Sebuah mobil Avanza memasuki halaman rumah. Juned bergegas memasukkan barang-barang kedalam bagasi mobil.
“Wiiiin...! Windy...!” Farida berteriak memanggil Windy dari halaman rumah.“Bu, Windy pergi ya. Windy janji akan membawa ayah pulang.” ucap Windy kepada Hanum dari celah teralis besi.Hanum termangu dibalik dinding besi itu. Ia tidak lagi beringas seperti tadi pagi. Matanya nanar memandang Windy yang juga memandang lembut kearahnya.Hanum mendekati teralis besi dan mengulurkan tangannya keluar. Pandangan matanya mendadak sendu seolah ia tahu bahwa anak gadisnya akan pergi jauh.Windy membiarkan tangan Hanum menyentuh pipinya. Selama hidupnya baru kali inilah Hanum bersikap demikian. Hanum seakan-akan sadar saat itu.“Wiindyy...!” ujar Hanum terbata.“Ibuuu ! Ibu sudah mengenali Windy ?” Teriak Windy senang.“Windyyyy....!!” Dari halaman depan kembali terdengar suara panggilan Farida.“Iyaa Maaak...!” Windy menyahuti panggilan itu.“Windy pergi ya Buu..!” ujar Windy lalu mencium tangan Hanum yang terjulur keluar dari besi teralis. Windy tidak punya banyak waktu lagi untuk berbincang dengan Hanum.Hanum hanya memandangi Windy bengong. Windy merasakan air hangat mulai berjatuhan dipipinya.“Windyyyyy....!!” Sekarang suara panggilan Farida makin kuat dari halaman rumah. Windy segera melepaskan tangan Hanum dan menyeka air matanya. Dengan setengah berlari Windy bergegas masuk rumah dari pintu dapur dan keluar dari pintu utama.“Mak, Windy berangkat ya..!” Windy menyalami Farida dan mencium punggung tangan wanita itu.“Hati-hati jaga diri Windy. Ingat selalu pesan Mak.” Kata Farida dengan suara serak menahan tangis.“Iya Mak.” sahut Windy lalu memeluk erat tubuh Farida. “Jaga diri Mak, juga Ibu. Mak jangan terlalu maksain kerja.” Kini gantian Windy yang menasehati Mak Farida.Farida mengangguk dan mereka berangkulan serta bertangisan beberapa saat. Windy melepaskan rangkulannya dan memasuki mobil travel yang sudah agak lama menunggunya. Kendaraan itu segera bergerak meninggalkan halaman rumah dan kini mulai merangkak dijalan aspal. Windy dan Juned melambaikan tangan kepada Farida yang juga melambai ke arah mereka.Mobil Avanza itu kini melaju kian cepat. Pepohonan seperti berlari berselisih jalan. Windy membuang pandangan matanya keluar jendela. Bukit barisan yang bergelombang seakan mengucapkan selamat jalan kepada dirinya. Ini adalah pertama kalinya Windy pergi meningggalkan kampung halamannya. Rasanya pasti sangatlah berat.Setelah beberapa jam melewati perjalanan, mobil yang ditumpangi Windy sebentar lagi akan mencapai bibir kota Padang. Jalan yang berkelok diantara diperbukitan menyajikan pemandangan yang sangat menakjubkan. Air terjun Lembah Anai yang terdapat dipinggir jalan menandakan bahwa sekitar satu jam lagi mereka akan sampai dibandara Minang kabau.Seperti perkiraan, satu jam kemudian mereka sudah sampai dibandara Minang Kabau. Juned dan Windy segera memasuki bandara karena dua jam lagi ia akan take off meninggalkan tanah Sumatera.(Kamu sudah dimana Win ?) Sebuah pesan masuk keaplikasi whatsaap di ponsel Windy. Pesan itu dikirim oleh Alvin. Windy yang sudah berada diruang tunggu segera membaca pesan itu dan membalasnya.(Kami sudah berada diruang tunggu dan sekitar satu jam lagi akan terbang) balas Windy.