"Apa, Emma?" Laki-laki itu mendekatkan diri di sebelah seorang perempuan paruh baya, yang selama ini menjadi kekasih gelapnya.
"Udah, Mas. Mulai sekarang, kita jangan berhubungan lagi. Kita biasakan lagi seperti dulu. Aku Bos, dan kamu sopir pribadiku. Aku-aku ... nggak sampai hati melukai hati suamiku, Mas."
"Tapi, kenapa baru sekarang, Sayang? Hubungan kita sudah dua tahun ini. Dimulai saat kita berdua di pondok itu dulu."
"Kamu tahu, Mas? Perbuatan kita ini melanggar aturan agama. Kita berdosa, Mas!"
Ditatapnya laki-laki muda itu, yang ... dia akui, sangat tampan dan membuatnya tergila-gila. Satu yang sangat disuka dari dia. Matanya. Sangat sayang untuk tidak dipandang. Jarang sekali ada seseorang dengan tatapan teduh seperti itu, dan ... bulu mata itu, lentik sekali.
Tapi, bagaimana lagi? Dia nggak mau perasaan ini semakin dalam dengan permainan ini. Yang dirasa semakin menggairahkan dan semakin membuatnya hilang kendali, lepas kontrol.
"Sebenarnya, aku juga mau ngomong sesuatu Emma. Tapi karena kamu sudah bilang duluan. Ya, sudah. Aku ngomong saja sekarang."
"Apa?"
"Jangan kaget, ya? Anakmu, dua-duanya, si Yuni dan Nurul, telah ...," Sengaja menggantung kalimatnya.
"Telah apa?" Dada Emma berdebar-debar, "kamu dengan mereka?!"
Doni tersenyum, serasa di awan, di puncak tertinggi melebihi tingginya Gunung Himalaya. Disentuhnya bibir dan dagu Emma. Ada kepuasan, bisa mengendalikan situasi, dan mengatur arah pembicaraan ini.
"Iya, secara bergantian aku telah membawa mereka berdua di pondok itu. Jadi sebetulnya, ucapanmu tadi hanya masalah waktu saja. Nanti juga kamu tahu." Perempuan ini merasakan bom atom meledak di dadanya.
"Brengsek kamu, ya!" Dia berdiri, menampar pipi laki-laki itu.
Plak!
Doni merasakan panas di pipi, bibirnya terasa asin. Namun, dia puas. Matanya nanar memandang perempuan itu. Tiba-tiba terdengar teriakan.
"Mama!"
Emma menoleh ke arah mana suara itu datang. Ada Yuni dan Nurul di sana. Dua anak gadis yang sama-sama telah remaja, memandang dengan ekspresi benci pada mamanya sendiri.
Ini ... aneh.
"Mama, kenapa Mama menampar pipi Mas Doni?" tanya Nurul.
"Iya, masalah apa, Ma? Kasihan tuh, lihat! ... pipinya merah dan bibirnya berdarah. Kasihan sekali Mas Doni, Ma ...," timpal Yuni.
Emma bingung dengan pertanyaan kedua anaknya ini. Di satu sisi dia ingin menjelaskan apa yang sedang terjadi pada dirinya dan Doni. Namun jika ingat perkataan laki-laki itu tadi bahwa anaknya telah dibawa ke pondok itu juga, dia merasa geram sekali.
Ingin rasanya bercerita dan memastikan kebenaran cerita itu dari mulut anak-anaknya sendiri. Akan tetapi, hati kecilnya mengatakan jangan. Jangan sampai kedua anaknya tahu juga, bahwa mamanya ini juga telah bermain api dengan laki-laki muda itu.
Tiba-tiba Doni berkata, "tidak ada apa-apa. Tadi memang aku telah membuat Mamamu marah, dan berhak mendapatkan tamparan itu. Aku telah berbicara kasar padanya."
"Memang Mas Doni tadi bicara apa sama Mama, kok sampai ditampar begitu?" tanya Yuni penuh selidik, sambil menyenggol bahu adiknya.
"Iya, Mas. Kenapa kamu sampai ditampar begitu?" Nurul memicingkan mata. Sepertinya curiga. Semua yang melihat pasti kaget dan bingung.
