"Pagi, Pak."
"Pagi, Pak Krisna.""Selamat pagi, Pak."Sepanjang memasuki lobi kantor hingga menuju ruangannya, hampir seluruh orang yang Krisna temui menyapanya. Bukan hal aneh sebenarnya, mengingat pria itu memang CEO di sana. Akan tetapi, biasanya kebanyakan para pegawai Krisna lebih memilih untuk menghindar jika melihat sang bos. Ekspresi Krisna yang kerap terlihat dingin membuat hanya beberapa orang saja yang berani melakukannya.Namun, hari ini semua orang seperti mendapat keberanian untuk menyapa CEO mereka itu. Sebabnya tak lain adalah senyum dan raut wajah gembira yang Krisna tunjukkan sejak dari menginjakkan kaki di depan gedung kantornya. Pemandangan langka yang jarang dilihat para anak buah Krisna, kecuali sang asisten setianya, Rengga.Krisna sendiri menikmatinya. Ia membalas satu persatu sapaan itu tanpa mengubah ekspresi kegembiraan di wajahnya. Kesenangan yang sudah muncul sejak ia bangun pagi tadi itu,Tidak seperti biasa, malam ini Jingga bergegas pulang mendahului teman-temannya yang masih sibuk bercanda di ruang loker. Gadis itu berjalan cepat keluar dari gedung tempat butiknya berada dan menuju ke tempat di mana ia sering mendapati mobil Krisna di sana. Sayangnya, sama seperti dia hari sebelumnya, tidak ada mobil BMW hitam yang terparkir di sana. Juga tidak ada pria labil yang tiap malam membawa buket mawar untuknya seperti orang kurang kerjaan.Jingga mendesah kecewa. Saat ia tidak menginginkannya, Krisna selalu muncul. Akan tetapi, saat Jingga membutuhkannya, pria labil itu justru tidak menunjukkan batang hidungnya. Apa Krisna sudah bosan menghadapinya?Yah, kalaupun benar begitu, Jingga harap pria itu tidak meninggalkan benda mahal untuknya. Sebab, ia berniat mengembalikan benda tersebut, jam tangan mewah yang Krisna titipkan Riani saat datang ke rumahnya tempo hari.Jingga tidak membutuhkan benda itu. Bahkan meski yang Krisna berikan hanya sebuah
Krisna memasuki ruangan tempat departemen desain berada dengan aura mendung. Semua pegawai yang ada di sana tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga tak menyadari kehadiran sang CEO. Hanya ada satu orang yang tampak hanya bertugas mengawasi. Satu-satunya orang yang segera menyadari kedatangan Krisna."Selamat siang, Pak Krisna," sapa orang tersebut. Seorang perempuan dengan potongan rambut bob yang menjadi kepala divisi tersebut. Hesti namanya. Ia bergegas menghampiri Krisna dan menyambutnya."Siang," jawab Krisna singkat. Kedua matanya lebih tertarik mengamati orang-orang yang sedang berkutat dengan pekerjaan mereka di sana. Menggambar, mengukur dan memotong bahan, atau tengah mencoba memadukan warna-warna pada benda yang tengah mereka kerjakan. "Sudah sampai mana?""Sesuai tenggat waktunya, Pak. Akhir minggu ini sampel untuk tas akan siap. Beberapa sampel bahkan ada yang sudah selesai," lapor Hesti."Untuk sepatu?" Krisna bertanya lagi, memastikan intruksinya dilakukan den
Kemarahan Krisna pada salah satu pegawainya tadi membuat pria itu merasa lelah seketika. Ia tidak terbiasa berdebat dengan perempuan selain keluarganya. Namun, jika tidak bertindak tegas, itu justru akan menghambat semua proses yang telah mereka mulai untuk peluncuran produk baru di semester kedua tahun ini.Menyandarkan punggung ke kursi kerjanya, Krisna menghela napas dalam. Hanya gara-gara satu orang moodnya seketika berantakan. Bertanya-tanya apa yang ada di otak perempuan tadi hingga bersikeras menganggap motif kulit binatang cocok untuk tema tropikal mereka? Ia masih bisa memaklumi jika itu adalah gambar burung parkit atau pohon nyiur. Tapi, motif zebra, jerapah dan semua tetangganya? Bukannya keren, justru membuat kepala Krisna pening seketika.Ponsel Krisna sudah berbunyi untuk ketiga kalinya saat pria itu akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. Panggilan telepon dari seseorang yang sejatinya memang ia tunggu. Seseorang yang kontaknya ia simp
"Sialan." Umpatan Jingga yang dikatakannya seraya membanting ponsel membuat Lembayung berpaling dan menatapnya heran. Adiknya itu tadinya sedang duduk tenang di samping Jingga sembari membaca sebuah buku. Jingga sendiri sebelumnya tengah sibuk menggambar sebuah desain sepatu, lalu memutuskan menelepon seseorang dan berakhir mengeluarkan kata tersebut."Ada apa?" tanyanya datar, tidak terlihat seperti orang yang ingin tahu meski kalimatnya bernada tanya."Itu si bos labil. Maunya apa, sih? Kalau memang nggak mau ambil kembali, ya bilang aja nggak. Jangan bilang iya, tapi nggak muncul-muncul sampai sekarang." Jingga menjawab dengan berapi-api. Menurutnya sikap Krisna kali ini bahkan lebih parah dari saat mereka sering berdebat dulu.Lembayung yang sudah tahu duduk persoalannya sama sekali tak bereaksi heboh. Ia membuka satu halaman lagi dan tetap asyik membaca meski sambil mendengarkan."Orangnya sibuk kali, Ga. Namanya juga CEO perusahaan besar."
