Windy tidak bisa memejamkan matanya walau ia sudah membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Rasa berat meninggalkan ibu dan mak nya sangat mengganggu pikiran gadis itu.
“Mak pasti akan kesusahan merawat Ibu sendiri. Mak harus kesawah mengurus padi, ke ladang memetik pisang dan pinang. Lalu Mak juga harus memasak dan memandikan Ibu. Ooh, Mak sangat baik. Aku bersyukur masih punya Mak. Kalau tidak ada Mak Farida entah bagaimana nasibku dan Ibu.” ratap Windy dalam hati. Dua tetes air mata menggulir dari rongga mata Windy lalu kemudian pecah membentur bantal. Hatinya pedih meninggalkan dua perempuan yang ia sayangi itu. Tapi bagaimanapun harus ia tinggalkan demi menggapai cita-cita dan mencari ayahnya untuk kesembuhan ibunya.Bukan tugas ringan yang ia pikul dipundaknya. Windy yakin kalau kawan-kawan sebayanya tidak memiliki masalah yang berat seperti dirinya. Namun Windy tidak putus asa, ia bertekad akan melakukan apapun demi keluarganya. Ia ingin ibunya sembuh. Windy juga ingin merubah nasib. Dirinya tidak mau lagi melihat Mak nya Farida harus berhujan panas ditengah ladang dan sawah untuk membiayai kehidupan mereka. Apalagi membiayai kuliah dirinya dan Juned, Farida harus pontang panting mengurus sendiri. Syukurlah mereka mempunyai harta pusaka sawah dan ladang yang cukup luas. Farida dengan piawai mengolahnya dengan mempekerjakan beberapa orang petani untuk berkebun cabe dan banyak jenis sayuran. Sebagai perempuan berdarah Minang, semua harta pusaka itu adalah milik kaum perempuan yaitu Farida dan Hanum.Oh ya, Windy teringat seorang. Alvin ! ya Alvin, pemuda yang yang telah menjadi kekasihnya sekitar empat bulan yang lalu. Alvinlah yang memberikan ide agar Windy melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Farida menyetujui ide Alvin namun mengikut sertakan Juned untuk bersama-sama kuliah disana. Farida khawatir melepas Windy yang masih gadis tinggal sendiri dikota besar.Windy mengambil ponselnya dan mengecek waktu terakhir Alvin online di mesengger.“Ooh, Alvin baru off lima belas menit yang lalu. Mungkin Alvin masih bangun.” gumam Windy sendiri seraya melihat waktu yang tertera bagian atas layar ponselnya.Jam 04.20 pagi. Sebentar lagi akan masuk waktu sholat subuh.(Alvin, kamu sudah bangun ?)Send messege...(Aku baru saja bangun Win, aku gak sabar nunggu kamu sampai di Jakarta sore ini.) Dua menit kemudian Alvin menjawab pesan yang dikirimkan Windy.(Aku sudah bersiap-siap, abis sholat subuh aku dan saudaraku Juned akan naik travel menuju bandara kota Padang) Windy segera membalas pesan dari Alvin.(Hati-hati dijalan ya Win, sampai jumpa dibandara Jakarta nanti sore.) Jawab Alvin.Windy tersenyum bahagia. Hatinya berdegub kencang karena beberapa jam lagi ia akan bertemu dengan Alvin yang merupakan cinta pertamanya.Walaupun kisah cinta mereka terjalin hanya lewat dunia maya, namun Windy yakin kalau Alvin adalah laki-laki yang baik. Ia berharap harapan yang telah ia semai kepada Alvin akan berbuah manis.Allahu akbar...! Allahu akbar....!Suara adzan subuh menggema dari corong pengeras suara mesjid yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Windy mengerjapkan matanya yang sedikit perih karena sejak terbangun tadi ia belum memejamkan matanya kembali. Kepalanya terasa sedikit pusing. Windy bangkit dan duduk disisi tempat tidur lalu memijit kedua belah pelipisnya.Dari luar kamar mulai terdengar tanda-tanda kehidupan. Suara Mak Farida mulai menggelitik rongga telinga Windy dengan ocehannya yang nyaris sama setiap pagi.