Terdengar ketukan di pintu kamarku. Ketukan yang terdengar buru-buru, yang kutahu siapa yang sudah pasti mengetuk dengan cara seperti itu. Pasti Elliane.
“Kenapa sih, Ell?” ujarku begitu kubukakan pintu. Dan benar, itu Ellie yang terlihat marah dan dia langsung menghambur masuk ke kamarku.
“Kenapa sih, Ell?” ulangku lagi sambil menariknya dan berusaha mengajaknya untuk duduk di atas tempat tidur. Tapi dia menolak. Dia buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan menunjukkan sesuatu padaku.
“INI APA? INI KENAPA BISA KAYAK GINI?” serunya dengan semakin marah dan menunjukkan isi ponselnya padaku. Yang Ellie tunjukkan adalah tangkapan layar dari akun sosial media yang pasti milik Jessica, menampilkan foto kami berdua yang terlihat begitu dekat dan sungguh mengesankan orang pengar yang baru saja bangun tidur.
“Kamu dapat foto ini darimana?” balasku balik bertanya, dan jujur rasanya panik seperti orang yang ketahuan selingkuh.
“Jawab pertanyaan aku dulu!” balas Ellie lebih galak lagi.
“Oke, kamu dengerin aku, dan jangan marah-marah dulu, please?” pintaku sambil kembali berusaha menariknya untuk duduk. Kali ini dia tidak menolak.
“Cewek itu namanya Jessica.” Aku pun mulai menjelaskan. “Dia temennya Lily. Aku kenal dia dari Lily.”
“Habis ngapain? Kenapa fotonya begini?” Ellie kembali memburuku. Aku sudah tahu pikiran Ellie akan kemana.
“Kamu dapat foto ini darimana?” aku mengulangi pertanyaanku. Karena aku sama sekali no idea kenapa dia bisa menemukan foto itu, yang bahkan aku juga tidak tahu kalau ada foto seperti itu.
“Dari Litta.” Jawabnya datar. Oke, dari Litta? Kenapa bisa dari Litta, teman sekantor kami?
Ah, bodohnya aku! Aku lupa kalau Jessica itu punya pengikut hampir 100.000 akun di sosial medianya. Mungkin Litta salah satu pengikutnya dan pasti dia terkaget mendapati aku si Gamma yang seharusnya dia ketahui sebagai pacar Elliane malah muncul di unggahan sosial media Jessica dan menyiratkan kalau kami habis terlibat one night stand.
What happens in Bali, stays in Bali. Begitulah yang Jessica sampaikan pada unggahannya itu.
“Oke, Ell, I’m sorry, really…” aku memilih untuk langsung mengaku salah dan meminta maaf. “Aku salah. Kamu boleh marah sekarang.”
“Kamu kan, bilang ngga akan main-main lagi sama cewek lain…” dan kini dia mulai menangis. Air matanya sudah menetes. Ah luar biasa dalam waktu sehari semalam ini ada dua wanita menangis di hadapanku.
“Ell, aku bisa sampai ketemu Jessica juga gara-gara kamu.” Kali ini rasanya aku tak mau 100% disalahkan lagi. “Memangnya kenapa Lily sampai ngenalin Jessica ke aku? Memangnya kenapa aku mau ketemu Jessica?”
Dia terdiam. Mungkin baru sadar kalau dialah penyebabnya. “Tapi kan…”
“Kamu sendiri, kemana sama Ryan? Kenapa ngilang ngga ada kabar? Kalian ngapain aja?” aku mencoba membalas. Ini hanyalah unek-unek yang memang ingin kusampaikan padanya. “Kamu pikir, aku ngga cemburu mikirin kamu? Kamu di sini, tapi bukan sama aku, gimana rasanya jadi aku, Ell?”
Sebenarnya kami jarang sekali berargumen ketika membahas hal serius seperti ini. Hal-hal seperti ini lebih sering kami hindari dan kami biarkan hubungan kami berjalan apa adanya. Kalaupun ribut ataupun adu pendapat biasanya hanya karena hal-hal sepele seperti ketika aku ingin makan soto betawi tapi dia maunya pecel ayam. Atau ketika aku ingin mengabiskan akhir pekan dengan menamatkan game, dia maunya jalan-jalan.
