“Aku akan bekerja dikantor Mamanya Alvin sebagai petugas kebersihan.” ujar Windy ketika ia dan Juned mulai menyantap hidangan makan malam disebuah cafe yang tidak begitu jauh dari tempat kos mereka.
“Apaa...?? Juned hampir saja tersedak dan buru-buru meminum air putih untuk mendorong makanan yang nyangkut dikerongkongannya.Kamu yakin Win, akan bekerja diperusahaan Mamanya Alvin ?” sambung Juned setelah merasa kerongkongannya sedikir lega.Windy menganggukkan kepalanya dan mulai menelan makanan suapan pertamanya.Juned meletakkan sendoknya dan kini menatap Windy sepupunya itu dengan pandangan semakin heran.“Iya Jun, masa aku main-main sih.” sahut Windy tenang dan terus menyuap makan malamnya disamping Juned.“Terus kuliahmu bagaimana Oon..!!” ujar Juned sedikit memaki Windy.“Tenang saja Jun, aku akan bekerja diluar jam kuliah. Mamanya Alvin memberiku sedikit kelonggaran waktu kerja disana.” jawab Windy semakin santai. Sedangkan Juned memandangnya semakin heran dan matanya melotot tidak setuju.“Aku akan lapor Mak..!” Dengan tergesa Juned menyambar ponselnya dan siap mengadu kepada Farida.“Eit jangan Oon..! kamu ini dikit-dikit lapor Mak. Jangan nambahin beban pikiran Mak dikampung.” sergap Windy langsung merebut ponsel Juned dan mematikan tombol call sebelum panggilan Juned tersambung ke ponsel Mak Farida.“Kalau aku tidak lapor terus kuliahmu terbengkalai, aku yang akan dimarahi Mak.” Juned membesarkan matanya kepada Windy.“Itu kan derita elu.” sahut Windy meleletkan lidahnya dan tertawa puas melihat Juned yang kelimpungan.“Eh Jun, dengerin..!” Windy merubah nada bicaranya lebih serius. Juned mendekatkan kupingnya ke arah Windy siap untuk mendengar keterangan pers sepupunya itu.“Ternyata Mamanya Alvin bernama Fatma.”“Alaaah, jangan mengira kalau Mamanya Alvin adalah perempuan yang ada dalam misimu. Bukan satu orang perempuan yang bernama Fatma. Contohnya di kampus kita banyak juga orang bernama Fatma, Fatmawati, Fatmaini, Fatmasari, Fatmarida daaaan....“Stoooop...!! Jangan bilang ada Fatmarudin.” sanggah Windy memotong obrolan latah Juned dengan meletakkan jari telunjuk dibibirnya.“Kamu tahu nggak Jun, nama perusahaan yang tertulis didinding kantor Mamanya Alvin adalah Fatma Advertising.”“Apaa...?? Serius kamu Win ?” Kali ini Juned mulai memakai akal sehatnya.“Jangan-jangaaan...!” Juned tidak melanjutkan kalimatnya namun bola matanya berputar petanda ia sedang berfikir serius. Ia meletakkan sendok diatas piring dan menyudahi makan malamnya secara mendadak karena nafsu makannya langsung hilang lenyap.“Tidak mungkin ada dua kesamaan kan Jun ? Nama dan jenis usahanya menunjukkan satu arah kalau Mamanya Alvin adalah perempuan yang telah merebut Ayah dari Ibu.” tandas Windy yakin.Juned mengangguk-anggukkan kepalanya tanda ia sependapat dengan Windy.“Aku juga mulai berfikir kearah sana Win.” Sahut Juned memutar pandangan sekeliling cafe tempat mereka bersantap malam. Sekilas ia melihat sosok yang dikenalnya dari kejauhan.“Eeeh Win, itu ada Alvin menuju kemari.” ujar Juned setengah berbisik.