Share

Bab 11

"Telepon ...." Elvina menyebutkan serangkaian nomor telepon sambil terus menekan kukunya ke leher wanita itu. Kaki wanita itu langsung lemas dan melemparkan tatapan meminta bantuan kepada Yessi.

"El ... Elvina, kamu jangan macam-macam ...." Yessi terkejut karena tidak menyangka Elvina akan mengambil tindakan seperti itu. "Keluargamu sudah hancur, siapa lagi yang bisa kamu telepon untuk minta tolong?"

Yessi telah berteman dengan Elvina selama bertahun-tahun. Dia tahu jelas siapa teman-teman di sekitar Elvina. Beberapa yang latar belakang keluarganya bagus juga telah disogok oleh Yessi. Jadi, tidak mungkin ada yang bisa membantu Elvina lagi.

"Kubilang ... cepat telepon!" Elvina menggertakkan giginya sambil melontarkan ancaman tersebut. Kukunya telah menancap leher wanita itu hingga berdarah. Wanita itu ketakutan hingga kakinya melemas.

Wajah Yessi berubah pucat karena khawatir wanita itu akan menyebut namanya. Dengan gigi terkatup, dia mengambil ponsel dan menekan nomor yang disebutkan Elvina.

Tak lama kemudian, telepon pun diangkat. "Halo?"

Mendengar suara yang dikenalnya, mata Elvina menjadi berkaca-kaca. Dengan sisa tenaganya yang terakhir, Elvina menelan darah di mulutnya dan berkata dengan susah payah, "Ini ... Elvina ... datang ke kantor polisi ... Kota Yugos."

Asalkan bisa dibawa ke rumah sakit dan bertemu neneknya sekali lagi, Elvina bahkan rela memberikan nyawanya jika pria itu menginginkannya. Dibandingkan dengan keluarga yang tersisa satu-satunya, harga diri Elvina tidak ada artinya.

Tak lama kemudian, beberapa polisi yang mendengar keributan langsung datang. Namun saat mereka melihat Elvina mencengkeram leher seorang wanita dengan kuat, mereka jadi ragu untuk masuk.

Waktu terus berlalu dan Yessi mulai merasa cemas karena tak ada seorang pun yang datang. Dia mulai curiga bahwa Elvina hanya berbohong. Tepat ketika dia hendak meminta polisi untuk menangkap Elvina, seorang pria yang berusia sekitar 30-an tiba-tiba berjalan cepat menuju ruang tahanan.

Begitu Elvina melihat pria itu, secercah harapan muncul di matanya. Dengan suara lemah, dia memohon, "Tolong jamin aku ... aku harus ke rumah sakit ... kumohon ...."

Pria itu mengangguk serius, lalu segera berbalik dan pergi. Dalam waktu kurang dari satu menit, dia kembali dengan kepala kantor polisi.

Ketika pria itu menggendong Elvina untuk keluar, kepala polisi bertanya dengan sopan, "Pak Owen, apa Anda ingin kami mengantar kalian ke rumah sakit?"

"Nggak usah," jawab pria itu singkat.

Yessi hanya bisa menatap pria itu membawa Elvina keluar dengan terkejut. Dengan kebingungan, dia bertanya pada kepala kepolisian, "Pak, Elvina terlibat percobaan pembunuhan! Kenapa kamu bebaskan dia?"

"Tanpa bukti yang kuat, kami nggak bisa menahannya lebih lama lagi," jawab kepala polisi dengan nada kesal. "Kalau nggak ada urusan lain, sebaiknya kamu pergi sekarang!"

Yessi merasa sangat kesal, tetapi dia terpaksa harus pergi dari tempat itu. Dia tahu bahwa Dexton berhubungan baik dengan wakil kepala kepolisian di ibu kota. Karena itulah, Yessi bisa mengirimkan orang untuk menyiksa Elvina dengan mudah.

Tak disangka, bala bantuan yang dicari Elvina ternyata lebih kuat. Dia benar-benar mengerahkan kepala kepolisian untuk membebaskannya.

Setelah sampai di rumah sakit bersama Owen, Elvina yang masih lemah berlari terhuyung-huyung menuju kamar neneknya. Di pintu, dia bertabrakan dengan perawat yang merawat neneknya.

Perawat itu menatapnya dengan ekspresi penuh rasa iba. "Bu Elvina, saya turut berduka ...."

Di belakang perawat, Elvina melihat seseorang terbaring di tempat tidur dengan tubuh yang tertutup kain putih dari ujung kepala hingga kaki. Dalam sekejap, darah di seluruh tubuh Elvina seakan-akan membeku dan dadanya pun terasa sesak.

"Nenek ... Nenek?" Dia berusaha melangkah dengan kaki yang terasa kaku menuju ranjang tersebut. Tangannya yang terangkat bergetar dengan hebat. "Maafkan aku ... aku terlambat .... Ini aku, Elvina ...."

Dengan suara yang terisak, Elvina memanggil neneknya. Namun, tidak ada jawaban sama sekali.

Ketika Elvina membuka kain putih tersebut, dia melihat wajah neneknya yang telah pucat dan dingin. Lutut Elvina langsung lemas dan terjatuh di samping ranjang. Dia menjerit histeris dan menangis sejadi-jadinya.

"Nenek ...."

Satu-satunya alasan Elvina mampu bertahan selama ini adalah karena neneknya. Namun kini, keluarga satu-satunya yang dia miliki juga telah tiada.

Perasaan benci menyelimuti hatinya. Jika saja dia bisa mengesampingkan harga dirinya saat itu dan mengikuti Owen ke vila, Dexton tidak akan bisa menjebaknya ke penjara dan neneknya mungkin masih hidup.

Elvina memeluk tubuh neneknya sepanjang hari dan menangis hingga air matanya mongering.

Pada hari pemakaman neneknya, langit ibu kota tampak gelap dan turun gerimis lebat. Dengan pikiran yang kosong, Elvina hanya menatap para pekerja yang menutupi kotak abu neneknya dengan tanah. Meski semua orang sudah pergi, Elvina masih berdiri di depan batu nisan neneknya dengan tubuh yang basah kuyup oleh hujan.

Mulai sekarang, dia tidak punya keluarga lagi sama sekali.

Setelah mengurus pemakaman neneknya, Elvina kembali ke Vila Swallow bersama Owen. Dia mengurung diri di kamar selama tiga hari. Makanan yang diletakkan di depan pintu kamar juga tidak disentuhnya sama sekali.

Owen yang merasa cemas melihat situasi ini, lantas menelepon Raiden. Malam itu, Raiden langsung mendatangi Vila Swallow.

Raiden membuka pintu dengan kunci cadangan. Begitu pintu terbuka, dia melihat semua celah di kamar itu telah ditutupi sehingga suasana kamarnya tampak gelap gulita. Hanya sesekali terdengar suara lirih dari seorang wanita, disertai dengan isak tangis dalam tidurnya.

"Ibu, aku takut .... Tolong bawa aku pergi ...."

Raiden menyalakan lampu meja dengan meraba-raba. Cahaya redup dari lampu itu memperlihatkan sosok wanita yang meringkuk di atas tempat tidur. Dalam beberapa hari saja, tubuhnya tampak menyusut drastis hingga hampir tidak ada lagi daging yang tersisa di tubuhnya.

Jari-jari rampingnya mencengkeram erat seprai, urat-urat di punggung tangannya terlihat jelas, dan wajahnya yang pucat tampak putus asa.

Jika Elvina tidak segera makan sesuatu, mungkin besok dia tidak akan bisa bangun lagi!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status