“Mas, tapi kamu ngapain sama dia?” lagi-lagi Ellie masih ngotot membahas Jessica. “Did you fuck her?”
“I did.” Jawabku seadanya. “It’s only one night stand, Ell. Kamu pasti paham. Aku ketemu dia juga diperantarai Lily, aku ngga punya nomor HP-nya, aku ngga tau dia tinggal di mana, aku sengaja ngga tanya itu saat ngobrol sama dia.”
It’s true. Aku dan Jessica sepakat tidak akan saling menyimpan nomor HP. Tidak perlu tahu tinggal di mana, walaupun yang jelas Jessica pun tinggal di Jakarta. Seperti kata Jessica, what happens ini Bali, stays in Bali. Tapi kami membuat kesepakatan lain, yang Ellie atau siapapun tidak perlu tahu. Jika aku bertemu lagi dengan Jessica benar-benar secara tidak sengaja, maka kami akan melakukannya lagi, our second night stand.
Aku menarik tubuh Ellie agar dapat kupeluk. Tangisnya sudah berhenti dan dia sudah kelihatan lebih tenang. “Maafin aku, ya?”
Ellie hanya mengangguk. Entah apa yang ada di pikirannya.
Beginilah kami. Mungkin karena kami memulai hubungan ini dengan cara yang tidak benar, jadi hal-hal seperti ini menjadi ‘mudah dimaafkan’. Aku tahu apa yang Ellie lakukan jika bersama Ryan, bahkan kadang fantasiku membayangkannya, tapi pada kenyataannya aku hanya bisa menelan itu semua dengan pahit. Mungkin aku marah, aku kesal, tapi hanya sebatas itu yang dapat kulakukan. Obsesiku padanya bisa mengalahkan semua itu. Ketika dia kembali lagi padaku, aku akan menganggap tidak terjadi apa-apa. Aku tetap menjadi aku yang begitu cinta padanya.
Keheningan kami dipecahkan oleh suara dering dari ponsel Ellie. Ryan yang meneleponnya. Tapi dia bergeming, tidak menjawabnya.
“Kenapa ngga diangkat?” tanyaku penasaran.
“Ngga apa-apa. Aku tadi panik cari kamu setelah lihat foto dari Litta.” Jawab Ellie, kini lebih rileks. “Harusnya aku ketemu Ryan di lobby sekarang.”
Saat ini sudah masuk jam makan siang. Mungkin niatnya mereka mau lunch.
“Ya udah, temuin dia dulu. Nanti nyariin loh.”
“Ngga mau. Nanti kalau aku pergi sama dia, kamu main-main lagi sama cewek lain!”
Akupun ingin tertawa mendengarnya. Langsung kuserbu wajahnya dan kuciumi dia. Kalau semalam Jessica beraroma seperti alkohol, Ellie kini beraroma seperti kue yang manis sekali. Sepertinya dia pakai parfum baru, karena wangi ini belum pernah kucium sebelumnya.
“Jadi kamu mau di sini aja, ngga mau ketemu Ryan?”
“Aku mau sama kamu dulu, baru nanti ketemu dia.”
Ellie pun menarik tubuhku ke kasur sehingga kini dia di bawah dan aku di atasnya. Betapa cantik wajahnya yang masih merah dan sembab. Kalau sudah seperti ini rasanya ingin terus menerus menciuminya.
“I love you, Elliane…”
Ellie memejamkan mata dan sedikit membuka bibirnya. Aku pun segera menyambutnya dengan memberinya ciuman. Oh inilah yang terbaik. Inilah yang paling kuinginkan.
TING TONG!
Aku dan Ellie berhenti sejenak dan kami berpandangan. Ada yang membunyikan bel kamarku. Ah sialan aku lupa memasang tag don’t disturb di pintu.
“Room service?” tanya Ellie padaku.
“Aku ngga manggil room service.”
Ellie segera terduduk dan tampak agak panik. “Kayaknya itu Ryan deh nyariin aku.”
Aku pun langsung ikutan panik dan buru-buru memakai kemejaku lagi. Kok bisa Ryan tahu kamarku segala?
Dan memang itu Ryan, begitu kuintip dari lubang kecil yang ada di pintu. Kutarik napas panjang untuk meredakan kegugupanku. Mau tak mau pintu ini harus kubuka. Ah luar biasa, ternyata begini rasanya digrebek.
“Oh hai,”sapa Ryan begitu pintu kubuka dan kudapati dia tersenyum padaku. “Gamma kan?”
“Oh, iya.” Balasku berusaha tenang. “Pacarnya Ellie kan? Ada apa?”
“Lihat atau tau Elliane ada di mana? Saya telponin dan cari ke kamarnya, tapi ngga ada.”
Kekasihmu ada di sini, dalam kamarku, setengah bugil dan menungguku. Ah rasanya ingin bisa kujawab seperti itu. Tapi sampai saat ini aku masih menjadi terlalu pengecut.
“Oh, kayaknya ada rapat mendadak jadi Ellie ke tempat bos deh.” Begitulah jawaban, atau alasan yang bisa kukeluarkan. “Ini saya juga baru dikabari.”
“Oh I see… Thank you. Maaf ya sudah ganggu.”
Aku hanya balas tersenyum dan Ryan pun berlalu. Perlahan laju jantungku pun menjadi lebih tenang. Sensasi yang nyata dan berbeda dengan yang selama ini kurasakan. Aku merasa menjadi orang yang seribu kali lebih brengsek daripada sebelumnya. Namun keegoisanku malah membuatku merasa senang atas itu, karena kini Ellie bersamaku, tidak bersama Ryan.
Sudah satu minggu berlalu sejak huru-hara di Bali itu, dan kini kehidupanku sudah berjalan normal kembali. Sempat ada satu drama lagi saat kami siap untuk pulang ke Jakarta, namun saat itu posisinya Ryan masih dua hari lagi di Bali. Jadilah Ellie mengajukan cuti dadakan karena masih ingin bersama dengan Ryan. Sebenarnya aku ingin melarangnya, tapi aku tak ingin membuatnya mengungkit perihal Jessica lagi karena itulah senjatanya sekarang. Dan di Jumat pagi yang agak mendung ini, aku sedang menunggu Ellie di basement parkiran tower apartemennya. Aku sudah beberapa kali meminta Ellie untuk pindah saja supaya dekat denganku, tapi dia bilang tidak bisa karena apartemen yang dia tempati sekarang itu milik Ryan dan akan jadi pertanyaan besar kenapa malah pindah padahal sudah difasilitasi. Lokasi kantor kami ada di antara apartemenku dan apartemen Ellie, jadi setiap hari aku harus berangkat jauh lebih awal agar bisa menjemputnya dulu. Dia tidak bisa menyetir, dan
Bara dan Lily pulang dari tempatku sekitar pukul sebelas malam, dan itu pun harus kuusir dulu karena aku ingin berduaan saja dengan Ellie. Ellie sendiri baru datang sekitar pukul sembilan dan langsung menyerbu kami dengan keluh kesah dan kelelahannya menjaga cucu balita Mr. Ishikawa yang sedang aktif dan ceriwis. Kini keadaan sudah tenang, aku dan Ellie sudah dalam posisi siap cuddling di atas kasur. Posisi Ellie memunggungiku, dia mengenakkan lingerie hitam yang cukup transparan dan menunjukkan bagian punggung yang terbuka. Putih, mulus, dan seksi tentunya. Kucium bagian tengkuknya dan dia merespon dengan kegelian. Aromanya menenangkan sekali. Obsesiku ingin sekali bisa merasakan hal ini setiap malam dan setiap bangun tidur, seumur hidupku. “Capek banget ya hari ini?” tanyaku sambil memeluknya dari belakang. Kuciumi aroma segar rambutnya yang baru saja keramas. “Mau aku pijitin?” Ellie berbalik ke posisi telentang. “Ngga usah,
Jadi semalam itu Ellie tetap ngotot ingin pulang dan tak ingin diantar olehku. Karena aku juga tak mungkin membiarkannya pulang sendirian tengah malam, mau tak mau aku meminta tolong Lily untuk menjemput Ellie dan mengantarkannya pulang. Sebenarnya pertikaian semalam benar-benar ingin kurahasiakan dari Lily ataupun Bara, tapi yang namanya Lily itu sudah sepaket dengan Bara. Tentu Lily datang berdua dengan Bara dan langsung menanyai kami macam-macam. Lalu hari ini, Ellie tak masuk kerja dengan alasan sakit padahal kata Lily sebenarnya dia masih tak mau bertemu denganku. Jadi sejak Jumat malam itu sampai Senin malam ini, Ellie sama sekali tidak menghubungiku. Aku beberapa kali meneleponnya dan mengiriminya pesan, tapi tetap diabaikan olehnya. “Lil, ajakin Ellie kesini dong!” pintaku pada Lily. Aku, Bara dan Lily, seperti biasa kami bertiga nongkrong di kafe dekat kantor karena percuma kalau langsung pulang jam di jam sekarang ini, jalanan Jaka
Kuhentikan laju mobil sesaat setelah Jessica meminta untuk berhenti. Tampak sebuah rumah kos-kosan yang tidak terlalu besar. Apakah Jessica tinggal di kosan ini? “Ngga usah heran.” Ucap Jessica seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. “Gue memang tinggal di sini kok.” “Sorry, bukan gitu…” aku jadi merasa tidak enakan. Saat ini sudah hampir pukul sebelas malam, dan aku disuruh Lily untuk mengantarkan Jessica pulang. Sebenarnya aku menghindari hal-hal seperti ini, seperti hanya berduaan dengannya tapi aku juga tidak bisa membiarkan dia pulang sendirian. “Kehidupan nyata ngga seindah sosial media, Gam…” Aku sudah ingin mematikan mesin mobil, tapi Jessica masih terlihat duduk dengan nyaman dan seperti belum ada niatan untuk turun. “Gimana rasanya jadi terkenal, Jess?” tanyaku, yang memang penasaran. Bagaimana rasanya punya pengikut hampir 100.000 orang? Bagaimana rasanya menghadapi banyak komentar dari oran
Kami benar-benar check in di hotel. Dan aku baru merasa menyesal sekarang. Kenapa aku melakukan hal ini lagi, dan mengkhianati Ellie lagi. Ah tapi aku begini kan karena Ellie juga cuek padaku berhari-hari. Ah itu hanya pembenaran. Ah memang akunya saja yang brengsek. Berbagai pemikiran muncul di kepalaku. Tak mungkin kan kalau aku dan Jessica hanya ngobrol berduaan di kamar sampai besok? Sekarang aku sedang di parkiran mobil, mengambil baju yang ada di bagasi, sedangkan Jessica sudah di kamar dan katanya mau mandi. Baju-baju yang kuambil ini adalah bajunya Ellie yang memang dia siapkan di dalam mobilku, niatnya mau dia simpan di lemariku, tapi karena kemarin dia keburu marah jadi baju-baju ini masih ada dalam bagasi. Aku rindu Ellie. Aku ingin mendengar suaranya. Sekali lagi aku mencoba meneleponnya, dan kalau dia mau angkat teleponku kali ini, saat ini juga aku akan kabur dari Jessica dan akan langsung mendatangi Ellie. Setelah tiga kali pang
Aku terbangun dan kudapati Jessica masih terlelap di sampingku. Saat ini ternyata sudah hampir pukul sebelas siang. Kuperiksa ponselku dan tetap nihil, tak ada kabar dari Ellie. Yang ada malah Lily dan Bara yang berisik menanyai di mana aku, kenapa aku tiba-tiba cuti, apakah aku memang sedang bersama Jessica. “Emm… Gammmaaa…” kutengok, dan Jessica menggeliat lalu membuka matanya. “Jam berapa sekarang?” “Jam sebelas.” “Waaah lumayan lama juga ya tidurnya…” Semalam, atau tepatnya tadi pagi, Jessica tidur pukul empat sedangkan aku sejam kemudian karena aku mengirim email dulu untuk menginfokan bahwa aku cuti dan mengecek beberapa kerjaan yang untungnya bisa kukerjakan secara mobile. Jessica lantas bangun dan beranjak menuju meja untuk mengambil minum. Aduh kenapa penampilan saat bangun tidurnya ini membuatku nyaris tegang lagi, dengan rambut berantakan, wajah polos tanpa make up dan lingerie Ellie yang me
