baru datang sekitar pukul sembilan dan langsung menyerbu kami dengan keluh kesah dan kelelahannya menjaga cucu balita Mr. Ishikawa yang sedang aktif dan ceriwis.
Kini keadaan sudah tenang, aku dan Ellie sudah dalam posisi siap cuddling di atas kasur. Posisi Ellie memunggungiku, dia mengenakkan lingerie hitam yang cukup transparan dan menunjukkan bagian punggung yang terbuka. Putih, mulus, dan seksi tentunya. Kucium bagian tengkuknya dan dia merespon dengan kegelian. Aromanya menenangkan sekali. Obsesiku ingin sekali bisa merasakan hal ini setiap malam dan setiap bangun tidur, seumur hidupku.
“Capek banget ya hari ini?” tanyaku sambil memeluknya dari belakang. Kuciumi aroma segar rambutnya yang baru saja keramas. “Mau aku pijitin?”
Ellie berbalik ke posisi telentang. “Ngga usah, Mas. Kamu juga capek kan banyak meeting.”
“Aku capek ngeladenin Bara dan Lily.” Jawabku. “Apalagi Lily, cerewet banget. Pusing dengerin ocehannya.”
“Memang tadi ngobrolin apa aja, Mas sama Lily?”
“Ngobrolin para mantan pacarnya mereka…” jawabku cari aman karena tidak mungkin kuceritakan kalau kami juga membicarakan Jessica.
“Lily tuh mantan pacarnya banyak loh, Mas. Aku tuh heran banget kok bisa ya kayak gitu?”
“Hehehe aku juga bingung, dia tuh pacaran sama orang lain, sebulan dua bulan terus putus, balikan lagi sama Bara, putus lagi, sama orang lain lagi, putus lagi, balik ke Bara lagi. Begitu terus.”
“Aku tuh kadang-kadang sampe mikirin sebenernya apa yang dia cari kalau ujung-ujungnya balikan lagi sama Mas Bara.”
“Artinya belum ada yang seperkasa si Bara, HAHAHA!”
“Idih…” mungkin Ellie berpikiran, seperkasa itukah Bara?
“Loh iya, cocok kan sama namanya, Bara Perkasa Putra?!”
Kali ini Ellie terkekeh, mungkin benar-benar membayangkan si perkasa Bara.
“Kamu jangan coba-coba bayangin si Bara loh!” cegahku, takut-takut Ellie benar-benar membayangkan keperkasaan Bara.
“Ya ngga lah, aku malah geli jadinya!” Ellie kembali terkekeh dan kali ini berbalik lagi sehingga kini kami berhadapan. Salah satu yang paling kusukai dari Ellie adalah, dia selalu tidur dalam keadaan cantik dan wangi. Setiap malam sebelum tidur, dia pasti mandi, lalu menggunakan skincare dan memakai parfum. Katanya agar ketika bangun nanti, dia akan merasakan kulitnya tetap lembab dan lembut. Kusentuh bibir bawahnya dengan ibu jariku dan kurasakan bibirnya lembut sekali dan sedikit berwarna pink.
“Kamu kok cantik banget, sih…” jujur aku sedang tidak menggombalinya. Karena setidaknya, bagiku, Ellie memang secantik itu. “Tiap hari selalu bikin aku deg-degan kalau liatin kamu…”
“Kalau jadi pacar kamu kan memang harus cantik, dong…” balas Ellie tak kalah gombalnya.
“Memangnya beneran pacar aku?”
“Iya, kalau ngga ada Ryan, kamu pacar aku. Tapi kalau ada Ryan, baru kamu selingkuhan aku.” Lagi-lagi dia menggoda. Entah kenapa aku tak bisa marah dengan perkataannya itu. Karena memang kenyataannya seperti itu, dan kami menikmatinya.
Kudekatkan tubuhku padanya agar dia lebih menempel padaku. Dapat kurasakan betapa halus kulitnya dan wangi tubuhnya. Sumpah ini membuatku bergairah sekali. Tapi kami sudah sepakat kalau malam ini hanya cuddling biasa dan pillow talk sampai kami benar-benar mengantuk.
“Ell…” kukecup pipinya. “Ayo pilih, kamu mau dinikahi siapa? Aku atau Ryan?”
Aku jarang sekali menanyakan pada Ellie tentang pilihannya, antara aku atau Ryan. Karena prinsipku adalah jalani saja hubungan ini, biarkan waktu yang akan menjawab. Biarkan Ellie tergerak sendiri nantinya, tentang siapa yang lebih pantas bersamanya. Biarkan semuanya berjalan sesuai takdir yang membawa kisah ini. Tapi semakin lama, aku semakin ingin kepastian. Sebelumnya kupikir dengan berjalannya waktu dan adanya kehadiranku yang sangat intens di hidupnya, itu akan membuatnya berpaling dari Ryan, namun ternyata aku salah. Setelah melihat langsung bagaimana interaksi mereka di Bali kemarin, aku menyadari bahwa tak sedikitpun rasa cinta Ellie pada Ryan memudar. Bisakah seseorang mencintai dua orang yang berbeda di waktu yang sama?
“Boleh ngga, nikahnya sama kalian berdua?” sungguh luar biasa jawabannya.
“Ngga boleh serakah!” ujarku gemas sambil mencubiti pipinya. “Memang kenapa sih, Ell? Kamu ngga akan ada di sebelahku sekarang kalau kamu ngga cinta sama aku kan?”
Ellie menghela napas. Memang berat sekali rasanya membicarakan hal ini secara serius. Seperti selalu ada beban di dada yang membuat sulit bernapas. “Aku ngga bisa milih, Mas…”
Masih jawaban yang sama, dan selalu jawaban yang sama : dia tidak bisa memilih. Lantas apa, Ell? Apa yang membuatmu begitu sulit memilih antara aku atau Ryan? Kalau dibandingkan ya memang, Ryan lebih unggul daripada aku dalam semua aspek, tapi bukankah dengan aku yang seperti ini pun sudah cukup bagi Ellie? Dia bilang dia bahagia denganku, dia selalu terlindungi, dia selalu menjadi prioritasku.
“Aku selalu mikirin keluargaku juga, Mas.”
Oke. Untuk yang ini, Ellie memang belum pernah berkisah. Aku maupun Ellie memang jarang sekali membicarakan tentang keluarga masing-masing. Karena kupikir percuma kalau kami tak bisa bersama nantinya. Lagipula, bisa kupastikan kalau Ellie bukan calon menantu idaman bagi orang tuaku. Kepercayaan kami berbeda. Latar belakang keluarga kami pun berbeda. Tapi tetap saja aku sudah memikirkannya, seandainya nanti Ellie memilihku daripada Ryan, aku akan tetap menikahinya walaupun tanpa restu dari keluargaku.
“Pasti aku bukan tipe calon menantu idaman Mama Papamu kan?”
Ellie mengangguk. “Makanya kupikir, terlalu berat buat bawa kamu masuk ke keluargaku.”
“Kalau masalah kita beda agama, aku bersedia kok ikutin agamamu, asal bisa nikah sama kamu!” seruku seolah memberi kemudahan baginya. Obsesiku semakin gila sepertinya.
“Jangan ngawur!” Ellie menepuk pelan pipiku. “Nanti Ibu Bapakmu sedih, kecewa.”
Itu sih sudah pasti. Aku sudah bisa membayangkan akan sekecewa apa orang tuaku, kakak dan adikku. Walaupun aku dan keliaranku seperti ini, tapi keluargaku termasuk ke dalam kategori keluarga religius. Mereka pasti tidak akan merelakan anak lelaki satu-satunya ini berganti keyakinan karena mengejar cinta seorang wanita.
“Kamu tau kan aku punya dua kakak perempuan?” tanya Ellie. Yap, tentu aku tahu, walaupun aku tidak kenal tapi pernah kulihat foto-fotonya dari ponsel Ellie. Ellie ini anak bungsu dengan dua kakak perempuan. Sedangkan aku anak tengah dengan kakak dan adik perempuan.