“Oke oke...!” Sahut Windy lalu memasang ekpresi tenang agar Alvin tidak curiga. Ia menyantap makan malamnya sembari menukar topik obrolan dengan Juned.“Hai Al, kok tahu kami disini ?” Juned langsung menyambut kedatangan Alvin yang sudah sampai disisi meja mereka. Windy melemparkan senyuman rindu kearah Alvin.“Ya Allah, kalau Alvin anaknya Fatma, apakah ia juga anak ayah ? Kalau iya, itu artinya dia adalah saudara sedarah denganku ?” Windy mengeluh didalam hatinya. Windy khawatir kalau Alvin adalah darah daging Januar ayahnya. Jika benar begitu maka perasaannya kepada Alvin harus segera ia lenyapkan.“Aku baru saja ke kos kalian dan teman-teman disana bilang kalian makan disini.” jawab Alvin menjelaskan.“Ooh.” Windy menjawab singkat dan mempersilahkan pemuda ganteng pujaan hatinya itu duduk disebuah kursi disampingnya.“Berhubung pengawal yang asli sudah datang, maka sudah saatnya aku undur diri.” ucap Juned sembari berdiri dan bersiap untuk pergi.“Mau kemana kamu Jun ?” tanya Windy.“Ah mau tau saja urusan anak muda. Ya ngapelin Melani lah..!” jawab Juned sambil melambaikan tangan dan bergegas pergi. Windy tertawa geli melihat kelakuan sepupunya itu. Nama Melani yang ia sebutkan itu adalah nama seekor kucing milik ibu kos. Karena Juned menyayangi hewan itu makanya Windy sering mengejeknya sebagai pacarnya si kucing manis bernama Melani tersebut.“Win, aku tidak setuju kalau kamu bekerja dikantor Mama. Kalau toh kamu butuh pekerjaan aku akan mencarikannya ditempat lain. Aku akan mencarikan pekerjaan sebagai staf kantor diperusahaan ayah temanku. Kebetulan ada yang membutuhkan seorang tenaga administrasi.” Alvin langsung memberondong Windy dengan pernyataan berikut menawarkan solusi.“Tidak apa Al, aku malah bersyukur Mama kamu mau menerimaku bekerja disana. Hitung-hitung bisa mengurangi beban Mak dikampung.” sahut Windy dengan mengemas senyum indahnya dan memperbaiki hijab yang menjulur kekeningnya. Hatinya yang tengah kacau balau ia tutupi dengan sikapnya yang tenang dihadapan Alvin.“Tapi Win, pekerjaan itu tidak cocok untukmu. Setidaknya kamu bisa menjadi staf kantor. Oke kalau begitu aku akan bicara dengan Mama agar ia memberikan pekerjaan yang layak untukmu.” Alvin kemudian mengambil keputusan untuk bicara dengan Farida.“Jangan Al.” Windy memegang lengan Alvin dan menggelengkan kepalanya menatap Alvin.“Aku tidak mau kamu berselisih paham dengan Mamamu hanya karena aku.” sambung Windy nelangsa. Windy dapat merasakan sikap Fatma yang terlihat tidak menyukai dirinya. Fatma sangat memandang rendah kepadanya. Windy dapat merasakan itu.Namun Windy tidak terlalu mempermasalahkan pandangan Fatma kepadanya. Ia lebih memikirkan keadaan Hanum ibunya dikampung.“Ibu sedang apa ya ?” tanya hati Windy sambil melamun.“Hei.. diajak ngobrol malah melamun. Intinya aku tidak setuju kamu bekerja sebagai petugas kebersihan. Ooh, atau sebaiknya aku memang harus ngomong sama Mama agar kamu ditempatkan dibagian administrasi. Yaa.. aku rasa lebih baik begitu.” Alvin tidak bisa dibantah lagi. Ia langsung berdiri bangkit dari tempat duduknya dan langsung pergi meninggalkan Windy. Alvin tidak memperdulikan Windy yang terus memanggil namanya dan bahkan berlari kecil mengejarnya sampai ke halaman parkir cafe itu. Alvin telah menaiki kendaraannya dan lalu melesat pergi menuju pulang kerumahnya.“Aduh gawat..! Kalau sampai Alvin bertengkar dengan Mamanya lalu membatalkan pekerjaan untukku, maka aku akan kehilangan kesempatan satu-satunya untuk mencari tahu keberadaan Ayah. Hmm, bagaimana ini ?” Windy terlihat resah berputar-putar dilapangan parkir tempat Alvin memarkirkan mobilnya tadi.“Kenapa Win ?” Tiba-tiba Juned muncul dari balik pohon yang sengaja ditanam sebagai tanaman hias dihalaman parkir cafe itu. Windy mendongakkan kepalanya dan menemukan wajah Juned sudah terpampang didepan matanya.“Alvin tidak setuju aku bekerja sebagai tenaga kebersihan dikantor Mamanya.” Jawab Windy lesu.Juned nampak ikut-ikutan berfikir untuk membantu Windy mencari jalan keluarnya.“Alvin mau bicara dengan Mamanya agar aku ditempatkan dibagian kantor atau administrasi.” Tambah Windy menyambung kalimatnya tadi.“Malah bagus dong.” Sahut Juned menatap Windy dan mengajaknya pulang ke kos mereka yang tidak begitu jauh dari cafe itu.“Aku berfikir kalau aku menjadi petugas kebersihan aku akan bebas masuk ruangan mana saja dikantor itu. Aku yakin Fatma pasti menyimpan banyak rahasia disana.” ucap Windy sambil berjalan pelan disamping Juned. Mereka menyusuri trotoar dan sekitar dua ratus meter lagi akan sampai dipintu gerbang perumahan tempat mereka tinggal.“Kok kamu begitu yakin sih Win ?” tanya Juned menoleh kepada Windy yang berjalan disisi kirinya.“Aku sering mendengar ocehan Ibu yang mengatakan kalau perempuan itu telah mengurung Ayah disebuah ruangan.” Windy menyahuti pertanyaan Juned.“Alaah Wiin..! Kamu masih saja mengambil hati ocehan Ibu. Ibu hanya berhalusinasi Win.” sanggah Juned sambil menendang sebuah kerikil kecil yang menyentuh ujung sepatunya.“Mungkin iya menurut orang, tapi tidak menurutku. Aku yakin perkataan Ibu bukan halusinasi, tapi adalah naluri seorang istri.” jawab Windy mantap.Juned hanya menaikkan bahunya. Ia tidak mau berdebat lagi dengan Windy.******“Ma, Alvin cuma minta satu hal dari Mama. Tolong Ma, tempatkan Windy dibagian office. Windy tidak cocok menjadi petugas kebersihan.” Alvin memohon setengah merengek kepada Fatma saat mereka sarapan pagi bersama. Fatma telah menggunakan pakaian kantor yang rapi nampak sedang menikmati sarapan nasi goreng buatan Tatik pembantu mereka yang sangat pandai memasak.Blezer ungu dengan hiasan kupu-kupu kecil dibagian dada kirinya. Wanita berkulit sawo matang dengan tubuh yang agak pendek itu memang selalu berusaha tampil modis. Namun sayangnya struktur wajah dan bodynya kurang mendukung keinginan hatinya untuk tampil cantik. Boleh disebut Fatma tergolong wanita yang kecantikannya dibawah rata-rata.Berbeda dengan Alvin yang memiliki kulit kuning langsat. Selain kulitnya bersih, tubuh Alvin juga tinggi dan sedikit berisi. Banyak gadis yang tergila-gila melihat body atletis dan katampanan wajahnya. Bahkan tidak sedikit pula yang menduga kalau Alvin bukanlah anak ka