Karena bosan di kamar terus, hari ini aku dan Jessica memutuskan untuk jalan-jalan keluar walaupun tanpa tujuan. Untuk sementara, Jessica menggunakan bajuku, daripada dia pakai baju Ellie yang terlihat sangat ketat di tubuhnya. Seharian kami hanya keluar masuk kafe dan tempat makan, jadi intinya kami hanya makan dan minum kopi di beberapa tempat berbeda. Aku ingin menjalin hubungan pertemanan yang benar dengannya, maksudku seperti aku berteman dengan Lily atau teman-teman wanita yang lain, bukan sekadar ‘teman sesaat di atas ranjang saja’. “Gam, kapan balik ke Jakarta?” tanya Jessica sambil menikmati es kopinya, itu sudah gelas ketiga untuk es kopi, dan dia juga meminum beberapa jenis kopi panas saat di kafe-kafe yang kami kunjungi tadi. Katanya sih dia bukan orang yang akan sulit tidur karena minum kopi. Aku iseng mengancamnya kalau nanti malam dia tak bisa tidur, maka aku akan ‘menikmatinya’ semalaman. “Lusa.” Jawabku sambil tetap memperhati
Tepat pukul setengah sebelas aku tiba di kantor. Untungnya di jalan tadi tidak macet, dan aku pun sempat mengantarkan Jessica dulu ke kosannya. Kini aku sedang mengendap-endap di depan ruangan Ellie, aku ingin mendatanginya tapi tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Aku merasa seperti orang yang sudah beres selingkuh lalu kembali pulang ke pasangannya. “Ell?” tanyaku sambil mengetuk pintunya. “Ya, masuk aja.” Jawab Ellie dari dalam. Dengan masih merasa deg-degan kubuka pintu ruangannya dan akhirnya bisa kulihat lagi wanita yang paling kucintai di dunia ini. Hari ini rambutnya tampak agak berantakan, memakai kacamata, make up nya pun kelihatan tipis sekali. Dia memakai dress tanpa lengan berwarna toska. Aku hafal bajunya ini karena aku yang membelikannya beberapa bulan yang lalu. Ellie yang semula sedang fokus pada komputernya, kini dia memandangiku yang berdiri mematung. Tatapannya sangat mengintimidasi, seperti seorang ibu yang ma
Sebelum berangkat tadi aku langsung menelepon Bara dan memintanya untuk mengikuti sandiwaraku kalau-kalau Ellie sampai menanyakan pada Bara kemana aku. Tentu saja karena aku dan Bara sudah seperti botol dan tutupnya, dia hanya oke oke saja. Jadi di sinilah aku, di depan rumah kosan Jessica, padahal 20 menit lalu aku masih mengecup bibir wanita yang kuyakini sebagai cinta sejatiku. Tak lama, muncullah Jessica yang seperti dugaanku hanya mengenakan tanktop hitam dan celana pendek berwarna pink. Rambut panjangnya nampak digulung berantakan. Dia menyambutku dengan memberikan senyuman yang malah tampak seperti ejekan. Aku pun mengikutinya masuk ke dalam kosannya ini, melihat pintu-pintu kamar yang sunyi dan sepi, hanya ada rak sepatu, tempat sampah atau keranjang baju kotor. Tidak ada pintu yang terbuka. Kamar Jessica teletak di lantai dua, dan posisi paling pojok. Di depan kamarnya ada rak sepatu berisi sandal, tempat sampah, dan dua pot tanaman. Begitu masuk ke kamarnya, isi kamarn
Di hari ketiga Yaya menginap di sini, akhirnya dia bertemu dengan Ellie. Entah kenapa keduanya memintaku untuk mempertemukan mereka. Padahal aku sebenarnya tidak mau mereka saling kenal, karena ya, tentu saja hubunganku dan Ellie tidak akan berlangsung lama lagi. Dan sepertinya Yaya pun menyukai Ellie, tidak seperti responnya terhadap seluruh wanita yang pernah kukenalkan dulu. Seandainya saja aku bisa mengenalkan Ellie sebagai calon kakak iparnya… Kukira Yaya akan menanyakan tentangku seperti kenapa bisa jadi pacarku atau hal-hal semacamnya, tapi ternyata Yaya malah lebih tertarik membicarakan hal-hal seperti parfum, baju, salon bahkan drama Korea dan berbagai hal yang biasanya dibicarakan teman wanita. Yaya malah mengajak Ellie menginap di tempatku dan menyuruhku tidur di sofa karena mereka mau bergadang untuk menonton film. “Adek aja deh yang tidur di sofa. Mas sama Mbak Ell tidur di kamar.” godaku pada Yaya yang sedang mencoba beberapa pakaian Ellie yang terlihat ‘mini’. “Eh en
Aku sudah berbaikan lagi dengan Ellie. Kami menjalani hari-hari kami seperti biasa. Tiga hari ini kami susah bertemu karena Ellie di luar menemani si bos dan pulangnya langsung diantarkan ke apartemennya oleh supir kantor. Jadi, Rabu malam ini Ellie sengaja minta diantarkan ke tempatku karena dia akan menginap di sini. Aku yang sudah pulang dari pukul enam sore langsung bersih-bersih semua ruangan, terutama kamar tidur dan kamar mandi. Bel pintu depanku berbunyi. Hmm tumben sekali Ellie menekan bel dulu, biasanya dia langsung masuk, apa dia ingin aku menyambutnya dengan sebuah pelukan? Dengan semangat aku menuju pintu depan, sudah kubayangkan aku akan memeluknya, membawanya masuk lalu menciumnya. Tapi aku kaget sekali begitu kubuka pintu, ternyata bukan Ellie yang ada di sana. Yaya-lah yang berdiri di sana. Iya, Yaya adikku. Adik bungsuku. “Mas Gamma!!” Yaya menubruk untuk memelukku. “Adek kok di sini?” aku bing
Sesampainya di restoran sushi tujuan kami, aku dan Ellie masih diam-diaman. Ellie duduk sebelah Lily, dan di hadapannya adalah Bara, sedangkan aku duduk di sebelah Bara sehingga aku berhadapan dengan Lily. Sebenarnya aku tidak terlalu lapar dan aku juga tidak terlalu suka sushi. Ellie bilang sih ini restoran sushi yang paling enak karena rasanya otentik, mirip sushi yang biasa dia makan langsung di Jepang saat kuliah dulu. Dengan seenaknya, Ellie dan Lily memesan porsi yang cukup banyak. Aku tahu kalau Bara juga tidak terlalu suka sushi, makanya kami berpandangan dan merasa kesal karena kalau dua wanita ini kekenyangan, maka kami yang akan disuruh menghabiskan makanan mereka. “Enak kan?” tanya Ellie pada Lily sambil mengunyah makanannya. Entah kenapa dia lahap sekali kalau makan sushi. “Iya, enak!” Lily menjawab, tak kalah lahap makannya. “Gue sukanya sushi asli begini nih, kalau yang rasanya udah nyesuaiin lidah Indonesia, gue m
“Hah nemuin apa?” aku mengulang pertanyaannya. Takutnya aku salah dengar. “Bekas kondom Pak, di tempat sampah Bapak.” Ternyata aku memang tidak salah dengar. Bekas kondom yang menjadi perkara. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mbak Ira ini pasti akan mengancamku, memerasku agar dia tidak buka mulut mengenai penemuannya ini. Nyatanya dia masih berdiri di depanku, tersenyum penuh arti. “Mau berapa?” tanyaku langsung to the point. “Satu juta, Pak.” Jawab Mbak Ira dengan sangat lancar. Hari ini aku sudah merasa sangat lelah, sehingga aku malas berdebat dengannya. Kuambil dompetku, kebetulan aku baru saja mengambil uang cash dan langsung kukeluarkan sepuluh lembar uang Rp 100.000. Tanpa ragu dan malu-malu, si Mbak Ira itu langsung mengambil uang tersebut dan tersenyum senang. “Terima kasih ya Pak Gamma…” serunya, dapat terlihat jelas matanya berbinar memandangi kertas merah itu. “Ini untuk b
Ellie menipuku tentang meeting itu. Selain karena ternyata meeting-nya pukul dua siang, yang kebagian tugas presentasi pun memang bukan aku, melainkan Anita dari divisi SDM. Dia benar-benar hanya mencari alasan supaya aku datang ke kantor hari ini. Sekarang Ellie sudah kembali ke ruangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku pun ingin mengecek pending job-ku selama aku cuti kemarin, tapi kondisi mejaku berantakan sekali. Ya, tadi ada Ellie di atas meja ini, dengan berbagai posisi. Kami merasa sudah gila karena melakukannya seperti di film-film cabul dewasa. Ah kalau kuingat tadi rasanya aku jadi tegang lagi. Bukan pertama kalinya kami berbuat mesum di kantor, tapi yang tadi adalah yang paling gila yang pernah kami lakukan. Ellie mendominasi dan mengontrolku untuk melakukan ini dan itu. [I still want you. More. Come here.]. Aku mengiriminya pesan. [Aku masih banyak kerjaan. Laper juga belum sempat lunch.] [Mine getting h
Tepat pukul setengah sebelas aku tiba di kantor. Untungnya di jalan tadi tidak macet, dan aku pun sempat mengantarkan Jessica dulu ke kosannya. Kini aku sedang mengendap-endap di depan ruangan Ellie, aku ingin mendatanginya tapi tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Aku merasa seperti orang yang sudah beres selingkuh lalu kembali pulang ke pasangannya. “Ell?” tanyaku sambil mengetuk pintunya. “Ya, masuk aja.” Jawab Ellie dari dalam. Dengan masih merasa deg-degan kubuka pintu ruangannya dan akhirnya bisa kulihat lagi wanita yang paling kucintai di dunia ini. Hari ini rambutnya tampak agak berantakan, memakai kacamata, make up nya pun kelihatan tipis sekali. Dia memakai dress tanpa lengan berwarna toska. Aku hafal bajunya ini karena aku yang membelikannya beberapa bulan yang lalu. Ellie yang semula sedang fokus pada komputernya, kini dia memandangiku yang berdiri mematung. Tatapannya sangat mengintimidasi, seperti seorang ibu yang ma
Karena bosan di kamar terus, hari ini aku dan Jessica memutuskan untuk jalan-jalan keluar walaupun tanpa tujuan. Untuk sementara, Jessica menggunakan bajuku, daripada dia pakai baju Ellie yang terlihat sangat ketat di tubuhnya. Seharian kami hanya keluar masuk kafe dan tempat makan, jadi intinya kami hanya makan dan minum kopi di beberapa tempat berbeda. Aku ingin menjalin hubungan pertemanan yang benar dengannya, maksudku seperti aku berteman dengan Lily atau teman-teman wanita yang lain, bukan sekadar ‘teman sesaat di atas ranjang saja’. “Gam, kapan balik ke Jakarta?” tanya Jessica sambil menikmati es kopinya, itu sudah gelas ketiga untuk es kopi, dan dia juga meminum beberapa jenis kopi panas saat di kafe-kafe yang kami kunjungi tadi. Katanya sih dia bukan orang yang akan sulit tidur karena minum kopi. Aku iseng mengancamnya kalau nanti malam dia tak bisa tidur, maka aku akan ‘menikmatinya’ semalaman. “Lusa.” Jawabku sambil tetap memperhati
Aku terbangun dan kudapati Jessica masih terlelap di sampingku. Saat ini ternyata sudah hampir pukul sebelas siang. Kuperiksa ponselku dan tetap nihil, tak ada kabar dari Ellie. Yang ada malah Lily dan Bara yang berisik menanyai di mana aku, kenapa aku tiba-tiba cuti, apakah aku memang sedang bersama Jessica. “Emm… Gammmaaa…” kutengok, dan Jessica menggeliat lalu membuka matanya. “Jam berapa sekarang?” “Jam sebelas.” “Waaah lumayan lama juga ya tidurnya…” Semalam, atau tepatnya tadi pagi, Jessica tidur pukul empat sedangkan aku sejam kemudian karena aku mengirim email dulu untuk menginfokan bahwa aku cuti dan mengecek beberapa kerjaan yang untungnya bisa kukerjakan secara mobile. Jessica lantas bangun dan beranjak menuju meja untuk mengambil minum. Aduh kenapa penampilan saat bangun tidurnya ini membuatku nyaris tegang lagi, dengan rambut berantakan, wajah polos tanpa make up dan lingerie Ellie yang me