“Orang gila !! Orang gilaa !!”
“Hahhaa, Ayo lempar dia ! lempaar pakai batu ! Hahhaha..."“Tidaaaak....! Tidaaak...! Ibuku tidak gila. Pergi kalian semua... Pergiiiiii....!!!”“Win...! Windy...! Bangun Nak..! Kamu bermimpi lagi.” Farida menggoyang-goyang tubuh Windy yang terus saja mengginggau dalam tidurnya. Keringat dingin membasahi dahi gadis yang baru saja menamatkan SMU itu. Windy bermimpi melihat ibunya Hanum dilempari batu oleh anak-anak nakal karena ibunya itu gila dan mengejar siapa saja orang yang melintas didepannya.“Mak, Windy mimpi lagi.” seru Windy begitu terbangun dari mimpi yang sering mengusik tidurnya. Windy spontan memeluk tubuh Farida yang ia panggil Mak. Farida adalah kakak kandung Hanum ibunda Windy. Sudah tujuh belas tahun lamanya Farida merawat Hanum yang tengah mengalami gangguan jiwa. Selain merawat adik semata wayangnya itu, Farida juga membesarkan Windy sejak gadis itu berumur dua tahun.“Tidurlah kembali Win, besok kamu dan Juned akan berangkat ke Jakarta.” kata Farida sambil membetulkan selimut Windy yang tersingkap dibagian kakinya.“Tidak Mak, Windy mau lihat Ibu dulu. Windy akan pergi jauh dan mungkin lama tidak akan bertemu Ibu.” sahut Windy sambil menurunkan kakinya dan mencari-cari sandal jepit dengan kakinya yang masih tergantung.Farida hanya menghela nafas panjang. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul 01.30 tengah malam.“Ayolah !” ajak Farida sambil menarik lembut tangan keponakannya itu. Ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Windy. Walaupun Windy hanyalah keponakannya, namun Farida tidak pernah membedakan kasih sayangnya kepada Windy dan Juned yang merupakan anak kandungnya. Windy dan Juned kebetulan berusia sama. Mereka seperti sepasang anak kembar.Farida membimbing Windy berjalan keluar dari kamar itu dan terus menuju kedapur. Didapur ada sebuah pintu menuju kebelakang yang menghubungkan dengan kamar kecil yang menghadap kesamping. Kamar itu tak ubahnya seperti penjara karena dinding depannya terbuat dari teralis besi. Didalam kamar itu tersedia kamar mandi dan sebuah dipan kecil yang selalu acak-acakan, karena Hanum akan selalu mengobrak-abrik kamarnya walau Farida dan Windy selalu merapikannya setiap hari.Sebatang tubuh kurus tergolek diatas dipan. Rambutnya awut-awutan walau sudah dipotong pendek. Lampu remang-remang didalam kamar itu menambah suasana semakin menyedihkan juga nampak sedikit menyeramkan.“Sampai kapan Ibu akan begini Mak ?" ucap Windy lirih menahan tangis menatap Hanum yang berbaring dan terdengar bersenandung kecil. Tangan Windy bergayut pada besi teralis yang mengurung ibunya didalam kamar khusus itu.Farida mengangkat bahu dan menggelengkan kepala dengan raut wajah putus asa. Matanya lalu menatap seakan menerawang kesuatu masa dengan penuh amarah dan dendam.“Januar, yah Januarlah yang menyebabkan adikku seperti ini. Dia meninggalkan Hanum tanpa berita dan alasan. Laki-laki brengsek itu lebih memilih menikahi perempuan yang bekerja sebagai pelayan dikantornya.” tandas Farida dengan suara tertekan menahan marahnya. Matanya berkilat seakan laki-laki yang dibencinya itu ada dihadapannya.Farida sangat menyayangi adik semata wayangnya itu. Ia sungguh tidak rela Hanum diperlakukan demikian buruk oleh suaminya sendiri.“Uuuh, Fatmaaa ! Keparat kau Fatmaa ! Kembalikan suamiku perempuan brengsek...! Mengapa kau kurung suamiku haaah..?” Tiba-tiba Hanum terbangun dan meradang dengan beringas. Ia melemparkan bantal dan apa barang apa saja yang ada didekatnya.“Ibuu !” teriak Windy tertahan. Tangannya makin kuat mencengkram teralis besi dan nanar menatap ibunya dengan mata berlinang.“Praaaaang...!!”“Oooh..!!!” Tubuh Windy sontak terlempar karena kaget begitu sebuah piring loyang menghantam teralis besi tempat ia menyandarkan wajahnya.