Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia
“Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.
Maya duduk di sudut ruang kerjanya, matanya terfokus pada sebuah buku gambar yang penuh dengan sketsa baju anak-anak. Tangannya perlahan membelai desain terakhir, menggambar detail kecil dengan penuh hati-hati. Seolah berbicara pada seseorang, dia berbisik dengan suara yang gemetar.“Apakah Mama berhasil, Nak? Empat puluh desain baju anak untuk pameran bulan depan. Semua ini untuk kamu.” Senyum pahit menghiasi wajahnya, tetapi air matanya tak terbendung lagi. “Mama harap kamu lihat dan menyukainya.”Sebuah ketukan lembut di pintu memecah lamunannya. “Apa saya mengganggu?”“Oh, Pak Hans? Ada perlu apa?”“Kenapa kau belum pulang?”“Saya akan segera pulang.”Dengan sikap tenang, Hans melangkah masuk dan menatap sketsa-sketsa di meja kerja karyawan terbaiknya itu. "Desainmu luar biasa.”Tiba-tiba, ponsel Maya berbunyi, menandakan masuknya sebuah email. Dia mengangkat alis, lalu memeriksa layar ponselnya. Wajahnya berubah saat membaca isi email tersebut."Maaf, Pak Hans. Saya harus pergi,"
Sama sekali tidak ada niat untuk menjual rumah tersebut. Rumah yang baru ditempati selama 4 tahun itu menyimpan banyak sekali kenangan yang selalu mengingatkannya pada kesedihan mendalam. Kamar sang anak yang sudah dirancang dengan baik, hanya ditempati beberapa tahun saja. Meninggalkan banyak mainan, baju, dan foto yang kembali membuat air matanya mengalir deras.“Nak, Mama pulang. Maaf sudah membuatmu menunggu lama.” Maya membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan seprai bermotif bunga sakura tersebut.Seorang ibu yang selama dua tahun hidup penuh kekhawatiran karena anaknya tinggal jauh di Swiss dengan membawa luka yang teramat, akhirnya bisa merasakan lega dihatinya. Namun, tidak menyangka kalau anak semata wayangnya itu pulang dengan masih larut dalam kesedihan. Tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya dia selama di Swiss, hidup sendiri dan menyimpan lukanya sendiri."Maaf Maya sudah membuat Ibu khawatir selama ini.”"Kau bahagia di sana?""Setiap hari aku berusaha untuk selalu
“Jadi, Pak Hans mengambil semua sisa cuti untuk pulang ke Indonesia?”“Iya. Saya masih mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu,” jawab Hans sambil merapikan pakaiannya dari dalam koper.“Mengundurkan diri? Kenapa?”“Kau ingin tahu?”“Oh, tidak juga.” Cuek sebenarnya bukan sifat aslinya. Dulu, Maya adalah wanita yang periang dan murah senyum. Semenjak anaknya meninggal, dia merasa sangat terpukul dan mulai menutup diri.“Mau makan sesuatu? Kita belum sarapan, ‘kan?”Mata Maya melihat ke arah dapur yang kosong melompong. “Sepertinya tidak ada apa-apa di dapur?”“Maksud saya, apakah mau saya pesankan makanan? Apa yang kau inginkan?”“Hmm, saya ingin sarapan yang sederhana saja. Mungkin seperti croissant dengan secangkir kopi?”"Baiklah.”Hans segera mengambil ponsel dan mulai memesan makanan dari kafe terdekat. Maya duduk di ruang tamu, merasa agak canggung dengan situasi yang sedang terjadi. Dalam hati Maya berkata, “Tenang, Maya. Kau hanya melakukan ini karena dia m
"Ayo, silakan masuk. Lisa sedang membuat makan malam."Langkah panjang membawa Reza masuk ke dalam rumah. Tanpa basa-basi, dia langsung menuju dapur, tempat Lisa sedang menyiapkan makanan. “Kau menangis? Ada apa?” tanyanya pada sang kekasih."Kau benar-benar akan pergi sekarang?""Iya. Ini perintah dari Aidan.""Tidak bisakah kau beri aku kepastian kapan akan kembali?""Aku sendiri tidak tahu. Tapi, aku janji akan selalu menghubungimu."Melihat bagaimana lembutnya cara Reza berbicara pada Lisa, membuat ingatan lama perlahan menguasai pikiran Maya. Tanpa berkata apa-apa, dia masuk ke kamar yang dulu menjadi tempat anaknya bermain."Dulu, sikap Aidan yang lembut dan tulus selalu membuatku yakin kalau kami akan terus bersama. Namun nyatanya, kami berakhir seperti ini."Pintu kamar terbuka lebar, Reza bicara empat mata pada mantan istri dari atasannya itu. “Kau ragu berpisah dengan Aidan?”"Lagipula semuanya sudah terjadi.”"Ini dari Aidan." Buket mawar putih dengan harum alaminya sangat s
“Pak Hans baik-baik saja?”Maya dengan cepat membantu pria berusia dua puluh delapan tahun itu untuk masuk ke dalam rumah yang berantakan karena pecahan kaca. Hans masih saja peduli dengan menyingkirkan pecahan kaca di lantai agar Maya tidak menginjaknya."Lisa, tolong bawakan air hangat dan handuk kecil. Aku akan mengambil kotak obat.”Maya menemukan yang dia cari. Terlebih dahulu dia lihat tanggal kedaluarsa obat tersebut. Setelah dirasa aman, Maya membersihkan luka Hans dengan alkohol setelah Lisa membersihkannya. Lukanya lumayan panjang dan dalam. Namun Maya tidak mendapati Hans meringis kesakitan."Apakah tidak sakit?""Tentu saja sakit.”"Aku akan membuatkan teh hangat." Lisa langsung pergi ke dapur dengan pencahayaan dari ponselnya."Ini yang saya inginkan, melindungimu,” ungkap Hans.“Terima kasih.”Setelahnya, Maya bangun dan pergi ke kamar untuk mengambil sesuatu. "Maya, jangan terpengaruh. Jangan mudah percaya," ucap Maya pelan sambil mencari baju untuk Hans.Masih ada beber
Sudah hampir dua tahun, rumah yang pernah dia tempati selama lima tahun itu ditinggalkan. Hans dengan sangat ragu dan berat hati, kembali datang ke sana seorang diri. Jika bukan karena Maya, dia tidak akan mau datang lagi ke tempat yang penuh luka itu.“Di mana Tuan Marco?”“Mau apa kau mencarinya?” tanya Vito, senior Hans yang juga bekerja untuk Marco. Dia orang yang pernah sangat melindungi Hans setiap kali Marco memarahinya.“Apa dia sedang tidak di sini?”“Hans, tolong berhenti. Sampai kapan pun, kau tidak akan bisa kabur darinya. Dia mengawasimu selama ini, sekali pun kau ada di Swiss. Dia diam bukan berarti lupa. Dia hanya mencari waktu yang tepat.”“Aku tahu. Aku masih berusaha memenuhi syarat dari Tuan Marco agar bisa segera terlepas darinya.”“Lalu, kau datang ke sini karena sudah berhasil memenuhi syaratnya? Kau sudah menemukan wanita terakhir?”“Di mana Tuan Marco?” tanya Hans lagi, tanpa menjawab pertanyaan itu.“Apa yang ingin kau lakukan? Tolong jangan menentangnya, Hans.
“Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.
Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia
“Kenapa Maya belum datang juga? Apa kau sudah bisa menghubunginya?” tanya Aidan dengan mata yang sedikit tertutup.“Dia belum bisa dihubungi,” ucap Reza. “Oh, mungkin dia sedang antre? Bukankah tadi dia bilang ingin membelikan kita camilan?” Reza berusaha mencairkan suasana.“Benar juga. Sudah, tidak perlu mencemaskannya,” sambung Lisa yang juga berusaha tenang, tidak ingin Aidan khawatir."Aku ngantuk sekali," ucap Aidan lirih sambil memejamkan mata.“Itu pasti karena obat. Kalau begitu, tidurlah,” kata Reza."Kalau Maya sudah datang, tolong katakan padanya untuk jaga diri baik-baik. Jangan menangis lagi. Aku ingin dia bahagia. Tolong kalian juga, jangan pernah meninggalkannya sendirian, selalu temani dia. Lalu, sampaikan juga bahwa aku senang pernah mencintainya. Aku bersyukur pernah menjadi orang yang dia cintai. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."Kalimat itu membuat Lisa, Ayren, dan Reza saling bertukar pandang, terkejut. “Ah, kau ini, melantur saja! Sudah, istir
Maya memutuskan tetap berada di sana, tidur di sofa, dan bangun lebih awal. Duduk di tepi ranjang dan pandangan tertuju pada sosok yang terbaring lemah, dengan tangan yang tergenggam erat.Bayangan masa lalu berkelebat, membawa kembali potongan kenangan yang begitu manis sekaligus menyakitkan. Rasa sesak tiba-tiba menyerang. Dada seperti ditekan oleh beban yang tak terlihat, membuat napas terasa berat. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir deras, membasahi pipi."Kenapa menangis?" tanya Aidan dengan suara lemah.“Kau sudah bangun?”“Ada apa? Kenapa kau menangis?”"Aku ... aku tidak tahu. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba menangis."“Maya, kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Aku di sini. Kalau kau merasa sedih atau takut, aku akan mendengarkan semua keluhanmu,” tutur Aidan sambil menghapus air mata yang membasahi wajah mantan istrinya itu.“Aidan, apa kau ingat kapan pertama kali kita b
“Aku tahu aku bersalah dan aku tidak akan pernah bisa mengganti apa yang hilang darimu, Rachel. Aku minta maaf.”Rachel memalingkan wajah, air mata masih mengalir tanpa henti. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku bahkan tidak sempat mengatakan padanya tentang kehamilan ini. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku membawa bagian dari dirinya."Tangan Maya perlahan terulur, menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Rachel, Hans pasti tidak pernah ingin melihatmu seperti ini, hidup dalam ketakutan dan kesedihan.”“Lalu, apa yang bisa aku lakukan sekarang selain bersembunyi? Aku tidak punya apa-apa lagi dan aku tidak bisa melakukan apapun lagi, Maya. Semua sudah hancur.”“Aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”“Polisi pasti akan menangkapku juga. Selama ini aku melindungi ayahku, walau aku tidak melakukan apa yang dilakukan ayahku. Semua orang pasti berpikir aku sama jahatnya dengan ayahku.”“Polisi hanya menginginkan kesaksianmu. Kau tahu banyak tentang apa yang dilakuka