(Oke, aku akan menunggu dipintu kedatangan) Alvin kembali membalas pesan Windy.*Alvin tidak sabar menunggu dipintu kedatangan bandara Soekarno Hatta Jakarta. Ia gelisah dan mondar-mandir. Sekali-kali ia melihat waktu yang ada disudut layar ponselnya. Pukul 16.25 wib. Pesawat yang ditumpangi Windy sebentar lagi akan segera mendarat.Alangkah lega hati Alvin ketika petugas bandara mengumumkan bahwa nomor penerbangan yang ditumpangi Windy sudah mendarat dengan selamat.Alvin kembali memandangi foto yang dikirim Windy ketika gadis itu sudah duduk di kabin pesawat.“Gadis berbaju putih dan berjilbab biru.” gumam Alvin sendiri sambil tersenyum.Penumpang pesawat mulai keluar melewati pintu kedatangan. Dari jauh Alvin melihat seorang gadis berbaju putih dan berjilbab biru berjalan disamping seorang pemuda yang memakai jaket kulit warna coklat muda.“Ooh, itu pasti mereka.” ujar Alvin terlihat girang.“Cantik sekali gadis itu.” Kembali Alvin bergumam dan matanya tidak lepas memandang Windy yang mulai mendekati pintu keluar kedatangan.“Haai Windy..!!” Alvin melambaikan tangan dan menyeruak diantara para penjemput lainnya. “Alvin ?” tanya Windy memastikan kalau pemuda yang kini berada dihadapannya itu adalah Alvin kekasih cinta medsosnya.“Iya, aku Alvin.” jawab Alvin sopan lalu menyalami Windy dan Juned.Mereka bertiga bergerak meninggalkan lobi kedatangan dan Alvin telah mengambil alih beban ditangan Windy yaitu sebuah travel bag yang kini diseret Alvin dengan tangan kirinya.“Kalian pasti capek dan haus. Kita minum dan makan dulu.” kata Alvin menawarkan.“Penawaran ini yang paling kami tunggu-tunggu.” jawab Juned sekenanya namun mampu mencairkan kekakuan dan membuat mereka tertawa dan mulai akrab.“Ayo, kita mampir di cafe dulu.” ajak Alvin lalu mengambil posisi didepan sedangkan Windy dan Juned mengikuti dari belakang.Tak lama kemudian mereka sudah duduk disebuah cafe dan memesan minuman dan makanan kecil. Mereka sudah akrab dan bersenda gurau.“Jadi ini adalah pertama kalinya kalian datang ke Jakarta ?” tanya Alvin setelah menyedot orange juice didepannya.“Aku iya, tapi kalau Windy memang lahir di Jakarta.” sahut Juned yang duduk berhadapan dengan Alvin. “Ooh..” sahut Alvin menoleh kepada Windy yang duduk disebelahnya. Wajah Windy memerah seketika karena malu dipandangi Alvin agak lama.“Ooh, Alvin lebih ganteng dari foto dan layar video call.” gumam Windy dalam hati. Ia kini benar-benar jatuh cinta kepada Alvin. Apalagi sikap Alvin yang ramah dan sopan, itu memberi nilai plus dimata Windy.“Dimana kamu tinggal di Jakarta dulunya Win ? Masih ingat nggak ?” tanya Alvin kini mengalihkan pembicaraan kepada Windy.“Di Buaran Jakarta Timur “ jawab Windy menyebutkan alamat yang ia ingat yang tertera di fotocopy sertipikat rumah atas nama Januar ayahnya.“Ooh, dulunya rumahku juga di daerah Buaran. Tapi rumah itu sudah dijual saat aku masih berumur sekitar sepuluh tahun.” sahut Alvin seperti mengenang masa kecilnya.“Ooh, kalau begitu aku bisa meminta tolong Alvin untuk menyelidiki rumah ayah.” bisik hati Windy.“Ooh, ntar dulu Windy, sekarang terlalu cepat untuk menceritakan urusan pribadi nan penuh misi rahasia itu.” Suara dari sudut lain hati Windy memberi peringatan.