Jingga baru saja selesai membuat camilan untuk temannya maraton drama Korea. Satu toples besar popcorn karamel yang bisa dinikmati tidak hanya untuknya, tapi juga dua adik kesayangannya yang belum datang dari jalan-jalan.Sebenarnya Lembayung dan Violet tak sekadar jalan-jalan. Mereka berdua menemui teman Lembayung yang dulu memesan sepatu untuk acara pesta ulang tahunnya. Rencana awal adalah Jingga yang ikut pergi, tapi karena si bungsu ingin keluar juga, ia mengalah dan memilih untuk lanjut menghabiskan hari liburnya dengan menonton film. Melakukan hal-hal sepele yang dulu begitu sulit didapatkannya.Jingga teringat masa-masa di mana keluarga mereka harus berupaya keras membayar semua hutang ayahnya. Selain Riani yang bekerja serabutan dan Lembayung yang sekolah sambil berjualan kue, ia sendiri sampai harus mengambil dua pekerjaan dalam satu waktu. Bekerja sebagai buruh pabrik dan menjadi pengantar pesanan katering tetangga setelahnya. Jangankan menonton film, bi
"Dari mana saja kamu?" Kedatangan Krisna langsung disambut pertanyaan yang disertai tatapan curiga dari Ratih. Perempuan paruh baya itu duduk manis di sofa ruangan Krisna, tapi sikap dan ekspresinya sama sekali tidak manis melainkan campuran dari asam dan pahit. Padahal penampilannya sudah paripurna, setara ibu-ibu istri pejabat. Bahkan mungkin lebih keren."Kan, makan siang sama Arumi, Bu Ratih." Krisna tersenyum dan menampakkan giginya yang rapi sewaktu menjawab. Akan tetapi, Ratih tidak terpengaruh."Maksud Mama setelah kamu makan siang dengan Arumi. Siapa teman yang kamu temui tadi?"Oh, Krisna yakin Arumi pasti melaporkan semuanya pada Ratih. Yah, jika benar begitu berarti gadis cantik tersebut sama saja dengan gadis-gadis sebelumnya."Oh, teman kuliah. Kebetulan aja tadi ketemu dan ngobrol sampai lupa waktu.""Rengga bilang ponsel kamu nggak aktif waktu dihubungi.""Low battery, Ma." Krisna tidak tahu mengapa hari ini ia lancar sekali mengucapkan kebohongan.Ratih masih menatap
"Ras, kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu." Krisna sudah mengakhiri pembicaraan dengan Jingga, tapi segera beralih menghubungi Saras sebelum Ratih menyadari hal tersebut. "Urgent. Dan, cuma kamu yang bisa."Krisna tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa setelah mendengar Jingga sudah berada di kantornya. Terlepas dari dirinya yang memang ingin bertemu gadis itu, Krisna juga sadar kalau situasi dan kondisinya sedang tidak memungkinkan. Ada Ratih bersamanya dan pria itu belum berani mengungkap fakta jika Jingga adalah gadis yang sedang ia dekati. Belum lagi kenyataan kalau Jingga sedang dipenuhi emosi, dan ia tidak tahu hal apa yang akan dilakukan gadis berwajah bulat itu di kantornya dalam keadaan marah. Dilihat dari riwayat kegalakannya, Jingga jelas tidak akan duduk manis dan tersenyum sembari membawakannya makanan."Wah, tumben Adik Durhaka ini butuh bantuanku." Namun, Saras tidak menganggap situasinya cukup mendesak hingga masih sempat menggoda sang adik. "Pasti soal M
Jingga masih berdiri menunggu di depan meja resepsionis sesuai arahan gadis manis di balik meja tersebut. Informasi tersebut didapatnya lima menit yang lalu. Seharusnya sebentar lagi Krisna sudah muncul.Meski berstatus sebagai salah satu pegawai Dahayu Group, Jingga belum pernah menginjakkan kaki di kantor perusahaan tersebut. Karena itu, wajar Jingga kagum melihat bangunan tinggi dan megah yang ia datangi tersebut. Lobinya saja luas dengan interior bergaya minimalis. Ia membayangkan dirinya bekerja di sana, sudah pasti betah. Apalagi dengar-dengar gaji pegawai di sana juga lebih besar dari pegawai sekelas dirinya.Ada untungnya juga Jingga nekad datang ke kantor Dahayu. Ia jadi bisa melihat gedung megah yang selama ini hanya bisa ia pandangi dari luar. Sayangnya, saat melihat para pegawai lain yang lalu lalang, kemudian mengamati diri sendiri, Jingga merasa terdampar.Semua orang berpenampilan rapi. Pria memakai kemeja atau setelan jas sembari menenteng