“Kakakku itu dua-duanya pindah agama, Mas, karena ikut suaminya.” Ungkap Ellie. “Walaupun di mulut bilangnya ikhlas, rela, tapi dulu hampir setiap hari Mama itu nangisin kakakku. Aku ngga mau bikin Mama nangis kayak gitu juga.”
Ya memang sih hal seperti ini sangat sensitif, dan aku mengerti ada anak-anak seperti Ellie yang lebih mementingkan kebahagiaan orang tuanya daripada kebahagiannya sendiri.
“Tapi sekarang mereka semua udah baik-baik aja kan?”
Ellie mengangguk. “Tapi itu traumatik banget buat aku. Dari dulu jadinya aku selalu berpikiran, aku ngga mau bikin orang tuaku seperti itu juga. Eh malah ketemunya kamu!”
Takdir lah yang mempermainkan.
“Ditambah, aku sama Ryan ini udah lama pacaran. Mamaku dan Mamanya udah jadi temen baik malahan. Seandainya aku pisah dari Ryan, yang patah hati nanti bukan aku aja atau Ryan aja, tapi Mama kami juga.”
Jadi yang bisa kusimpulkan adalah kenapa Ellie tidak bisa memilih, karena terlalu memikirkan kebahagian dan perasaan keluarganya bukan?
“Kalau ngga ada faktor keluarga, kamu lebih milih aku kan daripada Ryan?”
Ellie diam dan menatapku tajam. “Kamu kenapa sih, Mas selalu ingin aku milih?”
“Ya karena aku ingin tau aja, siapa yang lebih kamu cinta!”
Aku sepertinya agak tersinggung dengan pertanyaannya jadi nada bicaraku agak sedikit tinggi. Dan itu membuat Ellie semakin tajam menatapku. Sebentar lagi dia pasti akan marah. Dan benar saja, dia segera beranjak bangun, mengikat rambutnya dan berjalan ke lemari, membukanya dan kemudian mengeluarkan jaket serta celana panjang.
“Aku mau pulang aja.” Ucapnya datar.
“Ini udah tengah malem, Ell…” aku pun ikut bangun dan mendekatinya yang kini sedang memakai jaket dan celana panjangnya.
“Aku bisa pulang sendiri kalau kamu ngga mau nganterin.”
Kuambil napas panjang supaya aku bisa lebih rileks. Oke, dia wanita, dan dia harus selalu benar.
“Ell, jangan gitu ya?” aku pun mulai memohon. “Maafin aku, ya?”
Ellie kemudian menghentikan kegiatannya. Dia diam, dan kembali menatapku. Kulihat mukanya memerah dan air matanya menggenang di matanya, ingin menetes tapi seperti ditahan olehnya.
“Kenapa ngga kamu aja yang pergi, Mas?”
Kali ini aku yang diam, memandanginya. Tahan, Gamma, jangan bicara. Biarkan dia bicara lebih dulu.
“Kamu tau kan aku ngga bisa milih? Aku nungguin loh, nungguin kamu ninggalin aku. Aku nungguin kamu nyerah.” Ellie masih berusaha menahan air matanya, tapi kini gagal. Suaranya pun terdengar bergetar. Dia sedang menahan emosinya. “Kalau kamu nyerah, ya udah aku juga bakal nyerah.”
Pecah sudah tangisnya. Begitu juga denganku. Rasanya aku pun ingin menangis. Baru kulihat Ellie seperti ini, seperti meluapkan segala beban hatinya. Bodohnya aku tidak pernah menyadari hal ini begitu membebaninya. Selama ini aku ternyata brengsek karena terus menanyakan siapa pilihannya, padahal mau bagaimanapun, pilihannya adalah Ryan. Dia hanya menungguku untuk menyerah.
Aku menarik tubuhnya dan langsung kupeluk dia dengan erat. Aku tak mau melepaskannya. “Aku belum mau nyerah, Ell…”
Ellie diam dan tangisannya semakin menjadi. Ya Tuhan, kenapa rasanya sesak sekali? Sakit sekali seperti ini, melihatnya menangis, menahan emosiku sendiri dan menyadari kalau hubungan ini akan segera berakhir dalam beberapa bulan ke depan.
Jadi semalam itu Ellie tetap ngotot ingin pulang dan tak ingin diantar olehku. Karena aku juga tak mungkin membiarkannya pulang sendirian tengah malam, mau tak mau aku meminta tolong Lily untuk menjemput Ellie dan mengantarkannya pulang. Sebenarnya pertikaian semalam benar-benar ingin kurahasiakan dari Lily ataupun Bara, tapi yang namanya Lily itu sudah sepaket dengan Bara. Tentu Lily datang berdua dengan Bara dan langsung menanyai kami macam-macam. Lalu hari ini, Ellie tak masuk kerja dengan alasan sakit padahal kata Lily sebenarnya dia masih tak mau bertemu denganku. Jadi sejak Jumat malam itu sampai Senin malam ini, Ellie sama sekali tidak menghubungiku. Aku beberapa kali meneleponnya dan mengiriminya pesan, tapi tetap diabaikan olehnya. “Lil, ajakin Ellie kesini dong!” pintaku pada Lily. Aku, Bara dan Lily, seperti biasa kami bertiga nongkrong di kafe dekat kantor karena percuma kalau langsung pulang jam di jam sekarang ini, jalanan Jaka
Kuhentikan laju mobil sesaat setelah Jessica meminta untuk berhenti. Tampak sebuah rumah kos-kosan yang tidak terlalu besar. Apakah Jessica tinggal di kosan ini? “Ngga usah heran.” Ucap Jessica seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. “Gue memang tinggal di sini kok.” “Sorry, bukan gitu…” aku jadi merasa tidak enakan. Saat ini sudah hampir pukul sebelas malam, dan aku disuruh Lily untuk mengantarkan Jessica pulang. Sebenarnya aku menghindari hal-hal seperti ini, seperti hanya berduaan dengannya tapi aku juga tidak bisa membiarkan dia pulang sendirian. “Kehidupan nyata ngga seindah sosial media, Gam…” Aku sudah ingin mematikan mesin mobil, tapi Jessica masih terlihat duduk dengan nyaman dan seperti belum ada niatan untuk turun. “Gimana rasanya jadi terkenal, Jess?” tanyaku, yang memang penasaran. Bagaimana rasanya punya pengikut hampir 100.000 orang? Bagaimana rasanya menghadapi banyak komentar dari oran
Kami benar-benar check in di hotel. Dan aku baru merasa menyesal sekarang. Kenapa aku melakukan hal ini lagi, dan mengkhianati Ellie lagi. Ah tapi aku begini kan karena Ellie juga cuek padaku berhari-hari. Ah itu hanya pembenaran. Ah memang akunya saja yang brengsek. Berbagai pemikiran muncul di kepalaku. Tak mungkin kan kalau aku dan Jessica hanya ngobrol berduaan di kamar sampai besok? Sekarang aku sedang di parkiran mobil, mengambil baju yang ada di bagasi, sedangkan Jessica sudah di kamar dan katanya mau mandi. Baju-baju yang kuambil ini adalah bajunya Ellie yang memang dia siapkan di dalam mobilku, niatnya mau dia simpan di lemariku, tapi karena kemarin dia keburu marah jadi baju-baju ini masih ada dalam bagasi. Aku rindu Ellie. Aku ingin mendengar suaranya. Sekali lagi aku mencoba meneleponnya, dan kalau dia mau angkat teleponku kali ini, saat ini juga aku akan kabur dari Jessica dan akan langsung mendatangi Ellie. Setelah tiga kali pang