“Nah, kalau punya rumah disini ngapain ngekos. Kan lebih baik tinggal disana saja. Kebetulan kampusnya juga nggak jauh kok dari Buaran.” kata Alvin memberikan pendapat.“Itu rumah orang tuaku dulu. Tapi sekarang sudah dijual.” sahut Windy.“Ooh..” Alvin mengangguk-angguk.“Baiklah, sekarang aku antar kalian ketempat kos yang sudah aku pesankan buat kalian. Ayoo..!” ajak Alvin setelah memastikan kalau semua sudah selesai makan dan minum.Windy dan Juned kembali mengikuti Alvin menuju parkiran. Alvin menyalakan remote control lalu sebuah mobil mewah berbunyi dan mengedipkan lampu. Mereka menuju mobil mewah itu lalu Alvin dan Juned memasukkan barang bawaan mereka kedalam bagasi mobil.“Ayo Win..!” ajak Alvin membuka pintu mobil dijok depan kepada Windy. Windy masuk dan duduk disamping Alvin yang siap untuk mengemudi. Juned duduk dijok belakang tepat dibelakang Windy.Selama diperjalanan mereka mengobrol dan cepat akrab. Alvin ternyata memiliki kepribadian yang ramah dan menyenangkan. Ia tidak seperti orang kaya yang biasanya kebanyakan sombong dan belagu.“Aku sebenarnya pingin sekali tinggal didesa. Hawanya sangat sejuk dan nyaman. Kalau kita liburan kuliah nanti, boleh dong aku ikut pulang kekampung kalian.” kata Alvin.“Ya boleh dong. Asal kamu tidak takut ngelihat sapi.” jawab Juned kembali ngasal.Hahhahaha...Mereka serempak tertawa dan melanjutkan obrolan lebih seru.Tak terasa mereka sudah sampai dirumah kos yang dimaksud Alvin. Alvin mengajak Windy dan Juned turun lalu menemui ibu kos. Setelah berbincang sedikit lalu Windy dan Juned diantar ke kamar masing-masing. Alvin pamit dan berjanji akan datang kembali besok pagi. Ia tidak ingin mengganggu Windy dan Juned yang butuh istirahat setelah melalui perjalanan panjang.****Seminggu sudah Windy dan Juned berada di Jakarta. Alvin setiap hari datang dan mengajak mereka berkeliling kota Jakarta hingga mereka berdua tidak canggung lagi dengan keramaian kota Jakarta yang hiruk pikuk.Hari ini adalah hari senin yang merupakan hari pertama kali mereka masuk kuliah. Dikampus mereka berpisah karena jurusan ilmu yang mereka tuntut berbeda. Windy memilih fakultas hukum dengan jurusan hukum pidana karena ia bercita-cita menjadi pengacara. Alvin memilih menjadi mahasiswa kedokteran karena profesi dokter adalah impiannya sejak kecil. Sedangkan Juned mengambil jurusan kontruksi bangunan karena ia ingin menjadi seorang kontraktor bangunan dikampungnya.“Hati-hati ya Win, jaga hati, jangan sampai kepincut mahasiswa senior.” ucap Alvin ketika mereka akan berpisah menuju tempat ospek masing-masing.“Kamu juga Al, jangan tergoda mahasiswi baru. Aku dengar mahasiswi kedokteran cantik-cantik lho.” jawab Windy sedikit resah.&ldquo
“Aku akan bekerja dikantor Mamanya Alvin sebagai petugas kebersihan.” ujar Windy ketika ia dan Juned mulai menyantap hidangan makan malam disebuah cafe yang tidak begitu jauh dari tempat kos mereka.“Apaa...?? Juned hampir saja tersedak dan buru-buru meminum air putih untuk mendorong makanan yang nyangkut dikerongkongannya.Kamu yakin Win, akan bekerja diperusahaan Mamanya Alvin ?” sambung Juned setelah merasa kerongkongannya sedikir lega.Windy menganggukkan kepalanya dan mulai menelan makanan suapan pertamanya.Juned meletakkan sendoknya dan kini menatap Windy sepupunya itu dengan pandangan semakin heran.“Iya Jun, masa aku main-main sih.” sahut Windy tenang dan terus menyuap makan malamnya disamping Juned.“Terus kuliahmu bagaimana Oon..!!” ujar Juned sedikit memaki Windy.“Tenang saja Jun, aku akan bekerja diluar jam kuliah. Mamanya Alvin memberiku sedikit kelonggaran waktu kerja disana.&rdq
“Ma, Alvin cuma minta satu hal dari Mama. Tolong Ma, tempatkan Windy dibagian office. Windy tidak cocok menjadi petugas kebersihan.” Alvin memohon setengah merengek kepada Fatma saat mereka sarapan pagi bersama. Fatma telah menggunakan pakaian kantor yang rapi nampak sedang menikmati sarapan nasi goreng buatan Tatik pembantu mereka yang sangat pandai memasak.Blezer ungu dengan hiasan kupu-kupu kecil dibagian dada kirinya. Wanita berkulit sawo matang dengan tubuh yang agak pendek itu memang selalu berusaha tampil modis. Namun sayangnya struktur wajah dan bodynya kurang mendukung keinginan hatinya untuk tampil cantik. Boleh disebut Fatma tergolong wanita yang kecantikannya dibawah rata-rata.Berbeda dengan Alvin yang memiliki kulit kuning langsat. Selain kulitnya bersih, tubuh Alvin juga tinggi dan sedikit berisi. Banyak gadis yang tergila-gila melihat body atletis dan katampanan wajahnya. Bahkan tidak sedikit pula yang menduga kalau Alvin bukanlah anak ka
“Baiklah, mulai hari ini kamu sudah bisa langsung bekerja dibagian kearsipan membantu Rita. Rita akan menjelaskan tugas-tugasmu !” papar Fatma tanpa memindahkan pandangan matanya dari layar laptop didepannya. Ia menyibukkan diri dan tak ingin beramah tamah dengan Windy yang tengah duduk menghadapnya.“Baik Bu, saya akan bekerja sebaik mungkin.” sahut Windy sopan lalu berpamitan. Sektretaris Fatma segera mengantarkan Windy kepada seorang wanita yang bernama Rita. Windy memperkenalkan diri dan Rita memberitahu dimana tempat Windy akan bekerja.Windy diantarkan kesebuah ruangan yang ada dibagian belakang gedung itu. Ruangan itu agak sedikit pengap karena ventilasi udara tidak begitu memadai.Barisan rak tersusun rapi bagaikan sebuah ruang pustaka. Diatas rak juga tersusun map file bantex yang disisi sudah ditulis nama dan waktu file itu dibuat.“Kamu bisa menempati meja ini dan tugasmu adalah mendata semua dokumen-dokumen yang ada
“Hah..! Ibu Windy gila..? Astagooor..!!” tiba-tiba Windy dan Alvin terperanjat mendengar suara Selova yang tiba-tiba. Sandal selop itu ternyata sudah berada di belakang mereka sejak tadi dan ikut menyaksikan layar ponsel Windy ketika Windy video call dengan Mak Farida.“Eh, ngapain lu di sini sendal selop? Ngintip aja kerjaan lu !” seru Alvin nampak kesal. Ia berdiri dan mendekati Selova yang menatap sinis kepada Windy.“Kamu sudah lihat sendiri kan Al, kalau Ibu si Windy itu gila. Masak sih kamu mau punya mertua gila. Bisa-bisa kamu tewas di tangannya.” ucap Selova sinis melirik jutek ke arah Windy lalu beralih pandang kepada Alvin.“Hei, jaga mulut kamu ya..! Walau Ibuku gila tidak mungkin Ibuku membunuh orang.” jawab Windy marah. Wajahnya merah dan menatap Selova dengan pandangan tidak senang. Windy memang paling marah kalau ibunya di hina.“Apanya yang tidak mungkin? Orang gila mana ada akalnya. Huuh..!&rd
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya
Sampai di rumah hari sudah mulai malam. Alvin bergegas turun dari mobil Selova dan setengah berlari masuk ke dalam. Ia ingin segera menemui Januar.“Apaan ini Bik..??” teriak Alvin langsung gusar ketika ia kebetulan melihat Bik Tatik pembantu rumah tangga, tengah menyusun makanan di atas nampan yang biasa di gunakan untuk memberi makan Januar.Bik Tatik yang tengah berkosentrasi dengan pekerjaannya langsung mengelinjang kaget. Piring yang berisi makanan bekas hampir saja jatuh dari tangannya yang langsung menggigil.“Makanan buat siapa ini?” tanya Alvin dengan suara keras dan mata melotot memandang Bik Tatik yang semakin gemetar. Ia hafal sifat Tuan Mudanya itu kalau sedang marah. Dan satu-satunya alasan yang membuat Alvin marah hanyalah kalau makanan yang di berikan kepada Januar tidak sesuai dengan standar kemanusiaan.“Jawaaaab....!!” bentak Alvin menggema seantreo rumah.“Buuu...buuaat.. Paak.. tuu..tuaa, Deen..!
Adzan Isya bergema dari mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kost Windy. Gadis itu terlonjak kaget dari atas pembaringannya ketika ia menoleh ke jam di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu hampir jam 8 malam.“Astaghfirullah.. sudah Isya rupanya. Kok aku bisa ketiduran sepulas ini, sehingga tidak mendengar adzan Magrib?” keluh Windy sembari bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu ia segera menunaikan sholat Isya yang di jamak dengan sholat Magrib.Selesai melaksanakan rangkaian ibadah malam itu, Windy merapikan kembali mukena dan sejadahnya. Lalu ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajarnya.“Aduh, banyak banget panggilan dari Alvin. Dari tadi ponsel aku silence kan sehingga aku tidak mendengar nada panggilan.” ucap Windy jadi tak enak hati. Ia langsung menghubungi nomor kontak Alvin.Ponsel Alvin berbunyi di atas meja makan. Fatma segera mengambil benda pipih itu dan tersenyum sinis ketika melihat siapa
“Hak..hak..hak..!”Pak Tua itu kembali tertawa sumbang. Suaranya bercampur serak dan Windy merasa kalau lelaki itu hidup dalam tekanan psikis berat yang cukup lama.Pak Tua kembali berdiri dan kakinya yang gemetar ia seret melangkah menuju sebuah lemari buku yang berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Banyak tersusun buku-buku di sana namun Pak Tua mengambil sebuah saja di dalam laci yang sepertinya adalah album foto.Ia memegang album itu dan menatap benda itu sejenak laluuu..Breeet...Album besar itu ia lemparkan ke arah Windy dan hampir saja mengenai kepala gadis itu.Oouh..Windy menghindar sehingga kepalanya luput dari serangan benda yang datang tiba-tiba tersebut.Bruuuk...Album itu jatuh ke atas lantai dan beberapa lembarannya nampak terbuka.“Lihatlah! Dan kamu akan menemukan jawaban di sana!” perintah Pak Tua dengan tegas menunjuk album yang teronggok di lantai.Windy menatap se
Windy di bawa ke sebuah rumah besar yang mirip dengan sebuah istana mewah.“Di mana ini?” tanya Windy sambil mengedarkan pandangan matanya sekeliling ketika Sandy telah mempersilahkannya turun dan ia menjejakkan kakinya di halaman bangunan yang ternyata sebuah Villa.“Di kediamanku!” jawab Sandy cukup angkuh.“Oh, aktor setaraf Sandy tentu saja mampu membeli rumah nan megah seperti ini.” ucap Windy di dalam hati.Entah mimpi apa ia semalam kok bisa-bisanya ia menjejakkan kaki di rumah aktor tampan itu dan berduaan pula dengannya.“ Di mana Alvin?” tanya Windy tidak sabar.Sandy tidak menjawab namun ia terus berjalan memasuki rumah megahnya tanpa sedikit pun memberikan pelayanan kepada Windy yang merupakan tamu di rumahnya itu.“Dasar manusia aneh!” sungut Windy namun akhirnya ia mengikuti langkah lelaki itu. Windy sedikit mengibaskan ujung kerudungnya yang jatuh ke depan.Sandy