“Windy...!!” Farida segera menangkap tubuh Windy agar gadis itu tidak terjatuh. Tubuh mereka terhuyung berdua dan saling berpelukan.“Pergi kau Fatmaa...!! Pergiii...!! Pelacur murahaan... Pergiiiii....!!” sekonyong-konyong Hanum bangkit dari tempat tidurnya dan berteriak memarahi Farida dan Windy yang ia kira adalah Fatma perempuan yang telah merebut suaminya. Ia bergegas mendekati teralis dengan bengis dan menggoyang-goyang pagar pembatas itu sekuat tenaganya hingga meciptakan suara yang sangat berisik. Matanya tajam dan merah menatap Farida dan Windy yang mulai agak menjauh dari teralis besi itu.“Ayo Win, kita masuk..!” ajak Farida sambil sedikit menyeret tubuh Windy kepintu dapur lalu menutup pintu itu kembali.“Ibuuu... ! Huhuhuu...!” Windy terduduk disebuah kursi makan dan menangis tersedu-sedu. Hati anak mana yang tidak akan tersayat melihat keadaan ibu kandungnya seperti itu. Sejak kecil ia belum pernah merasakan belaian tangan ibunya. Hanya Faridalah yang menggantikan kasih sayang seorang ibu kepadanya. Apalagi perhatian seorang ayah. Sejak umur dua tahun Windy tidak pernah bertemu ayahnya. Sedangkan Farida juga hidup menjanda semenjak suaminya meninggal dunia delapan belas tahun lalu. Farida memutuskan untuk tidak menikah lagi dan hanya menyibukkan diri mengurus adiknya Hanum beserta Windy keponakannya dan Juned anak semata wayangnya.Setelah mengunci pintu dapur, Farida menarik sebuah kursi dihadapan Windy. Ia lalu menuangkan segelas air putih kedalam gelas tinggi dari sebuah cerek plastik. Gelas itu ia sodorkan kepada Windy yang terlihat pucat wajahnya.“Minumlah dan tenangkan dirimu Win. Kamu punya tugas yang sangat berat di Jakarta nanti.” ucap Farida sambil menghela nafas panjang.“Selain menyelesaikan kuliahmu dengan baik, kamu juga harus mencari ayahmu. Karena hanya ayahmu yang bisa menyembuhkan ibumu.” sambung Farida menatap wajah keponakannya.Windy meraih gelas yang disodorkan mak nya Farida dan air sejuk segera membasahi kerongkongannya. Entah karena haus atau karena beratnya beban hati yang tengah ia tanggung membuat Windy menyosor air putih itu sampai habis. Lalu ia meletakkan gelas kosong dihadapannya.“Iya Mak, Windy akan selalu ingat nasehat Mak.” jawab gadis itu penuh percaya diri.“Windy harus bisa menemukan Ayah dan membawanya pulang. Karena hanya Ayahlah yang bisa membuat Ibu sembuh.” sambung Windy.“Dan kamu harus hati-hati melakukan misimu Win, Mak dengar si Fatma itu cukup kejam dan licik.” Kata Farida memandang sedikit khawatir kepada Windy.“Iya Mak, Windy akan selalu hati-hati.” sahut Windy.“Tenang saja Mak, Juned akan menjaga dan membantu Windy.” Tiba-tiba Juned sudah berdiri dibelakang Farida dengan berselimut kain sarung. Udara terasa cukup dingin karena seharian hujan tiada henti.“Sudah kamu persiapkan semua barang-barangmu Juned ? Jangan sampai ada yang ketinggalan.” kata Farida memalingkan wajahnya kepada Juned yang tengah membuka tudung saji. Juned mencomot satu buah goreng pisang yang sudah dingin lalu melahapnya.“Sudah Maaak...! Mak jangan khawatir.” jawab Juned sambil mengunyah goreng pisang dimulutnya. Bunyi kucipak-kucipuk terdengar dari mulut Juned.“Kamu itu ya Jun, makan aja pikirannya.” Mak Farida mulai mengomeli anak lelakinya itu.“Lha nanti kalau Juned mogok makan Mak juga yang susah.” jawab Juned lalu kembali membuka tudung saji dan mencomot sebuah goreng pisang lagi lalu memasukkan kedalam mulutnya sembari kembali melangkah kekamarnya.Farida hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat ulah anak lelakinya itu.****Windy tidak bisa memejamkan matanya walau ia sudah membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Rasa berat meninggalkan ibu dan mak nya sangat mengganggu pikiran gadis itu.“Mak pasti akan kesusahan merawat Ibu sendiri. Mak harus kesawah mengurus padi, ke ladang memetik pisang dan pinang. Lalu Mak juga harus memasak dan memandikan Ibu. Ooh, Mak sangat baik. Aku bersyukur masih punya Mak. Kalau tidak ada Mak Farida entah bagaimana nasibku dan Ibu.” ratap Windy dalam hati. Dua tetes air mata menggulir dari rongga mata Windy lalu kemudian pecah membentur bantal. Hatinya pedih meninggalkan dua perempuan yang ia sayangi itu. Tapi bagaimanapun harus ia tinggalkan demi menggapai cita-cita dan mencari ayahnya untuk kesembuhan ibunya.Bukan tugas ringan yang ia pikul dipundaknya. Windy yakin kalau kawan-kawan sebayanya tidak memiliki masalah yang berat seperti dirinya. Namun Windy tidak putus asa, ia bertekad akan melakukan apapun demi keluarganya. Ia ingin ibunya sembuh.
Sebuah mobil Avanza memasuki halaman rumah. Juned bergegas memasukkan barang-barang kedalam bagasi mobil.“Wiiiin...! Windy...!” Farida berteriak memanggil Windy dari halaman rumah.“Bu, Windy pergi ya. Windy janji akan membawa ayah pulang.” ucap Windy kepada Hanum dari celah teralis besi.Hanum termangu dibalik dinding besi itu. Ia tidak lagi beringas seperti tadi pagi. Matanya nanar memandang Windy yang juga memandang lembut kearahnya.Hanum mendekati teralis besi dan mengulurkan tangannya keluar. Pandangan matanya mendadak sendu seolah ia tahu bahwa anak gadisnya akan pergi jauh.Windy membiarkan tangan Hanum menyentuh pipinya. Selama hidupnya baru kali inilah Hanum bersikap demikian. Hanum seakan-akan sadar saat itu.“Wiindyy...!” ujar Hanum terbata.“Ibuuu ! Ibu sudah mengenali Windy ?” Teriak Windy senang.“Windyyyy....!!” Dari halaman depan kembali terdengar suara panggilan Farida.“Iyaa Maaak...!” Windy menyahuti panggilan itu.“Windy perg
Seminggu sudah Windy dan Juned berada di Jakarta. Alvin setiap hari datang dan mengajak mereka berkeliling kota Jakarta hingga mereka berdua tidak canggung lagi dengan keramaian kota Jakarta yang hiruk pikuk.Hari ini adalah hari senin yang merupakan hari pertama kali mereka masuk kuliah. Dikampus mereka berpisah karena jurusan ilmu yang mereka tuntut berbeda. Windy memilih fakultas hukum dengan jurusan hukum pidana karena ia bercita-cita menjadi pengacara. Alvin memilih menjadi mahasiswa kedokteran karena profesi dokter adalah impiannya sejak kecil. Sedangkan Juned mengambil jurusan kontruksi bangunan karena ia ingin menjadi seorang kontraktor bangunan dikampungnya.“Hati-hati ya Win, jaga hati, jangan sampai kepincut mahasiswa senior.” ucap Alvin ketika mereka akan berpisah menuju tempat ospek masing-masing.“Kamu juga Al, jangan tergoda mahasiswi baru. Aku dengar mahasiswi kedokteran cantik-cantik lho.” jawab Windy sedikit resah.&ldquo
“Aku akan bekerja dikantor Mamanya Alvin sebagai petugas kebersihan.” ujar Windy ketika ia dan Juned mulai menyantap hidangan makan malam disebuah cafe yang tidak begitu jauh dari tempat kos mereka.“Apaa...?? Juned hampir saja tersedak dan buru-buru meminum air putih untuk mendorong makanan yang nyangkut dikerongkongannya.Kamu yakin Win, akan bekerja diperusahaan Mamanya Alvin ?” sambung Juned setelah merasa kerongkongannya sedikir lega.Windy menganggukkan kepalanya dan mulai menelan makanan suapan pertamanya.Juned meletakkan sendoknya dan kini menatap Windy sepupunya itu dengan pandangan semakin heran.“Iya Jun, masa aku main-main sih.” sahut Windy tenang dan terus menyuap makan malamnya disamping Juned.“Terus kuliahmu bagaimana Oon..!!” ujar Juned sedikit memaki Windy.“Tenang saja Jun, aku akan bekerja diluar jam kuliah. Mamanya Alvin memberiku sedikit kelonggaran waktu kerja disana.&rdq