“Juneeed...!Bangun..! sudah subuh nih. Jangan suka bangun siang nanti rejekimu dipatok ayam.” “Iyaa Maak...! Ini Juned sudah bangun dari tadi Mak.” Terdengar pula suara Juned bersungut-sungut menjawab.“Ya sudah ! Berwudhu sana lalu sholat subuh..!” perintah Mak Farida.Suara gesekan langkah mendekati kamar Windy.“Windy sudah bangun Maak..! Windy lagi beres-beres tempat tidur.” Sebelum corong omelan mengarah kepadanya, Windy memutuskan untuk cepat-cepat membacakan pemberitahuan bahwa dirinya sudah bangun. Kalau tidak, hmm..., Mak Farida akan mengomel panjang kali lebar kali tinggi. Begitulah tabiat Mak Farida yang dikenal Windy sejak kecil. Mak Farida selalu menjaga sholatnya dan mendidik mereka disiplin beribadah.Setelah merapikan kamarnya Windy segera keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Sejuknya air yang ditampung dari perbukitan membuat bulu-bulu diseluruh tubuh Windy meremang dan dagunya sedikit bergetar menahan serangan rasa dingin. Windy segera kembali kekamarnya dan melakukan sholat subuh dengan khusuk. Ia berdoa agar perjalanan yang akan ditempuhnya bersama Juned diberi keselamatan, Ibunya dan Mak Farida yang ia tinggalkan ia titipkan kepada sang pencipta agar terjaga dari mara bahaya. Aamiin...! Windy menutup doanya dengan menyapukan kedua telapak tangan kewajahnya.Windy membuka mukenanya dan mulai memakai busana untuk berangkat ke Jakarta. Jam delapan nanti mobil travel akan menjemput dirinya dan Juned lalu mengantar mereka kebandara Minang Kabau yang berada dikota Padang. Windy dan Juned yang tinggal disebuah kampung kecil di daerah Pasaman membutuhkan waktu sekitar lima jam untuk sampai ke kota Padang.Sebelum keluar kamar Windy merapikan hijabnya dan memoles lips gloss dibibirnya. Windy juga memeriksa dokumen-dokumen yang akan ia bawa. Selain dokumen berbentuk nyata, Windy juga menyimpan beberapa foto dari dokumen itu seperti surat nikah kedua orang tuanya, fotocopy sertifikat rumah atas nama Januar di Jakarta, akte kelahiran dan banyak lagi. Tidak ketinggalan foto-foto ayah ibunya masa hidup bersama termasuk foto pengantin mereka. Ibarat akan berangkat perang, Windy sudah mempersiapkan peluru sebanyak mungkin.Seabrek dokumen penting lainnya ia simpan didalam koper. Itu adalah dokumen data pribadi dan riwayat pendidikkannya. Semua pasti akan diminta pihak Universitas nantinya.“Sudah siap Win..!” Terdengar Mak Farida memanggil.“Sudah Mak.” jawab Windy lalu menarik kopernya keluar kamar.Mak Farida sudah menunggu dimeja makan dengan empat piring nasi goreng yang masih mengepul dan empat gelas pula air putih.Windy mendekati meja makan dan menerima sebuah nampan yang disodorkan Farida kepadanya. Diatas nampan itu ada satu piring loyang nasi goreng dan air minum didalam gelas plastik. Makanan dan minuman itu untuk Hanum dan sengaja tidak memakai bahan kaca karena takut akan membahayakan Hanum kalau sedang marah.Windy membawa nampan itu kebelakang rumah dan pelan-pelan ia membuka kamar ibunya. Hanum terlihat sedang tenang dan itu membuat Windy tidak terlalu khawatir mendekatinya. Hanum nampaknya masih tertidur lelap dan suara dengkurnya masih terdengar halus.Windy mendekat dan meletakkan nampan disebuah meja yang ada di sisi tempat tidur Hanum. Sesaat Windy menatap ibunya dan mendekat untuk mencium pipi wanita yang telah melahirkannya itu.