Krisna terlonjak kaget sewaktu pintu di hadapannya yang tadi terbuka kini menutup dengan sangat keras. Lebih tepatnya dibanting dengan keras. Ia bahkan belum sempat mengucapkan apa pun pada sang tuan rumah."Dia pasti sangat suka kejutanku sampai bereaksi begitu," gumam Krisna yang sama sekali tak berpikiran buruk. Pria itu malah merasa bangga karena bisa membuat Jingga yang tak lain penghuni rumah di depannya sekarang, terlihat sangat terkejut. Dengan kata lain, kejutan yang ia buat berhasil.Krisna mengulurkan tangan ke daun pintu, hendak mengetuk lagi. Akan tetapi, sebelum sempat melakukannya, seorang perempuan yang tampak sedikit lebih muda dari Ratih muncul dan berjalan ke arahnya."Eh, ada tamu," ujar perempuan yang ternyata Riani itu. "Cari siapa, ya?"Krisna menebak Riani adalah kerabat atau siapa pun dari keluarga Jingga yang juga tinggal di sana. Sebab dugaan perempuan itu adalah ibunya Jingga agak sulit ia terima. Tidak ada kemiripan antara Riani dan Jingga. Sama sekali."J
"Pagi, Pak." "Pagi, Pak Krisna.""Selamat pagi, Pak."Sepanjang memasuki lobi kantor hingga menuju ruangannya, hampir seluruh orang yang Krisna temui menyapanya. Bukan hal aneh sebenarnya, mengingat pria itu memang CEO di sana. Akan tetapi, biasanya kebanyakan para pegawai Krisna lebih memilih untuk menghindar jika melihat sang bos. Ekspresi Krisna yang kerap terlihat dingin membuat hanya beberapa orang saja yang berani melakukannya.Namun, hari ini semua orang seperti mendapat keberanian untuk menyapa CEO mereka itu. Sebabnya tak lain adalah senyum dan raut wajah gembira yang Krisna tunjukkan sejak dari menginjakkan kaki di depan gedung kantornya. Pemandangan langka yang jarang dilihat para anak buah Krisna, kecuali sang asisten setianya, Rengga.Krisna sendiri menikmatinya. Ia membalas satu persatu sapaan itu tanpa mengubah ekspresi kegembiraan di wajahnya. Kesenangan yang sudah muncul sejak ia bangun pagi tadi itu,
Tidak seperti biasa, malam ini Jingga bergegas pulang mendahului teman-temannya yang masih sibuk bercanda di ruang loker. Gadis itu berjalan cepat keluar dari gedung tempat butiknya berada dan menuju ke tempat di mana ia sering mendapati mobil Krisna di sana. Sayangnya, sama seperti dia hari sebelumnya, tidak ada mobil BMW hitam yang terparkir di sana. Juga tidak ada pria labil yang tiap malam membawa buket mawar untuknya seperti orang kurang kerjaan.Jingga mendesah kecewa. Saat ia tidak menginginkannya, Krisna selalu muncul. Akan tetapi, saat Jingga membutuhkannya, pria labil itu justru tidak menunjukkan batang hidungnya. Apa Krisna sudah bosan menghadapinya?Yah, kalaupun benar begitu, Jingga harap pria itu tidak meninggalkan benda mahal untuknya. Sebab, ia berniat mengembalikan benda tersebut, jam tangan mewah yang Krisna titipkan Riani saat datang ke rumahnya tempo hari.Jingga tidak membutuhkan benda itu. Bahkan meski yang Krisna berikan hanya sebuah
Krisna memasuki ruangan tempat departemen desain berada dengan aura mendung. Semua pegawai yang ada di sana tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga tak menyadari kehadiran sang CEO. Hanya ada satu orang yang tampak hanya bertugas mengawasi. Satu-satunya orang yang segera menyadari kedatangan Krisna."Selamat siang, Pak Krisna," sapa orang tersebut. Seorang perempuan dengan potongan rambut bob yang menjadi kepala divisi tersebut. Hesti namanya. Ia bergegas menghampiri Krisna dan menyambutnya."Siang," jawab Krisna singkat. Kedua matanya lebih tertarik mengamati orang-orang yang sedang berkutat dengan pekerjaan mereka di sana. Menggambar, mengukur dan memotong bahan, atau tengah mencoba memadukan warna-warna pada benda yang tengah mereka kerjakan. "Sudah sampai mana?""Sesuai tenggat waktunya, Pak. Akhir minggu ini sampel untuk tas akan siap. Beberapa sampel bahkan ada yang sudah selesai," lapor Hesti."Untuk sepatu?" Krisna bertanya lagi, memastikan intruksinya dilakukan den