Fatma masuk ke dalam kamar dan mengganti stelan kantornya dengan baju rumahan. Ia mengenakan sebuah daster berwarna lila bercorak kembang sepatu berwarna putih. Fatma kini duduk di meja makan namun bukan makan malam yang ia inginkan. Ia duduk sambil mengutak-atik ponselnya.“Apakah Nyonya mau makan malam?” Tatik datang menanyakan keinginan majikannya.Fatma tidak menjawab, ia hanya mengibaskan tangannya dan itu cukup membuat Tatik terbirit-birit pergi. Tatik hafal sekali sifat majikannya itu. Fatma akan gampang mengamuk apa bila ada orang yang mengganggu ketika dirinya sedang memikirkan sebuah perkara besar.“Mereka sudah datang untuk menuntut balas!” ucap Fatma sedingin es lewat ponselnya entah kepada siapa. Lalu ia nampak mengangguk-angguk.Selova yang kepo terus mengintip dari dapur. Ucapan Fatma barusan mendarat sempurna di pendengaran gadis yang sering di ejek sandal selop oleh Alvin tersebut.“Hah? Menuntut balas?&rd
Adzan Isya bergema dari mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kost Windy. Gadis itu terlonjak kaget dari atas pembaringannya ketika ia menoleh ke jam di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu hampir jam 8 malam.“Astaghfirullah.. sudah Isya rupanya. Kok aku bisa ketiduran sepulas ini, sehingga tidak mendengar adzan Magrib?” keluh Windy sembari bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu ia segera menunaikan sholat Isya yang di jamak dengan sholat Magrib.Selesai melaksanakan rangkaian ibadah malam itu, Windy merapikan kembali mukena dan sejadahnya. Lalu ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajarnya.“Aduh, banyak banget panggilan dari Alvin. Dari tadi ponsel aku silence kan sehingga aku tidak mendengar nada panggilan.” ucap Windy jadi tak enak hati. Ia langsung menghubungi nomor kontak Alvin.Ponsel Alvin berbunyi di atas meja makan. Fatma segera mengambil benda pipih itu dan tersenyum sinis ketika melihat siapa
Sampai di rumah hari sudah mulai malam. Alvin bergegas turun dari mobil Selova dan setengah berlari masuk ke dalam. Ia ingin segera menemui Januar.“Apaan ini Bik..??” teriak Alvin langsung gusar ketika ia kebetulan melihat Bik Tatik pembantu rumah tangga, tengah menyusun makanan di atas nampan yang biasa di gunakan untuk memberi makan Januar.Bik Tatik yang tengah berkosentrasi dengan pekerjaannya langsung mengelinjang kaget. Piring yang berisi makanan bekas hampir saja jatuh dari tangannya yang langsung menggigil.“Makanan buat siapa ini?” tanya Alvin dengan suara keras dan mata melotot memandang Bik Tatik yang semakin gemetar. Ia hafal sifat Tuan Mudanya itu kalau sedang marah. Dan satu-satunya alasan yang membuat Alvin marah hanyalah kalau makanan yang di berikan kepada Januar tidak sesuai dengan standar kemanusiaan.“Jawaaaab....!!” bentak Alvin menggema seantreo rumah.“Buuu...buuaat.. Paak.. tuu..tuaa, Deen..!
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya
“Hah..! Ibu Windy gila..? Astagooor..!!” tiba-tiba Windy dan Alvin terperanjat mendengar suara Selova yang tiba-tiba. Sandal selop itu ternyata sudah berada di belakang mereka sejak tadi dan ikut menyaksikan layar ponsel Windy ketika Windy video call dengan Mak Farida.“Eh, ngapain lu di sini sendal selop? Ngintip aja kerjaan lu !” seru Alvin nampak kesal. Ia berdiri dan mendekati Selova yang menatap sinis kepada Windy.“Kamu sudah lihat sendiri kan Al, kalau Ibu si Windy itu gila. Masak sih kamu mau punya mertua gila. Bisa-bisa kamu tewas di tangannya.” ucap Selova sinis melirik jutek ke arah Windy lalu beralih pandang kepada Alvin.“Hei, jaga mulut kamu ya..! Walau Ibuku gila tidak mungkin Ibuku membunuh orang.” jawab Windy marah. Wajahnya merah dan menatap Selova dengan pandangan tidak senang. Windy memang paling marah kalau ibunya di hina.“Apanya yang tidak mungkin? Orang gila mana ada akalnya. Huuh..!&rd
“Baiklah, mulai hari ini kamu sudah bisa langsung bekerja dibagian kearsipan membantu Rita. Rita akan menjelaskan tugas-tugasmu !” papar Fatma tanpa memindahkan pandangan matanya dari layar laptop didepannya. Ia menyibukkan diri dan tak ingin beramah tamah dengan Windy yang tengah duduk menghadapnya.“Baik Bu, saya akan bekerja sebaik mungkin.” sahut Windy sopan lalu berpamitan. Sektretaris Fatma segera mengantarkan Windy kepada seorang wanita yang bernama Rita. Windy memperkenalkan diri dan Rita memberitahu dimana tempat Windy akan bekerja.Windy diantarkan kesebuah ruangan yang ada dibagian belakang gedung itu. Ruangan itu agak sedikit pengap karena ventilasi udara tidak begitu memadai.Barisan rak tersusun rapi bagaikan sebuah ruang pustaka. Diatas rak juga tersusun map file bantex yang disisi sudah ditulis nama dan waktu file itu dibuat.“Kamu bisa menempati meja ini dan tugasmu adalah mendata semua dokumen-dokumen yang ada
“Ma, Alvin cuma minta satu hal dari Mama. Tolong Ma, tempatkan Windy dibagian office. Windy tidak cocok menjadi petugas kebersihan.” Alvin memohon setengah merengek kepada Fatma saat mereka sarapan pagi bersama. Fatma telah menggunakan pakaian kantor yang rapi nampak sedang menikmati sarapan nasi goreng buatan Tatik pembantu mereka yang sangat pandai memasak.Blezer ungu dengan hiasan kupu-kupu kecil dibagian dada kirinya. Wanita berkulit sawo matang dengan tubuh yang agak pendek itu memang selalu berusaha tampil modis. Namun sayangnya struktur wajah dan bodynya kurang mendukung keinginan hatinya untuk tampil cantik. Boleh disebut Fatma tergolong wanita yang kecantikannya dibawah rata-rata.Berbeda dengan Alvin yang memiliki kulit kuning langsat. Selain kulitnya bersih, tubuh Alvin juga tinggi dan sedikit berisi. Banyak gadis yang tergila-gila melihat body atletis dan katampanan wajahnya. Bahkan tidak sedikit pula yang menduga kalau Alvin bukanlah anak ka