Doni menatap Emma tajam. Itu suatu komunikasi, bahwa mereka harus mengadakan persamaan dalam ucapan, sehingga masalah ini tidak berlarut-larut. Emma mengerti bahwa kedua anaknya tidak tahu telah terjadi sesuatu antara dirinya dan laki-laki itu. Dan sepertinya, harusnya, mereka tidak tahu.
"Sudah enggak papa, Nak. Biarkan ini menjadi masalah kami berdua. Tadi salah paham saja, yang penting ... aku minta permintaan maaf dari dia sekarang juga, pada Mamamu ini." Emma melirik Doni. Yang dilirik mengerti. Dia berdiri pelan-pelan, menjulurkan tangan padanya.
"Maaf ya Bu, dari dalam hatiku yang paling dalam aku tidak akan pernah mengulangi lagi perkataan yang seperti tadi padamu. Aku minta maaf."
"Iya, sama-sama. Sudah, aku mau masuk kamar."
***
Cerita perselingkuhan Doni dan Emma dimulai saat mereka melewati sebuah daerah pegunungan. Saat itu, Doni mengantarkan Emma untuk suatu keperluan di luar kota. Karena Emma adalah bosnya sendiri yang memiliki banyak perusahaan di mana-mana. Mau ke mana selalu ada dia yang mengantarkan. Sebetulnya ada sopir satunya lagi, tapi wanita itu merasa bahwa, harus diakui ... merasa nyaman jika diantar oleh Doni, sopir gantengnya.
Meskipun bersuami, yang namanya perempuan berdua satu mobil dengan laki-laki yang sangat menarik hatinya, sedikit banyak telah membuatnya tertarik. Karena Doni ini juga selain tampan, dia humoris, tidak pernah membuatnya bosan duduk berlama-lama satu mobil dengan dia. Perempuan cantik, bertubuh tinggi langsing ini tidak tahu, nanti ... hasrat terlarangnya menciptakan api dalam sekam yang siap meledak.
Doni juga sama. Namanya juga ganteng masih muda dan jomlo. Keseharian dengan bos sendiri ini benar-benar menciptakan perasaan yang mendalam bagi dirinya. Bagi dia, kesedihan setelah putus dengan pacar tiga tahun yang lalu pelan-pelan telah terkikis ... dengan hadirnya sosok Emma di samping kirinya, saat bermobil.
Dengan sengaja pura-pura tidak tahu, Doni memegang jari Emma. Pertama perempuan itu menolak. Tapi karena sering terjadi, dan berulang-ulang, hal seperti itu ... dibiarkan.
Jari diremas-remas. Karena diperbolehkan, laki-laki berambut agak panjang sebahu itu meningkatkan gerakannya. Dari jari naik ke dagu, dan dari dagu turun ke ....
Dari saling bercanda dan saling berpegangan tangan itulah, membuat mereka melakukan suatu tindakan yang tidak terpuji.
Malam itu. Mobil yang dikendarai mereka bannya bocor.
***
Berdua memutuskan keluar dari mobil itu dan mencari sebuah penginapan. Setelah berjalan agak lama, menemukan sebuah warung yang mau tutup. Terlihat seorang nenek-nenek sedang membersihkan segala peralatan yang ada di warung.
"Maaf, Nek, saya mau tanya." Nenek itu menoleh. Heran, siapa dua orang ini malam-malam. Yang perempuan cakep, sudah berumur. Dan yang laki-laki masih muda. Pasti Ibu dan anaknya, pikir si nenek.
"Oh, iya. Ada apa, Mas?"
"Di sini ada penginapan nggak, Nek? Kami mau bermalam di hotel atau motel. Masih jauh nggak ya, dari sini?"
"Oh, tidak ada Mas. Jauh sekali dari sini. Masih setengah jam lagi naik motor. Kendaraan Sampeyan kenapa, Mas?"
"Ban mobil kami bocor bannya, Nek. Juga lupa tidak membawa ban serep, jadi begini."
"Mas, tanyakan lagi ke Nenek ini, masa nggak ada sebuah penginapan, di sini?" tanya Emma. Nenek ini sedikit kaget dengan panggilan 'mas'. Oh, rupanya satu pasangan, toh?
"Oh ya Mbak, aku dengar kok. Di sini tidak ada penginapan. Kota masih jauh. Tapi kalau kalian mau menginap di pondokan saya tidak apa-apa."
"Nenek punya penginapan?" tanya Emma.
"Iya, Mbak. Saya punya. Kalau berkenan ayo kita tengok, tempatnya bersih kok. Tempatnya tidak jauh dari sini. Mungkin hanya satu yang mungkin kalian agak merasa tidak nyaman ...,"
"Apa itu, Nek?"
"Tidak ada listrik di pondokanku, Mbak."
"Oh, tidak apa-apa Nek. Ayo kita kesana, kita cek daripada kita di dalam hutan Mas." Mereka mengikuti nenek itu berjalan kurang lebih setengah jam, dan sampai juga di sebuah pondokan. Setelah dinyalakan lampu petromaks, pondokan ini terlihat terawat, bersih dan rapi. Segala sesuatunya disiapkan, perempuan tua itu pulang setelah menerima beberapa uang lembaran merah dari Doni.
Sejam kemudian, di dalam kamar.
"Emma, hidungmu ini milik siapa?"
"Kenapa tanya begitu?" tanya Emma, sambil menepis jari Doni dari hidungnya.
"Tidak apa-apa, tanya saja. Belajar sok romantis aku ...," Emma melirik, yang dilirik tersenyum. Duh, ganteng sekali. Tatapan itu, bahaya ini! Pikir Emma. Dadanya berdebar-debar, eh ... kenapa juga mukanya didekatin ke mukaku?
Doni mendekatkan mukanya pada Emma. Perempuan ini meronta, tapi merontanya juga nggak niat. Laki-laki ganteng ini memandang dengan tatapan tajam. Emma merasakan, sekali lagi, dadanya berdetak dengan keras. Apa yang telah aku lakukan? Dan, tangan itu ....
Beberapa menit kemudian, kedua orang itu telah bercumbu dalam gelora asmara yang membara. Panas yang semakin membesar, membakar. Meleburkan dua hati untuk sama-sama meraih kenikmatan.
Sebetulnya antara Doni dan Emma adalah seperti kutub utara dan selatan, mereka sama-sama saling mendekat. Tapi, karena situasi dan kondisi ... jika laki-laki itu memaksa untuk mendekat, perempuan itu memaksa untuk menjauh.
Posisi Emma malam itu serba salah. Sulit untuk menolak terpaan asmara dari seorang pria muda. Dia memutuskan, biarlah malam ini aku berbuat dosa.
Yuni berumur 25 tahun dan Nurul berumur 22 tahun. Yuni cantik, hidung mancung, berkulit putih bersih, berambut panjang, agak gemuk dan pendek tubuhnya. Kalau bicara suka ceplas-ceplos, dan jika suka sesuatu, harus bisa didapatkan. Gadis yang agresif.Sedangkan Nurul persis seperti mamanya. Jika dibandingkan dengan foto Emma waktu masih muda, pastilah mirip dengan Nurul ini. Tinggi, langsing dan, seksi. Watak gadis ini pendiam, beda dengan sang kakak. Jika sedang marah selalu bisa menutupi. Padahal, hatinya masih panas dan dendam. Hati-hati.Yuni dan Nurul mengetahui bahwa mereka sama-sama menyukai sopir mamanya itu. Jika gadis-gadis remaja ini menyukai seorang laki-laki, kegilaan mereka melebihi kegilaan perjaka yang menyukai gadis perawan. Contohnya, mereka berdua sering mengintip Doni setelah selesai mandi. Kompakan. Sopir itu kurus orangnya, berambut agak panjang keriting dan tatapannya sering membuat dua gadis ini klepek klepek. Pernah karena ketahuan memandang lama-
Emma berjalan menuju sebuah kamar di bagian belakang rumah. Diketuknya pintu dengan ujung kuku. Beberapa detik kemudian pintu terbuka, Emma masuk ke dalam dan mengunci kamar itu."Sudah tidur suamimu?""Sudah, barusan." Dengan cepat mereka berciuman. Tapi, saat sedang panas-panasnya Doni bertanya, "kenapa kamu tadi siang marah-marah seperti itu? Pakai tampar pipiku lagi?""Gimana enggak marah? Kalau kamu bilang padaku pernah membawa anak-anakku ke pondok itu? Jelas kamu berbuat mesum di sana. Sekarang, jawab. Apa yang kalian lakukan di sana?""Enggak, itu hanya pancingan aja biar kamu marah karena tiba-tiba tidak mau berhubungan lagi dengan aku. Ya susah, karena aku tidur dikamar ini, kerja di rumah ini jadi sopir suamimu dan kamu. Sebetulnya bisa saja kita tidak berhubungan lagi. Gampang. Caranya? Ya pecat saja aku, beres. Tapi aku tahu kamu tidak akan melakukannya, 'kan?""Iya benar, Don. Aku ... aku, terlalu sayang padamu.""Tapi, kenapa?
"Benar Pak, aku tidak berbicara dengan seseorang pun. Mungkin Bapak salah dengar," kata Doni."Aku nggak salah dengar. Aku tadi jelas mendengar kamu berbicara dengan seseorang di kamar ini!" bentak Jarot. Keukeh."Oh, yang barusan itu? Aku tadi sedang telepon temanku di kampung, Pak.""Kok terdengar jelas suaranya, bukan seperti suara telepon?""Ya ... terdengar jelas, Pak. Orang hapenya aku loud speaker dan juga, ini kan tengah malam? Sepi sekali. Jadi semisalkan keluar suara sedikit aja sudah sangat keras kedengarannya.""Aku nggak percaya. Sebentar, aku mau masuk!" katanya sambil bergerak maju."Lho, lho ... mau ngapain, Pak?" cegah laki-laki muda ini."Aku mau masuk! Aku mau mengecek sendiri isi kamar ini ada siapa selain dirimu. Jangan halangi aku!" hardik Jarot. Pikiran dan hati sudah termakan emosi. Takut membayangkan jika istri benar-benar selingkuh dengan sopirnya sendiri."Emangnya ada siapa, Pak, selain saya?" Doni men
Seminggu dua kali Yuni dan Nurul selalu pulang ke rumah. Kota tempat mereka menimba ilmu berbeda. Hari ini Nurul datang pagi-pagi dengan taksi online, sedangkan Yuni dijemput.Jika semua anak-anak telah berkumpul seperti ini, selalu ada saja yang kurang. Jarot, selalu tidak bisa datang karena kesibukannya di luar kota. Kalau Emma, selalu pulang ke rumah. Misalkan ada jadwal pergi ke luar kota selalu diusahakan tidak bersinggungan dengan jadwal anak-anak saat pulang. Jadi satu rumah ada satu laki-laki dan tiga orang perempuan, ditambah lagi dua sopir, dan satu pembantu rumah tangga yang masuknya pagi dan pulang di sore hari.Di pagi ini, Emma dan kedua anaknya sedang makan pagi bersama. "Gimana pelajaran kalian , apakah lancar tidak ada kendala?" tanya Emma."Tidak ada, Ma. Lancar-lancar saja," kata Nurul sambil melirik Yuni."Kamu, Nak? Ada kesulitan di sana?" Pertanyaan yang sama ke anak pertamanya."Sama, Ma. Tidak ada. Tumben Mama perhatian sam
Di dalam mobil sesekali Doni melirik Emma yang ada di sebelah kirinya. Sangat cantik pagi hari ini dengan baju setelan set varoni. Perpaduan atasan warna merah cerah bermotif bunga, dengan bawahan berwarna merah gelap membuat Emma jauh kelihatan lebih muda. Tubuhnya juga masih bagus dan seksi. seminggu sekali Emma selalu fitness, makanan dan minuman juga selalu yang higenis dan bergizi. Dulu, saat pertama kali melihat Doni untuk pertama kali. Wanita paruh baya ini sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan cepat. Tanpa banyak yang dibahas dia bilang ke suaminya, Jarot."Sudah, Pa. Kita terima dia saja sekarang tidak apa-apa. Lagian, aku juga mau berangkat ke Jakarta besok pagi. Karena ini perjalanan jauh, besok sopir baru ini saja yang antarkan aku. Papa sama Pak Mardi saja. Kasihan kalau beliau, sudah tua.Gimana, Pa?" Saat itu Jarot mengiakan saja ucapan istrinya.Jika diadu penampilannya dengan Yuni, mereka ibarat seperti kakak adik yang sedang jalan-jalan santai dengan