“Ma, Alvin cuma minta satu hal dari Mama. Tolong Ma, tempatkan Windy dibagian office. Windy tidak cocok menjadi petugas kebersihan.” Alvin memohon setengah merengek kepada Fatma saat mereka sarapan pagi bersama. Fatma telah menggunakan pakaian kantor yang rapi nampak sedang menikmati sarapan nasi goreng buatan Tatik pembantu mereka yang sangat pandai memasak.Blezer ungu dengan hiasan kupu-kupu kecil dibagian dada kirinya. Wanita berkulit sawo matang dengan tubuh yang agak pendek itu memang selalu berusaha tampil modis. Namun sayangnya struktur wajah dan bodynya kurang mendukung keinginan hatinya untuk tampil cantik. Boleh disebut Fatma tergolong wanita yang kecantikannya dibawah rata-rata.Berbeda dengan Alvin yang memiliki kulit kuning langsat. Selain kulitnya bersih, tubuh Alvin juga tinggi dan sedikit berisi. Banyak gadis yang tergila-gila melihat body atletis dan katampanan wajahnya. Bahkan tidak sedikit pula yang menduga kalau Alvin bukanlah anak ka
“Baiklah, mulai hari ini kamu sudah bisa langsung bekerja dibagian kearsipan membantu Rita. Rita akan menjelaskan tugas-tugasmu !” papar Fatma tanpa memindahkan pandangan matanya dari layar laptop didepannya. Ia menyibukkan diri dan tak ingin beramah tamah dengan Windy yang tengah duduk menghadapnya.“Baik Bu, saya akan bekerja sebaik mungkin.” sahut Windy sopan lalu berpamitan. Sektretaris Fatma segera mengantarkan Windy kepada seorang wanita yang bernama Rita. Windy memperkenalkan diri dan Rita memberitahu dimana tempat Windy akan bekerja.Windy diantarkan kesebuah ruangan yang ada dibagian belakang gedung itu. Ruangan itu agak sedikit pengap karena ventilasi udara tidak begitu memadai.Barisan rak tersusun rapi bagaikan sebuah ruang pustaka. Diatas rak juga tersusun map file bantex yang disisi sudah ditulis nama dan waktu file itu dibuat.“Kamu bisa menempati meja ini dan tugasmu adalah mendata semua dokumen-dokumen yang ada
“Hah..! Ibu Windy gila..? Astagooor..!!” tiba-tiba Windy dan Alvin terperanjat mendengar suara Selova yang tiba-tiba. Sandal selop itu ternyata sudah berada di belakang mereka sejak tadi dan ikut menyaksikan layar ponsel Windy ketika Windy video call dengan Mak Farida.“Eh, ngapain lu di sini sendal selop? Ngintip aja kerjaan lu !” seru Alvin nampak kesal. Ia berdiri dan mendekati Selova yang menatap sinis kepada Windy.“Kamu sudah lihat sendiri kan Al, kalau Ibu si Windy itu gila. Masak sih kamu mau punya mertua gila. Bisa-bisa kamu tewas di tangannya.” ucap Selova sinis melirik jutek ke arah Windy lalu beralih pandang kepada Alvin.“Hei, jaga mulut kamu ya..! Walau Ibuku gila tidak mungkin Ibuku membunuh orang.” jawab Windy marah. Wajahnya merah dan menatap Selova dengan pandangan tidak senang. Windy memang paling marah kalau ibunya di hina.“Apanya yang tidak mungkin? Orang gila mana ada akalnya. Huuh..!&rd
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya
“Hak..hak..hak..!”Pak Tua itu kembali tertawa sumbang. Suaranya bercampur serak dan Windy merasa kalau lelaki itu hidup dalam tekanan psikis berat yang cukup lama.Pak Tua kembali berdiri dan kakinya yang gemetar ia seret melangkah menuju sebuah lemari buku yang berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Banyak tersusun buku-buku di sana namun Pak Tua mengambil sebuah saja di dalam laci yang sepertinya adalah album foto.Ia memegang album itu dan menatap benda itu sejenak laluuu..Breeet...Album besar itu ia lemparkan ke arah Windy dan hampir saja mengenai kepala gadis itu.Oouh..Windy menghindar sehingga kepalanya luput dari serangan benda yang datang tiba-tiba tersebut.Bruuuk...Album itu jatuh ke atas lantai dan beberapa lembarannya nampak terbuka.“Lihatlah! Dan kamu akan menemukan jawaban di sana!” perintah Pak Tua dengan tegas menunjuk album yang teronggok di lantai.Windy menatap se
