Share

Bab 12

Raiden merasa tidak nyaman melihat kondisi Elvina. Dia mengambil bubur yang dibawanya dan menyesapnya sedikit, lalu menunduk dan mencium wanita itu dengan paksa. Dia membuka bibir Elvina untuk memasukkan bubur ke dalam mulutnya.

Mungkin karena kelaparan, Elvina menelan bubur itu dalam tidurnya dengan refleks. Dengan cara ini, Raiden menyuapkan bubur sedikit demi sedikit hingga semangkuk bubur itu habis. Perlahan-lahan, kerutan di dahinya pun mereda.

Saat Raiden hendak menarik tangannya yang menyangga leher Elvina, Elvina malah memegang tangan Raiden dengan lebih erat dan menekannya di pipinya.

"Ibu ...." Elvina meracau, seolah-olah telah menemukan orang yang bisa diandalkannya. Air mata yang hangat mengalir membasahi telapak tangan Raiden. "Aku rindu sama Ibu .... Bawa aku pergi ...."

Raiden menatapnya sekilas, lalu berkata dengan nada datar, "Elvina, satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu adalah dirimu sendiri." Tanpa ragu, Raiden menarik tangannya dan meninggalkan ruangan.

Dalam mimpinya, Elvina melihat orang tuanya yang telah lama meninggal, datang untuk menyalahkannya. Mereka mempertanyakan mengapa dia jatuh cinta pada Dexton dan membiarkan dirinya ditipu hingga kehilangan perusahaan keluarganya.

Pertanyaan mereka begitu mendesak, membuat Elvina hampir tidak bisa bernapas. Dia terus menangis dan memohon mereka untuk membawanya pergi.

Dalam keadaan setengah sadar, Elvina mendengar suara di telinganya yang berkata, "Satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu adalah dirimu sendiri ...."

Elvina terbangun tiba-tiba dan menatap langit-langit yang berwarna putih. Tadinya neneknya masih bisa selamat. Semua ini gara-gara Yessi. Dia memberitahukan neneknya bahwa Elvina telah membunuh orang dan membuat neneknya mati kesal.

Elvina bertekad untuk merebut kembali Grup Libertix, membalas dendam orang tuanya, dan membuat Dexton dan Yessi membayar semua perbuatan mereka dengan darah!

Mata Elvina yang sebelumnya suram, kini penuh dengan ketegasan. Dia mengambil gaun panjang dari kursi dan mengenakannya sebelum keluar dari kamar.

Saat turun ke lantai bawah, Elvina melihat seorang pria duduk di ruang makan. Pria itu mengenakan rompi abu-abu muda dan kemeja. Kelihatannya, dia baru saja datang setelah pulang kerja. Ekspresinya tampak dingin. Dia sedang makan malam sambil mendengarkan laporan Owen.

"Bu Elvina." Owen yang duluan melihat Elvina, tersenyum tipis. "Kamu sudah baikan?"

Elvina mengangguk. "Sudah berapa hari aku tidur?"

"Seminggu."

"Selama itu?" Elvina terkejut. Entah kenapa, setelah tidur selama itu, perutnya tidak terasa lapar sama sekali.

Seorang pelayan masuk ke dapur dan membawakan peralatan makan, kemudian meletakkannya di hadapan Elvina. Elvina menatap pria yang duduk di seberangnya sekilas. Dia sebenarnya ingin mengatakan sesuatu. Namun, melihat Owen yang sedang memberi laporan, Elvina akhirnya menundukkan kepala dan makan dengan diam.

Tak lama kemudian, pria itu pun selesai makan, lalu mendorong kursinya dan naik ke lantai atas. Elvina juga meletakkan sendoknya dan mengikuti Raiden ke kamar. Ketika melihat Raiden melepas rompinya dan bersiap-siap masuk ke kamar mandi, Elvina memberanikan diri untuk berjalan mendekat.

"Bi ... biar kubantu." Raiden sangat tinggi, sehingga Elvina harus mengangkat tangannya untuk mencapai kancing kemeja pria itu. Raiden tidak bergerak. Dia hanya menunduk dan menatapnya dengan tenang.

Jarak mereka sangat dekat dan Elvina bisa mencium aroma segar dari tubuh Raiden. Tangannya gemetaran saat mencoba membuka kancing kemeja tersebut. Setelah mencoba cukup lama, Elvina bahkan belum berhasil membuka kancing di kerahnya.

Raiden menyingkirkan tangannya dengan tenang, lalu bertanya dengan ekspresi datar, "Kamu mau ngapain?"

"Aku ...." Elvina mengatupkan bibirnya seraya berkata, "Terima kasih sudah bebaskan aku dari kantor polisi."

Jika bukan karena Raiden, Elvina mungkin akan tetap terkurung di penjara sampai dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman. Bahkan, pemakaman neneknya juga diurus oleh orang-orang yang diutus Raiden.

Sekarang Elvina sudah kehilangan segalanya dan yang tersisa hanyalah ....

Memikirkan hal ini, Elvina menarik ritsleting gaunnya dan membiarkan gaunnya jatuh ke lantai. Kulitnya yang putih mulus terpampang jelas dan tubuhnya agak gemetaran. Raiden yang berdiri di hadapannya tentu saja melihat semua itu dan agak terkesiap.

Tatapan pria itu membuat Elvina merasa tidak nyaman. Dia melipat tangan di depan dadanya, seolah-olah ingin menutupi sesuatu. Dengan kesulitan, Elvina akhirnya berkata, "Tolong bantu aku .... Aku mau merebut kembali Grup Libertix."

Grup Libertix adalah warisan yang ditinggalkan orang tuanya dan dia harus merebutnya kembali!

"Jadi kamu lepas pakaianmu di hadapanku?" Raiden memandangnya dengan sinis. "Pelacur saja bisa menggoda kliennya untuk merayu orang. Kamu malah berdiri di hadapanku seperti zombie. Tapi memang, kulitmu lebih putih!"

Elvina tidak menyangka, setelah menyerahkan semua harga dirinya yang tersisa, Raiden malah memberinya penilaian seperti itu. Seketika, wajahnya langsung merah padam.

Pada saat ini, ponsel pria itu berdering.

"Aku nggak tertarik sama zombie. Pakai bajumu dan kembali ke kamarmu," ucap pria itu sebelum berjalan ke samping jendela untuk menjawab telepon.

Sementara itu, Elvina buru-buru memakai kembali gaunnya dan kembali ke kamar dengan kepala tertunduk.

Setelah pintu tertutup, Elvina tergelincir perlahan ke lantai dengan tubuh yang bersandar di pintu. Teringat dengan perkataan pria itu, Elvina merasa malu dan sedih. Dia meringkuk sambil menyembunyikan wajahnya di antara lengannya.

Elvina tidak tahu siapa pria itu sebenarnya. Namun, pria itu tahu segala sesuatu yang terjadi dan bahkan bisa membuat kepala kepolisian untuk turun tangan sendiri. Hal itu membuktikan bahwa pria itu bukanlah orang biasa.

Awalnya, Elvina mengira pria itu menginginkan tubuhnya. Memang, ini juga satu-satunya yang bisa diberikan Elvina padanya. Namun, pria itu malah menolaknya tadi ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status