“Sebenarnya apa, sih, yang ada di pikiran si Maya itu?” Saras tiba-tiba masuk ke ruangan Krisna, mengempaskan tubuh ke sofa di depan meja adiknya itu dan tahu-tahu menanyakan sesuatu yang membuat lawan bicaranya mengernyit.“Maya siapa?” tanya Krisna balik. Ia yang tadinya sedang sibuk dengan laptopnya terpaksa mengambil jeda karena kemunculan sang kakak yang tanpa pemberitahuan sama sekali. “Dan, kenapa nanya ke aku?”Saras yang tadinya sudah bersandar nyaman segera menegakkan tubuh, lalu menatap adiknya seolah Krisna tidak tahu jika bendera Indonesia berwarna merah putih. “Maya, Kris. Kamu nggak tahu nama pegawai kamu sendiri?”“Pegawai yang mana dulu?” Dalam hati Krisna menyebutkan nama Jingga, pegawai favoritnya. Sudah pasti ia tahu tentang gadis itu. Bukan hanya nama, tapi bahkan tempat tinggal dan beberapa kebiasaannya. “Kalau Rengga, ya jelas tahu.”Saras seketika mencibir jawaban Krisna. Ia tidak tahu harus bersyukur atau tidak dengan ketidakpedulian adiknya itu. Saras tidak m
“Oh, ya. Ngomong-ngomong siapa gadis berhelm itu? Aku masih nungguin janji kamu buat cerita soal waktu itu, Kris. Aku anggap itu bayarannya, deh alias aku nggak jadi minta apa-apa sama kamu karena udah bantu ngalihin perhatian Mama.”“Gadis berhelm?” Krisna sebenarnya tahu siapa yang dimaksud Saras, tapi ia masih tidak ingin mengungkapkan apa pun tentang Jingga pada keluarganya. Cukup Rengga saja yang tahu karena memang asistennya itu yang membantunya mencari tahu tentang Jingga. “Aku lihat kalian keluar dari pintu ke tangga darurat. Untungnya Mama nggak ikut lihat. Aku juga udah tanya sama resepsionis, katanya gadis itu memang mencarimu.” Saras tersenyum sembari melayangkan tatapan ingin tahu pada sang adik. “Kamu nggak mungkin asal narik orang ke tangga darurat, kan? Apalagi dia masuk dengan membawa banyak barang, tapi keluar tanpa membawa apa pun.”Sial, batin Krisna. Inilah salah satu hal yang tak disukainya dari sosok bos baik hati yang disematkan p
Ponsel Jingga terus berdering saat gadis itu mengeluarkan beberapa barangnya dari loker. Tahu jika panggilan tersebut pasti berasal dari orang yang sedang ia jauhi, Jingga pun membiarkan benda itu akhirnya berhenti bersuara dengan sendirinya. “Pasti itu Pak Krisna, ya?” tanya Dewi, yang meski kejulidannya sudah berkurang tapi rasa penasaran akan urusan orang lain masih melekat padanya. Apalagi lokernya bersebelahan dengan milik Jingga. Makin besar jadinya keingintahuan gadis itu. “Ntar orangnya juga pasti udah ada di depan sana.”Jingga tidak merespon. Sebab ucapan Dewi sudah bisa dikonfirmasikan tanpa ia harus bicara. Kemunculan Krisna selama dua hari ini di depan gedung mal setiap ia pulang kerja membuat teman-teman kerja Jingga bisa berasumsi sendiri. Bahkan sekalipun gadis itu tidak pernah menggubris keberadaan bosnya tersebut. Jika yang lain segera menyapa dengan ramah, Jingga justru terus berjalan pergi seolah tidak melihat Krisna di sana. “Kalian udah jadian belum, sih, Ga?
"Wah, Ga. Ini kayanya enak banget, lho. Tumben kamu bawa bekal porsi besar begini?" Lina yang baru bergabung untuk makan siang takjub melihat kotak makanan di hadapan Jingga. Menu komplet yang jelas bukan masakan rumahan, melihat wadahnya yang juga bukan sekadar kotak bekal sederhana."Itu kiriman dari Pak Krisna." Dewi yang menjawab karena Jingga hanya memandangi makanan tersebut dengan ekspresi cemberut. Apalagi saat sebuah pesan dari Krisna muncul di ponselnya, menanyakan makanan kirimannya."Hmm, serius, deh, Ga. Kalau kalian nggak ada hubungan apa-apa, Pak Krisna nggak mungkin sampe segininya, kan? Nggak cuma sekali dia kali, lho, dia berusaha dapetin perhatian kamu." Lina berkomentar.Jingga tidka menanggapi. Selain jengkel pada Krisna ynag masih saja belum menyerah, ia juga menyesal karena hari ini tidak membawa bekal. Tadinya ia berniat untuk membeli di luar saja, tetapi Farhan kemudian datang dan memberinya seporsi besar makanan yang kini hanya ia diamkan itu.Makanannya terl
“Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak
“Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so
Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga
"Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera
Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.
“Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung
Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men
Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik
"Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken