"Saya tidak menghampiri anda, karena ... saya bukan gadis murahan Yang Mulia!"
"Kau?!" Suaranya tertahan di tenggorokan. Kalimat yang keluar dari bibir Arlena membuat Raja Kael tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Dia tersihir dengan keberanian yang muncul dari dayang rendahan seperti Arlena. Kael menatap Arlena tajam, namun di balik amarahnya, ada sesuatu yang berbeda. Penolakan Arlena yang tegas dan lugas membuatnya tetap tegang. Sepanjang hidupnya, belum pernah ada wanita mana pun berani menolak keinginannya. Apalagi, undangan untuk berbagi ranjang dengannya. Ia adalah Raja, seorang penguasa mutlak, dan perintahnya adalah hukum. Namun, di hadapannya berdiri seorang dayang yang berani menantangnya. Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi ketegangan dan hening. Kael tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Arlena. Ada sesuatu dalam cara gadis itu berbicara, ketenangan yang tidak seharusnya dimiliki oleh seseorang di posisinya. Bukan rasa takut, bukan kesombongan, melainkan keberanian yang tulus. Kael mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada para pengawal. “Bawa dia ke penjara bawah tanah. Biarkan dia merenungkan kesalahannya di sana!” Arlena tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Ia hanya menundukkan kepala, menerima keputusan Raja tanpa perlawanan. Namun, di balik wajah tenangnya, pikiran berputar cepat. Ini kesempatan yang baik untuk merencanakan misi yang lama dia simpan. "Lepaskan! Aku bisa berjalan sendiri! Tidak perlu kalian seret seperti binatang!" sergah Arlne dengan tegas sambil melirik sekilas Raja Kael dengan bibir manyunnya. Oh Tuhan, wanita ini ... Membuat Raja Kael hampir tergelak dan kesal di saat yang bersamaan. Penjara bawah tanah istana adalah tempat yang suram. Dinding-dindingnya lembab dan dipenuhi lumut. Udara di sana dingin dan pengap, cahaya matahari tidak pernah menyentuh tempat itu. Ketika Arlena masuk, para tawanan lain menatap dengan penasaran. Mereka berdiri dan berjalan kearah jeruji. Mengamati Arlena dari atas hingga kebawah, tak ada yang berkedip. Namun, ada salah satu mereka yang tertarik dengan kedatangan Arlena. Meskipun dia tidak tahu apa yang membuatnya tertarik dengan dayang rendahan yang sedang di tawan. Di sudut ruangan, seorang pria tua dengan rambut abu-abu kusut itulah yang sejak awal memperhatikannya dengan mata yang tak beralih dari Arlena. Ada sesuatu dalam cara pria itu menatap Arlena, tampaknya dia mengenal Arlena. Namun, Arlena tidak memperhatikannya. Ia terlalu sibuk menenangkan pikiran dan menganalisis situasi. Mata sayu Arlena tak beralih dari tanah yang dia tapaki, meski tangannya dipegang oleh pengawal. Suara denting kunci yang beradu dengan lubangnya tak membuat Arlena merasa takut ataupun goyah sedikitpun. Tubuhnya didorong masuk hingga terjembab ke alas yang dingin dan keras. Tapi, wanita itu langsung berdiri tegap dan tampak berani. Setelah pintu sel terkunci, Arlena duduk di sudut ruangan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Di tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian istana, pikiran menjadi lebih jernih. Mungkin saja Arlena akan memanfaatkan waktu menyendirinya dengan baik disini. “Apa yang kamu lakukan di sini, gadis muda?” tanya pria tua itu dengan suara serak. Arlena menoleh, menatap pria itu dengan pemandangan tenang. “Saya hanya seorang dayang yang mencoba bertahan hidup.” Pria itu membuka matanya lebih