Kemarahan Krisna pada salah satu pegawainya tadi membuat pria itu merasa lelah seketika. Ia tidak terbiasa berdebat dengan perempuan selain keluarganya. Namun, jika tidak bertindak tegas, itu justru akan menghambat semua proses yang telah mereka mulai untuk peluncuran produk baru di semester kedua tahun ini.
Menyandarkan punggung ke kursi kerjanya, Krisna menghela napas dalam. Hanya gara-gara satu orang moodnya seketika berantakan. Bertanya-tanya apa yang ada di otak perempuan tadi hingga bersikeras menganggap motif kulit binatang cocok untuk tema tropikal mereka? Ia masih bisa memaklumi jika itu adalah gambar burung parkit atau pohon nyiur. Tapi, motif zebra, jerapah dan semua tetangganya? Bukannya keren, justru membuat kepala Krisna pening seketika.Ponsel Krisna sudah berbunyi untuk ketiga kalinya saat pria itu akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. Panggilan telepon dari seseorang yang sejatinya memang ia tunggu. Seseorang yang kontaknya ia simp"Sialan." Umpatan Jingga yang dikatakannya seraya membanting ponsel membuat Lembayung berpaling dan menatapnya heran. Adiknya itu tadinya sedang duduk tenang di samping Jingga sembari membaca sebuah buku. Jingga sendiri sebelumnya tengah sibuk menggambar sebuah desain sepatu, lalu memutuskan menelepon seseorang dan berakhir mengeluarkan kata tersebut."Ada apa?" tanyanya datar, tidak terlihat seperti orang yang ingin tahu meski kalimatnya bernada tanya."Itu si bos labil. Maunya apa, sih? Kalau memang nggak mau ambil kembali, ya bilang aja nggak. Jangan bilang iya, tapi nggak muncul-muncul sampai sekarang." Jingga menjawab dengan berapi-api. Menurutnya sikap Krisna kali ini bahkan lebih parah dari saat mereka sering berdebat dulu.Lembayung yang sudah tahu duduk persoalannya sama sekali tak bereaksi heboh. Ia membuka satu halaman lagi dan tetap asyik membaca meski sambil mendengarkan."Orangnya sibuk kali, Ga. Namanya juga CEO perusahaan besar."
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Akan tetapi, Krisna masih nyaman duduk di kursi kerjanya yang kini menghadap ke belakang. Ke arah jendela besar yang menyajikan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian.Krisna menyukai pemandangan tersebut, apalagi saat tengah sibuk memikirkan pujaan hatinya seperti saat ini. Ya, pria itu memandang ke kejauhan, seolah-olah membayangkan di antara bangunan-bangunan besar dan tinggi tersebut terdapat keberadaan Jingga. Ia tidak perlu melihatnya secara langsung, cukup meyakini hal itu.Sembari masih bersandar nyaman di kursi tersebut, Krisna memainkan ponselnya. Mengingat kembali terakhir kali Jingga meneleponnya membuat pria itu tersenyum senang. Meski gaya bicara gadis itu masih galak, tapi Krisna merasa Jingga memang mulai merasa kehilangan dirinya. Ia tidak tahu seberapa besar itu. Mungkin masih awal, tapi setidaknya upaya Krisna sudah mulai menuai hasil. Walaupun jujur saja ia kangen luar biasa pada gadis itu.
Krisna dan Arumi baru saja keluar dari Garden Resto saat gadis itu tiba-tiba menggamit lengan Krisna. Tak ada angin tak ada hujan, tentu saja perlakuan itu membuat Krisna terkejut. Selama makan siang tadi keduanya memang bisa mengobrol dengan nyaman, tapi baginya bukan berarti itu sebuah izin untuk melakukan kontak fisik.Bukannya Krisna membenci hal itu. Ia tidak mau munafik jika menyukai perlakuan Arumi. Namun, mengingat kesimpulan dari semua pembicaraan mereka tadi, pria itu tahu jika ia harus memutus hal apa pun yang bisa mendekatkan mereka berdua."Kamu bawa mobil sendiri, kan?" tanya Krisna seraya menjauhkan tangan Arumi dari lengannya."Bawa, sih. Tapi, apa kamu nggak mau semobil bareng aku? Kita bisa lanjutin obrolan kita tadi.""Nggak, Arumi. Aku rasa itu akan merepotkan salah satu dari kita." Lagipula, tidak ada hal yang Krisna pikir masih perlu mereka bicarakan. Sudah jelas baginya untuk menolak Arumi setelah mendengar jawaban gadis itu mengenai fotonya bersama Saras tadi.
Lembayung menghela napas dalam untuk kesekian kali dengan tingkah dua orang di hadapannya sekarang. Krisna dan Violet. Dua orang asing yang kurang dari sehari sudah menjadi sekutu dan terlihat sangat cocok.Lembayung sudah berkompromi dengan keinginan Violet menerima ajakan makan siang Krisna. Namun, ia tidak bisa melakukan hal yang sama untuk hal selanjutnya. Sebab, dari restoran yang tergolong mewah tadi, kini mereka sudah berpindah tempat. Tawaran Krisna mengantar mereka pulang- Lembayung kebetulan tak membawa motornya- justru berakhir dengan mereka berada di mal.Jika itu terbilang bukan masalah, maka masalah yang sebenarnya baru saja muncul. Krisna mengajak Violet memasuki salah satu toko di mal tersebut. Tepatnya toko pakaian. Dan, Violet seolah lupa dengan siapa ia datang karena mengabaikan tatapan tajam Lembayung saat Krisna mempersilakannya memilih baju yang ia suka.Lembayung tidak suka berdebat, karenanya ia hanya menunggu sang adik segera menentukan pilihan dan mereka pulan
Jingga baru saja selesai membuat camilan untuk temannya maraton drama Korea. Satu toples besar popcorn karamel yang bisa dinikmati tidak hanya untuknya, tapi juga dua adik kesayangannya yang belum datang dari jalan-jalan.Sebenarnya Lembayung dan Violet tak sekadar jalan-jalan. Mereka berdua menemui teman Lembayung yang dulu memesan sepatu untuk acara pesta ulang tahunnya. Rencana awal adalah Jingga yang ikut pergi, tapi karena si bungsu ingin keluar juga, ia mengalah dan memilih untuk lanjut menghabiskan hari liburnya dengan menonton film. Melakukan hal-hal sepele yang dulu begitu sulit didapatkannya.Jingga teringat masa-masa di mana keluarga mereka harus berupaya keras membayar semua hutang ayahnya. Selain Riani yang bekerja serabutan dan Lembayung yang sekolah sambil berjualan kue, ia sendiri sampai harus mengambil dua pekerjaan dalam satu waktu. Bekerja sebagai buruh pabrik dan menjadi pengantar pesanan katering tetangga setelahnya. Jangankan menonton film, bi
"Dari mana saja kamu?" Kedatangan Krisna langsung disambut pertanyaan yang disertai tatapan curiga dari Ratih. Perempuan paruh baya itu duduk manis di sofa ruangan Krisna, tapi sikap dan ekspresinya sama sekali tidak manis melainkan campuran dari asam dan pahit. Padahal penampilannya sudah paripurna, setara ibu-ibu istri pejabat. Bahkan mungkin lebih keren."Kan, makan siang sama Arumi, Bu Ratih." Krisna tersenyum dan menampakkan giginya yang rapi sewaktu menjawab. Akan tetapi, Ratih tidak terpengaruh."Maksud Mama setelah kamu makan siang dengan Arumi. Siapa teman yang kamu temui tadi?"Oh, Krisna yakin Arumi pasti melaporkan semuanya pada Ratih. Yah, jika benar begitu berarti gadis cantik tersebut sama saja dengan gadis-gadis sebelumnya."Oh, teman kuliah. Kebetulan aja tadi ketemu dan ngobrol sampai lupa waktu.""Rengga bilang ponsel kamu nggak aktif waktu dihubungi.""Low battery, Ma." Krisna tidak tahu mengapa hari ini ia lancar sekali mengucapkan kebohongan.Ratih masih menatap
"Ras, kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu." Krisna sudah mengakhiri pembicaraan dengan Jingga, tapi segera beralih menghubungi Saras sebelum Ratih menyadari hal tersebut. "Urgent. Dan, cuma kamu yang bisa."Krisna tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa setelah mendengar Jingga sudah berada di kantornya. Terlepas dari dirinya yang memang ingin bertemu gadis itu, Krisna juga sadar kalau situasi dan kondisinya sedang tidak memungkinkan. Ada Ratih bersamanya dan pria itu belum berani mengungkap fakta jika Jingga adalah gadis yang sedang ia dekati. Belum lagi kenyataan kalau Jingga sedang dipenuhi emosi, dan ia tidak tahu hal apa yang akan dilakukan gadis berwajah bulat itu di kantornya dalam keadaan marah. Dilihat dari riwayat kegalakannya, Jingga jelas tidak akan duduk manis dan tersenyum sembari membawakannya makanan."Wah, tumben Adik Durhaka ini butuh bantuanku." Namun, Saras tidak menganggap situasinya cukup mendesak hingga masih sempat menggoda sang adik. "Pasti soal M
Jingga masih berdiri menunggu di depan meja resepsionis sesuai arahan gadis manis di balik meja tersebut. Informasi tersebut didapatnya lima menit yang lalu. Seharusnya sebentar lagi Krisna sudah muncul.Meski berstatus sebagai salah satu pegawai Dahayu Group, Jingga belum pernah menginjakkan kaki di kantor perusahaan tersebut. Karena itu, wajar Jingga kagum melihat bangunan tinggi dan megah yang ia datangi tersebut. Lobinya saja luas dengan interior bergaya minimalis. Ia membayangkan dirinya bekerja di sana, sudah pasti betah. Apalagi dengar-dengar gaji pegawai di sana juga lebih besar dari pegawai sekelas dirinya.Ada untungnya juga Jingga nekad datang ke kantor Dahayu. Ia jadi bisa melihat gedung megah yang selama ini hanya bisa ia pandangi dari luar. Sayangnya, saat melihat para pegawai lain yang lalu lalang, kemudian mengamati diri sendiri, Jingga merasa terdampar.Semua orang berpenampilan rapi. Pria memakai kemeja atau setelan jas sembari menenteng