“Jadi, Pak Hans mengambil semua sisa cuti untuk pulang ke Indonesia?”
“Iya. Saya masih mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu,” jawab Hans sambil merapikan pakaiannya dari dalam koper.
“Mengundurkan diri? Kenapa?”
“Kamu ingin tahu?”
“Oh, tidak juga.” Cuek sebenarnya bukan sifat aslinya. Dulu, Maya adalah wanita yang periang dan murah senyum. Semenjak anaknya meninggal, dia merasa sangat terpukul dan mulai menutup diri.
“Ingin makan sesuatu? Kita belum sarapan, ‘kan?”
Mata Maya melihat kearah dapur yang kosong melompong. “Sepertinya tidak ada apa-apa di dapur?”
Hans mencoba memahami maksud Maya. “Maksudku apakah kamu mau saya pesankan makanan?”
Maya sedikit tersentak dengan tawaran tersebut, menyadari kalau dia kurang fokus. “B-boleh.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Hmm, saya ingin sarapan yang sederhana saja. Mungkin seperti croissant dengan secangkir kopi? Bagaimana?”
Hans tersenyum ramah, "Baiklah, saya akan memesannya."
Dia segera mengambil ponsel dan mulai memesan makanan dari kafe terdekat. Maya duduk di ruang tamu, merasa agak canggung dengan situasi yang sedang terjadi. Dia mencoba merapikan pikirannya dan menenangkan diri.
Dalam hati Maya berkata, “Tenang, Maya. Kamu hanya melakukan ini karena dia meminta bantuanmu. Kamu melakukannya juga karena untuk menghargainya. Tidak perlu secanggung ini, tenanglah.”
Sementara itu, Hans ternyata merasakan hal yang sama. Dia merasa gugup dan dalam hatinya berpikir, “Aku tidak boleh terlihat kaku atau terlalu frontal. Cobalah untuk menjadi lebih santai, Hans. Lakukan seperti yang Maya ucapkan tadi. Lakukan secara natural, jangan terlalu frontal, oke?”
Beberapa saat kemudian bel pintu berbunyi, menandakan kedatangan pengantar makanan. Hans segera membukakan pintu dan seorang wanita yang berdiri di depan pintu membuatnya diam terpaku. “Rachel?”
“Ternyata benar kamu di sini?”
“Dari mana kamu tahu?”
“Jangan bertanya seperti itu kalau kamu kenal betul siapa ayahku.”
“Ada perlu apa?”
“Tidakkah lebih baik kamu persilahkan aku untuk masuk dulu?”
“Aku sedang ada tamu.”
Setelah beres menyiapkan piring, Maya penasaran kenapa Hans lama sekali, jadi dia berjalan dan mengintip ke arah pintu. “Ternyata benar. Pantas saja aku seperti mendengar suara perempuan,” ucap Maya pelan setelah melihat seorang wanita yang menatapnya dari kejauhan.
“Siapa wanita itu?” tanya Rachel saat melihat Maya yang mengintip. “Apa itu targetmu selanjutnya?”
Dengan cepat Hans menarik Rachel keluar dari apartemennya, meninggalkan Maya tanpa pamit lebih dulu. Mereka bahkan adu mulut saat di lift sampai ke dalam mobil yang Rachel naiki.
“Tidak bisa begitu! Kamu harus ingat janjimu dengan ayahku!” bentak Rachel.
“Tentu saja aku mengingatnya. Tapi bukan dia orangnya.”
“Kenapa? Memangnya dia siapa?”
“Itu bukan urusanmu. Intinya, aku tidak mungkin membawanya pada ayahmu.”
“Hah, aku merasa dihina karena kamu mengencani wanita seperti itu setelah putus dariku.”
“Jangan libatkan dia ke dalam masalah kita.” Hans berhenti setelah berhasil keluar dari mobil itu.