tajam. Kemudian matanya menyipit, mencoba memahami siapa gadis yang ada di hadapannya saati ini. “Kau mengingatkanku pada seseorang... tapi mungkin itu hanya bayanganku.” Arlena tipis tersenyum. “Barangkali.” Namun, jauh di lubuk hatinya, Arlena tahu bahwa pria itu mungkin mengenal masa lalunya—masa lalu yang berusaha ia lupakan. Meskipun terkurung, Arlena tidak sepenuhnya terisolasi. Ia memiliki cara untuk tetap berkomunikasi dengan klannya. Melalui kepala dapur, yang diam-diam adalah salah satu anggota klannya, ia mengirim pesan-pesan rahasia. Untunglah, kepala dapur itu memiliki seorang keponakan yang juga bekerja sebagai penjaga di penjara bawah tanah. “Bagaimana keadaanmu?” tanya kepala dapur ketika dia mengirimkan makanan ke penjara. Arlena tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja. Penjara ini lebih tenang daripada istana. Aku bisa berpikir dengan jernih di sini.” Kepala dapur mengangguk. “Kami menunggu perintahmu. Apa langkah selanjutnya?” Arlena berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kita harus terus bersabar. Aku akan mengawasi pergerakan Raja dari sini. Ketika waktunya tiba, kita akan bertindak.” "Baik. Tetap jaga dirimu sendiri, saat ini kami belum bisa berbuat banyak," lirih kepala dapur. "Tenang saja, justru ini adalah awal." Kepala dapur mengangguk lagi sebelum pergi, meninggalkan Arlena sendiri. Hari-hari berlalu, dan Kael terus menunggu. Ia yakin bahwa Arlena akan menyerah. Gadis itu hanyalah seorang dayang, dan siapa yang bisa bertahan lama di penjara bawah tanah yang dingin dan suram? Namun, dugaannya salah. Setiap laporan yang diterimanya dari para penjaga hanya membuatnya semakin kecewa. “Dia tetap tenang, Yang Mulia,” lapor salah satu penjaga. “Dia tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau penyesalan.” Kael menggenggam tangannya. Ia tidak pernah merasakan semarah ini sebelumnya. Bukan karena penolakan Arlena, tapi karena rasa penasaran yang semakin menguasai pikiran. Apa yang sebenarnya ada di pikiran gadis itu? Akhirnya, setelah beberapa hari yang panjang, Kael memutuskan untuk datang sendiri ke penjara bawah tanah. Ia ingin mendengar langsung dari Arlena. Bahkan baru kali ini Raja, seolah memohon kepada seorang gadis yang sama sekali belum pernah terlintas di bayangannya. Hanya dayang rendahan, tapi dia bisa membuat Raja berjalan menutupi rasa penasaran dengan otoriternya. Ketika Raja Kael sampai di penjara bawah tanah, semua penjaga terkejut. Karena baru kali ini mereka melihat Raja turun langsung ke sana. "Masalah seberat apa yang membuat Raja seperti ini?" batin salah satu penjaga. Ketika pintu sel terbuka, Arlena sedang duduk di sudut, matanya terpejam seolah-olah dia sedang bermeditasi. Ketika ia mendengar suara langkah kaki, ia membuka matanya dan berdiri. Kael melangkah masuk, meletusnya tajam. “Kenapa kamu tidak mau melayaniku?” tanyanya langsung, suaranya dingin. Arlena hanya menatap tanpa menjawab. Kael lanjutkan, suaranya semakin keras. “Apa yang kamu inginkan? Aku bisa memberi apa saja yang kamu mau. Bahkan seluruh negeri ini bisa kuberikan kepadamu, jika kau mau melayaniku.” Arlena tersenyum kecut, senyuman yang membuat Kael semakin penasaran. “Yang Mulia Raja,” ucapnya perlahan. “Saya, tidak menginginkan seluruh negeri ini.” Kael mengerutkan kening. “Lalu apa yang kamu inginkan?” Arlena menatap Kael dengan mata penuh keyakinan. “Saya ingin…” Kael menahan napas, menunggu kata-kata berikutnya. Arlena melanjutkan dengan tenang, “Saya ingin sesuatu yang tidak bisa Anda beli dengan kekuasaan dan harta.” Kael tertegun. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, membuatnya semakin mau gila karena harus menunggu permintaan wanita di hadapannya itu. "Maka katakan! Apa yang kau inginkan!" desis Raja Kael setengah frustasi sambil menatap tajam Arlena. "Saya ingin anda untuk ...,"“Jadi, apa yang sebenarnya kamu inginkan?” Suara Kael terdengar tajam, penuh ketegasan.Sedang Arlena tampak menarik napas dalam, menenangkan hati sebelum berbicara. Ia tahu, setiap kata yang keluar dari mulut akan menentukan nasibnya sendiri, dan nasib orang-orang yang ia perjuangkan.“Yang Mulia,” Arlena menatap Kael dengan penuh keberanian. “Saya ingin Anda membebaskan tawanan dari klan Altheria yang tersisa.”Sejenak, ucapan Arlena merubah suasana ruangan. Ekspresi Kael berubah, matanya terbelalak terkejut, menatap Arlena dengan tajam. Nama itu—Altheria—bukanlah nama yang asing baginya.“Klan Altheria?” ulangnya, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan yang berbahaya. “Kau meminta sesuatu yang mustahil! Klan itu sudah dihukum karena pengkhianatan mereka.”Arlena tetap berdiri tegak. “Yang Mulia, mereka bukan pengkhianat.”Kael mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Arlena. “Kau t
“Kael!” suara seorang wanita menggema di seluruh koridor ruangan. “Raja Kael! Apa yang sudah kudengar ini?! Kau ingin menikah dengan seorang dayang rendahan?” pekikan panik dan getaran suara yang menahan amarah, membuat seluruh dayang dan para kasim tidak ada yang berani mengangkat wajah mereka.Kael menatap Ibu Suri dengan tenang. “Keputusanku sudah bulat, Ibu.”Ibu Suri menggenggam tangannya. “Kau sudah kehilangan akal sehatmu, Kael?! Seorang Raja tidak boleh bertindak gegabah hanya karena tertarik pada seorang perempuan! Kau bisa memilikinya, jadikan dia selir, tapi tidak menduduki kursi permaisuri,” tuturnya tidak terima dan masih berusaha mengubah pendirian anaknya.Kael tetap tenang. “Aku tidak gegabah, Ibu. Aku tahu apa yang aku lakukan,” jawabnya tanpa ekspresi, membuat ibu Suri semakin frustasi.Ibu Suri semakin mendekat, suaranya merendah tapi, penuh tekanan. “Kau masih ingat apa yang terjadi ketika ayahmu menikahi i
Pintu kamar terbuka dengan keras, membuat kedua wanita itu menoleh, mereka sangat terkejut hingga terpatung ditempat. Seorang pria berdiri di ambang pintu. Siluetnya tegap dan berwibawa, jubah hitamnya berayun sedikit terkena angin dari luar. Mata emasnya yang tajam menatap ke arah mereka berdua. Kael. Tatapan itu membuat tangan Ibu Suri terhenti di udara. Ia membeku, lalu segera menarik tangannya kembali, berusaha menjaga martabatnya di depan Raja. “Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa aku mendengar suara seorang perempuan yang di hormati seakan menjatuhkan harga dirinya sendiri?" suara Kael terdengar tenang, tetapi penuh dengan otoritas yang membuat siapa saja mendengarnya merasa terancam. Arlena tidak berbicara. Ia hanya berdiri diam dengan ekspresi tenang seperti biasa, meskipun di dalam dirinya, ia merasa puas dan menang karena kedatangan Kael tepat waktu. Bahkan dirinya tidak habis pikir, kenapa seorang Raja Kael yang terkenal dengan otoriternya mau membela seorang day
