“Kael!” suara seorang wanita menggema di seluruh koridor ruangan.
“Raja Kael! Apa yang sudah kudengar ini?! Kau ingin menikah dengan seorang dayang rendahan?” pekikan panik dan getaran suara yang menahan amarah, membuat seluruh dayang dan para kasim tidak ada yang berani mengangkat wajah mereka. Kael menatap Ibu Suri dengan tenang. “Keputusanku sudah bulat, Ibu.” Ibu Suri menggenggam tangannya. “Kau sudah kehilangan akal sehatmu, Kael?! Seorang Raja tidak boleh bertindak gegabah hanya karena tertarik pada seorang perempuan! Kau bisa memilikinya, jadikan dia selir, tapi tidak menduduki kursi permaisuri,” tuturnya tidak terima dan masih berusaha mengubah pendirian anaknya. Kael tetap tenang. “Aku tidak gegabah, Ibu. Aku tahu apa yang aku lakukan,” jawabnya tanpa ekspresi, membuat ibu Suri semakin frustasi. Ibu Suri semakin mendekat, suaranya merendah tapi, penuh tekanan. “Kau masih ingat apa yang terjadi ketika ayahmu menikahi ibumu?” “Seorang perempuan dari kalangan rendahan dijadikan permaisuri, dan apa yang terjadi setelah itu? Kekacauan! Para bangsawan tidak terima, kerajaan ini hampir terpecah belah! Dan sekarang kau ingin mengulang kembali sejarah kelam yang sudah dilakukan oleh raja terdahulu?” desis ibu Suri tidak terima. Kael menghela nafas, tapi tidak menunjukkan tanda-tanda goyah. “Aku, berbeda dengan ayahku.” Tatapan tajam dilayangkan oleh Ibu Suri yang merasa muak dengan jawabannya Kael. “Tidak! Kau hanya seorang pria muda yang terbawa emosi dan nafsu!” “Lady Mirana adalah pilihan terbaik, dia dilahirkan dari rahim keturunan kerajaan yang bisa menguatkan tahtamu. Lady Mirana adalah wanita yang paling pantas untuk menjadi permaisurimu!” “Ayahnya berasal dari keluarga bangsawan terhormat, bahkan kakeknya sampai sekarang menjabat sebagai menteri yang paling berpengaruh di negeri ini. Mereka memiliki pengaruh, dan akan memperkuat posisimu sebagai raja.” Ibu Suri sampai terengah untuk membuat Kael mengerti, betapa pentingnya sebuah keputusan yang dia buat. Kael sedikit mengangkat dagunya. “Lady Mirana mungkin memiliki status. Tapi, dia tidak memiliki hati yang cukup kuat untuk menjadi permaisuriku. Pengetahuannya juga rendah,” jawab Kael tanpa beban. Merah padam wajah Ibu Suri, dia tetap harus menjaga nada bicaranya. Tapi, tampaknya dia sudah tidak tahan lagi. Dia tidak sanggup hanya tersenyum sinis. Suara kembali memekik saat dia kembali marah pada Kael. “Lantas kau pikir dayang rendahan itu memiliki pengetahuan dan hati yang kuat untuk menjadi seorang permaisuri?! Buka matamu, Kael! Buka pikiranmu! Negara akan hancur karena nafsumu!” pekik Ibu Suri tidak terima. Ibu Suri menatap Kael tidak percaya. “Kau benar-benar sudah kehilangan akal sehatmu. Tapi, semua belum terlambat, batalkan semua, hem?! Dengarkan aku, aku mohon Raja! Dengarkan wanita tua ini!” Wanita itu sangat frustasi. Kael berdiri dari singgasananya, mendekati Ibu Suri dengan langkah teratur. “Aku tidak akan mengubah keputusanku, Ibu.” Kedua tangan Ibu Suri terkepal kuat, hingga tanpa sadar dia mematahkan beberapa kuku indahnya.. “Kau akan menyesal, Kael!” Peringatan itu tidak berpengaruh apapun. Ia hanya menatap wanita itu dengan dingin, membiarkan langkah kakinya yang tenang menjadi jawabannya. Raja, telah meninggalkan Ibu Suri berlutut dan tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Sama seperti sang Raja Kael tidak mau mendengarkannya, Ibu Suri pun tidak akan tinggal diam. Dia sendiri yang akan menangani masalah ini. Sementara itu, di sebuah Pavilium. Arlena sedang merenung, ia teringat kembali apa yang raja katakan. “Menjadi permaisuri, katanya,” gumam Arlena dengan lembut. Keputusan Raja memang terlalu berlebihan. Dia merasa gentar tapi dia tidak akan membiarkan kesempatan ini pergi begitu saja. Arlena sadar, jika dirinya sendiri yang membawanya sampai sejauh ini. Rencana demi rencana tersusun dalam pikirannya, entah akan terselamatkan atau justru akan mencelakai semua orang yang ada disekitarnya. “Aku harus menemui kepala dapur,” gumamnya. Dia ambil langkah lebar menuju ke pintu keluar. Tapi, saat baru akan mendekati pintu tersebut. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Arlena melihat seorang wanita paruh baya dengan gaun ungu tua berjalan penuh otoritas masuk ke dalam ruangannya. Dia tau siapa wanita, wanita paling berkuasa yang sanggup merubah keputusan seorang raja. Wanita ini bahkan tidak perlu izin siapapun untuk masuk ke ruangannya. Wajahnya penuh amarah, dan matanya menatap Arlena dengan tajam, tangannya terkepal kuat. Auranya jelas, seolah ingin menghabisi Arlena. Dengan cepat Arlena segera membungkuk hormat, meskipun ia tahu kedatangan wanita itu bukan untuk berbasa-basi atau hanya sekedar menyapa. “Jadi, kau yang membuat Raja kehilangan akal sehatnya,” suara Ibu Suri dingin, penuh penghinaan. Masih dengan menundukkan kepalanya dan sangat gugup ia berusaha menjawab setenang mungkin. Karena seorang permaisuri tidak boleh takut akan apapun. “Saya tidak tahu apa maksud, Yang Mulia.” Ibu Suri semakin mendekat, matanya menelusuri tubuh Arlena dari kepala hingga kaki dan akhirnya bertanya. “Seorang dayang rendahan sepertimu, berani-beraninya berpikir bisa menjadi permaisuri? Apa yang kamu lakukan hingga membuat Raja Kael begitu tergila-gila padamu?” Arlena menahan senyum tipis, matanya terpejam seakan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. “Yang Mulia Raja mengambil keputusan sendiri. Saya hanyalah seorang dayang yang mematuhi perintahnya.” Tersulut sudah amarahnya saat mendengar ucapan Arlena, “Jangan bermain kata-kata denganku! Aku tahu apa yang kau rencanakan. Kau pikir dengan permaisuri menjadi, kamu bisa mengangkat derajatmu? Jangan bermimpi!” Arlena menundukkan kepalanya sedikit, berpura-pura patuh. “Saya tidak pernah memiliki ambisi seperti itu, Yang Mulia. Saya hanya menjalankan perintah Raja. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak keinginan Raja.” “Omong kosong!” bentak Ibu Suri yang kehabisan kesabarannya. Baginya, wanita di hadapannya ini hanya memanfaatkan keadaan dan berlagak lemah. Walau memang benar, dugaannya memang benar, dia mulai menyadari jika dayang rendahan ini tidak sepolos wajahnya. Arlena tersenyum samar. “Keputusan itu bukan di tangan saya, Yang Mulia Ibu Suri. Jika Raja menghendaki, siapa saya yang bisa menolaknya?” Ibu Suri menggenggam tangan. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang aneh dari gadis ini. Arlena tetap tenang, seolah sudah mengetahui semua kemungkinan. Ibu Suri semakin mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan penuh ancaman. “Dengar baik-baik, gadis kecil. Aku tidak peduli apa yang Raja pikirkan tentangmu. Aku tidak akan membiarkan seorang dayang rendahan seperti dirimu, duduk di singgasana permaisuri.” “Jika kau tahu apa yang baik untukmu, mundurlah sekarang! Sebelum aku sendiri yang menyingkirkanmu. Pergi dan menghilanglah, aku akan memfasilitasi semuanya, masa depanmu akan terjamin, aman dan hidupmu tenang, jika kau patuh padaku!” Namun, bukan Arlena namanya jiika dia mau patuh begitu saja. Dia semakin membungkuk hormat dan bersikap anggun, selayaknya gadis bangsawan. “Seperti yang saya katakan, Yang Mulia. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak keinginan Raja.” Pecah sudah amarah Ibu Suri. “Dasar gadis sombong!” Dengan cepat, Ibu Suri mengangkat tangannya, hendak menampar wajah Arlena. Namun sebelum tangan menyentuh pipi Arlena, suara tegas dan keras menghentikannya dan membuatnya terlonjak kaget. “Berhenti! Atau aku seret ke penjara!”Pintu kamar terbuka dengan keras, membuat kedua wanita itu menoleh, mereka sangat terkejut hingga terpatung ditempat. Seorang pria berdiri di ambang pintu. Siluetnya tegap dan berwibawa, jubah hitamnya berayun sedikit terkena angin dari luar. Mata emasnya yang tajam menatap ke arah mereka berdua. Kael. Tatapan itu membuat tangan Ibu Suri terhenti di udara. Ia membeku, lalu segera menarik tangannya kembali, berusaha menjaga martabatnya di depan Raja. “Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa aku mendengar suara seorang perempuan yang di hormati seakan menjatuhkan harga dirinya sendiri?" suara Kael terdengar tenang, tetapi penuh dengan otoritas yang membuat siapa saja mendengarnya merasa terancam. Arlena tidak berbicara. Ia hanya berdiri diam dengan ekspresi tenang seperti biasa, meskipun di dalam dirinya, ia merasa puas dan menang karena kedatangan Kael tepat waktu. Bahkan dirinya tidak habis pikir, kenapa seorang Raja Kael yang terkenal dengan otoriternya mau membela seorang day
Salah satu menteri yang bernama Lord Gregor, seorang penasihat senior yang telah lama mengabdi pada kerajaan, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi tidak suka. “Yang Mulia, mengapa tiba-tiba membahas tentang Klan Altheria? Kita semua yang ada disini, bahkan semua orang yang ada di negeri ini tidak akan pernah mau membahas klan yang terkutuk itu. Klan yang sudah berusaha menghancurkan pondasi di negeri ini!" Kael tetap tenang, meskipun ia dapat merasakan ketegangan yang muncul di antara para menterinya. “Aku ingin mengetahui kebenaran tentang peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan ayahku. Aku ingin semua bukti yang ada terkait klan tersebut. Aku tidak ingin ada rakyatku menderita di negeri ini hanya karena sebab dongeng masa lalu." Lord Gregor berdeham sebelum menjawab. “Yang Mulia, tidak perlu membangkitkan masa lalu yang telah terkubur. Klan itu melakukan pemberontakan terhadap kerajaan. Mereka menolak pajak yang ditetapkan, menghasut rakyat untuk melawan, dan pada a
Raja Kael berjalan cepat menuju kediaman Ibu Suri, langkahnya mantap namun ada ketegangan yang tersembunyi di balik ekspresinya. Laporan dari Kasim membuatnya tidak tenang, terlebih lagi ini menyangkut seseorang yang—meskipun sering bertentangan dengannya—tetaplah bagian dari keluarganya di istana.Saat tiba di sana, para tabib dan asisten tabib yang berkumpul di sekitar tempat tidur Ibu Suri segera memberi jalan. Sang wanita paruh baya terbaring di atas ranjang mewahnya, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Kael mendekat, matanya menajam melihat kondisi Ibu Suri yang tampak lebih lemah dari biasanya."Kenapa bisa seperti ini? Siapa yang berani melakukan nya?" suara Kael dingin, namun terselip kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Tabib utama yang berdiri di dekat kepala tempat tidur segera menundukkan kepala sebelum menjawab, "Yang Mulia, setelah kami memeriksa, kami menemukan bahwa makanan Ibu Suri mengandung racun. Untung saja para dayang yang bersamanya seg
Arlena berjalan keluar dari istana melalui pintu belakang, melewati lorong-lorong gelap yang jarang dilalui. Ia mengenakan jubah sederhana untuk menyamarkan identitasnya. Udara malam terasa dingin, dan jantung penuh kegelisahan. Ia tahu risiko yang diambilnya sangat besar, tetapi ia tidak bisa diam saja. Ia harus mencari cara untuk menyelamatkan Kepala Dayang dari tuduhan palsu. Namun, tanpa disadari, seseorang telah mengikuti sejak ia keluar dari istana. Langkah kakinya semakin cepat ketika ia menyadari ada suara langkah lain yang terdengar di belakangnya. Arlena menoleh sekilas, melihat sosok pria berpakaian hitam yang berjalan dalam bayang-bayang. Jantungnya berdegup kencang. Ia mempercepat langkahnya, berusaha mencari jalan keluar ke arah perkampungan penduduk. Tiba-tiba, pria itu melompat ke arahnya, mencoba menarik tangannya. Arlena tersentak, berusaha melawan dan melepaskan diri. “Lepaskan aku!” teriaknya, tetapi pria itu semakin kuat menggenggam pergelangan tangannya. Deng
Arlena menghela nafas pelan, mencoba mengusir kebingungan dalam pikirannya. Ia masih memikirkan isi buku yang diberikan oleh Tuan Raad. Dirinya baru tahu ternyata Klan Altheria bukan sekadar klan biasa—mereka memiliki ambisi besar, sesuatu yang bahkan Arlena sendiri tidak yakin apakah ini yang ia ingin perjuangkan. Arlena menutup buku itu perlahan, membiarkan pikirannya mengembara saat ia kembali ke kerajaan. Namun, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Ada perasaan bersalah dan sedikit kebingungan, apakh benar ini adalah misinya diawal? Setibanya di kediamannya, Arlena merasa gerah. Ia membuka jendela, membiarkan udara malam masuk, namun ternyata itu tidak cukup untuk menenangkan pikiran. Ia akhirnya keluar ke halaman kecil yang telah disediakan untuknya. Di bawah langit yang gelap dan udara malam yang dingin, Arlena berdiri termenung, menatap taman kecil di hadapannya. Ia merasa terombang-ambing antara keinginan untuk melindungi Klan Altheria dan ketidaksukaannya pada a
Pagi itu, suasana di istana dipenuhi ketegangan. Para menteri, dengan ekspresi serius dan penuh kewaspadaan, berkumpul di ruang sidang kerajaan. Raja Kael duduk di singgasananya, menatap para menteri dengan tajam, sementara kasim kerajaan mengumumkan alasan pertemuan mendadak ini.Seorang menteri senior, Lord Arven, melangkah maju. “Yang Mulia, kami menemukan sesuatu yang tidak bisa kami abaikan. Kami meminta izin untuk segera menyampaikan temuannya.”Kael menggerakkan jarinya, memberi isyarat agar mereka melanjutkan.Seorang pengawal datang membawa sebuah buku tua dengan sampul berwarna hitam yang terlihat sudah usang. Menteri yang lain, Lord Gendric, mengambil alih dan berkata dengan suara tegas, “Buku ini ditemukan tersembunyi di dalam loker milik Kepala Dapur yang telah ditangkap. Kami menganggap ini sebagai bukti kuat bahwa Kepala Dapur memang terlibat dalam kebohongan yang mengancam keselamatan kerajaan.”Para menteri yang lain mengangguk setuju.Lord Arven melanjutkan, “Buku in
Di sudut ruangan yang remang-remang, para menteri duduk melingkar di sekitar meja kayu kasar, gelas-gelas arak memenuhi meja, menciptakan aroma tajam yang bercampur dengan asap dari lampu minyak yang menggantung di langit-langit rendah. “Kita harus bergerak lebih cepat,” kata Menteri Keuangan, suaranya sedikit mabuk namun tetap tajam. "Raja Kael memang cerdas, tapi dia terlalu lambat dalam mengambil keputusan. Kita bisa mengendalikan situasi sebelum dia menyadarinya." Seorang menteri lain tertawa pelan, meneguk araknya sebelum berbicara. "Kau benar. Lihat saja tadi di ruang sidang, dia hanya diam seperti anak kecil yang kehilangan mainannya." Mereka tertawa, suara mereka menggema di ruangan itu. "Tapi ada satu hal yang perlu kita tuntaskan," lanjut Menteri Keuangan, suaranya merendah. "Buku itu. Kita harus menemukan penulisnya lebih dulu sebelum Raja mendapatkannya. Jika orang itu masih hidup, dia bisa menjadi ancaman bagi rencana kita." “Aku akan mengutus pengawalku,” sambi
Lior berdiri diam di lorong sempit itu, napasnya masih memburu setelah pertarungan berlangsung. Melihat sekeliling, mencari tanda-tanda ke mana pria yang mencengkeram itu pergi, tapi yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan yang berbaur dengan kegelapan malam. "Sial," Lior mengumpat pelan. Orang itu muncul entah dari mana, membantunya, lalu menghilang begitu saja. Tapi dia tidak bisa membuang waktu. Dia masih punya tugas. Dengan langkah cepat, Lior melanjutkan pencariannya. Namun, rasa penasaran tentang pria misterius itu terus mengganggu pikiran. Dia pernah melihat gaya bertarung seperti sebelumnya—cepat, presisi, dan tanpa senjata. Itu bukan teknik sembarangan. Setelah beberapa waktu berjalan, Lior menemukan dirinya di sebuah distrik yang lebih sepi. Rumah-rumah di sini terlihat tua, dengan pintu dan jendela yang sebagian besar tertutup rapat. Lampu-lampu redup dari lilin yang menyala di dalam ruma
Lior kembali ke istana dalam keadaan lelah, namun dia tetap menjaga sikapnya saat berjalan menuju ruang kerja Raja Kael. Setelah mendapatkan izin masuk, dia langsung memberi hormat. Raja Kael menatap tajam. “Bagaimana?” Lior menghela napas. "Saya sudah menemukan jejaknya, Yang Mulia.Tetapi masalahnya lebih rumit dari yang kita duga. Ada lebih banyak pihak yang terlibat, dan mereka tidak akan membiarkan kita menemukan kebenaran dengan mudah." Raja Kael menyandarkan punggung ke kursi. “Jadi kamu belum mendapatkan informasi lengkap?” "Saya hanya menemukan potongan-potongan informasi, tetapi belum cukup untuk mengambil kesimpulan. Saya ingin meminta izin untuk melanjutkan perjalanan. Saya berjanji akan kembali setelah menemukan jawaban yang kami butuhkan." Raja Kael menatap Lior dengan ekspresi sulit ditebak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Aku memberi izin, tapi tetap berhati-hati. Musuh kita bergerak dalam bayangan." Lior memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan dengan l
Lior terus berjalan tanpa menoleh, tetapi pikirannya penuh dengan pertanyaan. Siapa pria itu? Bagaimana dia tahu namaku? Langkahnya cepat, menembus lorong-lorong gelap Distrik Selatan hingga akhirnya mencapai titik aman di dekat pasar. Dia berhenti sejenak, mengatur napasnya. Buku di balik jubahnya terasa semakin berat, seolah menyimpan rahasia yang bisa menggemparkan kerajaan. Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, seorang anak kecil berlari ke arahnya, menyelipkan secarik kertas ke tangannya dan bergegas kabur tanpa berkata apa-apa. Lior mengerutkan kening kemudian membuka kertas itu. "Jangan kembali ke istana. Mereka sudah tahu kau membawa buku itu." Jantung Lior berdegup kencang. Dia segera melihat sekelilingnya, mencari tanda-tanda bahaya. Siapa yang menulis ini? Apakah ini jebakan? Namun, dia tidak punya waktu untuk menyaring semuanya. Dari persembunyian, dia melihat beberapa pria berpakaian sama dengan bandit yang menghalanginya tadi berjalan cepat menuju ke a
