Sama sekali tidak ada niat untuk menjual rumah tersebut. Rumah yang baru ditempati selama 4 tahun itu menyimpan banyak sekali kenangan yang selalu mengingatkannya pada kesedihan mendalam. Kamar sang anak yang sudah dirancang dengan baik, hanya ditempati beberapa tahun saja. Meninggalkan banyak mainan, baju, dan foto yang kembali membuat air matanya mengalir deras.
“Nak, Mama pulang. Maaf sudah membuatmu menunggu lama.” Maya membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan seprai bermotif bunga sakura tersebut. “Tidak perlu cemas. Mama tidak akan melupakanmu. Tidak akan pernah bisa.”
Seorang ibu yang selama 2 tahun hidup penuh kekhawatiran karena anaknya tinggal jauh di Swiss dengan membawa luka yang teramat, akhirnya bisa merasakan lega dihatinya. Namun, tidak menyangka kalau anak semata wayangnya itu pulang dengan masih larut dalam kesedihan. Tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya dia selama di Swiss, hidup sendiri dan menyimpan lukanya sendiri.
"Maya, makan dulu, yuk?"
"Maaf sudah membuat Ibu khawatir selama ini,” kata Maya yang duduk dipinggir kasur.
Widia mendekati sang anak dan mengelus lembut pundaknya. "Kamu bahagia di sana?"
"Setiap hari aku berusaha untuk selalu bahagia. Tapi, semua hanya sesaat. Sampai akhirnya aku tidak kuat dan memutuskan untuk menyerah."
"Tidak apa-apa, kamu sudah berusaha. Keputusan untuk kembali ke Indonesia adalah yang paling tepat karena kamu tidak memaksanya. Kamu sudah melakukan semuanya dengan baik, Nak."
"Aku sudah resmi bercerai dengan Aidan. Maaf karena tidak memberitahu Ibu lebih dulu."
"Itu rumah tanggamu. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik atas semua yang menjadi keputusan kalian." Widia mengambil sebuah bucket dengan bunga mawar putih yang sudah layu. “Ini dari Aidan. Seminggu yang lalu dia datang ke rumah Ibu, sekalian mau pamit karena akan tinggal di Kanada.”
Widia keluar dari kamar itu, meninggalkan Maya sendirian untuk memberikan ruang. Ada sebuah surat yang terselip diantara bunga-bunga layu itu. “Ah, kenapa kamu masih melakukan ini, Dan?”
Dengan hati-hati, Maya membuka amplop putih yang terbungkus rapi. Sehelai kertas putih dengan tinta hitam di atasnya berisi tulisan tangan yang akrab, mengungkapkan perasaan dan pemikiran Aidan selama ini.
Untuk ibu dari anakku,
Maya Almayra
Saat surat ini sudah berada di tanganmu, aku harap dapat memberi ketenangan dan pengertian. Kita telah melewati banyak rintangan hidup dan aku merasa perlu untuk berterus terang tentang perasaanku.
Setiap hari, aku merenungkan momen indah kita bersama dan juga beban yang terasa semakin berat. Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa kita berdua telah berubah. Pernikahan kita sudah tidak baik-baik saja. Kita mungkin harus melepaskan satu sama lain agar bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Ini bukan tentang menyalahkan atau menyesali, namun tentang pembebasan diri dan memberikan kesempatan untuk memulai lagi. Semoga kamu bisa memahaminya, sebab keputusan ini aku ambil dengan banyak pertimbangan. Aku berharap kamu dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah kamu dapatkan saat bersamaku.
Dengan berat hati aku menyadari bahwa kita berdua harus saling melepaskan. Mungkin ini adalah saatnya untuk kita mencari kebahagiaan di jalur yang berbeda. Maafkan aku jika selama ini selalu menyakitimu. Terima kasih atas semua cinta, ketulusan, dan pengorbananmu. Terima kasih juga telah melahirkan seorang gadis cantik yang telah menjadi bidadari di surga. Semoga langkah kita selanjutnya membawa kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.
Salam hangat,
Aidan
Maya merenung, meresapi setiap kalimat dan mencoba memahami perasaan mantan suaminya. Meskipun masih ada luka dan kesedihan, dia bisa merasakan upaya dan ketulusan dalam kata-kata Aidan. “Terima kasih kembali, Aidan.”
***
Maya tidur diatas kasur sang anak yang sudah lama tidak di tempati. Bahkan dia melewatkan makan malamnya dengan menghabiskan waktu di kamar itu. Pagi harinya, Maya bangun dengan suasana baru.
“Ah, bisakah aku lewati hari ini dengan baik?”