Salah satu menteri yang bernama Lord Gregor, seorang penasihat senior yang telah lama mengabdi pada kerajaan, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi tidak suka. “Yang Mulia, mengapa tiba-tiba membahas tentang Klan Altheria? Kita semua yang ada disini, bahkan semua orang yang ada di negeri ini tidak akan pernah mau membahas klan yang terkutuk itu. Klan yang sudah berusaha menghancurkan pondasi di negeri ini!" Kael tetap tenang, meskipun ia dapat merasakan ketegangan yang muncul di antara para menterinya. “Aku ingin mengetahui kebenaran tentang peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan ayahku. Aku ingin semua bukti yang ada terkait klan tersebut. Aku tidak ingin ada rakyatku menderita di negeri ini hanya karena sebab dongeng masa lalu." Lord Gregor berdeham sebelum menjawab. “Yang Mulia, tidak perlu membangkitkan masa lalu yang telah terkubur. Klan itu melakukan pemberontakan terhadap kerajaan. Mereka menolak pajak yang ditetapkan, menghasut rakyat untuk melawan, dan pada a
Raja Kael berjalan cepat menuju kediaman Ibu Suri, langkahnya mantap namun ada ketegangan yang tersembunyi di balik ekspresinya. Laporan dari Kasim membuatnya tidak tenang, terlebih lagi ini menyangkut seseorang yang—meskipun sering bertentangan dengannya—tetaplah bagian dari keluarganya di istana.Saat tiba di sana, para tabib dan asisten tabib yang berkumpul di sekitar tempat tidur Ibu Suri segera memberi jalan. Sang wanita paruh baya terbaring di atas ranjang mewahnya, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Kael mendekat, matanya menajam melihat kondisi Ibu Suri yang tampak lebih lemah dari biasanya."Kenapa bisa seperti ini? Siapa yang berani melakukan nya?" suara Kael dingin, namun terselip kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Tabib utama yang berdiri di dekat kepala tempat tidur segera menundukkan kepala sebelum menjawab, "Yang Mulia, setelah kami memeriksa, kami menemukan bahwa makanan Ibu Suri mengandung racun. Untung saja para dayang yang bersamanya seg
Arlena berjalan keluar dari istana melalui pintu belakang, melewati lorong-lorong gelap yang jarang dilalui. Ia mengenakan jubah sederhana untuk menyamarkan identitasnya. Udara malam terasa dingin, dan jantung penuh kegelisahan. Ia tahu risiko yang diambilnya sangat besar, tetapi ia tidak bisa diam saja. Ia harus mencari cara untuk menyelamatkan Kepala Dayang dari tuduhan palsu. Namun, tanpa disadari, seseorang telah mengikuti sejak ia keluar dari istana. Langkah kakinya semakin cepat ketika ia menyadari ada suara langkah lain yang terdengar di belakangnya. Arlena menoleh sekilas, melihat sosok pria berpakaian hitam yang berjalan dalam bayang-bayang. Jantungnya berdegup kencang. Ia mempercepat langkahnya, berusaha mencari jalan keluar ke arah perkampungan penduduk. Tiba-tiba, pria itu melompat ke arahnya, mencoba menarik tangannya. Arlena tersentak, berusaha melawan dan melepaskan diri. “Lepaskan aku!” teriaknya, tetapi pria itu semakin kuat menggenggam pergelangan tangannya. Deng
Arlena menghela nafas pelan, mencoba mengusir kebingungan dalam pikirannya. Ia masih memikirkan isi buku yang diberikan oleh Tuan Raad. Dirinya baru tahu ternyata Klan Altheria bukan sekadar klan biasa—mereka memiliki ambisi besar, sesuatu yang bahkan Arlena sendiri tidak yakin apakah ini yang ia ingin perjuangkan. Arlena menutup buku itu perlahan, membiarkan pikirannya mengembara saat ia kembali ke kerajaan. Namun, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Ada perasaan bersalah dan sedikit kebingungan, apakh benar ini adalah misinya diawal? Setibanya di kediamannya, Arlena merasa gerah. Ia membuka jendela, membiarkan udara malam masuk, namun ternyata itu tidak cukup untuk menenangkan pikiran. Ia akhirnya keluar ke halaman kecil yang telah disediakan untuknya. Di bawah langit yang gelap dan udara malam yang dingin, Arlena berdiri termenung, menatap taman kecil di hadapannya. Ia merasa terombang-ambing antara keinginan untuk melindungi Klan Altheria dan ketidaksukaannya pada a
Pagi itu, suasana di istana dipenuhi ketegangan. Para menteri, dengan ekspresi serius dan penuh kewaspadaan, berkumpul di ruang sidang kerajaan. Raja Kael duduk di singgasananya, menatap para menteri dengan tajam, sementara kasim kerajaan mengumumkan alasan pertemuan mendadak ini.Seorang menteri senior, Lord Arven, melangkah maju. “Yang Mulia, kami menemukan sesuatu yang tidak bisa kami abaikan. Kami meminta izin untuk segera menyampaikan temuannya.”Kael menggerakkan jarinya, memberi isyarat agar mereka melanjutkan.Seorang pengawal datang membawa sebuah buku tua dengan sampul berwarna hitam yang terlihat sudah usang. Menteri yang lain, Lord Gendric, mengambil alih dan berkata dengan suara tegas, “Buku ini ditemukan tersembunyi di dalam loker milik Kepala Dapur yang telah ditangkap. Kami menganggap ini sebagai bukti kuat bahwa Kepala Dapur memang terlibat dalam kebohongan yang mengancam keselamatan kerajaan.”Para menteri yang lain mengangguk setuju.Lord Arven melanjutkan, “Buku in
Lior kembali ke istana dalam keadaan lelah, namun dia tetap menjaga sikapnya saat berjalan menuju ruang kerja Raja Kael. Setelah mendapatkan izin masuk, dia langsung memberi hormat. Raja Kael menatap tajam. “Bagaimana?” Lior menghela napas. "Saya sudah menemukan jejaknya, Yang Mulia.Tetapi masalahnya lebih rumit dari yang kita duga. Ada lebih banyak pihak yang terlibat, dan mereka tidak akan membiarkan kita menemukan kebenaran dengan mudah." Raja Kael menyandarkan punggung ke kursi. “Jadi kamu belum mendapatkan informasi lengkap?” "Saya hanya menemukan potongan-potongan informasi, tetapi belum cukup untuk mengambil kesimpulan. Saya ingin meminta izin untuk melanjutkan perjalanan. Saya berjanji akan kembali setelah menemukan jawaban yang kami butuhkan." Raja Kael menatap Lior dengan ekspresi sulit ditebak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Aku memberi izin, tapi tetap berhati-hati. Musuh kita bergerak dalam bayangan." Lior memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan dengan l
Lior terus berjalan tanpa menoleh, tetapi pikirannya penuh dengan pertanyaan. Siapa pria itu? Bagaimana dia tahu namaku? Langkahnya cepat, menembus lorong-lorong gelap Distrik Selatan hingga akhirnya mencapai titik aman di dekat pasar. Dia berhenti sejenak, mengatur napasnya. Buku di balik jubahnya terasa semakin berat, seolah menyimpan rahasia yang bisa menggemparkan kerajaan. Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, seorang anak kecil berlari ke arahnya, menyelipkan secarik kertas ke tangannya dan bergegas kabur tanpa berkata apa-apa. Lior mengerutkan kening kemudian membuka kertas itu. "Jangan kembali ke istana. Mereka sudah tahu kau membawa buku itu." Jantung Lior berdegup kencang. Dia segera melihat sekelilingnya, mencari tanda-tanda bahaya. Siapa yang menulis ini? Apakah ini jebakan? Namun, dia tidak punya waktu untuk menyaring semuanya. Dari persembunyian, dia melihat beberapa pria berpakaian sama dengan bandit yang menghalanginya tadi berjalan cepat menuju ke a
Lior berdiri diam di lorong sempit itu, napasnya masih memburu setelah pertarungan berlangsung. Melihat sekeliling, mencari tanda-tanda ke mana pria yang mencengkeram itu pergi, tapi yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan yang berbaur dengan kegelapan malam. "Sial," Lior mengumpat pelan. Orang itu muncul entah dari mana, membantunya, lalu menghilang begitu saja. Tapi dia tidak bisa membuang waktu. Dia masih punya tugas. Dengan langkah cepat, Lior melanjutkan pencariannya. Namun, rasa penasaran tentang pria misterius itu terus mengganggu pikiran. Dia pernah melihat gaya bertarung seperti sebelumnya—cepat, presisi, dan tanpa senjata. Itu bukan teknik sembarangan. Setelah beberapa waktu berjalan, Lior menemukan dirinya di sebuah distrik yang lebih sepi. Rumah-rumah di sini terlihat tua, dengan pintu dan jendela yang sebagian besar tertutup rapat. Lampu-lampu redup dari lilin yang menyala di dalam ruma
Di sudut ruangan yang remang-remang, para menteri duduk melingkar di sekitar meja kayu kasar, gelas-gelas arak memenuhi meja, menciptakan aroma tajam yang bercampur dengan asap dari lampu minyak yang menggantung di langit-langit rendah. “Kita harus bergerak lebih cepat,” kata Menteri Keuangan, suaranya sedikit mabuk namun tetap tajam. "Raja Kael memang cerdas, tapi dia terlalu lambat dalam mengambil keputusan. Kita bisa mengendalikan situasi sebelum dia menyadarinya." Seorang menteri lain tertawa pelan, meneguk araknya sebelum berbicara. "Kau benar. Lihat saja tadi di ruang sidang, dia hanya diam seperti anak kecil yang kehilangan mainannya." Mereka tertawa, suara mereka menggema di ruangan itu. "Tapi ada satu hal yang perlu kita tuntaskan," lanjut Menteri Keuangan, suaranya merendah. "Buku itu. Kita harus menemukan penulisnya lebih dulu sebelum Raja mendapatkannya. Jika orang itu masih hidup, dia bisa menjadi ancaman bagi rencana kita." “Aku akan mengutus pengawalku,” sambi
Pagi itu, suasana di istana dipenuhi ketegangan. Para menteri, dengan ekspresi serius dan penuh kewaspadaan, berkumpul di ruang sidang kerajaan. Raja Kael duduk di singgasananya, menatap para menteri dengan tajam, sementara kasim kerajaan mengumumkan alasan pertemuan mendadak ini.Seorang menteri senior, Lord Arven, melangkah maju. “Yang Mulia, kami menemukan sesuatu yang tidak bisa kami abaikan. Kami meminta izin untuk segera menyampaikan temuannya.”Kael menggerakkan jarinya, memberi isyarat agar mereka melanjutkan.Seorang pengawal datang membawa sebuah buku tua dengan sampul berwarna hitam yang terlihat sudah usang. Menteri yang lain, Lord Gendric, mengambil alih dan berkata dengan suara tegas, “Buku ini ditemukan tersembunyi di dalam loker milik Kepala Dapur yang telah ditangkap. Kami menganggap ini sebagai bukti kuat bahwa Kepala Dapur memang terlibat dalam kebohongan yang mengancam keselamatan kerajaan.”Para menteri yang lain mengangguk setuju.Lord Arven melanjutkan, “Buku in
Arlena menghela nafas pelan, mencoba mengusir kebingungan dalam pikirannya. Ia masih memikirkan isi buku yang diberikan oleh Tuan Raad. Dirinya baru tahu ternyata Klan Altheria bukan sekadar klan biasa—mereka memiliki ambisi besar, sesuatu yang bahkan Arlena sendiri tidak yakin apakah ini yang ia ingin perjuangkan. Arlena menutup buku itu perlahan, membiarkan pikirannya mengembara saat ia kembali ke kerajaan. Namun, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Ada perasaan bersalah dan sedikit kebingungan, apakh benar ini adalah misinya diawal? Setibanya di kediamannya, Arlena merasa gerah. Ia membuka jendela, membiarkan udara malam masuk, namun ternyata itu tidak cukup untuk menenangkan pikiran. Ia akhirnya keluar ke halaman kecil yang telah disediakan untuknya. Di bawah langit yang gelap dan udara malam yang dingin, Arlena berdiri termenung, menatap taman kecil di hadapannya. Ia merasa terombang-ambing antara keinginan untuk melindungi Klan Altheria dan ketidaksukaannya pada a