Lior berdiri diam di lorong sempit itu, napasnya masih memburu setelah pertarungan berlangsung. Melihat sekeliling, mencari tanda-tanda ke mana pria yang mencengkeram itu pergi, tapi yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan yang berbaur dengan kegelapan malam. "Sial," Lior mengumpat pelan. Orang itu muncul entah dari mana, membantunya, lalu menghilang begitu saja. Tapi dia tidak bisa membuang waktu. Dia masih punya tugas. Dengan langkah cepat, Lior melanjutkan pencariannya. Namun, rasa penasaran tentang pria misterius itu terus mengganggu pikiran. Dia pernah melihat gaya bertarung seperti sebelumnya—cepat, presisi, dan tanpa senjata. Itu bukan teknik sembarangan. Setelah beberapa waktu berjalan, Lior menemukan dirinya di sebuah distrik yang lebih sepi. Rumah-rumah di sini terlihat tua, dengan pintu dan jendela yang sebagian besar tertutup rapat. Lampu-lampu redup dari lilin yang menyala di dalam ruma
Di sudut ruangan yang remang-remang, para menteri duduk melingkar di sekitar meja kayu kasar, gelas-gelas arak memenuhi meja, menciptakan aroma tajam yang bercampur dengan asap dari lampu minyak yang menggantung di langit-langit rendah. “Kita harus bergerak lebih cepat,” kata Menteri Keuangan, suaranya sedikit mabuk namun tetap tajam. "Raja Kael memang cerdas, tapi dia terlalu lambat dalam mengambil keputusan. Kita bisa mengendalikan situasi sebelum dia menyadarinya." Seorang menteri lain tertawa pelan, meneguk araknya sebelum berbicara. "Kau benar. Lihat saja tadi di ruang sidang, dia hanya diam seperti anak kecil yang kehilangan mainannya." Mereka tertawa, suara mereka menggema di ruangan itu. "Tapi ada satu hal yang perlu kita tuntaskan," lanjut Menteri Keuangan, suaranya merendah. "Buku itu. Kita harus menemukan penulisnya lebih dulu sebelum Raja mendapatkannya. Jika orang itu masih hidup, dia bisa menjadi ancaman bagi rencana kita." “Aku akan mengutus pengawalku,” sambi
Pagi itu, suasana di istana dipenuhi ketegangan. Para menteri, dengan ekspresi serius dan penuh kewaspadaan, berkumpul di ruang sidang kerajaan. Raja Kael duduk di singgasananya, menatap para menteri dengan tajam, sementara kasim kerajaan mengumumkan alasan pertemuan mendadak ini.Seorang menteri senior, Lord Arven, melangkah maju. “Yang Mulia, kami menemukan sesuatu yang tidak bisa kami abaikan. Kami meminta izin untuk segera menyampaikan temuannya.”Kael menggerakkan jarinya, memberi isyarat agar mereka melanjutkan.Seorang pengawal datang membawa sebuah buku tua dengan sampul berwarna hitam yang terlihat sudah usang. Menteri yang lain, Lord Gendric, mengambil alih dan berkata dengan suara tegas, “Buku ini ditemukan tersembunyi di dalam loker milik Kepala Dapur yang telah ditangkap. Kami menganggap ini sebagai bukti kuat bahwa Kepala Dapur memang terlibat dalam kebohongan yang mengancam keselamatan kerajaan.”Para menteri yang lain mengangguk setuju.Lord Arven melanjutkan, “Buku in
Arlena menghela nafas pelan, mencoba mengusir kebingungan dalam pikirannya. Ia masih memikirkan isi buku yang diberikan oleh Tuan Raad. Dirinya baru tahu ternyata Klan Altheria bukan sekadar klan biasa—mereka memiliki ambisi besar, sesuatu yang bahkan Arlena sendiri tidak yakin apakah ini yang ia ingin perjuangkan. Arlena menutup buku itu perlahan, membiarkan pikirannya mengembara saat ia kembali ke kerajaan. Namun, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Ada perasaan bersalah dan sedikit kebingungan, apakh benar ini adalah misinya diawal? Setibanya di kediamannya, Arlena merasa gerah. Ia membuka jendela, membiarkan udara malam masuk, namun ternyata itu tidak cukup untuk menenangkan pikiran. Ia akhirnya keluar ke halaman kecil yang telah disediakan untuknya. Di bawah langit yang gelap dan udara malam yang dingin, Arlena berdiri termenung, menatap taman kecil di hadapannya. Ia merasa terombang-ambing antara keinginan untuk melindungi Klan Altheria dan ketidaksukaannya pada a
Arlena berjalan keluar dari istana melalui pintu belakang, melewati lorong-lorong gelap yang jarang dilalui. Ia mengenakan jubah sederhana untuk menyamarkan identitasnya. Udara malam terasa dingin, dan jantung penuh kegelisahan. Ia tahu risiko yang diambilnya sangat besar, tetapi ia tidak bisa diam saja. Ia harus mencari cara untuk menyelamatkan Kepala Dayang dari tuduhan palsu. Namun, tanpa disadari, seseorang telah mengikuti sejak ia keluar dari istana. Langkah kakinya semakin cepat ketika ia menyadari ada suara langkah lain yang terdengar di belakangnya. Arlena menoleh sekilas, melihat sosok pria berpakaian hitam yang berjalan dalam bayang-bayang. Jantungnya berdegup kencang. Ia mempercepat langkahnya, berusaha mencari jalan keluar ke arah perkampungan penduduk. Tiba-tiba, pria itu melompat ke arahnya, mencoba menarik tangannya. Arlena tersentak, berusaha melawan dan melepaskan diri. “Lepaskan aku!” teriaknya, tetapi pria itu semakin kuat menggenggam pergelangan tangannya. Deng
Raja Kael berjalan cepat menuju kediaman Ibu Suri, langkahnya mantap namun ada ketegangan yang tersembunyi di balik ekspresinya. Laporan dari Kasim membuatnya tidak tenang, terlebih lagi ini menyangkut seseorang yang—meskipun sering bertentangan dengannya—tetaplah bagian dari keluarganya di istana.Saat tiba di sana, para tabib dan asisten tabib yang berkumpul di sekitar tempat tidur Ibu Suri segera memberi jalan. Sang wanita paruh baya terbaring di atas ranjang mewahnya, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Kael mendekat, matanya menajam melihat kondisi Ibu Suri yang tampak lebih lemah dari biasanya."Kenapa bisa seperti ini? Siapa yang berani melakukan nya?" suara Kael dingin, namun terselip kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Tabib utama yang berdiri di dekat kepala tempat tidur segera menundukkan kepala sebelum menjawab, "Yang Mulia, setelah kami memeriksa, kami menemukan bahwa makanan Ibu Suri mengandung racun. Untung saja para dayang yang bersamanya seg
Salah satu menteri yang bernama Lord Gregor, seorang penasihat senior yang telah lama mengabdi pada kerajaan, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi tidak suka. “Yang Mulia, mengapa tiba-tiba membahas tentang Klan Altheria? Kita semua yang ada disini, bahkan semua orang yang ada di negeri ini tidak akan pernah mau membahas klan yang terkutuk itu. Klan yang sudah berusaha menghancurkan pondasi di negeri ini!" Kael tetap tenang, meskipun ia dapat merasakan ketegangan yang muncul di antara para menterinya. “Aku ingin mengetahui kebenaran tentang peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan ayahku. Aku ingin semua bukti yang ada terkait klan tersebut. Aku tidak ingin ada rakyatku menderita di negeri ini hanya karena sebab dongeng masa lalu." Lord Gregor berdeham sebelum menjawab. “Yang Mulia, tidak perlu membangkitkan masa lalu yang telah terkubur. Klan itu melakukan pemberontakan terhadap kerajaan. Mereka menolak pajak yang ditetapkan, menghasut rakyat untuk melawan, dan pada a