“Maya?” Widia memanggil dari depan pintu. “Ada yang mencarimu.”
“Siapa, Bu?”
“Kamu lihat saja sendiri. Ayo, cepat.”
Walau penasaran, Maya tetap saja bersikap santai. Dia bahkan belum mengganti bajunya sepulang dari Swiss. Langkah kakinya yang kecil membawanya keluar dari kamar dan menemui tamu yang datang terlalu pagi.
“Pak Hans?”
Senyum pria yang berusia 4 tahun lebih muda darinya itu terlihat semringah, berbeda dengan Maya yang menampilkan wajah bingung.
Widia datang membawa minuman dan makanan. Dia lewat dan menyenggol sang anak yang terus berdiri di depan kamar. "Kok, kamu malah melamun, sih, May?" Secangkir teh hangat yang dia bawa langsung dari Semarang, disajikan bersama dengan pisang goreng. "Silahkan diminum tehnya. Pisang gorengnya jangan langsung di makan, masih terlalu panas."
"Terima kasih, Bu," ucap Hans dengan sopan.
Maya masih berdiri diposisinya. Dia masih terkejut dengan kedatangan Hans. Bahkan sesekali dia menyentuh wajah dan mencubitnya, barangkali itu adalah mimpi.
"Maya, kamu kenapa berdiri saja, sih? Temani tamunya, dong? Kamu, tuh."
Baru saja melangkah, dia terjatuh karena tiba-tiba kakinya lemas. Widia mendekatinya sambil berkata, "Seperti inilah kelakuannya. Sudah kepala 3 tapi masih seperti anak kecil."
"Ih, Ibu."
Hans tertawa mendengarnya, membuat Maya semakin canggung saat duduk di dekatnya. Tidak seperti biasanya, kali itu Maya yang memulai pembicaraan setelah beberapa saat mereka saling diam.
"Kenapa Pak Hans bisa ada di sini?"
"Saya langsung pesan tiket ke Indonesia setelah beberapa jam kamu pergi."
"Oh, iya. Saya hampir lupa kalau minggu ini adalah akhir tahun."
"Bukan karena itu, tapi karena saya tidak ingin jauh darimu."
"Saya suka pujian, tapi tidak dengan gombalan, Pak."
Kalimat itu mengundang tawa dibibir mereka. Dalam hati Hans benar-benar merasa senang dapat terus melihat Maya. Dia ingin membuktikan kalau cintanya tulus dan nyata.
"Saya boleh minta tolong?" tanya Hans.
"Silahkan."
"Bisakah antar ke apartemen tempat saya menginap?"
***
Dengan mobil miliknya, Maya mengantar Hans ke tempat tujuan. Keheningan kembali tercipta. Hans salah tingkah karena hanya duduk diam dan Maya yang mengemudi.
"Hening sekali," sindir Hans.
"Ingin putar musik?"
"Tidak. Saya ingin mengobrol denganmu saja."
"Apa yang ingin dibicarakan?"
"Bukankah akan lebih santai kalau kita bicara secara informal?"
"Silahkan saja. Tapi saya nyaman seperti ini."
"Jangan coba membuat saya ilfil denganmu. Sifat cuekmu itu malah yang membuat saya jatuh cinta."
"Sungguh? Sepertinya itu baru awal-awal saja?”
"Baru awal? Saya sudah menyukaimu sejak satu tahun terakhir." Ucapan dan sikap Hans yang frontal selalu membuat Maya terkejut. "Saat itu kamu masih menjadi istri orang. Saya menahan rasa suka ini. Bukankah saya pandai bersembunyi?"
Mobil dan motor yang berada di belakangnya mengklason bersautan. Maya segera menjalankan mobilnya dengan jantung yang berdegup kencang. Tidak ingin banyak bicara. Jadi disepanjang perjalanan mereka benar-benar diam dan tidak saling pandang. Bahkan, Maya tidak sadar kalau Hans tertidur.
Maya menatap wajah Hans dari posisinya. "Pantaskah kalau aku sebut dia pria gila? Kenapa bisa dia menyukai wanita sepertiku? Aku saja muak dengan diriku sendiri."
Matanya tiba-tiba terbuka lebar. Untuk yang kesekian kalinya Maya dibuat terkejut oleh kelakuan Hans. "Cinta lebih sering hadir tanpa alasan. Untuk pertanyaan itu, saya tidak punya jawabannya. Jadi, jangan menanyakannya lagi."
"S-saya ...."
"Kamu mencintaiku?"
"Hah?"
“Belum?"
"Pak Hans, tolong jangan bersikap begitu."
"Oh, maaf."
"Lakukan secara natural. Jangan terlalu frontal seperti itu."
"Maksudmu ... jadi, k-kamu memberi saya harapan?"
“Jadi, Pak Hans mengambil semua sisa cuti untuk pulang ke Indonesia?”“Iya. Saya masih mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu,” jawab Hans sambil merapikan pakaiannya dari dalam koper.“Mengundurkan diri? Kenapa?”“Kamu ingin tahu?”“Oh, tidak juga.” Cuek sebenarnya bukan sifat aslinya. Dulu, Maya adalah wanita yang periang dan murah senyum. Semenjak anaknya meninggal, dia merasa sangat terpukul dan mulai menutup diri.“Ingin makan sesuatu? Kita belum sarapan, ‘kan?”Mata Maya melihat kearah dapur yang kosong melompong. “Sepertinya tidak ada apa-apa di dapur?”Hans mencoba memahami maksud Maya. “Maksudku apakah kamu mau saya pesankan makanan?”Maya sedikit tersentak dengan tawaran tersebut, menyadari kalau dia kurang fokus. “B-boleh.”“Apa yang kamu inginkan?”“Hmm, saya ingin sarapan yang sederhana saja. Mungkin seperti croissant dengan secangkir kopi? Bagaimana?”Hans tersenyum ramah, "Baiklah, saya akan memesannya."Dia segera mengambil ponsel dan mulai memesa
"Reza?""Apa aku membuatmu terkejut?""O-oh, t-tidak.""Ada apa? Apa terjadi sesuatu?""T-tidak." Maya membuka pintu rumahnya. "Ayo, silahkan masuk. Lisa sedang membuat makan malam."Dengan langkah panjangnya, Reza masuk dan langsung menemui Lisa di dapur. "Kamu menangis? Ada apa?" tanya Reza pada kekasihnya itu."Kamu benar akan pergi sekarang?""Iya. Ini perintah dari Aidan.""Tidak bisakah kamu beri aku kepastian kapan akan kembali?""Aku sendiri tidak tahu. Tapi, aku janji akan selalu menghubungimu."Melihat betapa lembutnya sikap Reza terhadap Lisa, membuat Maya teringat kenangan masa lalunya. Dia kembali masuk ke kamar sang anak lalu melamunkan hal yang selalu membuatnya menangis."Dulu, sikap Aidan yang lembut dan tulus sangat membuatku yakin kalau kita akan terus bersama. Namun nyatanya, kita berakhir seperti ini."Pintu kamar terbuka lebar, Reza bicara empat mata pada mantan istri dari atasannya tersebut. "Kamu tidak menginginkannya?""Entahlah. Aku hanya mengikuti kata hati.
Karena hujannya terlalu deras, Maya tidak dapat melihat apa-apa di luar. Hans baru terlihat saat sudah sampai di gerbang rumah. Maya mendekatinya, tidak peduli seluruh tubuhnya yang akan basah kuyup. Dia dengan cepat membantu pria berusia 27 tahun itu untuk masuk ke dalam rumah yang berantakan karena pecahan kaca.Dengan kakinya yang tanpa alas, Hans menyingkirkan pecahan kaca itu agar Maya tidak menginjaknya. “Hati-hati kakimu.”"Lisa, tolong bawakan air hangat dan handuk kecil. Aku akan mengambil kotak obat," perintah Maya dengan tubuh sedikit menggigil.Setelah mengambilnya, Lisa langsung membersihkan darah dari lengan Hans. "Maaf, ya?"Maya menemukan yang dia cari. Terlebih dahulu dia lihat tanggal kadaluarsa obat tersebut. Saat dirasa aman, Maya membersihkan luka gores itu dengan alkohol kemudian diteteskan obat merah.Lukanya lumayan panjang dan dalam. Namun Maya tidak mendapati Hans meringis kesakitan. "Tidak sakit?""Tentu saja sakit.""Kamu terlihat baik-baik saja?""Hanya ti
Berusaha untuk tidak sedih, namun hatinya terasa sesak setiap kali datang ke kafe itu. Sudah tahu begitu, Maya tetap saja mampir ke sana setiap harinya walau hanya sekedar minum kopi. Berkat Hans, dia bisa kembali memakan donat yang sudah lama tidak berani dilakukannya.Aidan. Tiba-tiba pria itu terlintas dipikirannya. Ketika ingat dengan sang anak, Maya juga jadi teringat dengan Aidan. Dia membuka ponselnya, mencari room chat milik Aidan yang kosong. Padahal, Maya selalu menyimpan riwayat chatnya dengan Aidan sejak mereka pacaran. Namun setelah bercerai, semuanya sengaja dia hapus. Meninggalkan penyesalan yang terus mengganggu hatinya.“Bagaimana, ya? Apa aku cari pekerjaan di tempat lain saja?”Awalnya, Maya yakin dia akan diterima si perusahaan itu. Keberadaan Rachel sebagai manager di sana membuat Maya berpikir untuk mundur sebelum nantinya bergabung.Sebuah pesan masuk dari Hans tidak pernah langsung dibuka. Setelah beberapa menit, Maya baru membukanya. “Jalan-jalan?” ucap Maya s
“Sudah kubilang, ini hanya luka biasa.”“Setidaknya aku mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri. Sepulangnya dari rumah sakit, Hans kembali mengingatkan Maya perihal jalan-jalan.“Jadi, kita mau ke mana sekarang?”“Aku akan mengantarmu pulang.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”“Oh, iya, kamu sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... aku sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”Hans berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. "Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin aku diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah aku urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, ya, Hans?"Hans merasa lega karena Maya terlihat percaya. Namun, i dalam hatinya dia tahu
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut. “Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan bersama dia.” "Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.” Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya. Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu." “Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga berjanji untuk mengajak kami ke sini.” Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kamu ingin kita pergi ke tempat lain saja?” “Tidak perlu, Hans. Aku senang be
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Mulutnya terasa kaku, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Maya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir tidak semudah itu untuk kembali seperti dulu."Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Aku hanya merindukanmu dan ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya."“Kita bercerai memang bukan karena tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan bersama. Dan sejak itu, kita telah menjalani kehidupan masing-masing.”“Jadi maksudmu, kamu masih mencintaiku?”Maya menghela napas dan melanjutkan ucapannya karena tidak mendengar res
Reza dengan teliti merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
Walau berada di samping Aidan, yang ada di bayangan Maya tetaplah Hans. Pria itu tidak ada kabar dan tidak dapat dihubungi sejak meninggalkan Indonesia. Maya tidak memberitahunya, namun Aidan mengetahui kecemasannya itu.“Di mana dia sekarang?” tanya Aidan sembari menuang kopi yang Maya buat.“Di Swiss.”“Untuk apa dia ke sana?”“Urusan pekerjaan.”“Aku pikir dia ingin melarikan diri?” Maya menatap Aidan dengan tatapan dinginnya. “Kenapa menatapku seperti itu?”“Dia tidak seburuk yang kamu pikirkan, Aidan.”“Menjadi kaki tangan seorang mafia adalah hal yang sangat buruk.”Sepertinya, Aidan telah banyak tahu tentang Hans, sedangkan Maya belum banyak mengetahuinya. “Soal Ayren, tolong jangan beritahu padanya tentang hubunganku dengan Hans.”“Memangnya kenapa kalau dia tahu?”“Aku mohon, Aidan.”“Kamu banyak memohon padaku demi pria itu?” Aidan meletakkan cangkirnya dan berhadapan dengan Maya. “Katakanlah semuanya. Katakan kamu ingin aku melakukan apa lagi?”Maya menelan air liurnya leb
Setelah berpikir matang-matang, Aidan memutuskan untuk kembali ke Indonesia, memulangkan semua karyawannya juga. Walau tanpa persetujuan dari sang asisten, Aidan tetap teguh dengan keputusannya. Keras kepala memang. Kata Reza, itulah Aidan.“Biarkan mereka kembali ke Indonesia paling lambat lusa,” perintah Aidan pada Reza mengenai para karyawannya.“Bagaimana denganmu?”“Aku akan tetap pergi hari ini. Tiketnya sudah di pesan, ‘kan?”“Sudah.”Aidan dan Reza lanjut berkemas. Reza mengecek semua koper dan barang bawaan Aidan. Selain keras kepala, Aidan juga sangat ceroboh dan pelupa. Dua jam lagi menuju waktu keberangkatan. Reza sudah siap pergi, sedangkan Aidan masih sibuk di meja kerjanya.“Sungguh akan pergi hari ini?”“Jangan bertanya lagi. Aku sudah mulai kesal denganmu,” jawab Aidan dengan mata yang masih fokus ke layar monitornya.“Bagaimana dengan proyek yang sedang berjalan?”“Aku sudah hubungi klien yang bersangkutan. Kamu tenang saja.”“Demi Maya kamu melakukan semuanya?” Pert
Maya tidak benar-benar mengatakannya. Dia hanya tidak ingin Aidan masuk ke dalam masalah itu. Untuk ucapannya pada Hans pun tidak dengan jujur dia katakan. Maya tidak akan menjauhi Hans, karena dia merasa mulai jatuh cinta padanya. Terdengar mustahil memang, jatuh cinta walau sudah tahu kalau pria itu adalah seorang penjahat. Maya sendiri juga bingung dengan hatinya yang tiba-tiba memilih Hans.“Kamu masih belum mau jujur padaku?” tanya Lisa kesekian kalinya.Sudah berjam-jam Maya hanya duduk dan tiduran di kasur milik anaknya. Tidak keluar kamar, sekalipun untuk sekedar makan. Dia terus menggenggam ponselnya, seperti menunggu sesuatu.“Aku sudah bilang, aku akan merahasiakannya dari Reza. Aku tidak akan mengatakan apa pun padanya,” lanjut Lisa.Masih tetap sama, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Maya. Sejujurnya, dia sedang berpikir karena bingung harus mengatakan semuanya pada Lisa atau memilih untuk tetap diam. Setelah beberapa saat, Maya mengangkat kepalanya dan menatap Lis
