Dua pasang mata itu menatap tajam ke seseorang yang jaraknya cuma beberapa meter saja dari mereka. Orang itu sedang melamun. Matanya fokus melihat ponsel, tapi kelihatan, pikirannya tidak sedang di situ. Duduknya tidak tenang dan gelisah."Ssst, lihat. Semenjak kemarin itu, Mama jadi sering melamun, ya?""Iya, Kak.""Bayangin aja, Rul. Dua tahun, lho? Lama. Kita aja yang belum ngerasain susah untuk melupakan? Apalagi yang sudah pernah begitu? Ternyata kita bertiga punya maksud yang sama. Cuma kita berdua kalah saja, kalah di waktu dan pengalaman.""Jadi selama ini berharap ya, kamu?""Maunya, tapi gagal. Kamu juga kan?""Iya. Tapi ya begini akhirnya. Nasib-nasib ...," Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, meskipun hati sedih. Bahkan, orang yang dibicarakan tadi--Emma, masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak sadar kalau sedang diomongin. Dia sedang terbayang-bayang mantan kekasih gelapnya itu.Semenjak tanpa sengaj
Doni tertawa terbahak-bahak. Bapak tua itu, apalagi. Dia tertawa lagi sambil megangin perutnya yang buncit. Sarungnya yang dipakai sudah melorot sedikit, dan dia tidak menyadari. Laki-laki gondrong ini tidak habis pikir betapa dia bodoh sekali malam ini. Kenapa tidak dicek bensinnya? Ah, semprul!"Jadi berapa, Pak?" tanya Doni setelah reda tertawanya. Wah, ada-ada saja cerita malam ini, pikirnya sambil membuka dompet."Nggak usah, Mas. Begitu saja kok bayar? Tidak apa-apa, udah Mas, ya? Saya mau menutup bengkel ...," jawab bapak ini sambil mengibaskan tangannya."Oke, Pak. Terima kasih banyak, ya? Semoga kebaikan Bapak dibalas dengan rejeki yang lain.""Aamiinn."Doni menghidupkan motornya. Setelah mengucapkan salam, dia pun berlalu.Pertemuan, dan takdir. Tidak ada di dunia ini yang namanya kebetulan. Semua memang telah diatur agar terjadi. Jadi, semisalkan ada yang berkata; kebetulan ketemu kamu di sini, ini salah.
Saat Emma meminta ikut, Doni dalam kebimbangan yang maha dahsyat. Di beberapa bulan ini dia tidak menyentuh perempuan sama sekali. Pikirannya terfokus pada usaha mencari Lastri. Tapi sekarang, di depan seorang wanita yang pernah bersama selama kurang lebih dua tahun, sedikit banyak membuat hatinya berdesir. Dia sudah lama tidak merasakan rasa itu; rasa nikmat memadu kasih.Dilihatnya Emma. Sangat cantik, seksi seperti kemarin-kemarin.Jika dia mengajaknya, apakah tidak terjadi hal yang diinginkan? Apakah Doni kuat menahan godaan itu jika perempuan ini meminta? Sedangkan Emma sudah jelas terlihat. Dia berhenti juga karena melihat laki-laki ini. Dan pasti, jika ada kesempatan, dia mau lebih dari sekedar bicara."Mau ikut ke mana?" tanya Doni."Aku ikut kamu mencari kosan. Apa sementara kamu tidur di hotel dulu?" jawab Emma, nadanya penuh harap. 'Dan kita bisa bercinta, sayang', batin Emma.Doni berpikir, jika dia harus ikut. Biarlah apa yang akan
Mobil itu melaju kencang menuju sebuah stadion. Doni merasakan kecemasan yang luar biasa. Begitu Juga Emma. Dia merasa, jika dia tidak memberhentikan motornya Doni, semua ini tidak akan terjadi. Ini semua salahku, batinnya. Sekarang harus bagaimana? Mereka semua kekar-kekar dan membawa senjata tajam. Bagaimana ini? Emma menghembuskan nafas dengan kasar. Berteriak dalam hati. Bodoh!Emma menangis tergugu.Setelah sampai, mobil pelan-pelan bergerak mencari tempat yang sepi. Dan akhirnya berhenti di belakang sebuah GOR serba guna. Tidak ada seseorang pun di sini. Warung-warung sudah tidak ada, bangkrut dan tutup. Tempat ini dulunya adalah sebuah lahan parkir yang sudah lama ditinggalkan."Turun!" bentak Jarot kepada Doni. Semua yang ada di mobil turun. Emma tetap mengiba kepada suaminya agar mereka dilepaskan, tapi tidak digubris. Perempuan ini takut jika Jarot akan membunuh laki-laki itu."Kamu!" Jarot menunjuk ke salah satu anak
Motor trail Reno meraung-raung membelah jalanan. Doni beruntung sekali pernah ngobrol dengan laki-laki ini. Saat bertemu di warung kopi waktu itu, mereka berdua bisa langsung akrab karena memang sama-sama pernah hidup di jalanan. Doni yang dulu pernah merantau di Jakarta, dan Reno yang bergabung dengan sekumpulan anak punk. Di jalanan, karakter mereka terbentuk menjadi pribadi yang anti individualistis. Semuanya dilakukan bersama-sama, senasip seperjuangan. Tidak makan satu, tidak makan semuanya. Jika ada cuma satu bungkus nasi, mereka pun makan bersama-sama.Doni dulu di Jakarta adalah seorang pengamen. Karena suatu pertengkaran, teman-teman Doni semuanya berpisah, berpencar sendiri-sendiri. Biasa ngamen bertiga, akhirnya sendirian.Mau ngamen tak ada gitar. Nggak pakai gitar, pakai mulut saja ... dihina. Sudah punya gitar buat ngamen juga harus antri karena begitu banyaknya pengamen. Suatu hari seseorang bertanya padanya, "whoi, Bang! Orang baru, ya
Pagi-pagi Lastri sudah bangun. Dilihatnya laki-laki itu masih tertidur pulas. Hmm ... Aku sayang kamu, Reno. Diciumnya pipi kiri dan kanan pria itu dengan lembut, kemudian dikecupnya bibir itu. Laki-laki tampan itu sedikit menggeliat. Setelah puas memandangi, gadis ini turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Dua puluh menit kemudian dia sudah selesai mandi, berganti baju, dan wangi. Rutinitas tiap pagi Lastri adalah menyapu teras dan halaman rumah, kemudian membersihkan kamar. Seseorang yang mau semuanya terlihat sempurna. Dia menuruni tangga dan melihat seseorang sedang tertidur di ranjangnya Doni.Oh, itu rupanya orang yang ditolong Reno semalam? Pikir gadis ini. Bentuk tubuh, bahkan celana yang dipakai dan bajunya kok ... mirip Doni? Bahkan rambutnya juga panjang. Apakah dia saudara kembarnya? Lastri tersenyum membayangkan jika dia bisa bertemu kembarannya Doni di sini. Sayang, gadis ini tidak bisa melihat wajah laki-laki itu karena mukanya tertutup krepus; semaca
Selama perjalanan menuju kosan, tak henti-hentinya Lastri menangis. Hatinya sangat sakit melihat laki-laki itu meneteskan air mata. Dia tidak tega. Tapi bagaimana lagi? ... ini yang terbaik bagi mereka bertiga. Untuk dia, Doni, dan Reno. Semua akan selesai pada akhirnya, pikir Lastri. Hatinya sedikit lega telah menyampaikan sesuatu yang sebetulnya; sangat berat untuk diucapkan. Perasaan lega dan hati yang diiris-iris membuat kepalanya pusing dan dada sedikit berdebar-debar. Setelah sampai, dia memutuskan langsung tidur, tanpa cuci tangan ataupun berganti baju. Pertemuan tadi benar-benar menguras tenaga. Cinta itu berat ... sesuatu yang bisa jadi berbahaya. Terlalu mencintai bisa sesakit ini ternyata. Maaf, Doni. Sebetulnya aku masih mencintai dirimu. Terlalu banyak kenangan indah yang telah kita lalui bersama, baik suka maupun duka. Jujur, aku sayang kamu, batin Lastri. Diusapnya air mata di pipi. Sekali lagi, dia menangis tergugu. Terbayang lagi wajah itu ... menang
Pagi hari ....Saat terbangun, tanpa sengaja Lastri melihat sesuatu di leher Reno. Sebuah cupang? Keningnya berkerut. Perasaan ... dia tidak membuatnya semalam? Dilihatnya lagi tanda itu, setelah diteliti ... ternyata ada dua. Yang satu seperti bekas gigitan, dan satunya seperti bekas hisapan. Dua tanda itu bertumpuk menjadi satu. Gadis ini sejenak merasakan jantungnya berdebar-debar, dan membatin ... apakah mungkin dia begitu dengan perempuan lain? Aku yakin seyakin-yakinnya tidak pernah meninggalkan bekas itu di leher, kecuali di dada. Karena pasti susah menutupi bekas itu jika kelihatan di leher.Gadis ini pelan-pelan mendekatkan muka ke wajah pacarnya. Dilihatnya Reno yang sedang tertidur pulas. Wajahnya ... sungguh memesona. Apakah dia melakukannya? Sudah dua kali ini aku melihat keanehan, pikir dia. Kedua yang ini, dan beberapa hari yang lalu sebuah nama dia ucapkan saat sedang tertidur. Duh, bagaimana ini? Apakah aku tanyakan saja nanti? Apa aku haru