“Pergi kau bangsaaat...!!!” Tiba -tiba Hanum terbangun dan mendorong tubuh Windy hingga jatuh dan terlempar menabrak dinding teralis.Praaaaang....!Suara gaduh terdengar dipagi buta. “Ibuuuu...!!” teriak Windy mengaduh karena sakit yang ia rasakan dipunggungnya yang membentur besi teralis. Windy terduduk disaat langkah kaki Hanum mulai mendekat kepadanya.Suara gaduh didalam kamar Hanum mengundang gerakan spontan Juned dan Farida untuk menghambur kedalam kamar berteralis itu.Hanum mulai menjambak kerudung Windy dan mencengkram bahu anaknya itu dan membawanya berdiri berhadapan.“Kau perempuan jahat Fatma...! Kau telah menculik suamiku dan mengurungnya didalam gudang. Cepaaaat lepaskan Uda Januar...!!” teriak Hanum sambil menatap wajah Windy dengan buas.“Hanum, tenanglah Dek. Ini Windy anakmu, bukan Fatma. Kau lihatlah baik-baik..!!” Farida mencengkram bahu Hanum sedikit keras agar Hanum yang tidak menyadari kalau Windy adalah anaknya segera sadar.“Windy siapa...??” Mata Hanum mendelik kepada Farida. Pegangannya mengendor dibahu Windy. Juned segera menarik Windy dan membawanya keluar dari kamar itu. Keadaan sedikit genting dan berbahaya.“Ngapain masuk kedalam Win, sudah tahu Ibu sedang beringas.” sungut Juned memarahi sepupunya itu.Windy hanya meringis karena memang merasa bersalah. Seharusnya ia bisa memasukkan makanan dengan membuka pintu kecil yang sudah disediakan yang cukup untuk menyodorkan sebuah nampan.“Kaaak...! Fatma mengurung suamiku, Uda Januar ada dalam gudang Kak..!” Hanum menangis dan memeluk Farida. Hanum memang hanya takut dan patuh kepada kakaknya itu. Hanya Farida yang bisa menenangkan Hanum kalau sedang beringas.“Iya, Windy dan Juned akan menjemput Januar. Kamu tenang dan tunggu disini.” Ujar Farida lalu menuntun Hanum duduk diatas pembaringannya.Farida lalu menyuapkan nasi goreng kemulut Hanum yang terlihat kering dan bergetar.“Uda Januar ada didalam gudang Kak..!” Hanum selalu saja mengucapkan kalimat itu. Tidak satu orangpun yang mengerti apalagi mempercayai kata-kata Hanum itu. Malah kata dokter yang sering memeriksa Hanum, itu hanyalah sekedar halusinasi pasien.“Yang Ibu katakan pasti benar..! Aku yakin..!” ujar Windy sembari menatap Farida yang dengan sabar menyuapi adiknya itu.Juned hanya mengangkat bahu mendengar gumaman Windy. “Win, aku minta kamu tetap berfikiran jernih. Jangan sampaaaiii...Juned tidak melanjutkan ucapannya. Windy sudah tahu apa kelanjutan dari kalimat itu. “Jangan sampai kamu juga gila seperti Ibu.” Pasti itu yang dimaksud Juned. Windy memahami keresahan Juned karena sepupunya itu menyayangi dirinya.*****Sebuah mobil Avanza memasuki halaman rumah. Juned bergegas memasukkan barang-barang kedalam bagasi mobil.“Wiiiin...! Windy...!” Farida berteriak memanggil Windy dari halaman rumah.“Bu, Windy pergi ya. Windy janji akan membawa ayah pulang.” ucap Windy kepada Hanum dari celah teralis besi.Hanum termangu dibalik dinding besi itu. Ia tidak lagi beringas seperti tadi pagi. Matanya nanar memandang Windy yang juga memandang lembut kearahnya.Hanum mendekati teralis besi dan mengulurkan tangannya keluar. Pandangan matanya mendadak sendu seolah ia tahu bahwa anak gadisnya akan pergi jauh.Windy membiarkan tangan Hanum menyentuh pipinya. Selama hidupnya baru kali inilah Hanum bersikap demikian. Hanum seakan-akan sadar saat itu.“Wiindyy...!” ujar Hanum terbata.“Ibuuu ! Ibu sudah mengenali Windy ?” Teriak Windy senang.“Windyyyy....!!” Dari halaman depan kembali terdengar suara panggilan Farida.“Iyaa Maaak...!” Windy menyahuti panggilan itu.“Windy perg
Seminggu sudah Windy dan Juned berada di Jakarta. Alvin setiap hari datang dan mengajak mereka berkeliling kota Jakarta hingga mereka berdua tidak canggung lagi dengan keramaian kota Jakarta yang hiruk pikuk.Hari ini adalah hari senin yang merupakan hari pertama kali mereka masuk kuliah. Dikampus mereka berpisah karena jurusan ilmu yang mereka tuntut berbeda. Windy memilih fakultas hukum dengan jurusan hukum pidana karena ia bercita-cita menjadi pengacara. Alvin memilih menjadi mahasiswa kedokteran karena profesi dokter adalah impiannya sejak kecil. Sedangkan Juned mengambil jurusan kontruksi bangunan karena ia ingin menjadi seorang kontraktor bangunan dikampungnya.“Hati-hati ya Win, jaga hati, jangan sampai kepincut mahasiswa senior.” ucap Alvin ketika mereka akan berpisah menuju tempat ospek masing-masing.“Kamu juga Al, jangan tergoda mahasiswi baru. Aku dengar mahasiswi kedokteran cantik-cantik lho.” jawab Windy sedikit resah.&ldquo
“Aku akan bekerja dikantor Mamanya Alvin sebagai petugas kebersihan.” ujar Windy ketika ia dan Juned mulai menyantap hidangan makan malam disebuah cafe yang tidak begitu jauh dari tempat kos mereka.“Apaa...?? Juned hampir saja tersedak dan buru-buru meminum air putih untuk mendorong makanan yang nyangkut dikerongkongannya.Kamu yakin Win, akan bekerja diperusahaan Mamanya Alvin ?” sambung Juned setelah merasa kerongkongannya sedikir lega.Windy menganggukkan kepalanya dan mulai menelan makanan suapan pertamanya.Juned meletakkan sendoknya dan kini menatap Windy sepupunya itu dengan pandangan semakin heran.“Iya Jun, masa aku main-main sih.” sahut Windy tenang dan terus menyuap makan malamnya disamping Juned.“Terus kuliahmu bagaimana Oon..!!” ujar Juned sedikit memaki Windy.“Tenang saja Jun, aku akan bekerja diluar jam kuliah. Mamanya Alvin memberiku sedikit kelonggaran waktu kerja disana.&rdq
“Ma, Alvin cuma minta satu hal dari Mama. Tolong Ma, tempatkan Windy dibagian office. Windy tidak cocok menjadi petugas kebersihan.” Alvin memohon setengah merengek kepada Fatma saat mereka sarapan pagi bersama. Fatma telah menggunakan pakaian kantor yang rapi nampak sedang menikmati sarapan nasi goreng buatan Tatik pembantu mereka yang sangat pandai memasak.Blezer ungu dengan hiasan kupu-kupu kecil dibagian dada kirinya. Wanita berkulit sawo matang dengan tubuh yang agak pendek itu memang selalu berusaha tampil modis. Namun sayangnya struktur wajah dan bodynya kurang mendukung keinginan hatinya untuk tampil cantik. Boleh disebut Fatma tergolong wanita yang kecantikannya dibawah rata-rata.Berbeda dengan Alvin yang memiliki kulit kuning langsat. Selain kulitnya bersih, tubuh Alvin juga tinggi dan sedikit berisi. Banyak gadis yang tergila-gila melihat body atletis dan katampanan wajahnya. Bahkan tidak sedikit pula yang menduga kalau Alvin bukanlah anak ka
“Baiklah, mulai hari ini kamu sudah bisa langsung bekerja dibagian kearsipan membantu Rita. Rita akan menjelaskan tugas-tugasmu !” papar Fatma tanpa memindahkan pandangan matanya dari layar laptop didepannya. Ia menyibukkan diri dan tak ingin beramah tamah dengan Windy yang tengah duduk menghadapnya.“Baik Bu, saya akan bekerja sebaik mungkin.” sahut Windy sopan lalu berpamitan. Sektretaris Fatma segera mengantarkan Windy kepada seorang wanita yang bernama Rita. Windy memperkenalkan diri dan Rita memberitahu dimana tempat Windy akan bekerja.Windy diantarkan kesebuah ruangan yang ada dibagian belakang gedung itu. Ruangan itu agak sedikit pengap karena ventilasi udara tidak begitu memadai.Barisan rak tersusun rapi bagaikan sebuah ruang pustaka. Diatas rak juga tersusun map file bantex yang disisi sudah ditulis nama dan waktu file itu dibuat.“Kamu bisa menempati meja ini dan tugasmu adalah mendata semua dokumen-dokumen yang ada
“Hah..! Ibu Windy gila..? Astagooor..!!” tiba-tiba Windy dan Alvin terperanjat mendengar suara Selova yang tiba-tiba. Sandal selop itu ternyata sudah berada di belakang mereka sejak tadi dan ikut menyaksikan layar ponsel Windy ketika Windy video call dengan Mak Farida.“Eh, ngapain lu di sini sendal selop? Ngintip aja kerjaan lu !” seru Alvin nampak kesal. Ia berdiri dan mendekati Selova yang menatap sinis kepada Windy.“Kamu sudah lihat sendiri kan Al, kalau Ibu si Windy itu gila. Masak sih kamu mau punya mertua gila. Bisa-bisa kamu tewas di tangannya.” ucap Selova sinis melirik jutek ke arah Windy lalu beralih pandang kepada Alvin.“Hei, jaga mulut kamu ya..! Walau Ibuku gila tidak mungkin Ibuku membunuh orang.” jawab Windy marah. Wajahnya merah dan menatap Selova dengan pandangan tidak senang. Windy memang paling marah kalau ibunya di hina.“Apanya yang tidak mungkin? Orang gila mana ada akalnya. Huuh..!&rd
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya
Sampai di rumah hari sudah mulai malam. Alvin bergegas turun dari mobil Selova dan setengah berlari masuk ke dalam. Ia ingin segera menemui Januar.“Apaan ini Bik..??” teriak Alvin langsung gusar ketika ia kebetulan melihat Bik Tatik pembantu rumah tangga, tengah menyusun makanan di atas nampan yang biasa di gunakan untuk memberi makan Januar.Bik Tatik yang tengah berkosentrasi dengan pekerjaannya langsung mengelinjang kaget. Piring yang berisi makanan bekas hampir saja jatuh dari tangannya yang langsung menggigil.“Makanan buat siapa ini?” tanya Alvin dengan suara keras dan mata melotot memandang Bik Tatik yang semakin gemetar. Ia hafal sifat Tuan Mudanya itu kalau sedang marah. Dan satu-satunya alasan yang membuat Alvin marah hanyalah kalau makanan yang di berikan kepada Januar tidak sesuai dengan standar kemanusiaan.“Jawaaaab....!!” bentak Alvin menggema seantreo rumah.“Buuu...buuaat.. Paak.. tuu..tuaa, Deen..!
“Hak..hak..hak..!”Pak Tua itu kembali tertawa sumbang. Suaranya bercampur serak dan Windy merasa kalau lelaki itu hidup dalam tekanan psikis berat yang cukup lama.Pak Tua kembali berdiri dan kakinya yang gemetar ia seret melangkah menuju sebuah lemari buku yang berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Banyak tersusun buku-buku di sana namun Pak Tua mengambil sebuah saja di dalam laci yang sepertinya adalah album foto.Ia memegang album itu dan menatap benda itu sejenak laluuu..Breeet...Album besar itu ia lemparkan ke arah Windy dan hampir saja mengenai kepala gadis itu.Oouh..Windy menghindar sehingga kepalanya luput dari serangan benda yang datang tiba-tiba tersebut.Bruuuk...Album itu jatuh ke atas lantai dan beberapa lembarannya nampak terbuka.“Lihatlah! Dan kamu akan menemukan jawaban di sana!” perintah Pak Tua dengan tegas menunjuk album yang teronggok di lantai.Windy menatap se
Windy di bawa ke sebuah rumah besar yang mirip dengan sebuah istana mewah.“Di mana ini?” tanya Windy sambil mengedarkan pandangan matanya sekeliling ketika Sandy telah mempersilahkannya turun dan ia menjejakkan kakinya di halaman bangunan yang ternyata sebuah Villa.“Di kediamanku!” jawab Sandy cukup angkuh.“Oh, aktor setaraf Sandy tentu saja mampu membeli rumah nan megah seperti ini.” ucap Windy di dalam hati.Entah mimpi apa ia semalam kok bisa-bisanya ia menjejakkan kaki di rumah aktor tampan itu dan berduaan pula dengannya.“ Di mana Alvin?” tanya Windy tidak sabar.Sandy tidak menjawab namun ia terus berjalan memasuki rumah megahnya tanpa sedikit pun memberikan pelayanan kepada Windy yang merupakan tamu di rumahnya itu.“Dasar manusia aneh!” sungut Windy namun akhirnya ia mengikuti langkah lelaki itu. Windy sedikit mengibaskan ujung kerudungnya yang jatuh ke depan.Sandy
Fatma masuk ke dalam kamar dan mengganti stelan kantornya dengan baju rumahan. Ia mengenakan sebuah daster berwarna lila bercorak kembang sepatu berwarna putih. Fatma kini duduk di meja makan namun bukan makan malam yang ia inginkan. Ia duduk sambil mengutak-atik ponselnya.“Apakah Nyonya mau makan malam?” Tatik datang menanyakan keinginan majikannya.Fatma tidak menjawab, ia hanya mengibaskan tangannya dan itu cukup membuat Tatik terbirit-birit pergi. Tatik hafal sekali sifat majikannya itu. Fatma akan gampang mengamuk apa bila ada orang yang mengganggu ketika dirinya sedang memikirkan sebuah perkara besar.“Mereka sudah datang untuk menuntut balas!” ucap Fatma sedingin es lewat ponselnya entah kepada siapa. Lalu ia nampak mengangguk-angguk.Selova yang kepo terus mengintip dari dapur. Ucapan Fatma barusan mendarat sempurna di pendengaran gadis yang sering di ejek sandal selop oleh Alvin tersebut.“Hah? Menuntut balas?&rd
Adzan Isya bergema dari mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kost Windy. Gadis itu terlonjak kaget dari atas pembaringannya ketika ia menoleh ke jam di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu hampir jam 8 malam.“Astaghfirullah.. sudah Isya rupanya. Kok aku bisa ketiduran sepulas ini, sehingga tidak mendengar adzan Magrib?” keluh Windy sembari bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu ia segera menunaikan sholat Isya yang di jamak dengan sholat Magrib.Selesai melaksanakan rangkaian ibadah malam itu, Windy merapikan kembali mukena dan sejadahnya. Lalu ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajarnya.“Aduh, banyak banget panggilan dari Alvin. Dari tadi ponsel aku silence kan sehingga aku tidak mendengar nada panggilan.” ucap Windy jadi tak enak hati. Ia langsung menghubungi nomor kontak Alvin.Ponsel Alvin berbunyi di atas meja makan. Fatma segera mengambil benda pipih itu dan tersenyum sinis ketika melihat siapa
Sampai di rumah hari sudah mulai malam. Alvin bergegas turun dari mobil Selova dan setengah berlari masuk ke dalam. Ia ingin segera menemui Januar.“Apaan ini Bik..??” teriak Alvin langsung gusar ketika ia kebetulan melihat Bik Tatik pembantu rumah tangga, tengah menyusun makanan di atas nampan yang biasa di gunakan untuk memberi makan Januar.Bik Tatik yang tengah berkosentrasi dengan pekerjaannya langsung mengelinjang kaget. Piring yang berisi makanan bekas hampir saja jatuh dari tangannya yang langsung menggigil.“Makanan buat siapa ini?” tanya Alvin dengan suara keras dan mata melotot memandang Bik Tatik yang semakin gemetar. Ia hafal sifat Tuan Mudanya itu kalau sedang marah. Dan satu-satunya alasan yang membuat Alvin marah hanyalah kalau makanan yang di berikan kepada Januar tidak sesuai dengan standar kemanusiaan.“Jawaaaab....!!” bentak Alvin menggema seantreo rumah.“Buuu...buuaat.. Paak.. tuu..tuaa, Deen..!