Windy di bawa ke sebuah rumah besar yang mirip dengan sebuah istana mewah.“Di mana ini?” tanya Windy sambil mengedarkan pandangan matanya sekeliling ketika Sandy telah mempersilahkannya turun dan ia menjejakkan kakinya di halaman bangunan yang ternyata sebuah Villa.“Di kediamanku!” jawab Sandy cukup angkuh.“Oh, aktor setaraf Sandy tentu saja mampu membeli rumah nan megah seperti ini.” ucap Windy di dalam hati.Entah mimpi apa ia semalam kok bisa-bisanya ia menjejakkan kaki di rumah aktor tampan itu dan berduaan pula dengannya.“ Di mana Alvin?” tanya Windy tidak sabar.Sandy tidak menjawab namun ia terus berjalan memasuki rumah megahnya tanpa sedikit pun memberikan pelayanan kepada Windy yang merupakan tamu di rumahnya itu.“Dasar manusia aneh!” sungut Windy namun akhirnya ia mengikuti langkah lelaki itu. Windy sedikit mengibaskan ujung kerudungnya yang jatuh ke depan.Sandy
Fatma masuk ke dalam kamar dan mengganti stelan kantornya dengan baju rumahan. Ia mengenakan sebuah daster berwarna lila bercorak kembang sepatu berwarna putih. Fatma kini duduk di meja makan namun bukan makan malam yang ia inginkan. Ia duduk sambil mengutak-atik ponselnya.“Apakah Nyonya mau makan malam?” Tatik datang menanyakan keinginan majikannya.Fatma tidak menjawab, ia hanya mengibaskan tangannya dan itu cukup membuat Tatik terbirit-birit pergi. Tatik hafal sekali sifat majikannya itu. Fatma akan gampang mengamuk apa bila ada orang yang mengganggu ketika dirinya sedang memikirkan sebuah perkara besar.“Mereka sudah datang untuk menuntut balas!” ucap Fatma sedingin es lewat ponselnya entah kepada siapa. Lalu ia nampak mengangguk-angguk.Selova yang kepo terus mengintip dari dapur. Ucapan Fatma barusan mendarat sempurna di pendengaran gadis yang sering di ejek sandal selop oleh Alvin tersebut.“Hah? Menuntut balas?&rd
Adzan Isya bergema dari mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kost Windy. Gadis itu terlonjak kaget dari atas pembaringannya ketika ia menoleh ke jam di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu hampir jam 8 malam.“Astaghfirullah.. sudah Isya rupanya. Kok aku bisa ketiduran sepulas ini, sehingga tidak mendengar adzan Magrib?” keluh Windy sembari bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu ia segera menunaikan sholat Isya yang di jamak dengan sholat Magrib.Selesai melaksanakan rangkaian ibadah malam itu, Windy merapikan kembali mukena dan sejadahnya. Lalu ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajarnya.“Aduh, banyak banget panggilan dari Alvin. Dari tadi ponsel aku silence kan sehingga aku tidak mendengar nada panggilan.” ucap Windy jadi tak enak hati. Ia langsung menghubungi nomor kontak Alvin.Ponsel Alvin berbunyi di atas meja makan. Fatma segera mengambil benda pipih itu dan tersenyum sinis ketika melihat siapa
Sampai di rumah hari sudah mulai malam. Alvin bergegas turun dari mobil Selova dan setengah berlari masuk ke dalam. Ia ingin segera menemui Januar.“Apaan ini Bik..??” teriak Alvin langsung gusar ketika ia kebetulan melihat Bik Tatik pembantu rumah tangga, tengah menyusun makanan di atas nampan yang biasa di gunakan untuk memberi makan Januar.Bik Tatik yang tengah berkosentrasi dengan pekerjaannya langsung mengelinjang kaget. Piring yang berisi makanan bekas hampir saja jatuh dari tangannya yang langsung menggigil.“Makanan buat siapa ini?” tanya Alvin dengan suara keras dan mata melotot memandang Bik Tatik yang semakin gemetar. Ia hafal sifat Tuan Mudanya itu kalau sedang marah. Dan satu-satunya alasan yang membuat Alvin marah hanyalah kalau makanan yang di berikan kepada Januar tidak sesuai dengan standar kemanusiaan.“Jawaaaab....!!” bentak Alvin menggema seantreo rumah.“Buuu...buuaat.. Paak.. tuu..tuaa, Deen..!
