Reza dengan telaten merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
"Kau penasaran tentang Hans, ‘kan? Kami memiliki sesuatu yang harus kau ketahui tentangnya, tentang sisi gelap dia yang sebenarnya," ujar Marco dengan nada menggoda."Apa yang kau lakukan pada Hans?! Di mana dia sekarang?!" Dengan wajah penuh ketakutan, Maya mencoba keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Marco. “Lepaskan aku!"“Hans bukanlah pria baik seperti yang kau kenal selama ini. Jika kau berpikir aku penjahat, maka begitu juga dengan Hans. Dia tidak lebih dari seorang boneka dan kaki tanganku."“Apa maksudmu?” Maya mulai terpancing.“Hidupmu tidak akan aman kalau masih berhubungan dengan Hans. Sudah banyak kriminalitas yang dia lakukan. Kau yakin akan bahagia bersamanya? Pikirkan baik-baik, ingin menolong dirimu sendiri atau menolong pria yang sangat mencintaimu itu?”Suara pecahan kaca yang terdengar sangat nyaring mengalihkan pembicaraan mereka. Maya terus berusaha melawan untuk melepaskan diri. Air matanya menetes bersamaan dengan pintu di salah satu ruangan yang tiba-ti
Hans merasa kalau dia pantas mendapatkannya. Pada dasarnya, Maya memang tidak pantas untuknya dan tidak ada wanita yang pantas untuk dia miliki. Hari itu Hans secara mendadak memutuskan untuk pulang ke Bali, menemui ayahnya untuk membahas sesuatu yang belum dia ketahui.Tanpa memberitahu Maya, Hans pergi dan sampai di tujuan dengan perasaannya yang campur aduk. Sebenarnya dia sulit meninggalkan Jakarta dan juga Maya yang sendirian di sana.Sesampainya di Bali, Hans disambut hangat oleh ayahnya. Mereka duduk bersama di ruang keluarga, dikelilingi oleh ornamen seni Bali yang indah. Wajahnya yang babak belur, membuat sang ayah menuturkan beberapa pertanyaan.“Apa yang terjadi padamu, Hans? Kenapa kau terluka seperti itu?”“Aku baik-baik saja. Apa yang ingin Ayah bicarakan sampai menyuruhku datang ke sini?”“Jangan terlalu terburu-buru, Hans. Kau saja baru sampai.”“Aku tidak bisa berlama-lama di sini.”David menatap Hans dengan ekspresi yang serius. "Ayah ingin membicarakan tentang perjod
Maya mengemudi dengan tenang, namun bukan berarti di pikirannya tidak ada pertanyaan yang terus menghantui. Dia segera menghentikan laju mobilnya saat sampai di depan apartemen Hans. “Bagaimana? Apa yang ingin kau katakan?”"Aku tahu hidupku penuh dengan bahaya dan aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalahku. Tapi, aku mencintaimu, Maya. Aku tidak ingin kehilanganmu, aku juga tidak ingin menyakitimu dengan terus bersamaku. Jadi, aku bingung apa yang harus aku lakukan sekarang.”“Apa yang kau hadapi bukanlah sesuatu yang mudah untuk di selesaikan.” Maya memberanikan diri menatap Hans. “Aku tidak ingin kehilanganmu, Hans.”“Eum?” Hans membuka matanya lebar-lebar.“Aku mencintaimu.”“Jangan kasihani aku. Aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Jangan jadikan semua ini menjadi urusanmu.”“Tidak, aku serius. Aku jatuh cinta padamu.”“Mana mungkin kau jatuh cinta padaku setelah tahu siapa aku?”“Beritahu aku siapa kau sebenarnya.”“Aku anak buah seorang mafia,” jawab Hans tanpa ragu.Maya
Sudah tiga hari Hans meninggalkan Indonesia tanpa Maya ketahui. Dia memutuskan kembali ke Swiss untuk menyelesaikan pengunduran dirinya dari perusahaan tempat dia bekerja selama dua tahun terakhir. Hans merasa ingin menyelesaikan semuanya, memperbaiki hidupnya yang salah jalan, sedikit demi sedikit.Di dalam apartemennya, Hans terus memandang ponselnya. Dia ingin menghubungi Maya, tapi tidak memiliki keberanian setelah kejadian hari itu. Ketika ponselnya berdering, Hans berharap Maya yang menghubunginya, ternyata dari nomor yang tidak dikenal.“Halo?”“Kapan kau kembali lagi, Hans?”Hans menjauhkan ponselnya dari telinga, terkejut dengan suara orang yang sangat dia waspadai. “Ada apa, Tuan?”“Saya hanya ingin mengingatkanmu, apa lagi?”“Saya akan kembali hari ini.”“Setelah sampai, segera temui saya. Saya bisa dengan mudah mendapatkan wanita itu.”“Jika Tuan melukainya, saya tidak akan tinggal diam.”“Baiklah, baiklah, jujur saja saya takut dengan ancamanmu itu. Sampai jumpa nanti.”Se
Perjalanan dari Swiss ke Indonesia bukanlah jarak yang dekat. Selama di perjalanan, Hans sadar kalau dia mulai diawasi oleh orang suruhan Marco. Ketika sampai di apartemen pun, Hans tahu ada beberapa orang yang mengikutinya.Baru saja duduk beberapa menit, suara bel mengganggu istirahatnya. “Siapa itu?”Hans bangkit dari kursi, berjalan perlahan menuju pintu dengan langkah yang hampir tak bersuara. Matanya menatap ke layar interkom kecil di dinding. “Rachel?”Dengan cepat, Hans membuka pintu dan menarik Rachel untuk segera masuk. “Orang-orang itu … apakah orang suruhanmu?”“Bukan, itu ulah ayahku. Hans, bukankah menyerah lebih baik? Kalau kau keras kepala seperti ini, hidupmu akan dalam bahaya. Ayahku tidak akan pernah mengalah, apalagi menyerah.”“Jika tidak ada yang penting, silakan pergi. Aku ingin istirahat.”Bukannya pergi, Rachel malah berjalan santai dan duduk di sofa ruang tengah. “Ayahku masih menunggumu mengirim satu wanita lagi. Tapi ayahku bilang, Maya lebih dari cukup.”“A
“Apa yang terjadi?” suara Hans terdengar serak.Hans terbangun dengan kepala yang terasa berat. Matanya terbuka perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang ada di sekitarnya. Kepalanya berdenyut nyeri dan tubuhnya terasa lemah. Dia menoleh, melihat Rachel yang tertidur di sampingnya dan menjadikan lengannya sebagai bantalan.Dengan cepat, Hans menarik lengannya dan bangkit dari kasurnya sampai terjatuh dengan wajah terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini?!”Matanya masih tertutup, tapi Rachel menjawabnya dengan tenang. “Kau yang memaksaku.”“Memaksamu?”“Iya, kau kuat sekali. Aku tidak bisa melawan,” jawabnya sambil tersenyum.“Kau yang memaksaku meminumnya! Pasti, minuman itu kau masukan sesuatu, ‘kan?!”“Sudahlah, Hans. Semuanya sudah terjadi. Tidak ada yang perlu kau pertanyakan.”“Pergi kau dari sini! Pergi!”Rachel masih terkulai lemah di tempat tidur, tampak tidak terlalu terpengaruh oleh kemarahan Hans. “Aku lemas sekali, Hans. Kau tahu aku hanya ingin membantu, buka
Mobil berhenti di depan sebuah kafe tempat Hans meminta untuk bertemu. Maya duduk dengan kedua tangan memegang setir, menatap ke luar jendela. Udara dingin dari pendingin ruangan mobil menyelimuti tubuhnya, namun perasaan gelisah yang membuatnya merasa sesak.“Apakah aku harus menemuinya? Apakah ini tidak masalah?” tanyanya pada diri sendiri.Hati kecilnya terus bertanya-tanya. Apakah keputusan untuk menemui Hans adalah hal yang tepat? Jika Hans benar-benar berusaha melindunginya, maka menghindarinya hanya akan membuat situasi menjadi lebih rumit. "Iya, aku harus menemuinya untuk mencari tahu apa maksud dia ingin melindungiku, bukan untuk mengetahui dia cinta atau tidak padaku," gumam Maya.Setelah beberapa saat, Maya menghela napas panjang dan keluar dari mobil. Langkah kakinya terasa berat saat memasuki kafe. Ruangan itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa meja yang terisi. Pandangannya langsung tertuju pada sosok pria di sudut ruangan.
“Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.
Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia
“Kenapa Maya belum datang juga? Apa kau sudah bisa menghubunginya?” tanya Aidan dengan mata yang sedikit tertutup.“Dia belum bisa dihubungi,” ucap Reza. “Oh, mungkin dia sedang antre? Bukankah tadi dia bilang ingin membelikan kita camilan?” Reza berusaha mencairkan suasana.“Benar juga. Sudah, tidak perlu mencemaskannya,” sambung Lisa yang juga berusaha tenang, tidak ingin Aidan khawatir."Aku ngantuk sekali," ucap Aidan lirih sambil memejamkan mata.“Itu pasti karena obat. Kalau begitu, tidurlah,” kata Reza."Kalau Maya sudah datang, tolong katakan padanya untuk jaga diri baik-baik. Jangan menangis lagi. Aku ingin dia bahagia. Tolong kalian juga, jangan pernah meninggalkannya sendirian, selalu temani dia. Lalu, sampaikan juga bahwa aku senang pernah mencintainya. Aku bersyukur pernah menjadi orang yang dia cintai. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."Kalimat itu membuat Lisa, Ayren, dan Reza saling bertukar pandang, terkejut. “Ah, kau ini, melantur saja! Sudah, istir
Maya memutuskan tetap berada di sana, tidur di sofa, dan bangun lebih awal. Duduk di tepi ranjang dan pandangan tertuju pada sosok yang terbaring lemah, dengan tangan yang tergenggam erat.Bayangan masa lalu berkelebat, membawa kembali potongan kenangan yang begitu manis sekaligus menyakitkan. Rasa sesak tiba-tiba menyerang. Dada seperti ditekan oleh beban yang tak terlihat, membuat napas terasa berat. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir deras, membasahi pipi."Kenapa menangis?" tanya Aidan dengan suara lemah.“Kau sudah bangun?”“Ada apa? Kenapa kau menangis?”"Aku ... aku tidak tahu. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba menangis."“Maya, kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Aku di sini. Kalau kau merasa sedih atau takut, aku akan mendengarkan semua keluhanmu,” tutur Aidan sambil menghapus air mata yang membasahi wajah mantan istrinya itu.“Aidan, apa kau ingat kapan pertama kali kita b
“Aku tahu aku bersalah dan aku tidak akan pernah bisa mengganti apa yang hilang darimu, Rachel. Aku minta maaf.”Rachel memalingkan wajah, air mata masih mengalir tanpa henti. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku bahkan tidak sempat mengatakan padanya tentang kehamilan ini. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku membawa bagian dari dirinya."Tangan Maya perlahan terulur, menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Rachel, Hans pasti tidak pernah ingin melihatmu seperti ini, hidup dalam ketakutan dan kesedihan.”“Lalu, apa yang bisa aku lakukan sekarang selain bersembunyi? Aku tidak punya apa-apa lagi dan aku tidak bisa melakukan apapun lagi, Maya. Semua sudah hancur.”“Aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”“Polisi pasti akan menangkapku juga. Selama ini aku melindungi ayahku, walau aku tidak melakukan apa yang dilakukan ayahku. Semua orang pasti berpikir aku sama jahatnya dengan ayahku.”“Polisi hanya menginginkan kesaksianmu. Kau tahu banyak tentang apa yang dilakuka
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti melewati waktu yang tak berujung. Setibanya di bandara, langkah mereka penuh tergesa, mengejar waktu yang seolah bergerak terlalu cepat. Mobil yang menjemput langsung melaju menuju rumah sakit tempat Aidan dirawat.Di lobi rumah sakit, Ayren dan Lisa sudah menunggu. Langkah Maya semakin cepat ketika melihat mereka. “Ayren, Lisa!” panggil Maya.“Kak Maya, Kak Reza? Akhirnya sampai juga,” ucap Ayren pelan, mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan.“Bagaimana keadaan Aidan?” tanya Maya dengan cemas.“Barusan, dokter bilang kondisi Kak Aidan sudah stabil. Tadi sempat drop karena sesak napas, tapi sekarang sudah normal lagi.”Maya menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang sempat mencekiknya. Tanpa berkata banyak, dia meminta izin untuk masuk ke ruangan. Di dalam kamar rawat, suasana terasa sunyi.Sosok yang terbaring di ranjang terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dengan lingkar mata yang gelap. Melihat itu, hati Maya t
“Saya datang untuk mengambil beberapa barang saya yang tertinggal di sini.”Maya kembali ke rumah orang tua Hans untuk mengambil sisa barangnya. Dia datang bersama Reza, yang akan menemaninya atas perintah Aidan.“Silakan. Selama ini, saya tidak apa-apakan kamar itu.” Lina mengantar Maya ke kamar yang pernah ditempatinya beberapa hari itu.Ketika sedang mengemas barang-barangnya, tangannya sedikit gemetar saat hendak mengambil buku jurnal berwarna cokelat yang pernah diberikan Hans. Saat itu, Hans memberikannya disaat Maya sedang frustrasi.“Buku ini … Hans yang memberikannya padaku. Dia bilang, aku bisa mencatat perasaan dan pemikiranku di sini. Hans juga bilang, menuliskan apa yang ada di hati dapat membantu meringankan beban, tapi apakah bisa meringankan rasa rindu?”“Kau merindukannya?” tanya Lina yang duduk di ujung tempat tidur.“Kami tidak selalu bersama. Tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Tapi saat sedang bersamanya, dia selalu bisa membuatku bahagia.”“Apa kau men
Maya hanya melamun di ruang tunggu. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, dan penampilannya lusuh. Pakaiannya masih dipenuhi darah, namun di tutupi oleh jaket yang Zayn berikan. “Maya, bisakah ikut Ayah untuk memberikan keterangan tentang semua ini?” Apa yang Zayn ucapkan sebenarnya di dengar jelas oleh Maya, namun wanita itu sulit fokus. Lisa mendekati sahabatnya itu, memeluknya dari samping dan mencoba bicara pelan. “May, kita tahu kau sangat terpukul dengan semua kejadian ini. Tapi, penjahat itu harus segera diadili. Polisi butuh keterangan darimu untuk menangkap penjahat itu. Bisakah kau ikut Om Zayn untuk memberikan keterangan?” “Apakah mereka benar akan ditangkap?” tanya Maya dengan lesuh. “Tentu saja. Tanpa sisa,” jawab Zayn. “Jangan takut. Kesaksianmu akan dilindungi.” Setelah beberapa saat, mencoba mengerti dan menunggu Maya siap, akhirnya Zayn dan beberapa anak buahnya membawa Maya ke Markas Pasukan Khusus, tempat Marco ditahan untuk penyelidikan. Sesampainya di markas,
Maya terus mengguncang tubuh Hans, berharap keajaiban terjadi. Namun, tubuh Hans tetap tak bergerak. Air mata Maya jatuh tak terkendali, membasahi wajah pria yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkannya.Zayn mendekat, memegang bahu Maya dengan lembut. "Kita harus segera membawanya ke rumah sakit. Dia masih punya peluang.""Dia ... dia tertembak dan itu salahku. Aku tak bisa melindunginya.""Ini bukan salahmu. Tidak ada waktu untuk menyalahkan siapa pun. Percayalah, dia akan bertahan," ujar Zayn tegas sambil memberi isyarat pada timnya untuk membawa Hans keluar.Marco yang tergeletak dengan luka tembak di kakinya, menatap Zayn dengan penuh kebencian. “Kau pikir ini sudah berakhir? Kau tidak tahu apa yang akan datang, Zayn,” katanya dengan tawa getir meski wajahnya menyiratkan kesakitan.“Sudah cukup, Marco. Kau kalah. Permainan ini berakhir untukmu.” Dengan isyarat tangannya, anak buah Zayn memborgol Marco dan m