“Baiklah, mulai hari ini kamu sudah bisa langsung bekerja dibagian kearsipan membantu Rita. Rita akan menjelaskan tugas-tugasmu !” papar Fatma tanpa memindahkan pandangan matanya dari layar laptop didepannya. Ia menyibukkan diri dan tak ingin beramah tamah dengan Windy yang tengah duduk menghadapnya.“Baik Bu, saya akan bekerja sebaik mungkin.” sahut Windy sopan lalu berpamitan. Sektretaris Fatma segera mengantarkan Windy kepada seorang wanita yang bernama Rita. Windy memperkenalkan diri dan Rita memberitahu dimana tempat Windy akan bekerja.Windy diantarkan kesebuah ruangan yang ada dibagian belakang gedung itu. Ruangan itu agak sedikit pengap karena ventilasi udara tidak begitu memadai.Barisan rak tersusun rapi bagaikan sebuah ruang pustaka. Diatas rak juga tersusun map file bantex yang disisi sudah ditulis nama dan waktu file itu dibuat.“Kamu bisa menempati meja ini dan tugasmu adalah mendata semua dokumen-dokumen yang ada
“Hah..! Ibu Windy gila..? Astagooor..!!” tiba-tiba Windy dan Alvin terperanjat mendengar suara Selova yang tiba-tiba. Sandal selop itu ternyata sudah berada di belakang mereka sejak tadi dan ikut menyaksikan layar ponsel Windy ketika Windy video call dengan Mak Farida.“Eh, ngapain lu di sini sendal selop? Ngintip aja kerjaan lu !” seru Alvin nampak kesal. Ia berdiri dan mendekati Selova yang menatap sinis kepada Windy.“Kamu sudah lihat sendiri kan Al, kalau Ibu si Windy itu gila. Masak sih kamu mau punya mertua gila. Bisa-bisa kamu tewas di tangannya.” ucap Selova sinis melirik jutek ke arah Windy lalu beralih pandang kepada Alvin.“Hei, jaga mulut kamu ya..! Walau Ibuku gila tidak mungkin Ibuku membunuh orang.” jawab Windy marah. Wajahnya merah dan menatap Selova dengan pandangan tidak senang. Windy memang paling marah kalau ibunya di hina.“Apanya yang tidak mungkin? Orang gila mana ada akalnya. Huuh..!&rd
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya
Sampai di rumah hari sudah mulai malam. Alvin bergegas turun dari mobil Selova dan setengah berlari masuk ke dalam. Ia ingin segera menemui Januar.“Apaan ini Bik..??” teriak Alvin langsung gusar ketika ia kebetulan melihat Bik Tatik pembantu rumah tangga, tengah menyusun makanan di atas nampan yang biasa di gunakan untuk memberi makan Januar.Bik Tatik yang tengah berkosentrasi dengan pekerjaannya langsung mengelinjang kaget. Piring yang berisi makanan bekas hampir saja jatuh dari tangannya yang langsung menggigil.“Makanan buat siapa ini?” tanya Alvin dengan suara keras dan mata melotot memandang Bik Tatik yang semakin gemetar. Ia hafal sifat Tuan Mudanya itu kalau sedang marah. Dan satu-satunya alasan yang membuat Alvin marah hanyalah kalau makanan yang di berikan kepada Januar tidak sesuai dengan standar kemanusiaan.“Jawaaaab....!!” bentak Alvin menggema seantreo rumah.“Buuu...buuaat.. Paak.. tuu..tuaa, Deen..!
Adzan Isya bergema dari mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kost Windy. Gadis itu terlonjak kaget dari atas pembaringannya ketika ia menoleh ke jam di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu hampir jam 8 malam.“Astaghfirullah.. sudah Isya rupanya. Kok aku bisa ketiduran sepulas ini, sehingga tidak mendengar adzan Magrib?” keluh Windy sembari bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu ia segera menunaikan sholat Isya yang di jamak dengan sholat Magrib.Selesai melaksanakan rangkaian ibadah malam itu, Windy merapikan kembali mukena dan sejadahnya. Lalu ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajarnya.“Aduh, banyak banget panggilan dari Alvin. Dari tadi ponsel aku silence kan sehingga aku tidak mendengar nada panggilan.” ucap Windy jadi tak enak hati. Ia langsung menghubungi nomor kontak Alvin.Ponsel Alvin berbunyi di atas meja makan. Fatma segera mengambil benda pipih itu dan tersenyum sinis ketika melihat siapa
Fatma masuk ke dalam kamar dan mengganti stelan kantornya dengan baju rumahan. Ia mengenakan sebuah daster berwarna lila bercorak kembang sepatu berwarna putih. Fatma kini duduk di meja makan namun bukan makan malam yang ia inginkan. Ia duduk sambil mengutak-atik ponselnya.“Apakah Nyonya mau makan malam?” Tatik datang menanyakan keinginan majikannya.Fatma tidak menjawab, ia hanya mengibaskan tangannya dan itu cukup membuat Tatik terbirit-birit pergi. Tatik hafal sekali sifat majikannya itu. Fatma akan gampang mengamuk apa bila ada orang yang mengganggu ketika dirinya sedang memikirkan sebuah perkara besar.“Mereka sudah datang untuk menuntut balas!” ucap Fatma sedingin es lewat ponselnya entah kepada siapa. Lalu ia nampak mengangguk-angguk.Selova yang kepo terus mengintip dari dapur. Ucapan Fatma barusan mendarat sempurna di pendengaran gadis yang sering di ejek sandal selop oleh Alvin tersebut.“Hah? Menuntut balas?&rd
Windy di bawa ke sebuah rumah besar yang mirip dengan sebuah istana mewah.“Di mana ini?” tanya Windy sambil mengedarkan pandangan matanya sekeliling ketika Sandy telah mempersilahkannya turun dan ia menjejakkan kakinya di halaman bangunan yang ternyata sebuah Villa.“Di kediamanku!” jawab Sandy cukup angkuh.“Oh, aktor setaraf Sandy tentu saja mampu membeli rumah nan megah seperti ini.” ucap Windy di dalam hati.Entah mimpi apa ia semalam kok bisa-bisanya ia menjejakkan kaki di rumah aktor tampan itu dan berduaan pula dengannya.“ Di mana Alvin?” tanya Windy tidak sabar.Sandy tidak menjawab namun ia terus berjalan memasuki rumah megahnya tanpa sedikit pun memberikan pelayanan kepada Windy yang merupakan tamu di rumahnya itu.“Dasar manusia aneh!” sungut Windy namun akhirnya ia mengikuti langkah lelaki itu. Windy sedikit mengibaskan ujung kerudungnya yang jatuh ke depan.Sandy
“Hak..hak..hak..!”Pak Tua itu kembali tertawa sumbang. Suaranya bercampur serak dan Windy merasa kalau lelaki itu hidup dalam tekanan psikis berat yang cukup lama.Pak Tua kembali berdiri dan kakinya yang gemetar ia seret melangkah menuju sebuah lemari buku yang berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Banyak tersusun buku-buku di sana namun Pak Tua mengambil sebuah saja di dalam laci yang sepertinya adalah album foto.Ia memegang album itu dan menatap benda itu sejenak laluuu..Breeet...Album besar itu ia lemparkan ke arah Windy dan hampir saja mengenai kepala gadis itu.Oouh..Windy menghindar sehingga kepalanya luput dari serangan benda yang datang tiba-tiba tersebut.Bruuuk...Album itu jatuh ke atas lantai dan beberapa lembarannya nampak terbuka.“Lihatlah! Dan kamu akan menemukan jawaban di sana!” perintah Pak Tua dengan tegas menunjuk album yang teronggok di lantai.Windy menatap se
