Sama sekali tidak ada niat untuk menjual rumah tersebut. Rumah yang baru ditempati selama 4 tahun itu menyimpan banyak sekali kenangan yang selalu mengingatkannya pada kesedihan mendalam. Kamar sang anak yang sudah dirancang dengan baik, hanya ditempati beberapa tahun saja. Meninggalkan banyak mainan, baju, dan foto yang kembali membuat air matanya mengalir deras.
“Nak, Mama pulang. Maaf sudah membuatmu menunggu lama.” Maya membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan seprai bermotif bunga sakura tersebut.
Seorang ibu yang selama dua tahun hidup penuh kekhawatiran karena anaknya tinggal jauh di Swiss dengan membawa luka yang teramat, akhirnya bisa merasakan lega dihatinya. Namun, tidak menyangka kalau anak semata wayangnya itu pulang dengan masih larut dalam kesedihan. Tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya dia selama di Swiss, hidup sendiri dan menyimpan lukanya sendiri.
"Maaf Maya sudah membuat Ibu khawatir selama ini.”
"Kau bahagia di sana?"
"Setiap hari aku berusaha untuk selalu bahagia. Tapi, semua hanya sesaat.”
"Tidak apa-apa, kau sudah berusaha. Keputusan untuk kembali ke Indonesia adalah yang paling tepat. Kau sudah melakukan semuanya dengan baik, Nak."
"Aku sudah resmi bercerai dengan Aidan. Maaf karena tidak memberitahu Ibu lebih dulu."
"Itu rumah tanggamu. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik atas semua yang menjadi keputusan kalian." Widia mengambil sebuah bucket dengan bunga mawar putih yang sudah layu. “Ini dari Aidan. Seminggu yang lalu dia datang ke rumah Ibu, sekalian mau pamit karena akan tinggal di Kanada.”
Widia keluar dari kamar itu, meninggalkan Maya sendirian untuk memberikan ruang. Ada sebuah surat yang terselip diantara bunga-bunga layu itu. “Ah, kenapa kau masih melakukan ini, Dan?”
Dengan hati-hati, Maya membuka amplop putih yang terbungkus rapi. Sehelai kertas putih dengan tinta hitam di atasnya berisi tulisan tangan yang akrab, mengungkapkan perasaan dan pemikiran Aidan selama ini.
Untuk ibu dari anakku,
Maya Almayra
Saat surat ini sudah berada di tanganmu, aku harap dapat memberi ketenangan dan pengertian. Kita telah melewati banyak rintangan hidup dan aku merasa perlu untuk berterus terang tentang perasaanku.
Setiap hari, aku merenungkan momen indah kita bersama dan juga beban yang terasa semakin berat. Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa kita berdua telah berubah. Pernikahan kita sudah tidak baik-baik saja.
Ini bukan tentang menyalahkan atau menyesali, namun tentang pembebasan diri dan memberikan kesempatan untuk memulai lagi. Semoga kau bisa memahaminya, sebab keputusan ini aku ambil dengan banyak pertimbangan. Aku berharap kau dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah kamu dapatkan saat bersamaku.
Dengan berat hati aku menyadari bahwa kita berdua harus saling melepaskan agar bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Maafkan aku jika selama ini selalu menyakitimu. Terima kasih atas semua cinta, ketulusan, dan pengorbananmu. Terima kasih juga telah melahirkan seorang gadis cantik yang telah menjadi bidadari di surga. Semoga langkah kita selanjutnya membawa kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.
Salam hangat,
Aidan
***
Maya tidur diatas kasur sang anak yang sudah lama tidak di tempati. Bahkan dia melewatkan makan malamnya dengan menghabiskan waktu di kamar itu. Pagi harinya, Maya bangun dengan suasana baru.
“Maya?” Widia memanggil dari depan pintu. “Ada yang mencarimu.”
“Siapa, Bu?”
“Kau lihat saja sendiri. Ayo, cepat.”
Walau penasaran, Maya tetap saja bersikap santai. Dia bahkan belum mengganti bajunya sepulang dari Swiss. Langkah kakinya yang kecil membawanya keluar dari kamar dan menemui tamu yang datang terlalu pagi.
“Pak Hans?”
Senyum pria yang berusia 2 tahun lebih muda darinya itu terlihat semringah, berbeda dengan Maya yang menampilkan wajah bingung.
Widia datang membawa minuman dan makanan. Dia lewat dan menyenggol sang anak yang terus berdiri di depan kamar. "Kok, malah melamun, sih, May?" Secangkir teh hangat yang dia bawa langsung dari Semarang, disajikan bersama dengan pisang goreng. "Silakan diminum tehnya. Pisang gorengnya jangan langsung di makan, masih terlalu panas."
"Terima kasih, Bu," ucap Hans dengan sopan.
Maya masih berdiri di posisinya. Dia masih terkejut dengan kedatangan Hans. Bahkan sesekali dia menyentuh wajah dan mencubitnya, barangkali itu adalah mimpi.
"Maya, kenapa berdiri saja, sih? Temani tamunya, dong?”
Baru saja melangkah, dia terjatuh karena tiba-tiba kakinya lemas. Widia mendekatinya sambil berkata, "Seperti inilah kelakuannya. Sudah kepala 3 tapi masih seperti anak kecil."
Hans tertawa mendengarnya, membuat Maya semakin canggung saat duduk di dekatnya. Tidak seperti biasanya, kali itu Maya yang memulai pembicaraan setelah beberapa saat mereka saling diam.
"Kenapa Pak Hans bisa ada di sini?"
"Saya langsung pesan tiket ke Indonesia setelah beberapa jam kau pergi."
"Oh, iya. Saya hampir lupa kalau minggu ini adalah akhir tahun, ya?”
"Bukan karena itu, tapi karena saya tidak ingin jauh darimu."
"Saya suka pujian, tapi tidak dengan gombalan, Pak."
Kalimat itu mengundang tawa dibibir mereka. Dalam hati Hans benar-benar merasa senang dapat terus melihat Maya. Dia ingin membuktikan kalau cintanya tulus dan nyata.
"Saya boleh minta tolong?" tanya Hans.
"Silakan."
"Bisakah antar ke apartemen tempat saya menginap?"
***
Dengan mobil miliknya, Maya mengantar Hans ke tempat tujuan. Keheningan kembali tercipta. Hans salah tingkah karena hanya duduk diam dan Maya yang mengemudi.
"Hening sekali," sindir Hans.
"Ingin putar musik?"
"Tidak. Saya ingin mengobrol denganmu saja."
"Apa yang ingin dibicarakan?"
"Bukankah akan lebih santai kalau kita bicara secara informal?"
"Silakan saja. Tapi saya nyaman seperti ini."
"Jangan coba membuat saya ilfil denganmu. Sifat cuekmu itu malah yang membuat saya jatuh cinta."
"Benarkah? Sepertinya itu baru awal-awal saja?”
"Baru awal? Saya sudah menyukaimu sejak satu tahun terakhir." Ucapan dan sikap Hans yang frontal selalu membuat Maya terkejut. "Saat itu kau masih memiliki suami. Saya menahan rasa suka ini. Bukankah saya pandai bersembunyi?"
Mobil dan motor yang berada di belakangnya mengklason bersautan. Maya segera menjalankan mobilnya dengan jantung yang berdegup kencang. Tidak ingin banyak bicara. Jadi disepanjang perjalanan mereka benar-benar diam dan tidak saling pandang. Bahkan, Maya tidak sadar kalau Hans tertidur.
Maya menatap wajah Hans dari posisinya. "Pantaskah kalau aku sebut dia pria gila? Kenapa bisa dia menyukai wanita sepertiku? Aku saja muak dengan diriku sendiri."
Matanya tiba-tiba terbuka lebar. Untuk yang kesekian kalinya Maya dibuat terkejut oleh kelakuan Hans. "Cinta lebih sering hadir tanpa alasan. Untuk pertanyaan itu, saya tidak punya jawabannya. Jadi, jangan menanyakannya lagi."
***
“Jadi, Pak Hans mengambil semua sisa cuti untuk pulang ke Indonesia?”“Iya. Saya masih mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu,” jawab Hans sambil merapikan pakaiannya dari dalam koper.“Mengundurkan diri? Kenapa?”“Kau ingin tahu?”“Oh, tidak juga.” Cuek sebenarnya bukan sifat aslinya. Dulu, Maya adalah wanita yang periang dan murah senyum. Semenjak anaknya meninggal, dia merasa sangat terpukul dan mulai menutup diri.“Mau makan sesuatu? Kita belum sarapan, ‘kan?”Mata Maya melihat ke arah dapur yang kosong melompong. “Sepertinya tidak ada apa-apa di dapur?”“Maksud saya, apakah mau saya pesankan makanan? Apa yang kau inginkan?”“Hmm, saya ingin sarapan yang sederhana saja. Mungkin seperti croissant dengan secangkir kopi?”"Baiklah.”Hans segera mengambil ponsel dan mulai memesan makanan dari kafe terdekat. Maya duduk di ruang tamu, merasa agak canggung dengan situasi yang sedang terjadi. Dalam hati Maya berkata, “Tenang, Maya. Kau hanya melakukan ini karena dia m
"Ayo, silakan masuk. Lisa sedang membuat makan malam."Langkah panjang membawa Reza masuk ke dalam rumah. Tanpa basa-basi, dia langsung menuju dapur, tempat Lisa sedang menyiapkan makanan. “Kau menangis? Ada apa?” tanyanya pada sang kekasih."Kau benar-benar akan pergi sekarang?""Iya. Ini perintah dari Aidan.""Tidak bisakah kau beri aku kepastian kapan akan kembali?""Aku sendiri tidak tahu. Tapi, aku janji akan selalu menghubungimu."Melihat bagaimana lembutnya cara Reza berbicara pada Lisa, membuat ingatan lama perlahan menguasai pikiran Maya. Tanpa berkata apa-apa, dia masuk ke kamar yang dulu menjadi tempat anaknya bermain."Dulu, sikap Aidan yang lembut dan tulus selalu membuatku yakin kalau kami akan terus bersama. Namun nyatanya, kami berakhir seperti ini."Pintu kamar terbuka lebar, Reza bicara empat mata pada mantan istri dari atasannya itu. “Kau ragu berpisah dengan Aidan?”"Lagipula semuanya sudah terjadi.”"Ini dari Aidan." Buket mawar putih dengan harum alaminya sangat s
“Pak Hans baik-baik saja?”Maya dengan cepat membantu pria berusia dua puluh delapan tahun itu untuk masuk ke dalam rumah yang berantakan karena pecahan kaca. Hans masih saja peduli dengan menyingkirkan pecahan kaca di lantai agar Maya tidak menginjaknya."Lisa, tolong bawakan air hangat dan handuk kecil. Aku akan mengambil kotak obat.”Maya menemukan yang dia cari. Terlebih dahulu dia lihat tanggal kedaluarsa obat tersebut. Setelah dirasa aman, Maya membersihkan luka Hans dengan alkohol setelah Lisa membersihkannya. Lukanya lumayan panjang dan dalam. Namun Maya tidak mendapati Hans meringis kesakitan."Apakah tidak sakit?""Tentu saja sakit.”"Aku akan membuatkan teh hangat." Lisa langsung pergi ke dapur dengan pencahayaan dari ponselnya."Ini yang saya inginkan, melindungimu,” ungkap Hans.“Terima kasih.”Setelahnya, Maya bangun dan pergi ke kamar untuk mengambil sesuatu. "Maya, jangan terpengaruh. Jangan mudah percaya," ucap Maya pelan sambil mencari baju untuk Hans.Masih ada beber
Sudah hampir dua tahun, rumah yang pernah dia tempati selama lima tahun itu ditinggalkan. Hans dengan sangat ragu dan berat hati, kembali datang ke sana seorang diri. Jika bukan karena Maya, dia tidak akan mau datang lagi ke tempat yang penuh luka itu.“Di mana Tuan Marco?”“Mau apa kau mencarinya?” tanya Vito, senior Hans yang juga bekerja untuk Marco. Dia orang yang pernah sangat melindungi Hans setiap kali Marco memarahinya.“Apa dia sedang tidak di sini?”“Hans, tolong berhenti. Sampai kapan pun, kau tidak akan bisa kabur darinya. Dia mengawasimu selama ini, sekali pun kau ada di Swiss. Dia diam bukan berarti lupa. Dia hanya mencari waktu yang tepat.”“Aku tahu. Aku masih berusaha memenuhi syarat dari Tuan Marco agar bisa segera terlepas darinya.”“Lalu, kau datang ke sini karena sudah berhasil memenuhi syaratnya? Kau sudah menemukan wanita terakhir?”“Di mana Tuan Marco?” tanya Hans lagi, tanpa menjawab pertanyaan itu.“Apa yang ingin kau lakukan? Tolong jangan menentangnya, Hans.
“Sudah saya bilang ini hanya luka biasa.”“Setidaknya saya mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri.“Aku akan mengantarmu pulang.” Maya berjalan meninggalkan rumah sakit tanpa berbicara pada Hans. Sampai di dalam mobil pun, dia hanya diam.“Oh, iya, apa Pak Hans sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... saya sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”"Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin saya diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah saya urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, Pak Hans."Hans tahu bahwa kebohongannya akan menimbulkan masalah di masa depan. Tetapi dia tidak bisa membawa dirinya untuk mengungkapkan kebenaran kepada Maya secepat itu.“Eum, bolehkan
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut.“Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan dengan dia.”"Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.”Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya.Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu."“Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga pernah berjanji untuk mengajak kami ke sini.”Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kau ingin kita pergi ke tempat lain saja?”“Tidak perlu. Aku senang berada di s
“Apa kau masih mencintaiku?”Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Maya merasa bibirnya kaku, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Maya akhirnya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, ada apa? Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?”“Entahlah. Hanya tidak sengaja terlintas dipikiranku.”“Kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir, bukan tidak mungkin kalau kita tidak lagi saling cinta.”Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Maaf sudah mengganggumu.”“Apa kau sakit? Suaramu terdengar aneh?”“Aku baik-baik saja.”“Bagaimana denganmu? Apa kau masih mencintaiku?”“Menurutmu?”“Aku bertanya hanya ingin memastikan saja.”“Aku tidak ingin kita saling menyakiti lagi, May.
Reza dengan telaten merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
“Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.
Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia
“Kenapa Maya belum datang juga? Apa kau sudah bisa menghubunginya?” tanya Aidan dengan mata yang sedikit tertutup.“Dia belum bisa dihubungi,” ucap Reza. “Oh, mungkin dia sedang antre? Bukankah tadi dia bilang ingin membelikan kita camilan?” Reza berusaha mencairkan suasana.“Benar juga. Sudah, tidak perlu mencemaskannya,” sambung Lisa yang juga berusaha tenang, tidak ingin Aidan khawatir."Aku ngantuk sekali," ucap Aidan lirih sambil memejamkan mata.“Itu pasti karena obat. Kalau begitu, tidurlah,” kata Reza."Kalau Maya sudah datang, tolong katakan padanya untuk jaga diri baik-baik. Jangan menangis lagi. Aku ingin dia bahagia. Tolong kalian juga, jangan pernah meninggalkannya sendirian, selalu temani dia. Lalu, sampaikan juga bahwa aku senang pernah mencintainya. Aku bersyukur pernah menjadi orang yang dia cintai. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."Kalimat itu membuat Lisa, Ayren, dan Reza saling bertukar pandang, terkejut. “Ah, kau ini, melantur saja! Sudah, istir
Maya memutuskan tetap berada di sana, tidur di sofa, dan bangun lebih awal. Duduk di tepi ranjang dan pandangan tertuju pada sosok yang terbaring lemah, dengan tangan yang tergenggam erat.Bayangan masa lalu berkelebat, membawa kembali potongan kenangan yang begitu manis sekaligus menyakitkan. Rasa sesak tiba-tiba menyerang. Dada seperti ditekan oleh beban yang tak terlihat, membuat napas terasa berat. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir deras, membasahi pipi."Kenapa menangis?" tanya Aidan dengan suara lemah.“Kau sudah bangun?”“Ada apa? Kenapa kau menangis?”"Aku ... aku tidak tahu. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba menangis."“Maya, kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Aku di sini. Kalau kau merasa sedih atau takut, aku akan mendengarkan semua keluhanmu,” tutur Aidan sambil menghapus air mata yang membasahi wajah mantan istrinya itu.“Aidan, apa kau ingat kapan pertama kali kita b