***
Maya sudah mulai terbiasa untuk tidak ikut campur dan tidak penasaran dengan urusan orang lain. Namun kali itu dia terus memikirkan kejadian tadi. Bertanya-tanya siapa wanita itu? Apakah Hans mencoba mempermainkannya?
Segelas kopi panas diseruput perlahan. “Ah, sudah kuduga. Mana mungkin Pak Hans mencitaiku? Dia hanya penasaran karena aku selalu cuek padanya. Untung saja aku tidak mudah jatuh cinta.”
Berkat Hans, Maya dapat kembali memakan donat setelah sekian lama menghindarinya. Kali itu, secangkir kopi pahit hampir habis padahal 2 donat gula belum disentuh sama sekali. Saat hendak memakannya, ponselnnya berdering.
“Aidan?” dengan tangan gemetar, Maya mengangka panggilan itu.
“Halo, May? Ini aku, Aidan. Aku rasa kamu sudah menghapus nomor teleponku?”
“Tidak, aku masih menyimpannya. Ada apa menghubungiku pagi-pagi begini?”
“Bagaimana kabarmu?”
“Kabarku baik.”
“Di mana kamu sekarang.”
“Aku sudah di Indonesia. Terima kasih bunganya.”
“Aku akan belikan bunga yang segar lain waktu.”
“Tidak masalah, aku masih menyukainya walau bunganya sudah layu.” Berbeda dengan saat bersama Hans. Dengan Aidan, Maya banyak bicara dan tidak cuek sama sekali.
“Kita memang sudah resmi berpisah. Tapi, bolehkah kalau aku sering-sering menghubungimu?”
“Tidak masalah selama tidak ada yang marah.”
“Aku masih sendiri sekarang. Bagaimana denganmu?”
“Aku juga,” jawab Maya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kebingungannya.
“Aku rasa kamu tidak sendiri di sana. Pasti ada banyak orang yang peduli padamu.”
“Tentu saja. Tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa aku merasa sendiri dan kesepian.”
Mereka sudah berpacaran 3 tahun dan menjalin rumah tangga selama 4 tahun. Aidan bisa dengan mudah mengetahui apa yang Maya rasakan hanya dengan mendengar suaranya. “Kamu baik-baik saja? Sepertinya tidak. Ada masalah apa?”
Maya diam sejenak. “Aku hanya sedang takut untuk jatuh cinta lagi. Mungkin karena trauma, takut kehilangan lagi. Menurutmu, apa hal itu akan menyakiti orang lain?”
"Maya, aku paham bahwa kamu telah mengalami banyak hal yang sulit. Setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Kamu juga harus percaya bahwa tidak semua orang akan menyakitimu. Kamu sendiri yang menentukan ingin hidup dengan siapa dan seperti apa. Jangn terlalu mengkhawatirkan hal itu.”
“Sepertinya, sampai saat ini memang hanya kamu yang bisa membuatku merasa tenang disaat cemas.”
“Aku senang jika kamu mengandalkanku.”
“Aidan, bisakah kita ….”
Wanita yang datang bertamu pada Hans tadi, datang dan menyapa Maya dengan sopan. “Salam kenal. Saya Rachel, mantan kekasih Hans.”
“Oh, salam kenal.”
Rachel menunjukkan senyum ramah. “Bisa kita bicara sebentar?”
“Maaf, saya harus pergi sekarang. Bisakah kita bicarakan nanti?" Maya mencoba mengatasi kecanggungannya, meskipun hatinya berdebar kencang.
“Saya hanya ingin mengatakan kalau Hans bukan pria yang baik. Berhati-hatilah dengannya.”
***
Beberapa kali ditelepon, tidak diangkat. Pesan juga tidak dibaca apalagi di balas. Hans memutuskan untuk menunggu di depan rumah Maya. Namun, dia menyadari sikapnya yang sepertinya terlalu berlebihan.
“Sepertinya Maya akan risih kalau aku menunggunya seperti ini.”
Nyatanya, beberapa menit setelah Hans pergi, Maya datang bersama seorang wanita. Dia adalah Lisa, sahabatnya sejak masih sekolah. Maya meminta Lisa tinggal bersamanya untuk beberapa hari.
Ketika sedang menyapu halaman, Lisa menemukan sesuatu. “Maya, ini milikmu?”
Sebuah pulpen tergeletak di tengah rerumputan. Pulpen itu sangat tidak asing baginya. Tentu Maya tau siapa pemiliknya, ditambah lagi selalu ada nama di badan pulpen tersebut. “Oh, itu puplen Pak Hans.”
“Siapa dia?”
“Mantan atasanku. Mungkin tadi dia ke sini. Aku akan mengembalikannya jika bertemu nanti.”
“Benar hanya sebatas rekan kerja?”
“Benar, Lis.”
“Ingat, ya? Jangan terburu-buru jatuh cinta. Kamu harus menenangkan dirimu dulu sebelum melangkah lebih jauh di kehidupan barumu nantinya,” pesan Lisa sambil tersenyum. "Maksudku, kamu baru saja melewati masa yang sulit. Mungkin ini waktu yang tepat untuk fokus pada dirimu sendiri dan memperbaiki diri.”
Maya mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan Lisa. "Aku akan mencobanya. Tidak ingin terjebak lagi dalam masalah yang sama."
“Kalau begitu mandilah dulu. Aku akan membuatkan makan malam untukmu.”
“Wah, akhirnya aku bisa merasakan lagi masakan seorang chef terkenal,” canda Maya.
Lisa sibuk di dapur dan Maya masih menyelesaikan pekerjaannya menyapu halaman. Sesuatu yang janggal membuat Maya tak tenang. Dia merasa seperti sedang dipantau. Merasa seolah-olah ada mata yang memperhatikannya dari kejauhan, membuatnya merasa tidak nyaman.
Maya berusaha menepis perasaan takutnya. Mungkin hanya imajinasinya yang berlebihan setelah mendapat peringatan dari Rachel tadi. Ketika hendak masuk ke dalam rumah, Maya merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.
Maya berbalik cepat dan mendapati seorang pria berdiri di sana. “Reza?”
"Reza?""Apa aku membuatmu terkejut?""O-oh, t-tidak.""Ada apa? Apa terjadi sesuatu?""T-tidak." Maya membuka pintu rumahnya. "Ayo, silahkan masuk. Lisa sedang membuat makan malam."Dengan langkah panjangnya, Reza masuk dan langsung menemui Lisa di dapur. "Kamu menangis? Ada apa?" tanya Reza pada kekasihnya itu."Kamu benar akan pergi sekarang?""Iya. Ini perintah dari Aidan.""Tidak bisakah kamu beri aku kepastian kapan akan kembali?""Aku sendiri tidak tahu. Tapi, aku janji akan selalu menghubungimu."Melihat betapa lembutnya sikap Reza terhadap Lisa, membuat Maya teringat kenangan masa lalunya. Dia kembali masuk ke kamar sang anak lalu melamunkan hal yang selalu membuatnya menangis."Dulu, sikap Aidan yang lembut dan tulus sangat membuatku yakin kalau kita akan terus bersama. Namun nyatanya, kita berakhir seperti ini."Pintu kamar terbuka lebar, Reza bicara empat mata pada mantan istri dari atasannya tersebut. "Kamu tidak menginginkannya?""Entahlah. Aku hanya mengikuti kata hati.
Karena hujannya terlalu deras, Maya tidak dapat melihat apa-apa di luar. Hans baru terlihat saat sudah sampai di gerbang rumah. Maya mendekatinya, tidak peduli seluruh tubuhnya yang akan basah kuyup. Dia dengan cepat membantu pria berusia 27 tahun itu untuk masuk ke dalam rumah yang berantakan karena pecahan kaca.Dengan kakinya yang tanpa alas, Hans menyingkirkan pecahan kaca itu agar Maya tidak menginjaknya. “Hati-hati kakimu.”"Lisa, tolong bawakan air hangat dan handuk kecil. Aku akan mengambil kotak obat," perintah Maya dengan tubuh sedikit menggigil.Setelah mengambilnya, Lisa langsung membersihkan darah dari lengan Hans. "Maaf, ya?"Maya menemukan yang dia cari. Terlebih dahulu dia lihat tanggal kadaluarsa obat tersebut. Saat dirasa aman, Maya membersihkan luka gores itu dengan alkohol kemudian diteteskan obat merah.Lukanya lumayan panjang dan dalam. Namun Maya tidak mendapati Hans meringis kesakitan. "Tidak sakit?""Tentu saja sakit.""Kamu terlihat baik-baik saja?""Hanya ti
Berusaha untuk tidak sedih, namun hatinya terasa sesak setiap kali datang ke kafe itu. Sudah tahu begitu, Maya tetap saja mampir ke sana setiap harinya walau hanya sekedar minum kopi. Berkat Hans, dia bisa kembali memakan donat yang sudah lama tidak berani dilakukannya.Aidan. Tiba-tiba pria itu terlintas dipikirannya. Ketika ingat dengan sang anak, Maya juga jadi teringat dengan Aidan. Dia membuka ponselnya, mencari room chat milik Aidan yang kosong. Padahal, Maya selalu menyimpan riwayat chatnya dengan Aidan sejak mereka pacaran. Namun setelah bercerai, semuanya sengaja dia hapus. Meninggalkan penyesalan yang terus mengganggu hatinya.“Bagaimana, ya? Apa aku cari pekerjaan di tempat lain saja?”Awalnya, Maya yakin dia akan diterima si perusahaan itu. Keberadaan Rachel sebagai manager di sana membuat Maya berpikir untuk mundur sebelum nantinya bergabung.Sebuah pesan masuk dari Hans tidak pernah langsung dibuka. Setelah beberapa menit, Maya baru membukanya. “Jalan-jalan?” ucap Maya s
“Sudah kubilang, ini hanya luka biasa.”“Setidaknya aku mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri. Sepulangnya dari rumah sakit, Hans kembali mengingatkan Maya perihal jalan-jalan.“Jadi, kita mau ke mana sekarang?”“Aku akan mengantarmu pulang.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”“Oh, iya, kamu sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... aku sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”Hans berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. "Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin aku diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah aku urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, ya, Hans?"Hans merasa lega karena Maya terlihat percaya. Namun, i dalam hatinya dia tahu
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut. “Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan bersama dia.” "Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.” Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya. Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu." “Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga berjanji untuk mengajak kami ke sini.” Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kamu ingin kita pergi ke tempat lain saja?” “Tidak perlu, Hans. Aku senang be
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Mulutnya terasa kaku, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Maya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir tidak semudah itu untuk kembali seperti dulu."Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Aku hanya merindukanmu dan ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya."“Kita bercerai memang bukan karena tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan bersama. Dan sejak itu, kita telah menjalani kehidupan masing-masing.”“Jadi maksudmu, kamu masih mencintaiku?”Maya menghela napas dan melanjutkan ucapannya karena tidak mendengar res
Reza dengan teliti merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
Marco melangkah mendekat, tersenyum keji di hadapan Maya yang semakin gelisah. "Kamu penasaran tentang Hans, ‘kan? Kami memiliki sesuatu yang harus kamu ketahui tentangnya, tentang sisi gelap dia yang sebenarnya," ujarnya dengan nada menggoda."Apa yang kamu lakukan pada Hans? Di mana dia sekarang?" desaknya dengan suara gemetar. Dengan wajah penuh ketakutan, Maya mencoba keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Marco. “Lepaskan aku!"“Hans keras kepala. Dia mulai berani mengabaikan dan menentang perintahku. Saya pikir, kamu pasti bisa membuatnya kembali padaku?”“Omong kosong!”“Hans bukanlah pria baik seperti yang kamu kenal. Jika kamu berpikir kami seorang penjahat, maka begitu juga dengan Hans karena dia juga merupakan bagian dari kami. Dia tidak lebih dari seorang boneka dan kaki tangan kami."“Kamu pikir saya percaya?”“Hidupmu tidak akan aman kalau masih berhubungan dengan Hans. Sudah banyak kriminalitas yang dia lakukan. Kamu yakin akan bahagia bersamanya? Pikirkan baik-bai
Walau berada di samping Aidan, yang ada di bayangan Maya tetaplah Hans. Pria itu tidak ada kabar dan tidak dapat dihubungi sejak meninggalkan Indonesia. Maya tidak memberitahunya, namun Aidan mengetahui kecemasannya itu.“Di mana dia sekarang?” tanya Aidan sembari menuang kopi yang Maya buat.“Di Swiss.”“Untuk apa dia ke sana?”“Urusan pekerjaan.”“Aku pikir dia ingin melarikan diri?” Maya menatap Aidan dengan tatapan dinginnya. “Kenapa menatapku seperti itu?”“Dia tidak seburuk yang kamu pikirkan, Aidan.”“Menjadi kaki tangan seorang mafia adalah hal yang sangat buruk.”Sepertinya, Aidan telah banyak tahu tentang Hans, sedangkan Maya belum banyak mengetahuinya. “Soal Ayren, tolong jangan beritahu padanya tentang hubunganku dengan Hans.”“Memangnya kenapa kalau dia tahu?”“Aku mohon, Aidan.”“Kamu banyak memohon padaku demi pria itu?” Aidan meletakkan cangkirnya dan berhadapan dengan Maya. “Katakanlah semuanya. Katakan kamu ingin aku melakukan apa lagi?”Maya menelan air liurnya leb
Setelah berpikir matang-matang, Aidan memutuskan untuk kembali ke Indonesia, memulangkan semua karyawannya juga. Walau tanpa persetujuan dari sang asisten, Aidan tetap teguh dengan keputusannya. Keras kepala memang. Kata Reza, itulah Aidan.“Biarkan mereka kembali ke Indonesia paling lambat lusa,” perintah Aidan pada Reza mengenai para karyawannya.“Bagaimana denganmu?”“Aku akan tetap pergi hari ini. Tiketnya sudah di pesan, ‘kan?”“Sudah.”Aidan dan Reza lanjut berkemas. Reza mengecek semua koper dan barang bawaan Aidan. Selain keras kepala, Aidan juga sangat ceroboh dan pelupa. Dua jam lagi menuju waktu keberangkatan. Reza sudah siap pergi, sedangkan Aidan masih sibuk di meja kerjanya.“Sungguh akan pergi hari ini?”“Jangan bertanya lagi. Aku sudah mulai kesal denganmu,” jawab Aidan dengan mata yang masih fokus ke layar monitornya.“Bagaimana dengan proyek yang sedang berjalan?”“Aku sudah hubungi klien yang bersangkutan. Kamu tenang saja.”“Demi Maya kamu melakukan semuanya?” Pert
Maya tidak benar-benar mengatakannya. Dia hanya tidak ingin Aidan masuk ke dalam masalah itu. Untuk ucapannya pada Hans pun tidak dengan jujur dia katakan. Maya tidak akan menjauhi Hans, karena dia merasa mulai jatuh cinta padanya. Terdengar mustahil memang, jatuh cinta walau sudah tahu kalau pria itu adalah seorang penjahat. Maya sendiri juga bingung dengan hatinya yang tiba-tiba memilih Hans.“Kamu masih belum mau jujur padaku?” tanya Lisa kesekian kalinya.Sudah berjam-jam Maya hanya duduk dan tiduran di kasur milik anaknya. Tidak keluar kamar, sekalipun untuk sekedar makan. Dia terus menggenggam ponselnya, seperti menunggu sesuatu.“Aku sudah bilang, aku akan merahasiakannya dari Reza. Aku tidak akan mengatakan apa pun padanya,” lanjut Lisa.Masih tetap sama, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Maya. Sejujurnya, dia sedang berpikir karena bingung harus mengatakan semuanya pada Lisa atau memilih untuk tetap diam. Setelah beberapa saat, Maya mengangkat kepalanya dan menatap Lis
Sudah hampir dua jam Maya menunggu dengan gelisah di ruang tunggu apartemen, namun Hans tak kunjung datang. Ponselnya tidak aktif, membuat Maya sulit menghubunginya. Maya memutuskan untuk pulang, namun ucapan terakhir Hans terus berputar di pikirannya.“Tapi, aku tidak bisa diam saja. Aku tidak dapat menghubunginya dan tidak tahu kabarnya. Aku tidak bisa menunggu lagi. Bagaimana, ya?”Maya tidak peduli dengan permintaan Hans. Baru saja sampai rumah, Maya berniat untuk pergi ke kantor polisi. Namun, sebuah bunga mawar putih yang ada di kursi samping membuatnya teringat pada seseorang.“Aidan?”Tangannya dengan cepat mengambil ponsel untuk menelepon Aidan. Hanya mantan suaminya itu yang ada di pikirannya untuk dia pintai bantuan. Namun, Aidan tidak dapat dihubungi. Maya putus asa. Dia baru sadar kalau telah secemas itu pada Hans, seorang pria yang pernah dia tolak cintanya.“Tumben sekali Aidan tidak bisa dihubungi? Ada apa dengannya, ya?”Pikiran Maya terbagi antara kekhawatiran Hans d
Marco melangkah mendekat, tersenyum keji di hadapan Maya yang semakin gelisah. "Kamu penasaran tentang Hans, ‘kan? Kami memiliki sesuatu yang harus kamu ketahui tentangnya, tentang sisi gelap dia yang sebenarnya," ujarnya dengan nada menggoda."Apa yang kamu lakukan pada Hans? Di mana dia sekarang?" desaknya dengan suara gemetar. Dengan wajah penuh ketakutan, Maya mencoba keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Marco. “Lepaskan aku!"“Hans keras kepala. Dia mulai berani mengabaikan dan menentang perintahku. Saya pikir, kamu pasti bisa membuatnya kembali padaku?”“Omong kosong!”“Hans bukanlah pria baik seperti yang kamu kenal. Jika kamu berpikir kami seorang penjahat, maka begitu juga dengan Hans karena dia juga merupakan bagian dari kami. Dia tidak lebih dari seorang boneka dan kaki tangan kami."“Kamu pikir saya percaya?”“Hidupmu tidak akan aman kalau masih berhubungan dengan Hans. Sudah banyak kriminalitas yang dia lakukan. Kamu yakin akan bahagia bersamanya? Pikirkan baik-bai
Reza dengan teliti merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Mulutnya terasa kaku, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Maya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir tidak semudah itu untuk kembali seperti dulu."Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Aku hanya merindukanmu dan ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya."“Kita bercerai memang bukan karena tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan bersama. Dan sejak itu, kita telah menjalani kehidupan masing-masing.”“Jadi maksudmu, kamu masih mencintaiku?”Maya menghela napas dan melanjutkan ucapannya karena tidak mendengar res
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut. “Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan bersama dia.” "Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.” Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya. Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu." “Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga berjanji untuk mengajak kami ke sini.” Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kamu ingin kita pergi ke tempat lain saja?” “Tidak perlu, Hans. Aku senang be
“Sudah kubilang, ini hanya luka biasa.”“Setidaknya aku mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri. Sepulangnya dari rumah sakit, Hans kembali mengingatkan Maya perihal jalan-jalan.“Jadi, kita mau ke mana sekarang?”“Aku akan mengantarmu pulang.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”“Oh, iya, kamu sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... aku sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”Hans berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. "Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin aku diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah aku urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, ya, Hans?"Hans merasa lega karena Maya terlihat percaya. Namun, i dalam hatinya dia tahu