Karena hujannya terlalu deras, Maya tidak dapat melihat apa-apa di luar. Hans baru terlihat saat sudah sampai di gerbang rumah. Maya mendekatinya, tidak peduli seluruh tubuhnya yang akan basah kuyup. Dia dengan cepat membantu pria berusia 27 tahun itu untuk masuk ke dalam rumah yang berantakan karena pecahan kaca.
Dengan kakinya yang tanpa alas, Hans menyingkirkan pecahan kaca itu agar Maya tidak menginjaknya. “Hati-hati kakimu.”
"Lisa, tolong bawakan air hangat dan handuk kecil. Aku akan mengambil kotak obat," perintah Maya dengan tubuh sedikit menggigil.
Setelah mengambilnya, Lisa langsung membersihkan darah dari lengan Hans. "Maaf, ya?"
Maya menemukan yang dia cari. Terlebih dahulu dia lihat tanggal kadaluarsa obat tersebut. Saat dirasa aman, Maya membersihkan luka gores itu dengan alkohol kemudian diteteskan obat merah.
Lukanya lumayan panjang dan dalam. Namun Maya tidak mendapati Hans meringis kesakitan. "Tidak sakit?"
"Tentu saja sakit."
"Kamu terlihat baik-baik saja?"
"Hanya tidak mau terlihat lemah di depanmu."
"Aku akan membuatkan teh hangat untuk kalian." Lisa langsung pergi ke dapur dengan pencahayaan dari ponselnya.
"Terima kasih sudah menolongku."
Baru saja bangun dari duduknya, Hans menarik tangan Maya dan membuatnya duduk kembali. "Ini yang aku inginkan, melindungimu."
Tidak tahu harus bersikap bagaimana, Maya salah tingkah dan kembali berdiri. Melepaskan tangan Hans perlahan dan langsung masuk ke dalam kamar.
"Maya, jangan terpengaruh. Itu hanya kata-kata manis. Jangan mudah percaya," ucap Maya pelan sambil mencari baju untuk Hans.
Masih ada beberapa kaos yang sengaja Aidan tinggalkan. Hal itu membuat Maya kembali mengingat lelaki yang pernah sangat dia cintai, bahkan sampai saat itu walau hanya sedikit. Kaos berwarna abu-abu yang dia ambil kemudian diberikan kepada Hans.
"Pakailah." Maya meninggalkannya lagi untuk berganti pakaian.
Lisa paham dan menyusul Maya ke kamar agar Hans bisa segera mengganti bajunya. “Dia menyukaimu?"
“Menurutmu bagaimana?”
"Kamu menyukainya, May?"
"Tidak."
"Bagus! Jangan mudah jatuh cinta lagi."
"Tapi tidak tahu bagaimana kedepannya.”
"Maksudmu?"
"Lisa, tolong jangan beritahu Aidan apa yang terjadi sekarang. Aku tidak ingin melibatkan dia dalam masalahku."
***
Memasuki akhir tahun, Kanada mulai dilanda cuaca dingin. Salju menutupi jalan-jalan dan rumah-rumah, menciptakan pemandangan yang indah namun juga menantang bagi para penduduk setempat.
Memang karena alasan pribadinya, Aidan sampai membawa beberapa pekerjanya untuk tinggal di Kanada bersamanya. Dia ingin mencari suasana baru, berharap jauh dari kesedihan. Namun, dia juga tidak ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai CEO di perusahaan game miliknya bernama Celestial Creations.
“Aidan, semua karyawan sudah sampai.”
“Sudah semuanya?”
“Sesuai yang kamu pinta, ada 6 karyawan yang datang. 2 orang dari tim designer, 2 orang dari tim artist, dan 2 orang lagi dari tim animator. Untuk tim programmer, mereka remote working. Benar, ‘kan?”
“Aku bahkan sudah lupa dengan perintahku sendiri.”
“Pekerjaanku sangat sulit karena punya atasan sepertimu, Dan.”
“Bukankah kamu butuh banyak uang untuk menikah?”
Reza menarik napas panjang. “Ah, ada saja jawabanmu.”
Bukan hanya itu, Reza bahkan membersihkan rumah milik teman sekaligus atasannya itu. Sedangkan masak adalah tugas Aidan. Di Kanada, mereka tinggal di tempat yang sama atas perintah Aidan. Untuk beberapa karyawannya dia sewakan sebuah rumah tidak jauh dari tempat kerjanya.
“Aidan, aku sudah menemukan identitas pria itu.”
“Siapa?”
“Sudahlah, dengarkan aku saja,” jawab Reza yang kesal pada bos pelupa itu. “Namanya Hanselino Haris, biasa dipanggil Hans. Dia adalah manager di sebuah perusahaan fashion di Swiss. Maya adalah salah satu karyawannya dan kemungkinan mereka saling kenal karena bekerja di perusahaan tersebut.”
“Oh, pria yang kamu temui di rumah Maya waktu itu?”
Reza kembali menarik napas panjang. “Iya, Aidan.”
“Lalu, apa lagi?”
“Apa lagi yang ingin kamu ketahui?”
“Apakah dia pria yang baik? Cari tahu tentang itu.”
“Jadi, tugasku mencari tahu tentang kepribadiannya?” Pertanyaannya dibalas anggukan oleh Aidan. “Sebenarnya, tugasku itu apa, sih? Aku bekerja di perusahaan game sebagai asisten CEO. Tapi, kenapa aku harus ….”
“Ada bayaran terpisah. Lakukan saja.”
***
Hampir semalaman Hans dan Maya tidak tidur. Pagi harinya, Maya langsung mengantar Hans kembali ke apartemennya. Di sana, dia membuatkan sarapan dan juga menyiapkan obat untuk meredakan nyeri pada luka dilengannya.
“Makanlah dan minum obatnya.”
“Kenapa harus sampai minum obat? Ini hanya luka ….”
“Lukanya panjang dan cukup dalam. Bahkan sepertinya, itu harus di jahit.”
“Kalau begitu, aku minum obat saja.”
“Kamu takut?”
“Hanya tidak ingin membuatmu khawatir.”
“Aku akan khawatir kalau lenganmu infeksi karena tidak periksa ke dokter.”
“Kamu mengkhawatirkanku?” Maya tidak menjawabnya dan malah kembali ke dapur untuk merapikannya. “Baiklah, aku akan periksa ke dokter nanti.”
“Aku akan mengantarmu nanti siang.”
“Memangnya sekarang kamu mau ke mana?”
“Wawancara kerja.”
“Kupikir, kamu akan kembali ke Swiss?”
Tugas yang bukan kewaibannya sudah selesai di lakukan. Maya bersiap untuk segera pergi. “Aku pergi dulu.”
“Jangan khawatir. Aku yang akan mengurus urusan semalam.”
“Ingin melapor ke polisi?”
Jawab Hans dalam hati, “Tentu saja tidak.” Hans mendekati wanita dihadapannya. “Biar aku yang mengurusnya. Kamu fokus saja untuk wawancaranya. Aku mendoakanmu.”
“Terima kasih, Hans. Aku pergi.”
Dengan laju perlahan, Maya sampai di sebuah kantor 20 menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Dia yakin pada pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya. Namun tetap saja rasa gugup pasti ada.
“Permisi? Saya ingin menemui Bu Anggi untuk melakukan wawancara kerja,” ucap Maya pada resepsionis yang bersiap di sana.
“Saya akan beritahu beliau. Silahkan tunggu sebentar.”
Sebuah sofa yang tersedia di ruang tunggu, menjadi saksi bisu betapa gugupnya Maya. Itu memang bukan pertama kali dia melakukan wawancara kerja, tapi gugup masih tetap ada. Tanpa persiapan yang matang, Maya memasuki sebuah ruangan yang sama dinginnya dengan telapak tangannya saat itu.
Betapa terkejutnya Maya saat mengetahui orang akan akan mewawancarainya adalah Rachel. “Silahkan duduk.”
Berusaha profesional, Maya dengan tenang dan senyum ramahnya perlahan duduk di kursi yang disediakan dihadapan Rachel, manager di perusahaan itu. "Terima kasih.
"Ternyata benar itu kamu. Namamu cantik seperti pemiliknya."
"Terima kasih. Ini semua berkat ayahku."
"Kamu menyukai pria yang tampan seperti ayahmu, ya?"
"Bisa kita mulai sekarang wawancaranya?" pinta Maya dengan sopan.
"Oh, baiklah. Perkenalkan dirimu terlebih dahulu."
"Perkenalkan saya Maya Almayra Evelena. Usia saya saat ini menginjak 31 tahun. Dibuktikan dengan sudah banyaknya pengalaman saya dalam bekerja di perusahaan fashion. Banyak pencapaian yang sudah saya raih. Hal itu terjadi karena kepribadian saya yang tekun, teliti, disiplin, dan pekerja keras. Walau terkadang sering mengeluh saat banyak pekerjaan, saya bisa dengan mudah mengontrolnya. Terbukti dengan pencapaian saya dalam pameran fashion di Swiss satu tahun lalu. Saya membuat 100 desain baju musim dingin dalam waktu 2 minggu. Saya harap, apa yang sudah saya jelaskan dapat Ibu mengerti, terima kasih."
"Dari cara kamu berbicara dan menjelaskan semuanya, terlihat kalau kamu wanita yang pintar." Rachel membuka surat lamaran digenggamannya. "Kamu pernah bekerja sebagai asisten kepala tim?"
"Iya. Saya menjabat sebagai asisten kepala tim di perusahaan Swiss Vogue Design sselama 2 tahun."
"Apa di sana tempatmu bertemu dan mengenal Hans?"
Pertanyaan itu diluar konteks dan Maya berhak untuk tidak menjawabnya. "Maaf, untuk pertanyaan itu saya berhak jika memilih tidak menjawabnya. Saya akan segera menjawab pertanyaan lain."
"Kamu menyukainya?"
"Maaf?"
"Sejak kapan dia menyukaimu? Begitupun sebaliknya?"
"Saya hanya akan menjawab pertanyaan selain tentang urusan pribadi," jawab Maya yang sudah payah menahan kesalnya.
"Saat kemarin kita bertemu, saya tidak benar-benar mengatakannya. Maksud saya, Hans itu pria yang baik dan saya rasa ada kecocokan diantara kalian."
"Maaf, apa wawancaranya sudah selesai?"
"Buatlah 3 desain baju dengan tema musik Korea. Berikan segera pada saya besok. Jika tidak, saya anggap kamu mengundurkan diri.” Rachel menjatuhkan tubuhnya ke senderan kursi. "Sudah, sampai di sini saja wawancaranya."
"Baik, akan saya usahakan. Terima kasih atas waktunya, permisi."
Baru saja berdiri, Rachel dengan cepat menahan Maya untuk tidak melangkah keluar ruangan. "Saya harap, dia benar-benar akan melindungimu sampai akhir."
"Memangnya ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Hans itu bukan pria jahat. Dia bukan penjahat." Kata ‘jahat’ diucapkan Rachel dengan penekanan dan semakin membuat Maya bingung sekaligus penasaran.
Berusaha untuk tidak sedih, namun hatinya terasa sesak setiap kali datang ke kafe itu. Sudah tahu begitu, Maya tetap saja mampir ke sana setiap harinya walau hanya sekedar minum kopi. Berkat Hans, dia bisa kembali memakan donat yang sudah lama tidak berani dilakukannya.Aidan. Tiba-tiba pria itu terlintas dipikirannya. Ketika ingat dengan sang anak, Maya juga jadi teringat dengan Aidan. Dia membuka ponselnya, mencari room chat milik Aidan yang kosong. Padahal, Maya selalu menyimpan riwayat chatnya dengan Aidan sejak mereka pacaran. Namun setelah bercerai, semuanya sengaja dia hapus. Meninggalkan penyesalan yang terus mengganggu hatinya.“Bagaimana, ya? Apa aku cari pekerjaan di tempat lain saja?”Awalnya, Maya yakin dia akan diterima si perusahaan itu. Keberadaan Rachel sebagai manager di sana membuat Maya berpikir untuk mundur sebelum nantinya bergabung.Sebuah pesan masuk dari Hans tidak pernah langsung dibuka. Setelah beberapa menit, Maya baru membukanya. “Jalan-jalan?” ucap Maya s
“Sudah kubilang, ini hanya luka biasa.”“Setidaknya aku mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri. Sepulangnya dari rumah sakit, Hans kembali mengingatkan Maya perihal jalan-jalan.“Jadi, kita mau ke mana sekarang?”“Aku akan mengantarmu pulang.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”“Oh, iya, kamu sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... aku sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”Hans berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. "Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin aku diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah aku urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, ya, Hans?"Hans merasa lega karena Maya terlihat percaya. Namun, i dalam hatinya dia tahu
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut. “Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan bersama dia.” "Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.” Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya. Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu." “Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga berjanji untuk mengajak kami ke sini.” Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kamu ingin kita pergi ke tempat lain saja?” “Tidak perlu, Hans. Aku senang be
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Mulutnya terasa kaku, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Maya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir tidak semudah itu untuk kembali seperti dulu."Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Aku hanya merindukanmu dan ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya."“Kita bercerai memang bukan karena tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan bersama. Dan sejak itu, kita telah menjalani kehidupan masing-masing.”“Jadi maksudmu, kamu masih mencintaiku?”Maya menghela napas dan melanjutkan ucapannya karena tidak mendengar res
Reza dengan teliti merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
Marco melangkah mendekat, tersenyum keji di hadapan Maya yang semakin gelisah. "Kamu penasaran tentang Hans, ‘kan? Kami memiliki sesuatu yang harus kamu ketahui tentangnya, tentang sisi gelap dia yang sebenarnya," ujarnya dengan nada menggoda."Apa yang kamu lakukan pada Hans? Di mana dia sekarang?" desaknya dengan suara gemetar. Dengan wajah penuh ketakutan, Maya mencoba keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Marco. “Lepaskan aku!"“Hans keras kepala. Dia mulai berani mengabaikan dan menentang perintahku. Saya pikir, kamu pasti bisa membuatnya kembali padaku?”“Omong kosong!”“Hans bukanlah pria baik seperti yang kamu kenal. Jika kamu berpikir kami seorang penjahat, maka begitu juga dengan Hans karena dia juga merupakan bagian dari kami. Dia tidak lebih dari seorang boneka dan kaki tangan kami."“Kamu pikir saya percaya?”“Hidupmu tidak akan aman kalau masih berhubungan dengan Hans. Sudah banyak kriminalitas yang dia lakukan. Kamu yakin akan bahagia bersamanya? Pikirkan baik-bai
Sudah hampir dua jam Maya menunggu dengan gelisah di ruang tunggu apartemen, namun Hans tak kunjung datang. Ponselnya tidak aktif, membuat Maya sulit menghubunginya. Maya memutuskan untuk pulang, namun ucapan terakhir Hans terus berputar di pikirannya.“Tapi, aku tidak bisa diam saja. Aku tidak dapat menghubunginya dan tidak tahu kabarnya. Aku tidak bisa menunggu lagi. Bagaimana, ya?”Maya tidak peduli dengan permintaan Hans. Baru saja sampai rumah, Maya berniat untuk pergi ke kantor polisi. Namun, sebuah bunga mawar putih yang ada di kursi samping membuatnya teringat pada seseorang.“Aidan?”Tangannya dengan cepat mengambil ponsel untuk menelepon Aidan. Hanya mantan suaminya itu yang ada di pikirannya untuk dia pintai bantuan. Namun, Aidan tidak dapat dihubungi. Maya putus asa. Dia baru sadar kalau telah secemas itu pada Hans, seorang pria yang pernah dia tolak cintanya.“Tumben sekali Aidan tidak bisa dihubungi? Ada apa dengannya, ya?”Pikiran Maya terbagi antara kekhawatiran Hans d
Maya tidak benar-benar mengatakannya. Dia hanya tidak ingin Aidan masuk ke dalam masalah itu. Untuk ucapannya pada Hans pun tidak dengan jujur dia katakan. Maya tidak akan menjauhi Hans, karena dia merasa mulai jatuh cinta padanya. Terdengar mustahil memang, jatuh cinta walau sudah tahu kalau pria itu adalah seorang penjahat. Maya sendiri juga bingung dengan hatinya yang tiba-tiba memilih Hans.“Kamu masih belum mau jujur padaku?” tanya Lisa kesekian kalinya.Sudah berjam-jam Maya hanya duduk dan tiduran di kasur milik anaknya. Tidak keluar kamar, sekalipun untuk sekedar makan. Dia terus menggenggam ponselnya, seperti menunggu sesuatu.“Aku sudah bilang, aku akan merahasiakannya dari Reza. Aku tidak akan mengatakan apa pun padanya,” lanjut Lisa.Masih tetap sama, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Maya. Sejujurnya, dia sedang berpikir karena bingung harus mengatakan semuanya pada Lisa atau memilih untuk tetap diam. Setelah beberapa saat, Maya mengangkat kepalanya dan menatap Lis
Walau berada di samping Aidan, yang ada di bayangan Maya tetaplah Hans. Pria itu tidak ada kabar dan tidak dapat dihubungi sejak meninggalkan Indonesia. Maya tidak memberitahunya, namun Aidan mengetahui kecemasannya itu.“Di mana dia sekarang?” tanya Aidan sembari menuang kopi yang Maya buat.“Di Swiss.”“Untuk apa dia ke sana?”“Urusan pekerjaan.”“Aku pikir dia ingin melarikan diri?” Maya menatap Aidan dengan tatapan dinginnya. “Kenapa menatapku seperti itu?”“Dia tidak seburuk yang kamu pikirkan, Aidan.”“Menjadi kaki tangan seorang mafia adalah hal yang sangat buruk.”Sepertinya, Aidan telah banyak tahu tentang Hans, sedangkan Maya belum banyak mengetahuinya. “Soal Ayren, tolong jangan beritahu padanya tentang hubunganku dengan Hans.”“Memangnya kenapa kalau dia tahu?”“Aku mohon, Aidan.”“Kamu banyak memohon padaku demi pria itu?” Aidan meletakkan cangkirnya dan berhadapan dengan Maya. “Katakanlah semuanya. Katakan kamu ingin aku melakukan apa lagi?”Maya menelan air liurnya leb
Setelah berpikir matang-matang, Aidan memutuskan untuk kembali ke Indonesia, memulangkan semua karyawannya juga. Walau tanpa persetujuan dari sang asisten, Aidan tetap teguh dengan keputusannya. Keras kepala memang. Kata Reza, itulah Aidan.“Biarkan mereka kembali ke Indonesia paling lambat lusa,” perintah Aidan pada Reza mengenai para karyawannya.“Bagaimana denganmu?”“Aku akan tetap pergi hari ini. Tiketnya sudah di pesan, ‘kan?”“Sudah.”Aidan dan Reza lanjut berkemas. Reza mengecek semua koper dan barang bawaan Aidan. Selain keras kepala, Aidan juga sangat ceroboh dan pelupa. Dua jam lagi menuju waktu keberangkatan. Reza sudah siap pergi, sedangkan Aidan masih sibuk di meja kerjanya.“Sungguh akan pergi hari ini?”“Jangan bertanya lagi. Aku sudah mulai kesal denganmu,” jawab Aidan dengan mata yang masih fokus ke layar monitornya.“Bagaimana dengan proyek yang sedang berjalan?”“Aku sudah hubungi klien yang bersangkutan. Kamu tenang saja.”“Demi Maya kamu melakukan semuanya?” Pert
Maya tidak benar-benar mengatakannya. Dia hanya tidak ingin Aidan masuk ke dalam masalah itu. Untuk ucapannya pada Hans pun tidak dengan jujur dia katakan. Maya tidak akan menjauhi Hans, karena dia merasa mulai jatuh cinta padanya. Terdengar mustahil memang, jatuh cinta walau sudah tahu kalau pria itu adalah seorang penjahat. Maya sendiri juga bingung dengan hatinya yang tiba-tiba memilih Hans.“Kamu masih belum mau jujur padaku?” tanya Lisa kesekian kalinya.Sudah berjam-jam Maya hanya duduk dan tiduran di kasur milik anaknya. Tidak keluar kamar, sekalipun untuk sekedar makan. Dia terus menggenggam ponselnya, seperti menunggu sesuatu.“Aku sudah bilang, aku akan merahasiakannya dari Reza. Aku tidak akan mengatakan apa pun padanya,” lanjut Lisa.Masih tetap sama, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Maya. Sejujurnya, dia sedang berpikir karena bingung harus mengatakan semuanya pada Lisa atau memilih untuk tetap diam. Setelah beberapa saat, Maya mengangkat kepalanya dan menatap Lis