Sudah hampir dua jam Maya menunggu dengan gelisah di ruang tunggu apartemen, namun Hans tak kunjung datang. Ponselnya tidak aktif, membuat Maya sulit menghubunginya. Maya memutuskan untuk pulang, namun ucapan terakhir Hans terus berputar di pikirannya.“Tapi, aku tidak bisa diam saja. Aku tidak dapat menghubunginya dan tidak tahu kabarnya. Aku tidak bisa menunggu lagi. Bagaimana, ya?”Maya tidak peduli dengan permintaan Hans. Baru saja sampai rumah, Maya berniat untuk pergi ke kantor polisi. Namun, sebuah bunga mawar putih yang ada di kursi samping membuatnya teringat pada seseorang.“Aidan?”Tangannya dengan cepat mengambil ponsel untuk menelepon Aidan. Hanya mantan suaminya itu yang ada di pikirannya untuk dia pintai bantuan. Namun, Aidan tidak dapat dihubungi. Maya putus asa. Dia baru sadar kalau telah secemas itu pada Hans, seorang pria yang pernah dia tolak cintanya.“Tumben sekali Aidan tidak bisa dihubungi? Ada apa dengannya, ya?”Pikiran Maya terbagi antara kekhawatiran Hans d
Marco melangkah mendekat, tersenyum keji di hadapan Maya yang semakin gelisah. "Kamu penasaran tentang Hans, ‘kan? Kami memiliki sesuatu yang harus kamu ketahui tentangnya, tentang sisi gelap dia yang sebenarnya," ujarnya dengan nada menggoda."Apa yang kamu lakukan pada Hans? Di mana dia sekarang?" desaknya dengan suara gemetar. Dengan wajah penuh ketakutan, Maya mencoba keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Marco. “Lepaskan aku!"“Hans keras kepala. Dia mulai berani mengabaikan dan menentang perintahku. Saya pikir, kamu pasti bisa membuatnya kembali padaku?”“Omong kosong!”“Hans bukanlah pria baik seperti yang kamu kenal. Jika kamu berpikir kami seorang penjahat, maka begitu juga dengan Hans karena dia juga merupakan bagian dari kami. Dia tidak lebih dari seorang boneka dan kaki tangan kami."“Kamu pikir saya percaya?”“Hidupmu tidak akan aman kalau masih berhubungan dengan Hans. Sudah banyak kriminalitas yang dia lakukan. Kamu yakin akan bahagia bersamanya? Pikirkan baik-bai
Reza dengan teliti merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Mulutnya terasa kaku, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Maya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir tidak semudah itu untuk kembali seperti dulu."Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Aku hanya merindukanmu dan ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya."“Kita bercerai memang bukan karena tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan bersama. Dan sejak itu, kita telah menjalani kehidupan masing-masing.”“Jadi maksudmu, kamu masih mencintaiku?”Maya menghela napas dan melanjutkan ucapannya karena tidak mendengar res
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut. “Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan bersama dia.” "Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.” Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya. Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu." “Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga berjanji untuk mengajak kami ke sini.” Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kamu ingin kita pergi ke tempat lain saja?” “Tidak perlu, Hans. Aku senang be
“Sudah kubilang, ini hanya luka biasa.”“Setidaknya aku mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri. Sepulangnya dari rumah sakit, Hans kembali mengingatkan Maya perihal jalan-jalan.“Jadi, kita mau ke mana sekarang?”“Aku akan mengantarmu pulang.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”“Oh, iya, kamu sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... aku sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”Hans berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. "Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin aku diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah aku urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, ya, Hans?"Hans merasa lega karena Maya terlihat percaya. Namun, i dalam hatinya dia tahu