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Akan tetapi, Krisna masih nyaman duduk di kursi kerjanya yang kini menghadap ke belakang. Ke arah jendela besar yang menyajikan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian.Krisna menyukai pemandangan tersebut, apalagi saat tengah sibuk memikirkan pujaan hatinya seperti saat ini. Ya, pria itu memandang ke kejauhan, seolah-olah membayangkan di antara bangunan-bangunan besar dan tinggi tersebut terdapat keberadaan Jingga. Ia tidak perlu melihatnya secara langsung, cukup meyakini hal itu.Sembari masih bersandar nyaman di kursi tersebut, Krisna memainkan ponselnya. Mengingat kembali terakhir kali Jingga meneleponnya membuat pria itu tersenyum senang. Meski gaya bicara gadis itu masih galak, tapi Krisna merasa Jingga memang mulai merasa kehilangan dirinya. Ia tidak tahu seberapa besar itu. Mungkin masih awal, tapi setidaknya upaya Krisna sudah mulai menuai hasil. Walaupun jujur saja ia kangen luar biasa pada gadis itu.
Krisna dan Arumi baru saja keluar dari Garden Resto saat gadis itu tiba-tiba menggamit lengan Krisna. Tak ada angin tak ada hujan, tentu saja perlakuan itu membuat Krisna terkejut. Selama makan siang tadi keduanya memang bisa mengobrol dengan nyaman, tapi baginya bukan berarti itu sebuah izin untuk melakukan kontak fisik.Bukannya Krisna membenci hal itu. Ia tidak mau munafik jika menyukai perlakuan Arumi. Namun, mengingat kesimpulan dari semua pembicaraan mereka tadi, pria itu tahu jika ia harus memutus hal apa pun yang bisa mendekatkan mereka berdua."Kamu bawa mobil sendiri, kan?" tanya Krisna seraya menjauhkan tangan Arumi dari lengannya."Bawa, sih. Tapi, apa kamu nggak mau semobil bareng aku? Kita bisa lanjutin obrolan kita tadi.""Nggak, Arumi. Aku rasa itu akan merepotkan salah satu dari kita." Lagipula, tidak ada hal yang Krisna pikir masih perlu mereka bicarakan. Sudah jelas baginya untuk menolak Arumi setelah mendengar jawaban gadis itu mengenai fotonya bersama Saras tadi.
Lembayung menghela napas dalam untuk kesekian kali dengan tingkah dua orang di hadapannya sekarang. Krisna dan Violet. Dua orang asing yang kurang dari sehari sudah menjadi sekutu dan terlihat sangat cocok.Lembayung sudah berkompromi dengan keinginan Violet menerima ajakan makan siang Krisna. Namun, ia tidak bisa melakukan hal yang sama untuk hal selanjutnya. Sebab, dari restoran yang tergolong mewah tadi, kini mereka sudah berpindah tempat. Tawaran Krisna mengantar mereka pulang- Lembayung kebetulan tak membawa motornya- justru berakhir dengan mereka berada di mal.Jika itu terbilang bukan masalah, maka masalah yang sebenarnya baru saja muncul. Krisna mengajak Violet memasuki salah satu toko di mal tersebut. Tepatnya toko pakaian. Dan, Violet seolah lupa dengan siapa ia datang karena mengabaikan tatapan tajam Lembayung saat Krisna mempersilakannya memilih baju yang ia suka.Lembayung tidak suka berdebat, karenanya ia hanya menunggu sang adik segera menentukan pilihan dan mereka pulan
Jingga baru saja selesai membuat camilan untuk temannya maraton drama Korea. Satu toples besar popcorn karamel yang bisa dinikmati tidak hanya untuknya, tapi juga dua adik kesayangannya yang belum datang dari jalan-jalan.Sebenarnya Lembayung dan Violet tak sekadar jalan-jalan. Mereka berdua menemui teman Lembayung yang dulu memesan sepatu untuk acara pesta ulang tahunnya. Rencana awal adalah Jingga yang ikut pergi, tapi karena si bungsu ingin keluar juga, ia mengalah dan memilih untuk lanjut menghabiskan hari liburnya dengan menonton film. Melakukan hal-hal sepele yang dulu begitu sulit didapatkannya.Jingga teringat masa-masa di mana keluarga mereka harus berupaya keras membayar semua hutang ayahnya. Selain Riani yang bekerja serabutan dan Lembayung yang sekolah sambil berjualan kue, ia sendiri sampai harus mengambil dua pekerjaan dalam satu waktu. Bekerja sebagai buruh pabrik dan menjadi pengantar pesanan katering tetangga setelahnya. Jangankan menonton film, bi
“Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak
“Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so
Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga
"Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera
Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.
“Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung
Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men
Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik
"Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken