"Ras, kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu." Krisna sudah mengakhiri pembicaraan dengan Jingga, tapi segera beralih menghubungi Saras sebelum Ratih menyadari hal tersebut. "Urgent. Dan, cuma kamu yang bisa."Krisna tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa setelah mendengar Jingga sudah berada di kantornya. Terlepas dari dirinya yang memang ingin bertemu gadis itu, Krisna juga sadar kalau situasi dan kondisinya sedang tidak memungkinkan. Ada Ratih bersamanya dan pria itu belum berani mengungkap fakta jika Jingga adalah gadis yang sedang ia dekati. Belum lagi kenyataan kalau Jingga sedang dipenuhi emosi, dan ia tidak tahu hal apa yang akan dilakukan gadis berwajah bulat itu di kantornya dalam keadaan marah. Dilihat dari riwayat kegalakannya, Jingga jelas tidak akan duduk manis dan tersenyum sembari membawakannya makanan."Wah, tumben Adik Durhaka ini butuh bantuanku." Namun, Saras tidak menganggap situasinya cukup mendesak hingga masih sempat menggoda sang adik. "Pasti soal M
Jingga masih berdiri menunggu di depan meja resepsionis sesuai arahan gadis manis di balik meja tersebut. Informasi tersebut didapatnya lima menit yang lalu. Seharusnya sebentar lagi Krisna sudah muncul.Meski berstatus sebagai salah satu pegawai Dahayu Group, Jingga belum pernah menginjakkan kaki di kantor perusahaan tersebut. Karena itu, wajar Jingga kagum melihat bangunan tinggi dan megah yang ia datangi tersebut. Lobinya saja luas dengan interior bergaya minimalis. Ia membayangkan dirinya bekerja di sana, sudah pasti betah. Apalagi dengar-dengar gaji pegawai di sana juga lebih besar dari pegawai sekelas dirinya.Ada untungnya juga Jingga nekad datang ke kantor Dahayu. Ia jadi bisa melihat gedung megah yang selama ini hanya bisa ia pandangi dari luar. Sayangnya, saat melihat para pegawai lain yang lalu lalang, kemudian mengamati diri sendiri, Jingga merasa terdampar.Semua orang berpenampilan rapi. Pria memakai kemeja atau setelan jas sembari menenteng
“Sebenarnya apa, sih, yang ada di pikiran si Maya itu?” Saras tiba-tiba masuk ke ruangan Krisna, mengempaskan tubuh ke sofa di depan meja adiknya itu dan tahu-tahu menanyakan sesuatu yang membuat lawan bicaranya mengernyit.“Maya siapa?” tanya Krisna balik. Ia yang tadinya sedang sibuk dengan laptopnya terpaksa mengambil jeda karena kemunculan sang kakak yang tanpa pemberitahuan sama sekali. “Dan, kenapa nanya ke aku?”Saras yang tadinya sudah bersandar nyaman segera menegakkan tubuh, lalu menatap adiknya seolah Krisna tidak tahu jika bendera Indonesia berwarna merah putih. “Maya, Kris. Kamu nggak tahu nama pegawai kamu sendiri?”“Pegawai yang mana dulu?” Dalam hati Krisna menyebutkan nama Jingga, pegawai favoritnya. Sudah pasti ia tahu tentang gadis itu. Bukan hanya nama, tapi bahkan tempat tinggal dan beberapa kebiasaannya. “Kalau Rengga, ya jelas tahu.”Saras seketika mencibir jawaban Krisna. Ia tidak tahu harus bersyukur atau tidak dengan ketidakpedulian adiknya itu. Saras tidak m
“Oh, ya. Ngomong-ngomong siapa gadis berhelm itu? Aku masih nungguin janji kamu buat cerita soal waktu itu, Kris. Aku anggap itu bayarannya, deh alias aku nggak jadi minta apa-apa sama kamu karena udah bantu ngalihin perhatian Mama.”“Gadis berhelm?” Krisna sebenarnya tahu siapa yang dimaksud Saras, tapi ia masih tidak ingin mengungkapkan apa pun tentang Jingga pada keluarganya. Cukup Rengga saja yang tahu karena memang asistennya itu yang membantunya mencari tahu tentang Jingga. “Aku lihat kalian keluar dari pintu ke tangga darurat. Untungnya Mama nggak ikut lihat. Aku juga udah tanya sama resepsionis, katanya gadis itu memang mencarimu.” Saras tersenyum sembari melayangkan tatapan ingin tahu pada sang adik. “Kamu nggak mungkin asal narik orang ke tangga darurat, kan? Apalagi dia masuk dengan membawa banyak barang, tapi keluar tanpa membawa apa pun.”Sial, batin Krisna. Inilah salah satu hal yang tak disukainya dari sosok bos baik hati yang disematkan p
Ponsel Jingga terus berdering saat gadis itu mengeluarkan beberapa barangnya dari loker. Tahu jika panggilan tersebut pasti berasal dari orang yang sedang ia jauhi, Jingga pun membiarkan benda itu akhirnya berhenti bersuara dengan sendirinya. “Pasti itu Pak Krisna, ya?” tanya Dewi, yang meski kejulidannya sudah berkurang tapi rasa penasaran akan urusan orang lain masih melekat padanya. Apalagi lokernya bersebelahan dengan milik Jingga. Makin besar jadinya keingintahuan gadis itu. “Ntar orangnya juga pasti udah ada di depan sana.”Jingga tidak merespon. Sebab ucapan Dewi sudah bisa dikonfirmasikan tanpa ia harus bicara. Kemunculan Krisna selama dua hari ini di depan gedung mal setiap ia pulang kerja membuat teman-teman kerja Jingga bisa berasumsi sendiri. Bahkan sekalipun gadis itu tidak pernah menggubris keberadaan bosnya tersebut. Jika yang lain segera menyapa dengan ramah, Jingga justru terus berjalan pergi seolah tidak melihat Krisna di sana. “Kalian udah jadian belum, sih, Ga?
"Wah, Ga. Ini kayanya enak banget, lho. Tumben kamu bawa bekal porsi besar begini?" Lina yang baru bergabung untuk makan siang takjub melihat kotak makanan di hadapan Jingga. Menu komplet yang jelas bukan masakan rumahan, melihat wadahnya yang juga bukan sekadar kotak bekal sederhana."Itu kiriman dari Pak Krisna." Dewi yang menjawab karena Jingga hanya memandangi makanan tersebut dengan ekspresi cemberut. Apalagi saat sebuah pesan dari Krisna muncul di ponselnya, menanyakan makanan kirimannya."Hmm, serius, deh, Ga. Kalau kalian nggak ada hubungan apa-apa, Pak Krisna nggak mungkin sampe segininya, kan? Nggak cuma sekali dia kali, lho, dia berusaha dapetin perhatian kamu." Lina berkomentar.Jingga tidka menanggapi. Selain jengkel pada Krisna ynag masih saja belum menyerah, ia juga menyesal karena hari ini tidak membawa bekal. Tadinya ia berniat untuk membeli di luar saja, tetapi Farhan kemudian datang dan memberinya seporsi besar makanan yang kini hanya ia diamkan itu.Makanannya terl
"Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken
Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik