“Jadi, apa yang sebenarnya kamu inginkan?” Suara Kael terdengar tajam, penuh ketegasan.
Sedang Arlena tampak menarik napas dalam, menenangkan hati sebelum berbicara. Ia tahu, setiap kata yang keluar dari mulut akan menentukan nasibnya sendiri, dan nasib orang-orang yang ia perjuangkan. “Yang Mulia,” Arlena menatap Kael dengan penuh keberanian. “Saya ingin Anda membebaskan tawanan dari klan Altheria yang tersisa.” Sejenak, ucapan Arlena merubah suasana ruangan. Ekspresi Kael berubah, matanya terbelalak terkejut, menatap Arlena dengan tajam. Nama itu—Altheria—bukanlah nama yang asing baginya. “Klan Altheria?” ulangnya, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan yang berbahaya. “Kau meminta sesuatu yang mustahil! Klan itu sudah dihukum karena pengkhianatan mereka.” Arlena tetap berdiri tegak. “Yang Mulia, mereka bukan pengkhianat.” Kael mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Arlena. “Kau tahu apa tentang mereka! Apa hubunganmu dengan klan itu?” Arlena menelan ludah. Dia tidak boleh gegabah. “Saya hanya melihat kebenaran yang telah lama diabaikan, Yang Mulia. Mereka bukan pemberontak. Mereka hanya menuntut hak mereka pada masa pemerintahan ayah Anda.” Kael mengangkat alis. “Benarkah?” Arlena mengangguk. “Dulu, ketika ayah Anda masih berkuasa, pajak yang ditetapkan bagi rakyat terlalu tinggi. Klan Altheria, yang sebagian besar terdiri dari pengrajin dan petani, tidak mampu membayarnya." "Mereka datang ke istana untuk memohon keringanan pajak, bukan untuk memberontak. Namun, para menteri yang tamak memutarbalikkan fakta, membuat mereka terlihat seperti pengkhianat.” Kata-kata Arlena membangkitkan ingatan lamanya. Ia masih kecil saat peristiwa itu terjadi, namun ia ingat bagaimana ayahnya tiba-tiba menjatuhkan hukuman berat kepada klan Altheria. “Mereka dijadikan budak buruh, Yang Mulia,” lanjut Arlena. “Mereka dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi, tanpa diberi gaji, tanpa diberikan hak untuk hidup layak. Mereka menderita bukan karena kesalahan mereka, tetapi karena keserakahan orang-orang di sekitar takhta.” Kael menghela napas panjang. Ia menatap Arlena dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Dan kamu ingin aku memerdekakan mereka begitu saja?” Arlena mengangguk. “Bukan hanya memerdekakan mereka, Yang Mulia. Saya juga meminta agar nama baik klan Altheria dipulihkan.” Kael membukakan matanya. “Permintaan yang besar untuk seorang dayang.” Arlena tetap tenang. “Saya tahu ini tidak mudah, Yang Mulia. Tapi saya percaya bahwa Anda bukan raja yang kejam. Saya percaya bahwa Anda bisa melihat kebenaran.” Kael tidak langsung menjawab. Ia melangkah mundur, menatap Arlena seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. “Aku tidak bisa mengambil keputusan begitu saja. Sejak dulu, aku diajarkan bahwa klan Altheria adalah pengkhianat. Namun, jika memang ada kebenaran yang tersembunyi, aku akan menyelidikinya.” Arlena menatap Kael dengan penuh harapan. “Tapi,” “Aku tidak bisa mengubah keputusan kerajaan dalam semalam. Jika kau benar-benar ingin membantuku, maka kau harus bekerja sama denganku.” Arlena mengangguk. “Saya akan melakukan apa yang Anda minta, Yang Mulia.” Kael memandang lebih lama, lalu tersenyum kecil, senyum yang sulit diartikan. Namun, sebelum Arlena bisa menanggapinya, Kael berbalik dan berjalan menuju pintu. “Bersiaplah,” katanya tanpa menoleh. “Aku telah membuat keputusan lain untukmu.” Arlena menatap punggung Raja Kael dengan perasaan campur aduk. Ia berhasil membuatnya mendengar permintaannya, tapi apa yang dimaksud Kael dengan 'keputusan lain'? Hatinya berdebar. Ia tahu, apa pun yang terjadi setelah ini, akan mengubah segalanya. Dua hari kemudian, beberapa penjaga datang membuka jeruji besi tempat Arlena ditawan. "Keluarlah," titah salah seorang pengawal. "Ada apa ini?" tanya Arlena sambil menelan salivanya. "Raja memerintahkan untuk mengeluarkan mu dan mengantarmu ke paviliun selatan istana raja," jawab salah seorang Kasim yang berdiri paling depan. Arlena berjalan dengan ragu, dia mendekati Kasim. Wajah Kasim itu langsung berubah saat melihat paras elok sayang rendahan di hadapannya. "Dengan cara apa, kau bisa memikat hati raja," gumam Kasim tersebut menatap takjub, dia akui dalam hatinya, Arlena adalah wanita tercantik yang pernah dia lihat secara langsung. "Apa maksud anda?" tanya Arlena yang masih tidak mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya. "Ikuti saja aku," titah Kasim tersebut lalu berjalan, Arlena menurut dan mengikutinya dari belakang, dengan kepala yang tertunduk dalam. Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya. Arlena berdiri di dalam ruangan yang luas, karpet lembut berwarna merah tua membentang di bawah kakinya, sementara tirai sutra emas bergoyang pelan tertiup angin. Perabotan di ruangan ini terbuat dari kayu terbaik, diukir dengan detail yang menunjukkan kemewahan seorang bangsawan. Di hadapannya, beberapa dayang sibuk menyiapkan pakaian yang jauh lebih indah daripada yang pernah ia kenakan sebelumnya. Gaun-gaun itu terbuat dari kain mahal dengan bordiran emas dan perak, jelas bukan sesuatu yang pantas untuk seorang dayang biasa. "Nona, mari kami bersihkan tubuh anda," tutur salah seorang dayang dengan sopan, diikuti tiga sayang lainnya. Arlena tidak protes seperti biasanya. Dia memang butuh mandi setelah tiga hari berada di ruangan bawah tanah. Langkah kakinya pun sampai ke sebuah bak kayu, penuh dengan rendaman bunga mawar. Mereka membersihkan tubuhnya dan memakaikan gaun indah. Rambutnya disurai Serapi mungkin, kepangan rambut halus dan tebalnya membuat para dayang sangat kagum dibuatnya. "Nona, anda sangat cantik," puji salah seorang. "Terima kasih, maaf jika boleh bertanya, mengapa aku dibawa ke sini?" tanya Arlena belum tau apa rencana raja sebenarnya. "Nona, kenapa tidak anda tanyakan langsung saja pada Raja," bisik seorang pelayan lainnya sambil menunjuk ke arah pintu masuk khusus. Tampak Raja Kael berdiri di ambang pintu. Menatap Arlena dengan mata yang berbinar. Menatap takjub wanita di hadapannya dengan jantung berdebar. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Selamat pagi, Yang Mulia," sapa Arlena dengan sopan sambil membungkukkan tubuhnya. Raja Kael langsung meminta seluruh dayangnya untuk keluar saat itu. Kini, tersisa hanya mereka berdua. "Apa yang ingin kau tanyakan, Hem?" Raja Kael berjalan, mengitarinya, menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Iya, Yang Mulia. Mengapa, anda meminta saya untuk berada di sini, Yang Mulia?" tanya Arlena dengan sopan. "Kau ingin membebaskan klan Altheria bukan?" tanya Raja sekali lagi. Dengan cepat Arlena menjawab. "Benar, Yang Mulia Raja." Ini adalah kesempatannya. "Berarti, kau tidak memiliki pilihan untuk menolak syaratku yang satu ini." Raja Kael lalu berjalan dengan santai dan duduk di atas ranjang mewahnya. "Apa maksud anda? Saya, tidak akan tidur dengan anda, Raja Kael. Saya bukan gadis murahan!" tolak Arlena, membuat Raja Kael tertawa. Sang raja sedang tertawa, sesuatu yang langka. "Kau ini mesum, Arlena." Mendengar ejekan raja, wajah Arlena memerah. "Sini, mendekatlah," titah Raja Kael dan Arlena dengan wajah tertunduk, berjalan mendekatinya. Telunjuk Raja Kael langsung mengangkat dagu Arlena dengan lembut. "Arlena, bantulah aku untuk membuktikan kebenaran dari semua ucapanmu. Dengan menjadi permaisuriku.” "A-Apa?! Permaisuri?!" "Iya, Aku akan menjadikanmu permaisuri ku,"“Kael!” suara seorang wanita menggema di seluruh koridor ruangan. “Raja Kael! Apa yang sudah kudengar ini?! Kau ingin menikah dengan seorang dayang rendahan?” pekikan panik dan getaran suara yang menahan amarah, membuat seluruh dayang dan para kasim tidak ada yang berani mengangkat wajah mereka.Kael menatap Ibu Suri dengan tenang. “Keputusanku sudah bulat, Ibu.”Ibu Suri menggenggam tangannya. “Kau sudah kehilangan akal sehatmu, Kael?! Seorang Raja tidak boleh bertindak gegabah hanya karena tertarik pada seorang perempuan! Kau bisa memilikinya, jadikan dia selir, tapi tidak menduduki kursi permaisuri,” tuturnya tidak terima dan masih berusaha mengubah pendirian anaknya.Kael tetap tenang. “Aku tidak gegabah, Ibu. Aku tahu apa yang aku lakukan,” jawabnya tanpa ekspresi, membuat ibu Suri semakin frustasi.Ibu Suri semakin mendekat, suaranya merendah tapi, penuh tekanan. “Kau masih ingat apa yang terjadi ketika ayahmu menikahi i
"Berikan ini pada Raja! Ingat, kau harus mengantarkannya sendiri, tidak boleh ada yang menggantikan mu. Kau paham, Arlena?" titah seorang kepala sayang dapur padanya. "Baik, Bibi," jawab Arlena sambil menelan salivanya dengan gugup."Tunggu! Sini, pakai gincu ini. Pastikan dia melihat wajahmu. Ingat, Arlne, kau di sini untuk sebuah misi. Kau harus memastikan, pagi ini, Yang Mulia melihat jelas wajahmu. Camkan itu baik-baik!" tegas kepala sayang dapur itu dengan tubuh gemetar. Mereka tidak memiliki waktu lagi, Arlena adalah satu-satunya senjata dan harapan baru klan mereka. Saat itu, fajar baru saja menyentuh langit Arathia ketika Arlena melangkah hati-hati di koridor istana. Nampan perak yang ia bawa berisi sarapan pagi untuk Raja Kael, lengkap dengan roti panggang madu dan teh herbal yang hangat. Aroma manis dan menenangkan memenuhi udara.Namun langkahnya terhenti tiba-tiba.Di hadapannya berdiri Lady Mirana, menge
Arlena berdiri di depan pintu besar kamar Raja Kael. Udara di koridor terasa dingin, meski sinar matahari pagi mulai menghangatkan istana. Jantungnya berdegup keras, gemetar di antara rasa takut dan cemas. Lima menit berlalu. Namun tidak ada panggilan, tidak ada suara. Hening, dan semakin hening meskipun banyak penjaga di sekitarnya.“Apa, aku telah membuatnya murka?” pikir Arlena. Mungkin Raja Kael telah memutuskan bahwa ia tidak layak. Bahkan, untuk mendapatkan teguran langsung. Ia menunduk, menatap lantai yang dingin di bawah kakinya. Pikiran bahwa dirinya sudah tidak pantas untuk melayani Raja menghantam dirinya seperti gelombang dingin.Namun, sebelum dia sempat melangkah pergi, seorang kasim muncul dari sisi lain koridor. Wajahnya tenang, tapi suaranya tegas. “Dayang, Yang Mulia Raja memanggilmu ke dalam ruangan. Sekarang!"Arlena membeku. Tenggorokannya tercekat. “K-ke kamar Raja?” gumamnya nyaris tak terdengar. Kasim
"Saya tidak menghampiri anda, karena ... saya bukan gadis murahan Yang Mulia!""Kau?!" Suaranya tertahan di tenggorokan.Kalimat yang keluar dari bibir Arlena membuat Raja Kael tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Dia tersihir dengan keberanian yang muncul dari dayang rendahan seperti Arlena.Kael menatap Arlena tajam, namun di balik amarahnya, ada sesuatu yang berbeda.Penolakan Arlena yang tegas dan lugas membuatnya tetap tegang.Sepanjang hidupnya, belum pernah ada wanita mana pun berani menolak keinginannya. Apalagi, undangan untuk berbagi ranjang dengannya.Ia adalah Raja, seorang penguasa mutlak, dan perintahnya adalah hukum. Namun, di hadapannya berdiri seorang dayang yang berani menantangnya.Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi ketegangan dan hening. Kael tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Arlena. Ada sesuatu dalam cara gadis itu berbicara, ketenangan yang tidak seharusnya dimiliki oleh seseorang d
“Kael!” suara seorang wanita menggema di seluruh koridor ruangan. “Raja Kael! Apa yang sudah kudengar ini?! Kau ingin menikah dengan seorang dayang rendahan?” pekikan panik dan getaran suara yang menahan amarah, membuat seluruh dayang dan para kasim tidak ada yang berani mengangkat wajah mereka.Kael menatap Ibu Suri dengan tenang. “Keputusanku sudah bulat, Ibu.”Ibu Suri menggenggam tangannya. “Kau sudah kehilangan akal sehatmu, Kael?! Seorang Raja tidak boleh bertindak gegabah hanya karena tertarik pada seorang perempuan! Kau bisa memilikinya, jadikan dia selir, tapi tidak menduduki kursi permaisuri,” tuturnya tidak terima dan masih berusaha mengubah pendirian anaknya.Kael tetap tenang. “Aku tidak gegabah, Ibu. Aku tahu apa yang aku lakukan,” jawabnya tanpa ekspresi, membuat ibu Suri semakin frustasi.Ibu Suri semakin mendekat, suaranya merendah tapi, penuh tekanan. “Kau masih ingat apa yang terjadi ketika ayahmu menikahi i
“Jadi, apa yang sebenarnya kamu inginkan?” Suara Kael terdengar tajam, penuh ketegasan.Sedang Arlena tampak menarik napas dalam, menenangkan hati sebelum berbicara. Ia tahu, setiap kata yang keluar dari mulut akan menentukan nasibnya sendiri, dan nasib orang-orang yang ia perjuangkan.“Yang Mulia,” Arlena menatap Kael dengan penuh keberanian. “Saya ingin Anda membebaskan tawanan dari klan Altheria yang tersisa.”Sejenak, ucapan Arlena merubah suasana ruangan. Ekspresi Kael berubah, matanya terbelalak terkejut, menatap Arlena dengan tajam. Nama itu—Altheria—bukanlah nama yang asing baginya.“Klan Altheria?” ulangnya, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan yang berbahaya. “Kau meminta sesuatu yang mustahil! Klan itu sudah dihukum karena pengkhianatan mereka.”Arlena tetap berdiri tegak. “Yang Mulia, mereka bukan pengkhianat.”Kael mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Arlena. “Kau t
"Saya tidak menghampiri anda, karena ... saya bukan gadis murahan Yang Mulia!""Kau?!" Suaranya tertahan di tenggorokan.Kalimat yang keluar dari bibir Arlena membuat Raja Kael tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Dia tersihir dengan keberanian yang muncul dari dayang rendahan seperti Arlena.Kael menatap Arlena tajam, namun di balik amarahnya, ada sesuatu yang berbeda.Penolakan Arlena yang tegas dan lugas membuatnya tetap tegang.Sepanjang hidupnya, belum pernah ada wanita mana pun berani menolak keinginannya. Apalagi, undangan untuk berbagi ranjang dengannya.Ia adalah Raja, seorang penguasa mutlak, dan perintahnya adalah hukum. Namun, di hadapannya berdiri seorang dayang yang berani menantangnya.Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi ketegangan dan hening. Kael tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Arlena. Ada sesuatu dalam cara gadis itu berbicara, ketenangan yang tidak seharusnya dimiliki oleh seseorang d
Arlena berdiri di depan pintu besar kamar Raja Kael. Udara di koridor terasa dingin, meski sinar matahari pagi mulai menghangatkan istana. Jantungnya berdegup keras, gemetar di antara rasa takut dan cemas. Lima menit berlalu. Namun tidak ada panggilan, tidak ada suara. Hening, dan semakin hening meskipun banyak penjaga di sekitarnya.“Apa, aku telah membuatnya murka?” pikir Arlena. Mungkin Raja Kael telah memutuskan bahwa ia tidak layak. Bahkan, untuk mendapatkan teguran langsung. Ia menunduk, menatap lantai yang dingin di bawah kakinya. Pikiran bahwa dirinya sudah tidak pantas untuk melayani Raja menghantam dirinya seperti gelombang dingin.Namun, sebelum dia sempat melangkah pergi, seorang kasim muncul dari sisi lain koridor. Wajahnya tenang, tapi suaranya tegas. “Dayang, Yang Mulia Raja memanggilmu ke dalam ruangan. Sekarang!"Arlena membeku. Tenggorokannya tercekat. “K-ke kamar Raja?” gumamnya nyaris tak terdengar. Kasim
"Berikan ini pada Raja! Ingat, kau harus mengantarkannya sendiri, tidak boleh ada yang menggantikan mu. Kau paham, Arlena?" titah seorang kepala sayang dapur padanya. "Baik, Bibi," jawab Arlena sambil menelan salivanya dengan gugup."Tunggu! Sini, pakai gincu ini. Pastikan dia melihat wajahmu. Ingat, Arlne, kau di sini untuk sebuah misi. Kau harus memastikan, pagi ini, Yang Mulia melihat jelas wajahmu. Camkan itu baik-baik!" tegas kepala sayang dapur itu dengan tubuh gemetar. Mereka tidak memiliki waktu lagi, Arlena adalah satu-satunya senjata dan harapan baru klan mereka. Saat itu, fajar baru saja menyentuh langit Arathia ketika Arlena melangkah hati-hati di koridor istana. Nampan perak yang ia bawa berisi sarapan pagi untuk Raja Kael, lengkap dengan roti panggang madu dan teh herbal yang hangat. Aroma manis dan menenangkan memenuhi udara.Namun langkahnya terhenti tiba-tiba.Di hadapannya berdiri Lady Mirana, menge