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya
“Hah..! Ibu Windy gila..? Astagooor..!!” tiba-tiba Windy dan Alvin terperanjat mendengar suara Selova yang tiba-tiba. Sandal selop itu ternyata sudah berada di belakang mereka sejak tadi dan ikut menyaksikan layar ponsel Windy ketika Windy video call dengan Mak Farida.“Eh, ngapain lu di sini sendal selop? Ngintip aja kerjaan lu !” seru Alvin nampak kesal. Ia berdiri dan mendekati Selova yang menatap sinis kepada Windy.“Kamu sudah lihat sendiri kan Al, kalau Ibu si Windy itu gila. Masak sih kamu mau punya mertua gila. Bisa-bisa kamu tewas di tangannya.” ucap Selova sinis melirik jutek ke arah Windy lalu beralih pandang kepada Alvin.“Hei, jaga mulut kamu ya..! Walau Ibuku gila tidak mungkin Ibuku membunuh orang.” jawab Windy marah. Wajahnya merah dan menatap Selova dengan pandangan tidak senang. Windy memang paling marah kalau ibunya di hina.“Apanya yang tidak mungkin? Orang gila mana ada akalnya. Huuh..!&rd
“Baiklah, mulai hari ini kamu sudah bisa langsung bekerja dibagian kearsipan membantu Rita. Rita akan menjelaskan tugas-tugasmu !” papar Fatma tanpa memindahkan pandangan matanya dari layar laptop didepannya. Ia menyibukkan diri dan tak ingin beramah tamah dengan Windy yang tengah duduk menghadapnya.“Baik Bu, saya akan bekerja sebaik mungkin.” sahut Windy sopan lalu berpamitan. Sektretaris Fatma segera mengantarkan Windy kepada seorang wanita yang bernama Rita. Windy memperkenalkan diri dan Rita memberitahu dimana tempat Windy akan bekerja.Windy diantarkan kesebuah ruangan yang ada dibagian belakang gedung itu. Ruangan itu agak sedikit pengap karena ventilasi udara tidak begitu memadai.Barisan rak tersusun rapi bagaikan sebuah ruang pustaka. Diatas rak juga tersusun map file bantex yang disisi sudah ditulis nama dan waktu file itu dibuat.“Kamu bisa menempati meja ini dan tugasmu adalah mendata semua dokumen-dokumen yang ada
“Ma, Alvin cuma minta satu hal dari Mama. Tolong Ma, tempatkan Windy dibagian office. Windy tidak cocok menjadi petugas kebersihan.” Alvin memohon setengah merengek kepada Fatma saat mereka sarapan pagi bersama. Fatma telah menggunakan pakaian kantor yang rapi nampak sedang menikmati sarapan nasi goreng buatan Tatik pembantu mereka yang sangat pandai memasak.Blezer ungu dengan hiasan kupu-kupu kecil dibagian dada kirinya. Wanita berkulit sawo matang dengan tubuh yang agak pendek itu memang selalu berusaha tampil modis. Namun sayangnya struktur wajah dan bodynya kurang mendukung keinginan hatinya untuk tampil cantik. Boleh disebut Fatma tergolong wanita yang kecantikannya dibawah rata-rata.Berbeda dengan Alvin yang memiliki kulit kuning langsat. Selain kulitnya bersih, tubuh Alvin juga tinggi dan sedikit berisi. Banyak gadis yang tergila-gila melihat body atletis dan katampanan wajahnya. Bahkan tidak sedikit pula yang menduga kalau Alvin bukanlah anak ka