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya
“Hah..! Ibu Windy gila..? Astagooor..!!” tiba-tiba Windy dan Alvin terperanjat mendengar suara Selova yang tiba-tiba. Sandal selop itu ternyata sudah berada di belakang mereka sejak tadi dan ikut menyaksikan layar ponsel Windy ketika Windy video call dengan Mak Farida.“Eh, ngapain lu di sini sendal selop? Ngintip aja kerjaan lu !” seru Alvin nampak kesal. Ia berdiri dan mendekati Selova yang menatap sinis kepada Windy.“Kamu sudah lihat sendiri kan Al, kalau Ibu si Windy itu gila. Masak sih kamu mau punya mertua gila. Bisa-bisa kamu tewas di tangannya.” ucap Selova sinis melirik jutek ke arah Windy lalu beralih pandang kepada Alvin.“Hei, jaga mulut kamu ya..! Walau Ibuku gila tidak mungkin Ibuku membunuh orang.” jawab Windy marah. Wajahnya merah dan menatap Selova dengan pandangan tidak senang. Windy memang paling marah kalau ibunya di hina.“Apanya yang tidak mungkin? Orang gila mana ada akalnya. Huuh..!&rd
“Baiklah, mulai hari ini kamu sudah bisa langsung bekerja dibagian kearsipan membantu Rita. Rita akan menjelaskan tugas-tugasmu !” papar Fatma tanpa memindahkan pandangan matanya dari layar laptop didepannya. Ia menyibukkan diri dan tak ingin beramah tamah dengan Windy yang tengah duduk menghadapnya.“Baik Bu, saya akan bekerja sebaik mungkin.” sahut Windy sopan lalu berpamitan. Sektretaris Fatma segera mengantarkan Windy kepada seorang wanita yang bernama Rita. Windy memperkenalkan diri dan Rita memberitahu dimana tempat Windy akan bekerja.Windy diantarkan kesebuah ruangan yang ada dibagian belakang gedung itu. Ruangan itu agak sedikit pengap karena ventilasi udara tidak begitu memadai.Barisan rak tersusun rapi bagaikan sebuah ruang pustaka. Diatas rak juga tersusun map file bantex yang disisi sudah ditulis nama dan waktu file itu dibuat.“Kamu bisa menempati meja ini dan tugasmu adalah mendata semua dokumen-dokumen yang ada
“Ma, Alvin cuma minta satu hal dari Mama. Tolong Ma, tempatkan Windy dibagian office. Windy tidak cocok menjadi petugas kebersihan.” Alvin memohon setengah merengek kepada Fatma saat mereka sarapan pagi bersama. Fatma telah menggunakan pakaian kantor yang rapi nampak sedang menikmati sarapan nasi goreng buatan Tatik pembantu mereka yang sangat pandai memasak.Blezer ungu dengan hiasan kupu-kupu kecil dibagian dada kirinya. Wanita berkulit sawo matang dengan tubuh yang agak pendek itu memang selalu berusaha tampil modis. Namun sayangnya struktur wajah dan bodynya kurang mendukung keinginan hatinya untuk tampil cantik. Boleh disebut Fatma tergolong wanita yang kecantikannya dibawah rata-rata.Berbeda dengan Alvin yang memiliki kulit kuning langsat. Selain kulitnya bersih, tubuh Alvin juga tinggi dan sedikit berisi. Banyak gadis yang tergila-gila melihat body atletis dan katampanan wajahnya. Bahkan tidak sedikit pula yang menduga kalau Alvin bukanlah anak ka