Aku terbangun dan kudapati Jessica masih terlelap di sampingku. Saat ini ternyata sudah hampir pukul sebelas siang. Kuperiksa ponselku dan tetap nihil, tak ada kabar dari Ellie. Yang ada malah Lily dan Bara yang berisik menanyai di mana aku, kenapa aku tiba-tiba cuti, apakah aku memang sedang bersama Jessica. “Emm… Gammmaaa…” kutengok, dan Jessica menggeliat lalu membuka matanya. “Jam berapa sekarang?” “Jam sebelas.” “Waaah lumayan lama juga ya tidurnya…” Semalam, atau tepatnya tadi pagi, Jessica tidur pukul empat sedangkan aku sejam kemudian karena aku mengirim email dulu untuk menginfokan bahwa aku cuti dan mengecek beberapa kerjaan yang untungnya bisa kukerjakan secara mobile. Jessica lantas bangun dan beranjak menuju meja untuk mengambil minum. Aduh kenapa penampilan saat bangun tidurnya ini membuatku nyaris tegang lagi, dengan rambut berantakan, wajah polos tanpa make up dan lingerie Ellie yang me
Karena bosan di kamar terus, hari ini aku dan Jessica memutuskan untuk jalan-jalan keluar walaupun tanpa tujuan. Untuk sementara, Jessica menggunakan bajuku, daripada dia pakai baju Ellie yang terlihat sangat ketat di tubuhnya. Seharian kami hanya keluar masuk kafe dan tempat makan, jadi intinya kami hanya makan dan minum kopi di beberapa tempat berbeda. Aku ingin menjalin hubungan pertemanan yang benar dengannya, maksudku seperti aku berteman dengan Lily atau teman-teman wanita yang lain, bukan sekadar ‘teman sesaat di atas ranjang saja’. “Gam, kapan balik ke Jakarta?” tanya Jessica sambil menikmati es kopinya, itu sudah gelas ketiga untuk es kopi, dan dia juga meminum beberapa jenis kopi panas saat di kafe-kafe yang kami kunjungi tadi. Katanya sih dia bukan orang yang akan sulit tidur karena minum kopi. Aku iseng mengancamnya kalau nanti malam dia tak bisa tidur, maka aku akan ‘menikmatinya’ semalaman. “Lusa.” Jawabku sambil tetap memperhati
Tepat pukul setengah sebelas aku tiba di kantor. Untungnya di jalan tadi tidak macet, dan aku pun sempat mengantarkan Jessica dulu ke kosannya. Kini aku sedang mengendap-endap di depan ruangan Ellie, aku ingin mendatanginya tapi tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Aku merasa seperti orang yang sudah beres selingkuh lalu kembali pulang ke pasangannya. “Ell?” tanyaku sambil mengetuk pintunya. “Ya, masuk aja.” Jawab Ellie dari dalam. Dengan masih merasa deg-degan kubuka pintu ruangannya dan akhirnya bisa kulihat lagi wanita yang paling kucintai di dunia ini. Hari ini rambutnya tampak agak berantakan, memakai kacamata, make up nya pun kelihatan tipis sekali. Dia memakai dress tanpa lengan berwarna toska. Aku hafal bajunya ini karena aku yang membelikannya beberapa bulan yang lalu. Ellie yang semula sedang fokus pada komputernya, kini dia memandangiku yang berdiri mematung. Tatapannya sangat mengintimidasi, seperti seorang ibu yang ma
Ellie menipuku tentang meeting itu. Selain karena ternyata meeting-nya pukul dua siang, yang kebagian tugas presentasi pun memang bukan aku, melainkan Anita dari divisi SDM. Dia benar-benar hanya mencari alasan supaya aku datang ke kantor hari ini. Sekarang Ellie sudah kembali ke ruangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku pun ingin mengecek pending job-ku selama aku cuti kemarin, tapi kondisi mejaku berantakan sekali. Ya, tadi ada Ellie di atas meja ini, dengan berbagai posisi. Kami merasa sudah gila karena melakukannya seperti di film-film cabul dewasa. Ah kalau kuingat tadi rasanya aku jadi tegang lagi. Bukan pertama kalinya kami berbuat mesum di kantor, tapi yang tadi adalah yang paling gila yang pernah kami lakukan. Ellie mendominasi dan mengontrolku untuk melakukan ini dan itu. [I still want you. More. Come here.]. Aku mengiriminya pesan. [Aku masih banyak kerjaan. Laper juga belum sempat lunch.] [Mine getting h
“Hah nemuin apa?” aku mengulang pertanyaannya. Takutnya aku salah dengar. “Bekas kondom Pak, di tempat sampah Bapak.” Ternyata aku memang tidak salah dengar. Bekas kondom yang menjadi perkara. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mbak Ira ini pasti akan mengancamku, memerasku agar dia tidak buka mulut mengenai penemuannya ini. Nyatanya dia masih berdiri di depanku, tersenyum penuh arti. “Mau berapa?” tanyaku langsung to the point. “Satu juta, Pak.” Jawab Mbak Ira dengan sangat lancar. Hari ini aku sudah merasa sangat lelah, sehingga aku malas berdebat dengannya. Kuambil dompetku, kebetulan aku baru saja mengambil uang cash dan langsung kukeluarkan sepuluh lembar uang Rp 100.000. Tanpa ragu dan malu-malu, si Mbak Ira itu langsung mengambil uang tersebut dan tersenyum senang. “Terima kasih ya Pak Gamma…” serunya, dapat terlihat jelas matanya berbinar memandangi kertas merah itu. “Ini untuk b
Sebelum berangkat tadi aku langsung menelepon Bara dan memintanya untuk mengikuti sandiwaraku kalau-kalau Ellie sampai menanyakan pada Bara kemana aku. Tentu saja karena aku dan Bara sudah seperti botol dan tutupnya, dia hanya oke oke saja. Jadi di sinilah aku, di depan rumah kosan Jessica, padahal 20 menit lalu aku masih mengecup bibir wanita yang kuyakini sebagai cinta sejatiku. Tak lama, muncullah Jessica yang seperti dugaanku hanya mengenakan tanktop hitam dan celana pendek berwarna pink. Rambut panjangnya nampak digulung berantakan. Dia menyambutku dengan memberikan senyuman yang malah tampak seperti ejekan. Aku pun mengikutinya masuk ke dalam kosannya ini, melihat pintu-pintu kamar yang sunyi dan sepi, hanya ada rak sepatu, tempat sampah atau keranjang baju kotor. Tidak ada pintu yang terbuka. Kamar Jessica teletak di lantai dua, dan posisi paling pojok. Di depan kamarnya ada rak sepatu berisi sandal, tempat sampah, dan dua pot tanaman. Begitu masuk ke kamarnya, isi kamarn
Di hari ketiga Yaya menginap di sini, akhirnya dia bertemu dengan Ellie. Entah kenapa keduanya memintaku untuk mempertemukan mereka. Padahal aku sebenarnya tidak mau mereka saling kenal, karena ya, tentu saja hubunganku dan Ellie tidak akan berlangsung lama lagi. Dan sepertinya Yaya pun menyukai Ellie, tidak seperti responnya terhadap seluruh wanita yang pernah kukenalkan dulu. Seandainya saja aku bisa mengenalkan Ellie sebagai calon kakak iparnya… Kukira Yaya akan menanyakan tentangku seperti kenapa bisa jadi pacarku atau hal-hal semacamnya, tapi ternyata Yaya malah lebih tertarik membicarakan hal-hal seperti parfum, baju, salon bahkan drama Korea dan berbagai hal yang biasanya dibicarakan teman wanita. Yaya malah mengajak Ellie menginap di tempatku dan menyuruhku tidur di sofa karena mereka mau bergadang untuk menonton film. “Adek aja deh yang tidur di sofa. Mas sama Mbak Ell tidur di kamar.” godaku pada Yaya yang sedang mencoba beberapa pakaian Ellie yang terlihat ‘mini’. “Eh en
