"Berikan ini pada Raja! Ingat, kau harus mengantarkannya sendiri, tidak boleh ada yang menggantikan mu. Kau paham, Arlena?" titah seorang kepala sayang dapur padanya.
"Baik, Bibi," jawab Arlena sambil menelan salivanya dengan gugup. "Tunggu! Sini, pakai gincu ini. Pastikan dia melihat wajahmu. Ingat, Arlne, kau di sini untuk sebuah misi. Kau harus memastikan, pagi ini, Yang Mulia melihat jelas wajahmu. Camkan itu baik-baik!" tegas kepala sayang dapur itu dengan tubuh gemetar. Mereka tidak memiliki waktu lagi, Arlena adalah satu-satunya senjata dan harapan baru klan mereka. Saat itu, fajar baru saja menyentuh langit Arathia ketika Arlena melangkah hati-hati di koridor istana. Nampan perak yang ia bawa berisi sarapan pagi untuk Raja Kael, lengkap dengan roti panggang madu dan teh herbal yang hangat. Aroma manis dan menenangkan memenuhi udara. Namun langkahnya terhenti tiba-tiba. Di hadapannya berdiri Lady Mirana, mengenakan gaun mewah berwarna merah darah, dadanya dihiasi renda halus dan taburan permata kecil di tepinya. Rambutnya yang disanggul rapi tampak sempurna, dengan lengkungannya dingin seperti pedang. “Tunggu! Apa yang kamu kenakan?” suara Mirana memecah keheningan. Matanya menelisik tubuh dan wajah Arlena dari atas sampai bawah. Ia sangat terganggu dengan gincu tipis menenggelamkan kesan sederhana dari gaun dayang yang dikenakan gadis ini. "Menggunakan gincu saat membawakan sarapan untuk Raja? Kau pelayan, atau seorang jalang!" Mirana mencibir, senyumnya tipis, tapi itu bukan senyum ramah. Mirana tersenyum sinis, lalu tangan lentiknya menunjuk ke salah satu dayangnya. "Ambil nampan itu darinya. Aku sendiri yang akan membawanya. Raja tidak perlu melihat dayang murahan seperti dia." Arlena menunduk semakin dalam, mencoba mengurungkan kegelisahannya. "Maaf, Yang Mulia Lady Mirana. Saya diwajib mengantar sendiri dan memastikan makanan ini aman untuk Raja." Dayang Mirana maju dengan langkah tegas. "Kau tidak tau sedang menjawab siapa yah?! Berikan!" bentak dayang bertubuh tambun itu. Arlena mundur beberapa langkah, tetap berusaha memegang nampan erat di tangannya. "Maafkan saya, Yang Mulia, tapi ini adalah perintah langsung dari kepala dapur. Saya tidak bisa menyerahkan tugas ini kepada siapa pun." Penolakan itu membuat wajah Mirana memerah karena amarah. Dengan gerakan cepat, ia menggenggam tangannya, menepis bahu Arlena dengan kasar. "Beraninya kau melawan aku! Kau tidak tau siapa aku?! Aku adalah calon permaisuri kerajaan ini. Aku adalah wanita yang dipilih langsung oleh ibu suri untuk mendampingi Yang Mulia Raja! Berikan!" teriaknya sambil sekali lagi mendorong tubuh Arlena dengan kasar hingga membentur tembok. Arlena terhuyung ke belakang, tetapi ia berusaha keras menjaga agar nampan di tangannya tetap stabil. "Maafkan saya, calon Permaisuri. Tapi, ini adalah tugas saya sebagai dayang istana raja." Arlena masih berusaha untuk memberikan pengertian, jika dia hanya menjalankan tugasnya. "Kau pikir kau siapa? Kau bukan menjalankan tugas! Lihatlah bibirmu itu! Seorang dayang rendahan ingin terlihat menarik di depan Raja? Jangan bermimpi!" Mirana memaki dengan nada tinggi, membuat para pelayan dan penjaga yang mengintip dari sudut ruangan semakin tegang. "Yang Mulia, saya hanya menjalankan tugas. Saya tidak memiliki niat apa pun selain itu," terdengar bergetar, tetapi ia berusaha tegar. Mirana berteriak, kali ini lebih keras. "Kau pikir, aku akan percaya? Tidak ada dayang di sini yang berani macam-macam denganku! Hanya kau, Jalang hina!" Ia mengangkat tangannya, seolah hendak menampar Arlena. Namun, gerakan itu berhenti secara tiba-tiba ketika suara langkah berat terdengar mendekat. Raja Kael keluar dari kamarnya. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua, dengan bordiran emas yang menghiasi tepiannya. Kainnya yang terbuat dari sutra terbaik dari negeri seberang, hingga memantulkan cahaya pagi, menambah kesan megah pada sosoknya yang tinggi dan tegap. Rambut hitamnya, rapi berkilau dan wajahnya tenang memancarkan aura otoritas dan dominasi yang mencekam. Mirana segera menoleh, dengan senyuman manis yang dibuat-buat. "Yang Mulia, maafkan kami jika suara ini mengganggu pagi anda. Saya hanya mencoba memastikan bahwa—" Kael mengangkat satu tangan, isyarat sederhana yang cukup untuk membuat Mirana bungkam. Tatapannya dingin menyapu ruangan, berhenti pada Arlena yang masih berdiri di sudut dengan kepala tertunduk, nampan tergenggam erat di tangan. Keheningan yang tegang membungkam seluruh ruangan. Para pelayan yang tadinya mengintip dari balik pintu kini menahan napas, takut untuk bergerak. Mirana, yang biasanya begitu anggun, tampak terkejut. Wajahnya memerah karena kemarahan dan rasa malu yang mendalam. Ia menatap Raja Kael dengan mata penuh harapan, berusaha menahan ketegangan di balik senyum terpaksa. "Yang Mulia, saya hanya—" "Diam!" titahnya, sama sekali tidak membiarkan suara Mirana semakin memekakkan telinganya, dengan mata yang terus menatap seorang dayang denga nampan di tangan gemetarnya. Keheningan yang menegangkan itu berlangsung beberapa detik, namun terasa seperti selamanya. Arlena bisa merasakan matanya yang semakin berat, namun tidak ada kata yang keluar dari mulut Raja. Mirana yang merasa dipermalukan berusaha memperbaiki citranya. "Yang Mulia, saya hanya ingin memastikan bahwa semua berjalan dengan baik. Saya tidak bermaksud mengganggu." Suaranya terdengar lebih pelan, namun tetap ada nada tegang yang menyusup. Kael akhirnya bergerak mengabaikan Mirana, langkahnya pelan namun pasti. Setiap gerakan yang dilakukannya seolah mengubah suasana di sekitar mereka, membawa ketenangan yang tak terucapkan namun begitu kuat. Mirana yang merasa dirinya semakin terpojok mencoba kembali berusaha menarik perhatian Kael. "Yang Mulia, saya... saya hanya ingin melayani Anda dengan sebaik-baiknya." Namun, Kael hanya memberi isyarat dengan tangan untuk menghentikan kata-katanya. “Pergi!” titahnya, penuh wibawa tanpa menoleh sedikit pun. Mirana menegang, wajahnya merah padam. Ia menahan amarahnya dengan mata berkaca-kaca, tapi tidak bisa menyembunyikan rasa malu yang begitu jelas. Dengan langkah berat, ia meninggalkan ruangan, diikuti oleh dayangnya yang hanya bisa menunduk, tak berani mengucapkan kata pun. Keheningan kembali melanda, dan Arlena merasa seolah seluruh dunia hanya berputar di sekitarnya. Namun, ia tetap berdiri, merasa lebih kecil dari sebelumnya. Ia tahu, ketegangan yang baru saja terjadi bisa saja berakhir dengan masalah yang lebih besar bagi dirinya. Tiba-tiba, Kael bergerak lebih dekat, langkahnya pelan namun penuh wibawa. Tanpa kata, ia mendekatkan dirinya ke Arlena, membuat Arlena dapat mencium wangi Cendana dari jubah mewah yang melekat di tubuh sang Raja. Dalam sekejap, jari telunjuknya yang kekar mengangkat dagu Arlena dengan tegas, tapi juga lembut. Pandangan mereka bertemu, dan Arlena semakin merasakan ketegangan menembus hingga ke tulang sumsum. Mata Kael tetap terfokus pada Arlena, memperhatikan mata bulat dengan bulu mata yang lentik, hidung mancung uang mungil dan bibir mungil yang berisi. Ah ... Dayang ini, membuat sesuatu bergelora di dalam tubuhnya. Dia, adalah pria normal, dia suka pemandangan manis seperti ini. Tapi, dia benci jika paginya terusik. Dayang cantik ini telah mengusiknya, apakah lebih baik, dayang ini diberi hukuman saja agar merasa jerah dan dapat mengingat jika pagi hari adalah sebuah ritual penuh ketenangan yang dibutuhkan seorang raja sebelum berhadapan dengan segudang masalah di negrinya. Arlena menelan salivanya dengan susah payah saat mata sang raja terus menatap lapar dirinya. Dadanya berdebar kencang, hingga tampak naik turun tak beraturan dan Kael menyukai 'seekor' mangsa yang sedang ketakutan. "Siapa kau?!"Arlena berdiri di depan pintu besar kamar Raja Kael. Udara di koridor terasa dingin, meski sinar matahari pagi mulai menghangatkan istana. Jantungnya berdegup keras, gemetar di antara rasa takut dan cemas. Lima menit berlalu. Namun tidak ada panggilan, tidak ada suara. Hening, dan semakin hening meskipun banyak penjaga di sekitarnya.“Apa, aku telah membuatnya murka?” pikir Arlena. Mungkin Raja Kael telah memutuskan bahwa ia tidak layak. Bahkan, untuk mendapatkan teguran langsung. Ia menunduk, menatap lantai yang dingin di bawah kakinya. Pikiran bahwa dirinya sudah tidak pantas untuk melayani Raja menghantam dirinya seperti gelombang dingin.Namun, sebelum dia sempat melangkah pergi, seorang kasim muncul dari sisi lain koridor. Wajahnya tenang, tapi suaranya tegas. “Dayang, Yang Mulia Raja memanggilmu ke dalam ruangan. Sekarang!"Arlena membeku. Tenggorokannya tercekat. “K-ke kamar Raja?” gumamnya nyaris tak terdengar. Kasim
"Saya tidak menghampiri anda, karena ... saya bukan gadis murahan Yang Mulia!""Kau?!" Suaranya tertahan di tenggorokan.Kalimat yang keluar dari bibir Arlena membuat Raja Kael tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Dia tersihir dengan keberanian yang muncul dari dayang rendahan seperti Arlena.Kael menatap Arlena tajam, namun di balik amarahnya, ada sesuatu yang berbeda.Penolakan Arlena yang tegas dan lugas membuatnya tetap tegang.Sepanjang hidupnya, belum pernah ada wanita mana pun berani menolak keinginannya. Apalagi, undangan untuk berbagi ranjang dengannya.Ia adalah Raja, seorang penguasa mutlak, dan perintahnya adalah hukum. Namun, di hadapannya berdiri seorang dayang yang berani menantangnya.Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi ketegangan dan hening. Kael tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Arlena. Ada sesuatu dalam cara gadis itu berbicara, ketenangan yang tidak seharusnya dimiliki oleh seseorang d
“Jadi, apa yang sebenarnya kamu inginkan?” Suara Kael terdengar tajam, penuh ketegasan.Sedang Arlena tampak menarik napas dalam, menenangkan hati sebelum berbicara. Ia tahu, setiap kata yang keluar dari mulut akan menentukan nasibnya sendiri, dan nasib orang-orang yang ia perjuangkan.“Yang Mulia,” Arlena menatap Kael dengan penuh keberanian. “Saya ingin Anda membebaskan tawanan dari klan Altheria yang tersisa.”Sejenak, ucapan Arlena merubah suasana ruangan. Ekspresi Kael berubah, matanya terbelalak terkejut, menatap Arlena dengan tajam. Nama itu—Altheria—bukanlah nama yang asing baginya.“Klan Altheria?” ulangnya, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan yang berbahaya. “Kau meminta sesuatu yang mustahil! Klan itu sudah dihukum karena pengkhianatan mereka.”Arlena tetap berdiri tegak. “Yang Mulia, mereka bukan pengkhianat.”Kael mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Arlena. “Kau t
“Kael!” suara seorang wanita menggema di seluruh koridor ruangan. “Raja Kael! Apa yang sudah kudengar ini?! Kau ingin menikah dengan seorang dayang rendahan?” pekikan panik dan getaran suara yang menahan amarah, membuat seluruh dayang dan para kasim tidak ada yang berani mengangkat wajah mereka.Kael menatap Ibu Suri dengan tenang. “Keputusanku sudah bulat, Ibu.”Ibu Suri menggenggam tangannya. “Kau sudah kehilangan akal sehatmu, Kael?! Seorang Raja tidak boleh bertindak gegabah hanya karena tertarik pada seorang perempuan! Kau bisa memilikinya, jadikan dia selir, tapi tidak menduduki kursi permaisuri,” tuturnya tidak terima dan masih berusaha mengubah pendirian anaknya.Kael tetap tenang. “Aku tidak gegabah, Ibu. Aku tahu apa yang aku lakukan,” jawabnya tanpa ekspresi, membuat ibu Suri semakin frustasi.Ibu Suri semakin mendekat, suaranya merendah tapi, penuh tekanan. “Kau masih ingat apa yang terjadi ketika ayahmu menikahi i
Pintu kamar terbuka dengan keras, membuat kedua wanita itu menoleh, mereka sangat terkejut hingga terpatung ditempat. Seorang pria berdiri di ambang pintu. Siluetnya tegap dan berwibawa, jubah hitamnya berayun sedikit terkena angin dari luar. Mata emasnya yang tajam menatap ke arah mereka berdua. Kael. Tatapan itu membuat tangan Ibu Suri terhenti di udara. Ia membeku, lalu segera menarik tangannya kembali, berusaha menjaga martabatnya di depan Raja. “Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa aku mendengar suara seorang perempuan yang di hormati seakan menjatuhkan harga dirinya sendiri?" suara Kael terdengar tenang, tetapi penuh dengan otoritas yang membuat siapa saja mendengarnya merasa terancam. Arlena tidak berbicara. Ia hanya berdiri diam dengan ekspresi tenang seperti biasa, meskipun di dalam dirinya, ia merasa puas dan menang karena kedatangan Kael tepat waktu. Bahkan dirinya tidak habis pikir, kenapa seorang Raja Kael yang terkenal dengan otoriternya mau membela seorang day
Salah satu menteri yang bernama Lord Gregor, seorang penasihat senior yang telah lama mengabdi pada kerajaan, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi tidak suka. “Yang Mulia, mengapa tiba-tiba membahas tentang Klan Altheria? Kita semua yang ada disini, bahkan semua orang yang ada di negeri ini tidak akan pernah mau membahas klan yang terkutuk itu. Klan yang sudah berusaha menghancurkan pondasi di negeri ini!" Kael tetap tenang, meskipun ia dapat merasakan ketegangan yang muncul di antara para menterinya. “Aku ingin mengetahui kebenaran tentang peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan ayahku. Aku ingin semua bukti yang ada terkait klan tersebut. Aku tidak ingin ada rakyatku menderita di negeri ini hanya karena sebab dongeng masa lalu." Lord Gregor berdeham sebelum menjawab. “Yang Mulia, tidak perlu membangkitkan masa lalu yang telah terkubur. Klan itu melakukan pemberontakan terhadap kerajaan. Mereka menolak pajak yang ditetapkan, menghasut rakyat untuk melawan, dan pada a
Raja Kael berjalan cepat menuju kediaman Ibu Suri, langkahnya mantap namun ada ketegangan yang tersembunyi di balik ekspresinya. Laporan dari Kasim membuatnya tidak tenang, terlebih lagi ini menyangkut seseorang yang—meskipun sering bertentangan dengannya—tetaplah bagian dari keluarganya di istana.Saat tiba di sana, para tabib dan asisten tabib yang berkumpul di sekitar tempat tidur Ibu Suri segera memberi jalan. Sang wanita paruh baya terbaring di atas ranjang mewahnya, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Kael mendekat, matanya menajam melihat kondisi Ibu Suri yang tampak lebih lemah dari biasanya."Kenapa bisa seperti ini? Siapa yang berani melakukan nya?" suara Kael dingin, namun terselip kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Tabib utama yang berdiri di dekat kepala tempat tidur segera menundukkan kepala sebelum menjawab, "Yang Mulia, setelah kami memeriksa, kami menemukan bahwa makanan Ibu Suri mengandung racun. Untung saja para dayang yang bersamanya seg
Arlena berjalan keluar dari istana melalui pintu belakang, melewati lorong-lorong gelap yang jarang dilalui. Ia mengenakan jubah sederhana untuk menyamarkan identitasnya. Udara malam terasa dingin, dan jantung penuh kegelisahan. Ia tahu risiko yang diambilnya sangat besar, tetapi ia tidak bisa diam saja. Ia harus mencari cara untuk menyelamatkan Kepala Dayang dari tuduhan palsu. Namun, tanpa disadari, seseorang telah mengikuti sejak ia keluar dari istana. Langkah kakinya semakin cepat ketika ia menyadari ada suara langkah lain yang terdengar di belakangnya. Arlena menoleh sekilas, melihat sosok pria berpakaian hitam yang berjalan dalam bayang-bayang. Jantungnya berdegup kencang. Ia mempercepat langkahnya, berusaha mencari jalan keluar ke arah perkampungan penduduk. Tiba-tiba, pria itu melompat ke arahnya, mencoba menarik tangannya. Arlena tersentak, berusaha melawan dan melepaskan diri. “Lepaskan aku!” teriaknya, tetapi pria itu semakin kuat menggenggam pergelangan tangannya. Deng
Lior kembali ke istana dalam keadaan lelah, namun dia tetap menjaga sikapnya saat berjalan menuju ruang kerja Raja Kael. Setelah mendapatkan izin masuk, dia langsung memberi hormat. Raja Kael menatap tajam. “Bagaimana?” Lior menghela napas. "Saya sudah menemukan jejaknya, Yang Mulia.Tetapi masalahnya lebih rumit dari yang kita duga. Ada lebih banyak pihak yang terlibat, dan mereka tidak akan membiarkan kita menemukan kebenaran dengan mudah." Raja Kael menyandarkan punggung ke kursi. “Jadi kamu belum mendapatkan informasi lengkap?” "Saya hanya menemukan potongan-potongan informasi, tetapi belum cukup untuk mengambil kesimpulan. Saya ingin meminta izin untuk melanjutkan perjalanan. Saya berjanji akan kembali setelah menemukan jawaban yang kami butuhkan." Raja Kael menatap Lior dengan ekspresi sulit ditebak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Aku memberi izin, tapi tetap berhati-hati. Musuh kita bergerak dalam bayangan." Lior memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan dengan l
Lior terus berjalan tanpa menoleh, tetapi pikirannya penuh dengan pertanyaan. Siapa pria itu? Bagaimana dia tahu namaku? Langkahnya cepat, menembus lorong-lorong gelap Distrik Selatan hingga akhirnya mencapai titik aman di dekat pasar. Dia berhenti sejenak, mengatur napasnya. Buku di balik jubahnya terasa semakin berat, seolah menyimpan rahasia yang bisa menggemparkan kerajaan. Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, seorang anak kecil berlari ke arahnya, menyelipkan secarik kertas ke tangannya dan bergegas kabur tanpa berkata apa-apa. Lior mengerutkan kening kemudian membuka kertas itu. "Jangan kembali ke istana. Mereka sudah tahu kau membawa buku itu." Jantung Lior berdegup kencang. Dia segera melihat sekelilingnya, mencari tanda-tanda bahaya. Siapa yang menulis ini? Apakah ini jebakan? Namun, dia tidak punya waktu untuk menyaring semuanya. Dari persembunyian, dia melihat beberapa pria berpakaian sama dengan bandit yang menghalanginya tadi berjalan cepat menuju ke a
Lior berdiri diam di lorong sempit itu, napasnya masih memburu setelah pertarungan berlangsung. Melihat sekeliling, mencari tanda-tanda ke mana pria yang mencengkeram itu pergi, tapi yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan yang berbaur dengan kegelapan malam. "Sial," Lior mengumpat pelan. Orang itu muncul entah dari mana, membantunya, lalu menghilang begitu saja. Tapi dia tidak bisa membuang waktu. Dia masih punya tugas. Dengan langkah cepat, Lior melanjutkan pencariannya. Namun, rasa penasaran tentang pria misterius itu terus mengganggu pikiran. Dia pernah melihat gaya bertarung seperti sebelumnya—cepat, presisi, dan tanpa senjata. Itu bukan teknik sembarangan. Setelah beberapa waktu berjalan, Lior menemukan dirinya di sebuah distrik yang lebih sepi. Rumah-rumah di sini terlihat tua, dengan pintu dan jendela yang sebagian besar tertutup rapat. Lampu-lampu redup dari lilin yang menyala di dalam ruma
Di sudut ruangan yang remang-remang, para menteri duduk melingkar di sekitar meja kayu kasar, gelas-gelas arak memenuhi meja, menciptakan aroma tajam yang bercampur dengan asap dari lampu minyak yang menggantung di langit-langit rendah. “Kita harus bergerak lebih cepat,” kata Menteri Keuangan, suaranya sedikit mabuk namun tetap tajam. "Raja Kael memang cerdas, tapi dia terlalu lambat dalam mengambil keputusan. Kita bisa mengendalikan situasi sebelum dia menyadarinya." Seorang menteri lain tertawa pelan, meneguk araknya sebelum berbicara. "Kau benar. Lihat saja tadi di ruang sidang, dia hanya diam seperti anak kecil yang kehilangan mainannya." Mereka tertawa, suara mereka menggema di ruangan itu. "Tapi ada satu hal yang perlu kita tuntaskan," lanjut Menteri Keuangan, suaranya merendah. "Buku itu. Kita harus menemukan penulisnya lebih dulu sebelum Raja mendapatkannya. Jika orang itu masih hidup, dia bisa menjadi ancaman bagi rencana kita." “Aku akan mengutus pengawalku,” sambi
Pagi itu, suasana di istana dipenuhi ketegangan. Para menteri, dengan ekspresi serius dan penuh kewaspadaan, berkumpul di ruang sidang kerajaan. Raja Kael duduk di singgasananya, menatap para menteri dengan tajam, sementara kasim kerajaan mengumumkan alasan pertemuan mendadak ini.Seorang menteri senior, Lord Arven, melangkah maju. “Yang Mulia, kami menemukan sesuatu yang tidak bisa kami abaikan. Kami meminta izin untuk segera menyampaikan temuannya.”Kael menggerakkan jarinya, memberi isyarat agar mereka melanjutkan.Seorang pengawal datang membawa sebuah buku tua dengan sampul berwarna hitam yang terlihat sudah usang. Menteri yang lain, Lord Gendric, mengambil alih dan berkata dengan suara tegas, “Buku ini ditemukan tersembunyi di dalam loker milik Kepala Dapur yang telah ditangkap. Kami menganggap ini sebagai bukti kuat bahwa Kepala Dapur memang terlibat dalam kebohongan yang mengancam keselamatan kerajaan.”Para menteri yang lain mengangguk setuju.Lord Arven melanjutkan, “Buku in
Arlena menghela nafas pelan, mencoba mengusir kebingungan dalam pikirannya. Ia masih memikirkan isi buku yang diberikan oleh Tuan Raad. Dirinya baru tahu ternyata Klan Altheria bukan sekadar klan biasa—mereka memiliki ambisi besar, sesuatu yang bahkan Arlena sendiri tidak yakin apakah ini yang ia ingin perjuangkan. Arlena menutup buku itu perlahan, membiarkan pikirannya mengembara saat ia kembali ke kerajaan. Namun, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Ada perasaan bersalah dan sedikit kebingungan, apakh benar ini adalah misinya diawal? Setibanya di kediamannya, Arlena merasa gerah. Ia membuka jendela, membiarkan udara malam masuk, namun ternyata itu tidak cukup untuk menenangkan pikiran. Ia akhirnya keluar ke halaman kecil yang telah disediakan untuknya. Di bawah langit yang gelap dan udara malam yang dingin, Arlena berdiri termenung, menatap taman kecil di hadapannya. Ia merasa terombang-ambing antara keinginan untuk melindungi Klan Altheria dan ketidaksukaannya pada a
Arlena berjalan keluar dari istana melalui pintu belakang, melewati lorong-lorong gelap yang jarang dilalui. Ia mengenakan jubah sederhana untuk menyamarkan identitasnya. Udara malam terasa dingin, dan jantung penuh kegelisahan. Ia tahu risiko yang diambilnya sangat besar, tetapi ia tidak bisa diam saja. Ia harus mencari cara untuk menyelamatkan Kepala Dayang dari tuduhan palsu. Namun, tanpa disadari, seseorang telah mengikuti sejak ia keluar dari istana. Langkah kakinya semakin cepat ketika ia menyadari ada suara langkah lain yang terdengar di belakangnya. Arlena menoleh sekilas, melihat sosok pria berpakaian hitam yang berjalan dalam bayang-bayang. Jantungnya berdegup kencang. Ia mempercepat langkahnya, berusaha mencari jalan keluar ke arah perkampungan penduduk. Tiba-tiba, pria itu melompat ke arahnya, mencoba menarik tangannya. Arlena tersentak, berusaha melawan dan melepaskan diri. “Lepaskan aku!” teriaknya, tetapi pria itu semakin kuat menggenggam pergelangan tangannya. Deng
Raja Kael berjalan cepat menuju kediaman Ibu Suri, langkahnya mantap namun ada ketegangan yang tersembunyi di balik ekspresinya. Laporan dari Kasim membuatnya tidak tenang, terlebih lagi ini menyangkut seseorang yang—meskipun sering bertentangan dengannya—tetaplah bagian dari keluarganya di istana.Saat tiba di sana, para tabib dan asisten tabib yang berkumpul di sekitar tempat tidur Ibu Suri segera memberi jalan. Sang wanita paruh baya terbaring di atas ranjang mewahnya, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Kael mendekat, matanya menajam melihat kondisi Ibu Suri yang tampak lebih lemah dari biasanya."Kenapa bisa seperti ini? Siapa yang berani melakukan nya?" suara Kael dingin, namun terselip kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Tabib utama yang berdiri di dekat kepala tempat tidur segera menundukkan kepala sebelum menjawab, "Yang Mulia, setelah kami memeriksa, kami menemukan bahwa makanan Ibu Suri mengandung racun. Untung saja para dayang yang bersamanya seg
Salah satu menteri yang bernama Lord Gregor, seorang penasihat senior yang telah lama mengabdi pada kerajaan, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi tidak suka. “Yang Mulia, mengapa tiba-tiba membahas tentang Klan Altheria? Kita semua yang ada disini, bahkan semua orang yang ada di negeri ini tidak akan pernah mau membahas klan yang terkutuk itu. Klan yang sudah berusaha menghancurkan pondasi di negeri ini!" Kael tetap tenang, meskipun ia dapat merasakan ketegangan yang muncul di antara para menterinya. “Aku ingin mengetahui kebenaran tentang peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan ayahku. Aku ingin semua bukti yang ada terkait klan tersebut. Aku tidak ingin ada rakyatku menderita di negeri ini hanya karena sebab dongeng masa lalu." Lord Gregor berdeham sebelum menjawab. “Yang Mulia, tidak perlu membangkitkan masa lalu yang telah terkubur. Klan itu melakukan pemberontakan terhadap kerajaan. Mereka menolak pajak yang ditetapkan, menghasut rakyat untuk melawan, dan pada a