Kemarahan Krisna pada salah satu pegawainya tadi membuat pria itu merasa lelah seketika. Ia tidak terbiasa berdebat dengan perempuan selain keluarganya. Namun, jika tidak bertindak tegas, itu justru akan menghambat semua proses yang telah mereka mulai untuk peluncuran produk baru di semester kedua tahun ini.Menyandarkan punggung ke kursi kerjanya, Krisna menghela napas dalam. Hanya gara-gara satu orang moodnya seketika berantakan. Bertanya-tanya apa yang ada di otak perempuan tadi hingga bersikeras menganggap motif kulit binatang cocok untuk tema tropikal mereka? Ia masih bisa memaklumi jika itu adalah gambar burung parkit atau pohon nyiur. Tapi, motif zebra, jerapah dan semua tetangganya? Bukannya keren, justru membuat kepala Krisna pening seketika.Ponsel Krisna sudah berbunyi untuk ketiga kalinya saat pria itu akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. Panggilan telepon dari seseorang yang sejatinya memang ia tunggu. Seseorang yang kontaknya ia simp
"Sialan." Umpatan Jingga yang dikatakannya seraya membanting ponsel membuat Lembayung berpaling dan menatapnya heran. Adiknya itu tadinya sedang duduk tenang di samping Jingga sembari membaca sebuah buku. Jingga sendiri sebelumnya tengah sibuk menggambar sebuah desain sepatu, lalu memutuskan menelepon seseorang dan berakhir mengeluarkan kata tersebut."Ada apa?" tanyanya datar, tidak terlihat seperti orang yang ingin tahu meski kalimatnya bernada tanya."Itu si bos labil. Maunya apa, sih? Kalau memang nggak mau ambil kembali, ya bilang aja nggak. Jangan bilang iya, tapi nggak muncul-muncul sampai sekarang." Jingga menjawab dengan berapi-api. Menurutnya sikap Krisna kali ini bahkan lebih parah dari saat mereka sering berdebat dulu.Lembayung yang sudah tahu duduk persoalannya sama sekali tak bereaksi heboh. Ia membuka satu halaman lagi dan tetap asyik membaca meski sambil mendengarkan."Orangnya sibuk kali, Ga. Namanya juga CEO perusahaan besar."
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Akan tetapi, Krisna masih nyaman duduk di kursi kerjanya yang kini menghadap ke belakang. Ke arah jendela besar yang menyajikan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian.Krisna menyukai pemandangan tersebut, apalagi saat tengah sibuk memikirkan pujaan hatinya seperti saat ini. Ya, pria itu memandang ke kejauhan, seolah-olah membayangkan di antara bangunan-bangunan besar dan tinggi tersebut terdapat keberadaan Jingga. Ia tidak perlu melihatnya secara langsung, cukup meyakini hal itu.Sembari masih bersandar nyaman di kursi tersebut, Krisna memainkan ponselnya. Mengingat kembali terakhir kali Jingga meneleponnya membuat pria itu tersenyum senang. Meski gaya bicara gadis itu masih galak, tapi Krisna merasa Jingga memang mulai merasa kehilangan dirinya. Ia tidak tahu seberapa besar itu. Mungkin masih awal, tapi setidaknya upaya Krisna sudah mulai menuai hasil. Walaupun jujur saja ia kangen luar biasa pada gadis itu.
"Krisnayana Danendra!" Seruan ibunya yang tiba-tiba muncul begitu Krisna keluar dari kamar mandi membuat pria itu terlonjak kaget. Beruntung ia memakai kimono mandi, bukannya hanya sepotong handuk yang akan jadi cerita berbeda jika sampai terlepas."Astaga, Bu Ratih." Krisna mengelus dadanya dengan gaya berlebihan. Ekspresi terkejut wajahnya pun tidak asli, sengaja ia buat-buat sebab bukan hal aneh jika mamanya tersebut bisa muncul di kediaman sang putra bungsu. Ratih, anehnya, selalu tahu password apartemen Krisna. Jika bukan cenayang, ia curiga mamanya itu memasang kamera pengintai di mana-mana. "Datang ke sini padahal nggak dijemput. Pulangnya saya juga nggak nganter, ya?"Ratih Kumala hanya bisa mendengkus mendengar putranya menyamakan sang ibu dengan jailangkung. Wanita itu juga sudah terbiasa dengan panggilan yang sering menjadi 'ibu Ratih' bukannya 'mama.' Entah keganjilan apalagi yang harus dihadapinya dari Krisna. Namun, semua