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti melewati waktu yang tak berujung. Setibanya di bandara, langkah mereka penuh tergesa, mengejar waktu yang seolah bergerak terlalu cepat. Mobil yang menjemput langsung melaju menuju rumah sakit tempat Aidan dirawat.Di lobi rumah sakit, Ayren dan Lisa sudah menunggu. Langkah Maya semakin cepat ketika melihat mereka. “Ayren, Lisa!” panggil Maya.“Kak Maya, Kak Reza? Akhirnya sampai juga,” ucap Ayren pelan, mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan.“Bagaimana keadaan Aidan?” tanya Maya dengan cemas.“Barusan, dokter bilang kondisi Kak Aidan sudah stabil. Tadi sempat drop karena sesak napas, tapi sekarang sudah normal lagi.”Maya menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang sempat mencekiknya. Tanpa berkata banyak, dia meminta izin untuk masuk ke ruangan. Di dalam kamar rawat, suasana terasa sunyi.Sosok yang terbaring di ranjang terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dengan lingkar mata yang gelap. Melihat itu, hati Maya t
“Saya datang untuk mengambil beberapa barang saya yang tertinggal di sini.”Maya kembali ke rumah orang tua Hans untuk mengambil sisa barangnya. Dia datang bersama Reza, yang akan menemaninya atas perintah Aidan.“Silakan. Selama ini, saya tidak apa-apakan kamar itu.” Lina mengantar Maya ke kamar yang pernah ditempatinya beberapa hari itu.Ketika sedang mengemas barang-barangnya, tangannya sedikit gemetar saat hendak mengambil buku jurnal berwarna cokelat yang pernah diberikan Hans. Saat itu, Hans memberikannya disaat Maya sedang frustrasi.“Buku ini … Hans yang memberikannya padaku. Dia bilang, aku bisa mencatat perasaan dan pemikiranku di sini. Hans juga bilang, menuliskan apa yang ada di hati dapat membantu meringankan beban, tapi apakah bisa meringankan rasa rindu?”“Kau merindukannya?” tanya Lina yang duduk di ujung tempat tidur.“Kami tidak selalu bersama. Tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Tapi saat sedang bersamanya, dia selalu bisa membuatku bahagia.”“Apa kau men
Maya hanya melamun di ruang tunggu. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, dan penampilannya lusuh. Pakaiannya masih dipenuhi darah, namun di tutupi oleh jaket yang Zayn berikan. “Maya, bisakah ikut Ayah untuk memberikan keterangan tentang semua ini?” Apa yang Zayn ucapkan sebenarnya di dengar jelas oleh Maya, namun wanita itu sulit fokus. Lisa mendekati sahabatnya itu, memeluknya dari samping dan mencoba bicara pelan. “May, kita tahu kau sangat terpukul dengan semua kejadian ini. Tapi, penjahat itu harus segera diadili. Polisi butuh keterangan darimu untuk menangkap penjahat itu. Bisakah kau ikut Om Zayn untuk memberikan keterangan?” “Apakah mereka benar akan ditangkap?” tanya Maya dengan lesuh. “Tentu saja. Tanpa sisa,” jawab Zayn. “Jangan takut. Kesaksianmu akan dilindungi.” Setelah beberapa saat, mencoba mengerti dan menunggu Maya siap, akhirnya Zayn dan beberapa anak buahnya membawa Maya ke Markas Pasukan Khusus, tempat Marco ditahan untuk penyelidikan. Sesampainya di markas,
Maya terus mengguncang tubuh Hans, berharap keajaiban terjadi. Namun, tubuh Hans tetap tak bergerak. Air mata Maya jatuh tak terkendali, membasahi wajah pria yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkannya.Zayn mendekat, memegang bahu Maya dengan lembut. "Kita harus segera membawanya ke rumah sakit. Dia masih punya peluang.""Dia ... dia tertembak dan itu salahku. Aku tak bisa melindunginya.""Ini bukan salahmu. Tidak ada waktu untuk menyalahkan siapa pun. Percayalah, dia akan bertahan," ujar Zayn tegas sambil memberi isyarat pada timnya untuk membawa Hans keluar.Marco yang tergeletak dengan luka tembak di kakinya, menatap Zayn dengan penuh kebencian. “Kau pikir ini sudah berakhir? Kau tidak tahu apa yang akan datang, Zayn,” katanya dengan tawa getir meski wajahnya menyiratkan kesakitan.“Sudah cukup, Marco. Kau kalah. Permainan ini berakhir untukmu.” Dengan isyarat tangannya, anak buah Zayn memborgol Marco dan m