"Tadi kami cuma muter-muter saja, setelah masuk ke toko yang menjual peralatan rumah tangga, kami ke sini." sahut Doni. Intervensi."Bukannya sudah beli baju? Eh ...," tanya Yuni lagi. Sambil meremas-remas kaos, gugup dan takut dengan jawaban yang akan didengar."Beli baju?" Laki-laki ini bertanya. Lebih mirip bergumam, ada tekanan di dalam suara. "Belum ... kami belum beli baju, kok." jawab Emma. Betul juga apa yang dikatakan Doni barusan. Anaknya telah melihat dia tadi. Bahaya. Perempuan ini melihat Yuni masih memandanginya dengan tatapan seperti ingin meminta penjelasan lebih lanjut.Seseorang di atas melihat adegan ini dengan tersenyum. Pintar sekali dua orang ini, pikirnya. Tapi ingat ... yang namanya bangkai pasti tercium Juga. Pelan-pelan diambilnya hape dan mulai mengambil gambar. Satu, dua, tiga gambar ... cukuplah."Nggak asyiklah, kalau enggak sama kamu, Nak. Ini saja dari tadi Doni berdiri bengong di sini. Kasihan dia, sepertinya nggak biasa j
Saat Yuni mengambil hape yang terjatuh tadi, Doni tanpa sengaja melihatnya. Kaget, secepatnya menarik tangan Emma dan pergi dari situ setelah sebelumnya melepas dan menaruh bajunya di sembarang tempat, nggak jadi dibeli. Emma masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Doni menjelaskan."Ada anakmu! Lepas bajumu dan taruh di sini!" Emma kaget, tapi mengikuti juga apa yang dikatakan laki-laki ini. Dia berbisik ke Emma."Ayo, kita pergi dari sini!""Yuni? Kok ...,""Ayo, cepat! Bisa runyam, nih!"***"Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!" Pembantu rumah tangga berumur kurang lebih lima puluh lima tahun ini membukakan pintu. Setelah terbuka, tiga orang ini masuk ke dalam rumah."Ini, Bi. Ada oleh-oleh buat kamu." Emma memberi sebungkus oleh-oleh buat ART ini. Dibelikannya dua kaos bermotif bunga-bunga berwarna gelap untuk keseharian di rumah. Seorang juragan yang lumayan baik, pengertian."Terima kasih, Bu Emma. Ya Alla
Cinta karena terbiasa. Itu salah satu kalimat yang dibaca gadis ini di sebuah teks lagu, atau di sebuah roman picisan. Mungkin pertamanya Doni tidak akan mau dengan diriku, tapi karena situasi yang memungkinkan dan waktu juga akan membuktikan. Bahwa benar, cinta bisa ada, karena terbiasa, pikir Nurul. Siapa tahu hatinya akan terbuka untukku? Yang pertamanya benci nggak suka, nanti akhirnya jadi benci ... benar-benar cinta.Terdengar langkah kaki seseorang sedang menuju dapur. Siapa itu, pikirnya. Pelan-pelan dia membuka pintu kamar yang selalu tidak terkunci. Terlihat sekelebat bayangan. Kamar Nurul dan kakaknya memang berdempetan. Sedangkan di luar kamar sebelah kiri adalah dapur. Kamar Doni terletak di belakang, sebelah kanan.Apakah itu Yuni? Atau Doni? Jika laki-laki itu, ini adalah kesempatanku. Malam-malam tidak ada orang yang tahu. Semua telah tertidur lelap. Di hati dan pikiran mengatakan dia harus melaksanakannya malam ini. Dengan modal nekat, Nurul pelan-pelan