Windy di bawa ke sebuah rumah besar yang mirip dengan sebuah istana mewah.“Di mana ini?” tanya Windy sambil mengedarkan pandangan matanya sekeliling ketika Sandy telah mempersilahkannya turun dan ia menjejakkan kakinya di halaman bangunan yang ternyata sebuah Villa.“Di kediamanku!” jawab Sandy cukup angkuh.“Oh, aktor setaraf Sandy tentu saja mampu membeli rumah nan megah seperti ini.” ucap Windy di dalam hati.Entah mimpi apa ia semalam kok bisa-bisanya ia menjejakkan kaki di rumah aktor tampan itu dan berduaan pula dengannya.“ Di mana Alvin?” tanya Windy tidak sabar.Sandy tidak menjawab namun ia terus berjalan memasuki rumah megahnya tanpa sedikit pun memberikan pelayanan kepada Windy yang merupakan tamu di rumahnya itu.“Dasar manusia aneh!” sungut Windy namun akhirnya ia mengikuti langkah lelaki itu. Windy sedikit mengibaskan ujung kerudungnya yang jatuh ke depan.Sandy
Fatma masuk ke dalam kamar dan mengganti stelan kantornya dengan baju rumahan. Ia mengenakan sebuah daster berwarna lila bercorak kembang sepatu berwarna putih. Fatma kini duduk di meja makan namun bukan makan malam yang ia inginkan. Ia duduk sambil mengutak-atik ponselnya.“Apakah Nyonya mau makan malam?” Tatik datang menanyakan keinginan majikannya.Fatma tidak menjawab, ia hanya mengibaskan tangannya dan itu cukup membuat Tatik terbirit-birit pergi. Tatik hafal sekali sifat majikannya itu. Fatma akan gampang mengamuk apa bila ada orang yang mengganggu ketika dirinya sedang memikirkan sebuah perkara besar.“Mereka sudah datang untuk menuntut balas!” ucap Fatma sedingin es lewat ponselnya entah kepada siapa. Lalu ia nampak mengangguk-angguk.Selova yang kepo terus mengintip dari dapur. Ucapan Fatma barusan mendarat sempurna di pendengaran gadis yang sering di ejek sandal selop oleh Alvin tersebut.“Hah? Menuntut balas?&rd
Adzan Isya bergema dari mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kost Windy. Gadis itu terlonjak kaget dari atas pembaringannya ketika ia menoleh ke jam di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu hampir jam 8 malam.“Astaghfirullah.. sudah Isya rupanya. Kok aku bisa ketiduran sepulas ini, sehingga tidak mendengar adzan Magrib?” keluh Windy sembari bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu ia segera menunaikan sholat Isya yang di jamak dengan sholat Magrib.Selesai melaksanakan rangkaian ibadah malam itu, Windy merapikan kembali mukena dan sejadahnya. Lalu ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajarnya.“Aduh, banyak banget panggilan dari Alvin. Dari tadi ponsel aku silence kan sehingga aku tidak mendengar nada panggilan.” ucap Windy jadi tak enak hati. Ia langsung menghubungi nomor kontak Alvin.Ponsel Alvin berbunyi di atas meja makan. Fatma segera mengambil benda pipih itu dan tersenyum sinis ketika melihat siapa
Sampai di rumah hari sudah mulai malam. Alvin bergegas turun dari mobil Selova dan setengah berlari masuk ke dalam. Ia ingin segera menemui Januar.“Apaan ini Bik..??” teriak Alvin langsung gusar ketika ia kebetulan melihat Bik Tatik pembantu rumah tangga, tengah menyusun makanan di atas nampan yang biasa di gunakan untuk memberi makan Januar.Bik Tatik yang tengah berkosentrasi dengan pekerjaannya langsung mengelinjang kaget. Piring yang berisi makanan bekas hampir saja jatuh dari tangannya yang langsung menggigil.“Makanan buat siapa ini?” tanya Alvin dengan suara keras dan mata melotot memandang Bik Tatik yang semakin gemetar. Ia hafal sifat Tuan Mudanya itu kalau sedang marah. Dan satu-satunya alasan yang membuat Alvin marah hanyalah kalau makanan yang di berikan kepada Januar tidak sesuai dengan standar kemanusiaan.“Jawaaaab....!!” bentak Alvin menggema seantreo rumah.“Buuu...buuaat.. Paak.. tuu..tuaa, Deen..!
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya
“Hah..! Ibu Windy gila..? Astagooor..!!” tiba-tiba Windy dan Alvin terperanjat mendengar suara Selova yang tiba-tiba. Sandal selop itu ternyata sudah berada di belakang mereka sejak tadi dan ikut menyaksikan layar ponsel Windy ketika Windy video call dengan Mak Farida.“Eh, ngapain lu di sini sendal selop? Ngintip aja kerjaan lu !” seru Alvin nampak kesal. Ia berdiri dan mendekati Selova yang menatap sinis kepada Windy.“Kamu sudah lihat sendiri kan Al, kalau Ibu si Windy itu gila. Masak sih kamu mau punya mertua gila. Bisa-bisa kamu tewas di tangannya.” ucap Selova sinis melirik jutek ke arah Windy lalu beralih pandang kepada Alvin.“Hei, jaga mulut kamu ya..! Walau Ibuku gila tidak mungkin Ibuku membunuh orang.” jawab Windy marah. Wajahnya merah dan menatap Selova dengan pandangan tidak senang. Windy memang paling marah kalau ibunya di hina.“Apanya yang tidak mungkin? Orang gila mana ada akalnya. Huuh..!&rd
“Baiklah, mulai hari ini kamu sudah bisa langsung bekerja dibagian kearsipan membantu Rita. Rita akan menjelaskan tugas-tugasmu !” papar Fatma tanpa memindahkan pandangan matanya dari layar laptop didepannya. Ia menyibukkan diri dan tak ingin beramah tamah dengan Windy yang tengah duduk menghadapnya.“Baik Bu, saya akan bekerja sebaik mungkin.” sahut Windy sopan lalu berpamitan. Sektretaris Fatma segera mengantarkan Windy kepada seorang wanita yang bernama Rita. Windy memperkenalkan diri dan Rita memberitahu dimana tempat Windy akan bekerja.Windy diantarkan kesebuah ruangan yang ada dibagian belakang gedung itu. Ruangan itu agak sedikit pengap karena ventilasi udara tidak begitu memadai.Barisan rak tersusun rapi bagaikan sebuah ruang pustaka. Diatas rak juga tersusun map file bantex yang disisi sudah ditulis nama dan waktu file itu dibuat.“Kamu bisa menempati meja ini dan tugasmu adalah mendata semua dokumen-dokumen yang ada
“Ma, Alvin cuma minta satu hal dari Mama. Tolong Ma, tempatkan Windy dibagian office. Windy tidak cocok menjadi petugas kebersihan.” Alvin memohon setengah merengek kepada Fatma saat mereka sarapan pagi bersama. Fatma telah menggunakan pakaian kantor yang rapi nampak sedang menikmati sarapan nasi goreng buatan Tatik pembantu mereka yang sangat pandai memasak.Blezer ungu dengan hiasan kupu-kupu kecil dibagian dada kirinya. Wanita berkulit sawo matang dengan tubuh yang agak pendek itu memang selalu berusaha tampil modis. Namun sayangnya struktur wajah dan bodynya kurang mendukung keinginan hatinya untuk tampil cantik. Boleh disebut Fatma tergolong wanita yang kecantikannya dibawah rata-rata.Berbeda dengan Alvin yang memiliki kulit kuning langsat. Selain kulitnya bersih, tubuh Alvin juga tinggi dan sedikit berisi. Banyak gadis yang tergila-gila melihat body atletis dan katampanan wajahnya. Bahkan tidak sedikit pula yang menduga kalau Alvin bukanlah anak ka