“Oh, ya. Ngomong-ngomong siapa gadis berhelm itu? Aku masih nungguin janji kamu buat cerita soal waktu itu, Kris. Aku anggap itu bayarannya, deh alias aku nggak jadi minta apa-apa sama kamu karena udah bantu ngalihin perhatian Mama.”“Gadis berhelm?” Krisna sebenarnya tahu siapa yang dimaksud Saras, tapi ia masih tidak ingin mengungkapkan apa pun tentang Jingga pada keluarganya. Cukup Rengga saja yang tahu karena memang asistennya itu yang membantunya mencari tahu tentang Jingga. “Aku lihat kalian keluar dari pintu ke tangga darurat. Untungnya Mama nggak ikut lihat. Aku juga udah tanya sama resepsionis, katanya gadis itu memang mencarimu.” Saras tersenyum sembari melayangkan tatapan ingin tahu pada sang adik. “Kamu nggak mungkin asal narik orang ke tangga darurat, kan? Apalagi dia masuk dengan membawa banyak barang, tapi keluar tanpa membawa apa pun.”Sial, batin Krisna. Inilah salah satu hal yang tak disukainya dari sosok bos baik hati yang disematkan p
Ponsel Jingga terus berdering saat gadis itu mengeluarkan beberapa barangnya dari loker. Tahu jika panggilan tersebut pasti berasal dari orang yang sedang ia jauhi, Jingga pun membiarkan benda itu akhirnya berhenti bersuara dengan sendirinya. “Pasti itu Pak Krisna, ya?” tanya Dewi, yang meski kejulidannya sudah berkurang tapi rasa penasaran akan urusan orang lain masih melekat padanya. Apalagi lokernya bersebelahan dengan milik Jingga. Makin besar jadinya keingintahuan gadis itu. “Ntar orangnya juga pasti udah ada di depan sana.”Jingga tidak merespon. Sebab ucapan Dewi sudah bisa dikonfirmasikan tanpa ia harus bicara. Kemunculan Krisna selama dua hari ini di depan gedung mal setiap ia pulang kerja membuat teman-teman kerja Jingga bisa berasumsi sendiri. Bahkan sekalipun gadis itu tidak pernah menggubris keberadaan bosnya tersebut. Jika yang lain segera menyapa dengan ramah, Jingga justru terus berjalan pergi seolah tidak melihat Krisna di sana. “Kalian udah jadian belum, sih, Ga?
"Wah, Ga. Ini kayanya enak banget, lho. Tumben kamu bawa bekal porsi besar begini?" Lina yang baru bergabung untuk makan siang takjub melihat kotak makanan di hadapan Jingga. Menu komplet yang jelas bukan masakan rumahan, melihat wadahnya yang juga bukan sekadar kotak bekal sederhana."Itu kiriman dari Pak Krisna." Dewi yang menjawab karena Jingga hanya memandangi makanan tersebut dengan ekspresi cemberut. Apalagi saat sebuah pesan dari Krisna muncul di ponselnya, menanyakan makanan kirimannya."Hmm, serius, deh, Ga. Kalau kalian nggak ada hubungan apa-apa, Pak Krisna nggak mungkin sampe segininya, kan? Nggak cuma sekali dia kali, lho, dia berusaha dapetin perhatian kamu." Lina berkomentar.Jingga tidka menanggapi. Selain jengkel pada Krisna ynag masih saja belum menyerah, ia juga menyesal karena hari ini tidak membawa bekal. Tadinya ia berniat untuk membeli di luar saja, tetapi Farhan kemudian datang dan memberinya seporsi besar makanan yang kini hanya ia diamkan itu.Makanannya terl
"Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken
Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik
Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men
“Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung
Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.