Sudah hampir dua jam Maya menunggu dengan gelisah di ruang tunggu apartemen, namun Hans tak kunjung datang. Ponselnya tidak aktif, membuat Maya sulit menghubunginya. Maya memutuskan untuk pulang, namun ucapan terakhir Hans terus berputar di pikirannya.“Tapi, aku tidak bisa diam saja. Aku tidak dapat menghubunginya dan tidak tahu kabarnya. Aku tidak bisa menunggu lagi. Bagaimana, ya?”Maya tidak peduli dengan permintaan Hans. Baru saja sampai rumah, Maya berniat untuk pergi ke kantor polisi. Namun, sebuah bunga mawar putih yang ada di kursi samping membuatnya teringat pada seseorang.“Aidan?”Tangannya dengan cepat mengambil ponsel untuk menelepon Aidan. Hanya mantan suaminya itu yang ada di pikirannya untuk dia pintai bantuan. Namun, Aidan tidak dapat dihubungi. Maya putus asa. Dia baru sadar kalau telah secemas itu pada Hans, seorang pria yang pernah dia tolak cintanya.“Tumben sekali Aidan tidak bisa dihubungi? Ada apa dengannya, ya?”Pikiran Maya terbagi antara kekhawatiran Hans d
Marco melangkah mendekat, tersenyum keji di hadapan Maya yang semakin gelisah. "Kamu penasaran tentang Hans, ‘kan? Kami memiliki sesuatu yang harus kamu ketahui tentangnya, tentang sisi gelap dia yang sebenarnya," ujarnya dengan nada menggoda."Apa yang kamu lakukan pada Hans? Di mana dia sekarang?" desaknya dengan suara gemetar. Dengan wajah penuh ketakutan, Maya mencoba keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Marco. “Lepaskan aku!"“Hans keras kepala. Dia mulai berani mengabaikan dan menentang perintahku. Saya pikir, kamu pasti bisa membuatnya kembali padaku?”“Omong kosong!”“Hans bukanlah pria baik seperti yang kamu kenal. Jika kamu berpikir kami seorang penjahat, maka begitu juga dengan Hans karena dia juga merupakan bagian dari kami. Dia tidak lebih dari seorang boneka dan kaki tangan kami."“Kamu pikir saya percaya?”“Hidupmu tidak akan aman kalau masih berhubungan dengan Hans. Sudah banyak kriminalitas yang dia lakukan. Kamu yakin akan bahagia bersamanya? Pikirkan baik-bai
Reza dengan teliti merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Mulutnya terasa kaku, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Maya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir tidak semudah itu untuk kembali seperti dulu."Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Aku hanya merindukanmu dan ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya."“Kita bercerai memang bukan karena tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan bersama. Dan sejak itu, kita telah menjalani kehidupan masing-masing.”“Jadi maksudmu, kamu masih mencintaiku?”Maya menghela napas dan melanjutkan ucapannya karena tidak mendengar res
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut. “Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan bersama dia.” "Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.” Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya. Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu." “Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga berjanji untuk mengajak kami ke sini.” Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kamu ingin kita pergi ke tempat lain saja?” “Tidak perlu, Hans. Aku senang be
“Sudah kubilang, ini hanya luka biasa.”“Setidaknya aku mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri. Sepulangnya dari rumah sakit, Hans kembali mengingatkan Maya perihal jalan-jalan.“Jadi, kita mau ke mana sekarang?”“Aku akan mengantarmu pulang.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”“Oh, iya, kamu sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... aku sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”Hans berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. "Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin aku diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah aku urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, ya, Hans?"Hans merasa lega karena Maya terlihat percaya. Namun, i dalam hatinya dia tahu