“Aku tahu aku bersalah dan aku tidak akan pernah bisa mengganti apa yang hilang darimu, Rachel. Aku minta maaf.”Rachel memalingkan wajah, air mata masih mengalir tanpa henti. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku bahkan tidak sempat mengatakan padanya tentang kehamilan ini. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku membawa bagian dari dirinya."Tangan Maya perlahan terulur, menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Rachel, Hans pasti tidak pernah ingin melihatmu seperti ini, hidup dalam ketakutan dan kesedihan.”“Lalu, apa yang bisa aku lakukan sekarang selain bersembunyi? Aku tidak punya apa-apa lagi dan aku tidak bisa melakukan apapun lagi, Maya. Semua sudah hancur.”“Aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”“Polisi pasti akan menangkapku juga. Selama ini aku melindungi ayahku, walau aku tidak melakukan apa yang dilakukan ayahku. Semua orang pasti berpikir aku sama jahatnya dengan ayahku.”“Polisi hanya menginginkan kesaksianmu. Kau tahu banyak tentang apa yang dilakuka
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti melewati waktu yang tak berujung. Setibanya di bandara, langkah mereka penuh tergesa, mengejar waktu yang seolah bergerak terlalu cepat. Mobil yang menjemput langsung melaju menuju rumah sakit tempat Aidan dirawat.Di lobi rumah sakit, Ayren dan Lisa sudah menunggu. Langkah Maya semakin cepat ketika melihat mereka. “Ayren, Lisa!” panggil Maya.“Kak Maya, Kak Reza? Akhirnya sampai juga,” ucap Ayren pelan, mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan.“Bagaimana keadaan Aidan?” tanya Maya dengan cemas.“Barusan, dokter bilang kondisi Kak Aidan sudah stabil. Tadi sempat drop karena sesak napas, tapi sekarang sudah normal lagi.”Maya menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang sempat mencekiknya. Tanpa berkata banyak, dia meminta izin untuk masuk ke ruangan. Di dalam kamar rawat, suasana terasa sunyi.Sosok yang terbaring di ranjang terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dengan lingkar mata yang gelap. Melihat itu, hati Maya t
“Saya datang untuk mengambil beberapa barang saya yang tertinggal di sini.”Maya kembali ke rumah orang tua Hans untuk mengambil sisa barangnya. Dia datang bersama Reza, yang akan menemaninya atas perintah Aidan.“Silakan. Selama ini, saya tidak apa-apakan kamar itu.” Lina mengantar Maya ke kamar yang pernah ditempatinya beberapa hari itu.Ketika sedang mengemas barang-barangnya, tangannya sedikit gemetar saat hendak mengambil buku jurnal berwarna cokelat yang pernah diberikan Hans. Saat itu, Hans memberikannya disaat Maya sedang frustrasi.“Buku ini … Hans yang memberikannya padaku. Dia bilang, aku bisa mencatat perasaan dan pemikiranku di sini. Hans juga bilang, menuliskan apa yang ada di hati dapat membantu meringankan beban, tapi apakah bisa meringankan rasa rindu?”“Kau merindukannya?” tanya Lina yang duduk di ujung tempat tidur.“Kami tidak selalu bersama. Tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Tapi saat sedang bersamanya, dia selalu bisa membuatku bahagia.”“Apa kau men
Maya hanya melamun di ruang tunggu. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, dan penampilannya lusuh. Pakaiannya masih dipenuhi darah, namun di tutupi oleh jaket yang Zayn berikan. “Maya, bisakah ikut Ayah untuk memberikan keterangan tentang semua ini?” Apa yang Zayn ucapkan sebenarnya di dengar jelas oleh Maya, namun wanita itu sulit fokus. Lisa mendekati sahabatnya itu, memeluknya dari samping dan mencoba bicara pelan. “May, kita tahu kau sangat terpukul dengan semua kejadian ini. Tapi, penjahat itu harus segera diadili. Polisi butuh keterangan darimu untuk menangkap penjahat itu. Bisakah kau ikut Om Zayn untuk memberikan keterangan?” “Apakah mereka benar akan ditangkap?” tanya Maya dengan lesuh. “Tentu saja. Tanpa sisa,” jawab Zayn. “Jangan takut. Kesaksianmu akan dilindungi.” Setelah beberapa saat, mencoba mengerti dan menunggu Maya siap, akhirnya Zayn dan beberapa anak buahnya membawa Maya ke Markas Pasukan Khusus, tempat Marco ditahan untuk penyelidikan. Sesampainya di markas,
Maya terus mengguncang tubuh Hans, berharap keajaiban terjadi. Namun, tubuh Hans tetap tak bergerak. Air mata Maya jatuh tak terkendali, membasahi wajah pria yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkannya.Zayn mendekat, memegang bahu Maya dengan lembut. "Kita harus segera membawanya ke rumah sakit. Dia masih punya peluang.""Dia ... dia tertembak dan itu salahku. Aku tak bisa melindunginya.""Ini bukan salahmu. Tidak ada waktu untuk menyalahkan siapa pun. Percayalah, dia akan bertahan," ujar Zayn tegas sambil memberi isyarat pada timnya untuk membawa Hans keluar.Marco yang tergeletak dengan luka tembak di kakinya, menatap Zayn dengan penuh kebencian. “Kau pikir ini sudah berakhir? Kau tidak tahu apa yang akan datang, Zayn,” katanya dengan tawa getir meski wajahnya menyiratkan kesakitan.“Sudah cukup, Marco. Kau kalah. Permainan ini berakhir untukmu.” Dengan isyarat tangannya, anak buah Zayn memborgol Marco dan m