"SIAL!" Askara terus mengayunkan kujangnya. Berlatih menyabit seraya terdengar mengumpat beberapa kali. Terhitung sudah ratusan kali tangannya sibuk mengayunkan senjata. Meskipun demikian, pikirannya kalut dan tak bisa melupakan apa yang dikatakan snag sepuh. Pemuda itu seakan menolak percaya dengan fakta yang menunjuk padanya.
Di sisi lain Dwara kembali menemui rivalnya, merundingkan tentang latar belakang asal muasal Askara yang cukup mengejutkan.
"Apa?! Kau tidak salah berbicara 'kan?" Baduga, salah satu sepuh pendekar adiwira yang tingkatnya sejajar dengan Dwara seketika terhentak mendengar berita itu.
"Aku serius. Firasat ini muncul saat anak itu terus meracau saat tidur. Di mana sebelumnya aku sempat menceritakan tentang kisah adiwira kujang si penghianat itu," balas Dwara yang kemudian mengembuskan napas gusar. Ia tak menyangka, deretan hal rumit muncul semenjak Askara jadi muridnya.
"Apa kau su
Askara terlihat diam mematung sejak tadi. Padahal beberapa waktu sebelumnya, Dwara sempat mengobati jemari tangan pemuda itu yang terluka. Tak habis pikir kenapa Askara sampai sibuk melukai diri sendiri. Tetapi di sisi lain Dwara faham, lelaki itu mungkin butuh waktu untuk menerima keadaan."Untung saja jarimu tidak patah. Lain kali jangan gunakan pohon kelapa sebagai sasaran tinjumu. Itu tak bagus," ucap Dwara. Muridnya itu masih terdengar hening tak menggubris perkataan sang sepuh.Dwara menghela napas panjang menanggapi itu. Ia lebih suka Askara yang berisik seperti biasanya — meskipun terkadang suka menistakan gurunya sendiri. Kini Dwara membuat target untuk mempertahankan Askara.Berharap pemuda itu tidak berkhianat seperti Ayahnya dulu."Apa-apaan?" gumam Askara di sela renungannya. Lantas ia mengusap gundah wajah sendiri. Sulit menerima kebenaran jika sebenarnya ia adalah putra seorang adiwira penghianat."Pantas saja aku dan Ashoka ti
[He manusa, mana kaniaya teuing ...] [Teu aya ras-rasan ...] [Kaula pake disumpit ...] [Naha naon dosa kula ...] "Ibu!" teriak Askara yang seketika bangun dari posisi berbaringnya. Pemuda itu mengedarkan mata, bukan lagi langit-langit gua batu yang terlihat. Melainkan air terjun dengan rumpunan daun yang menjadi tirai kedua sisinya. Askara sudah tak asing lagi dengan tempat keberadaannya sekarang. Bunga wisteria ungu yang menjulang tinggi sampai rimbunannya menutup awang-awang, sehingga sekilas telihat membentuk gua bunga yang menawan. "Tempat ini lagi ya?" gumam pemuda itu. Lantas setelahnya ia bangkit dan sibuk mengedarkan pandangan. Berusaha mencari alunan senandung yang ia dengar sebelumnya. Tembang pupuh yang berhasil mengingatkanya pada sang ibu. "Ibu?" "Ibu!" panggil Askara menyeru lebih kencang. "Tak ada ibumu di sini." "HUWAA!" Askara memekik sampai tubuhnya terjungkal ke belakang. Bagai bertemu
"Kalau aku yang menyanyikannya, kau akan percaya?" Hening seketika. Keduanya tak terdengar berbicara lagi setelah itu. "Tunggu sebentar, maksudmu apa, Paman? Kau yang sejak tadi bernyanyi tembang itu? Dari mana kau tau?" tanya Askara memastikan. Lantas Abiseka tertawa cekikikan sampai bahunya naik turun. "Dasar pelupa," katanya sambil mengetuk kening Askara di sela tawanya. "Dulu aku pernah bilang, akulah yang mengajari Ibumu kawih-kawih sunda. Bahkan tembang pupuh sekalipun, aku yang mengajari semuanya." Abiseka pun mendongkak, menatap langit-langit yang dipenuhi rimbunan bunga wisteria. Sesekali kerut bibir pria itu terangkat karena terbawa jauh akan lamunannya itu. "Woahh, Paman ... Kau ternyata yang mengajari Ibu. Kalau boleh tau sedekat apa kau dengan Ibuku?" "Yaaah, aku hanya mengajarinya tentang syair-syair dan sedikit ilmu bela diri. Itu s
"Namanya ..."" ... Anjani."Sontak pemuda itu membisu, tubuhnya mendadak diam mematung seiring otak berusaha mencerna ucapan Abiseka. Nama yang disebutkan pria itu, sepertinya Askara jelas tak asing lagi. Tidak. Bukan tak asing lagi, nama itu sudah melekat erat dalam hatinya."A-Anjani?" tanya lelaki itu penuh penekanan."Iya. Dia cinta pertamaku." Lagi-lagi Abiseka memejamkan mata, mungkin ia mendapat kenangan indah. Sosok yang ia idamkan sepertinya muncul dalam benak dan berhasil menghiasi lamunannya."Anjani? T-tidak mungkin!"Pria dengan ikat kepala bercorak batik mega mendung itu menatap Askara lewat senyum mesem. Sedangkan Askara, ia membisu dengan mulut terbuka, melemparkan tatapan seolah mengatakan 'tak kuduga'."Anjani ..." Askara memegangi kepalanya yang mendadak terasa sedikit pusing. Meski sebagian ingatannya dihapus pun, tetap saja ia ingat pasti siapa sosok perempuan itu."Ibu?!" pekik Askara sambil bangun dari p
"Hai anak muda!" panggil seseorang. Askara seketika membuka mata perlahan, menangkap seorang pria dengan janggut dan kumis sedikit lebat. Memakai pakaian dan bendo putih berpoletkan emas tengah duduk di samping pembaringannya. Askara pun menoleh, lelaki itu mengangkat alis sebelum akhirnya bertanya, "siapa kau?" "Ah, kita belum berkenalan rupanya. Perkenalkan, namaku Baduga. Aku Sepuh adiwira juga," kata pria itu lagi. Bola mata Askara terbeliak seketika. "S-Sepuh?" Lantas pemuda itu bergegas bangun, ia rasa tak enak pada Sepuh adiwira yang satu ini. Mengingat akhir-akhir ini ia terlalu bersantai sampai sering tertidur. 'Celaka, apa Sepuh Dwara melapor jika diriku sangat lemah karena sering pingsan?' batinnya. Bahkan Askara sempat berpikir, Baduga akan menghukumnya karena ia sadar dirinya malas. "Maaf Sepuh. S-saya janji, akan menjadi kuat supaya tidak terus pingsan dan berbaring." Askara memohon seraya merapatkan jari-jarinya. Siapa s
"Lawanlah dia, Sanggapati ..." 'Adiwira panah? Aku harus mengenyahkan anak panahnya!' pikir Askara menyusun taktik. Setelah sesi dorong mendorong, anak panah itu ditepis sampai terlempar entah ke mana. Pemuda yang bernama Sanggapati itu pun terjun dan mencoba menapakkan kaki di tanah. Ia pun menundukkan kepala, lantas memutar badan seraya menyiapkan tendangan. Maka saat tiba waktu kakinya menendang, Askara sigap menahan serangan betis itu menggunakan tangan yang telah melakukan pelepasan energi sebelumnya. Lantas Askara mencengkram erat pergelangan kaki Sanggapati, lalu ia banting badan lawannya ke udara sampai pemuda itu terlempar. Namun ternyata Sanggapati tidak terbentur, lelaki itu terlihat berhasil mendarat di tanah dengan kedua kaki. Saat itu juga Askara melihat perawakan Sanggapati yang berdiri kokoh di jarak sepuluh meter sana. Tingginya diterka juga sama dengan dirinya. Pemuda itu juga menyelempangkan busur panah hingga terlihat menyilang di
Anak panah itu melesat dengan cepat seakan hendak menusuk sempurna di badannya. Askara hanya memejamkan mata, saking terkejutnya ia dengan serangan itu sampai-sampai diam membeku di tempat. Jleb! Menancap dengan sempurna, anak panah itu menusuk sampai tembus ke dalam batang. Askara yang tengah menyandar di pohon, kala itu diam membisu tak berkata-kata. Sampai akhirnya Askara menoleh ke samping guna memastikan bahu kirinya. Tak dapat dipungkiri, di area sanalah lesatan anak panah mendarat. Ternyata anak panah itu sengaja meleset sehingga tidak melukainya. Hanya menancap namun tidak berhasil menusuk organ tubuhnya. Askara juga merasakan baju bagian bahu lenganny yang terjepit karena tusukan anak panah. Membuat sebelah badan terasa sulit bergerak karena pergerakannya seolah terkunci. Askara meronta supaya pakaiannya lepas dari cekikan anak panah yang menancap. Jauh di ujung barat daya sana, seorang pria tua dengan jenggot dan kumis lebat
Setelah pertarungan antar adiwira pemula tadi, Askara dan Sanggapati dilanjut berjalan menuju bukit pasir nagog. Sebelumnya Dwara sudah lebih dulu sampai di sana dan sengaja memerintahkan Baduga untuk membawa kedua pemuda itu. Sambil membuntuti punggung Baduga, keduanya berjalan menyusuri tanjakan yang agak curam."Kalian berdua tahu ke mana kalian akan dibawa?" tanya Baduga.Askara menoleh pada Sanggapati, ekspresi wajahnya seakan menanyakan 'hendak ke mana', namun pemuda itu sudah lebih dulu mengedikkan bahu. "Jangan tanya aku," kata Sanggapati."Kalian berdua akan kubawa ke bukit pasir nagog. Kalian harus diuji terlebih dahulu sejauh mana kemampuan, dan bagaimana cara kalian bekerja sama dalam pertarungan grup," kata Baduga lagi."Ooh ..." Baik Askara maupun Sanggapati kompak menganggukkan kepala, membulatkan mulut tanda mereka faham.Hingga sampailah mereka bertiga ke puncak bukit pasir nagog, ada hamparan tanah lapang yang luas setelah sedari