Arlena berjalan keluar dari istana melalui pintu belakang, melewati lorong-lorong gelap yang jarang dilalui. Ia mengenakan jubah sederhana untuk menyamarkan identitasnya. Udara malam terasa dingin, dan jantung penuh kegelisahan. Ia tahu risiko yang diambilnya sangat besar, tetapi ia tidak bisa diam saja. Ia harus mencari cara untuk menyelamatkan Kepala Dayang dari tuduhan palsu. Namun, tanpa disadari, seseorang telah mengikuti sejak ia keluar dari istana. Langkah kakinya semakin cepat ketika ia menyadari ada suara langkah lain yang terdengar di belakangnya. Arlena menoleh sekilas, melihat sosok pria berpakaian hitam yang berjalan dalam bayang-bayang. Jantungnya berdegup kencang. Ia mempercepat langkahnya, berusaha mencari jalan keluar ke arah perkampungan penduduk. Tiba-tiba, pria itu melompat ke arahnya, mencoba menarik tangannya. Arlena tersentak, berusaha melawan dan melepaskan diri. “Lepaskan aku!” teriaknya, tetapi pria itu semakin kuat menggenggam pergelangan tangannya. Deng
Raja Kael berjalan cepat menuju kediaman Ibu Suri, langkahnya mantap namun ada ketegangan yang tersembunyi di balik ekspresinya. Laporan dari Kasim membuatnya tidak tenang, terlebih lagi ini menyangkut seseorang yang—meskipun sering bertentangan dengannya—tetaplah bagian dari keluarganya di istana.Saat tiba di sana, para tabib dan asisten tabib yang berkumpul di sekitar tempat tidur Ibu Suri segera memberi jalan. Sang wanita paruh baya terbaring di atas ranjang mewahnya, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Kael mendekat, matanya menajam melihat kondisi Ibu Suri yang tampak lebih lemah dari biasanya."Kenapa bisa seperti ini? Siapa yang berani melakukan nya?" suara Kael dingin, namun terselip kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Tabib utama yang berdiri di dekat kepala tempat tidur segera menundukkan kepala sebelum menjawab, "Yang Mulia, setelah kami memeriksa, kami menemukan bahwa makanan Ibu Suri mengandung racun. Untung saja para dayang yang bersamanya seg
Salah satu menteri yang bernama Lord Gregor, seorang penasihat senior yang telah lama mengabdi pada kerajaan, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi tidak suka. “Yang Mulia, mengapa tiba-tiba membahas tentang Klan Altheria? Kita semua yang ada disini, bahkan semua orang yang ada di negeri ini tidak akan pernah mau membahas klan yang terkutuk itu. Klan yang sudah berusaha menghancurkan pondasi di negeri ini!" Kael tetap tenang, meskipun ia dapat merasakan ketegangan yang muncul di antara para menterinya. “Aku ingin mengetahui kebenaran tentang peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan ayahku. Aku ingin semua bukti yang ada terkait klan tersebut. Aku tidak ingin ada rakyatku menderita di negeri ini hanya karena sebab dongeng masa lalu." Lord Gregor berdeham sebelum menjawab. “Yang Mulia, tidak perlu membangkitkan masa lalu yang telah terkubur. Klan itu melakukan pemberontakan terhadap kerajaan. Mereka menolak pajak yang ditetapkan, menghasut rakyat untuk melawan, dan pada a