Aku sudah berbaikan lagi dengan Ellie. Kami menjalani hari-hari kami seperti biasa. Tiga hari ini kami susah bertemu karena Ellie di luar menemani si bos dan pulangnya langsung diantarkan ke apartemennya oleh supir kantor. Jadi, Rabu malam ini Ellie sengaja minta diantarkan ke tempatku karena dia akan menginap di sini. Aku yang sudah pulang dari pukul enam sore langsung bersih-bersih semua ruangan, terutama kamar tidur dan kamar mandi. Bel pintu depanku berbunyi. Hmm tumben sekali Ellie menekan bel dulu, biasanya dia langsung masuk, apa dia ingin aku menyambutnya dengan sebuah pelukan? Dengan semangat aku menuju pintu depan, sudah kubayangkan aku akan memeluknya, membawanya masuk lalu menciumnya. Tapi aku kaget sekali begitu kubuka pintu, ternyata bukan Ellie yang ada di sana. Yaya-lah yang berdiri di sana. Iya, Yaya adikku. Adik bungsuku. “Mas Gamma!!” Yaya menubruk untuk memelukku. “Adek kok di sini?” aku bing
Sesampainya di restoran sushi tujuan kami, aku dan Ellie masih diam-diaman. Ellie duduk sebelah Lily, dan di hadapannya adalah Bara, sedangkan aku duduk di sebelah Bara sehingga aku berhadapan dengan Lily. Sebenarnya aku tidak terlalu lapar dan aku juga tidak terlalu suka sushi. Ellie bilang sih ini restoran sushi yang paling enak karena rasanya otentik, mirip sushi yang biasa dia makan langsung di Jepang saat kuliah dulu. Dengan seenaknya, Ellie dan Lily memesan porsi yang cukup banyak. Aku tahu kalau Bara juga tidak terlalu suka sushi, makanya kami berpandangan dan merasa kesal karena kalau dua wanita ini kekenyangan, maka kami yang akan disuruh menghabiskan makanan mereka. “Enak kan?” tanya Ellie pada Lily sambil mengunyah makanannya. Entah kenapa dia lahap sekali kalau makan sushi. “Iya, enak!” Lily menjawab, tak kalah lahap makannya. “Gue sukanya sushi asli begini nih, kalau yang rasanya udah nyesuaiin lidah Indonesia, gue m
“Hah nemuin apa?” aku mengulang pertanyaannya. Takutnya aku salah dengar. “Bekas kondom Pak, di tempat sampah Bapak.” Ternyata aku memang tidak salah dengar. Bekas kondom yang menjadi perkara. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mbak Ira ini pasti akan mengancamku, memerasku agar dia tidak buka mulut mengenai penemuannya ini. Nyatanya dia masih berdiri di depanku, tersenyum penuh arti. “Mau berapa?” tanyaku langsung to the point. “Satu juta, Pak.” Jawab Mbak Ira dengan sangat lancar. Hari ini aku sudah merasa sangat lelah, sehingga aku malas berdebat dengannya. Kuambil dompetku, kebetulan aku baru saja mengambil uang cash dan langsung kukeluarkan sepuluh lembar uang Rp 100.000. Tanpa ragu dan malu-malu, si Mbak Ira itu langsung mengambil uang tersebut dan tersenyum senang. “Terima kasih ya Pak Gamma…” serunya, dapat terlihat jelas matanya berbinar memandangi kertas merah itu. “Ini untuk b
Ellie menipuku tentang meeting itu. Selain karena ternyata meeting-nya pukul dua siang, yang kebagian tugas presentasi pun memang bukan aku, melainkan Anita dari divisi SDM. Dia benar-benar hanya mencari alasan supaya aku datang ke kantor hari ini. Sekarang Ellie sudah kembali ke ruangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku pun ingin mengecek pending job-ku selama aku cuti kemarin, tapi kondisi mejaku berantakan sekali. Ya, tadi ada Ellie di atas meja ini, dengan berbagai posisi. Kami merasa sudah gila karena melakukannya seperti di film-film cabul dewasa. Ah kalau kuingat tadi rasanya aku jadi tegang lagi. Bukan pertama kalinya kami berbuat mesum di kantor, tapi yang tadi adalah yang paling gila yang pernah kami lakukan. Ellie mendominasi dan mengontrolku untuk melakukan ini dan itu. [I still want you. More. Come here.]. Aku mengiriminya pesan. [Aku masih banyak kerjaan. Laper juga belum sempat lunch.] [Mine getting h
Tepat pukul setengah sebelas aku tiba di kantor. Untungnya di jalan tadi tidak macet, dan aku pun sempat mengantarkan Jessica dulu ke kosannya. Kini aku sedang mengendap-endap di depan ruangan Ellie, aku ingin mendatanginya tapi tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Aku merasa seperti orang yang sudah beres selingkuh lalu kembali pulang ke pasangannya. “Ell?” tanyaku sambil mengetuk pintunya. “Ya, masuk aja.” Jawab Ellie dari dalam. Dengan masih merasa deg-degan kubuka pintu ruangannya dan akhirnya bisa kulihat lagi wanita yang paling kucintai di dunia ini. Hari ini rambutnya tampak agak berantakan, memakai kacamata, make up nya pun kelihatan tipis sekali. Dia memakai dress tanpa lengan berwarna toska. Aku hafal bajunya ini karena aku yang membelikannya beberapa bulan yang lalu. Ellie yang semula sedang fokus pada komputernya, kini dia memandangiku yang berdiri mematung. Tatapannya sangat mengintimidasi, seperti seorang ibu yang ma
Karena bosan di kamar terus, hari ini aku dan Jessica memutuskan untuk jalan-jalan keluar walaupun tanpa tujuan. Untuk sementara, Jessica menggunakan bajuku, daripada dia pakai baju Ellie yang terlihat sangat ketat di tubuhnya. Seharian kami hanya keluar masuk kafe dan tempat makan, jadi intinya kami hanya makan dan minum kopi di beberapa tempat berbeda. Aku ingin menjalin hubungan pertemanan yang benar dengannya, maksudku seperti aku berteman dengan Lily atau teman-teman wanita yang lain, bukan sekadar ‘teman sesaat di atas ranjang saja’. “Gam, kapan balik ke Jakarta?” tanya Jessica sambil menikmati es kopinya, itu sudah gelas ketiga untuk es kopi, dan dia juga meminum beberapa jenis kopi panas saat di kafe-kafe yang kami kunjungi tadi. Katanya sih dia bukan orang yang akan sulit tidur karena minum kopi. Aku iseng mengancamnya kalau nanti malam dia tak bisa tidur, maka aku akan ‘menikmatinya’ semalaman. “Lusa.” Jawabku sambil tetap memperhati
Aku terbangun dan kudapati Jessica masih terlelap di sampingku. Saat ini ternyata sudah hampir pukul sebelas siang. Kuperiksa ponselku dan tetap nihil, tak ada kabar dari Ellie. Yang ada malah Lily dan Bara yang berisik menanyai di mana aku, kenapa aku tiba-tiba cuti, apakah aku memang sedang bersama Jessica. “Emm… Gammmaaa…” kutengok, dan Jessica menggeliat lalu membuka matanya. “Jam berapa sekarang?” “Jam sebelas.” “Waaah lumayan lama juga ya tidurnya…” Semalam, atau tepatnya tadi pagi, Jessica tidur pukul empat sedangkan aku sejam kemudian karena aku mengirim email dulu untuk menginfokan bahwa aku cuti dan mengecek beberapa kerjaan yang untungnya bisa kukerjakan secara mobile. Jessica lantas bangun dan beranjak menuju meja untuk mengambil minum. Aduh kenapa penampilan saat bangun tidurnya ini membuatku nyaris tegang lagi, dengan rambut berantakan, wajah polos tanpa make up dan lingerie Ellie yang me