"Akhh ... Kepalaku." Askara akhirnya berhasil bangun. Posisinya kini sudah berada di atas ranjang kayu kembali. Didampingi Dwara yang sudah siaga berjaga di samping, pemuda itu berusaha untuk bangkit dari tidurnya.
"Masih basah lidahku karena memujimu yang tidak pingsan, ujung-ujungnya kau pingsan lagi. Sebenarnya kenapa kau ini?" tanya Dwara yang sedikit kesal dan berpangku tangan di dada. "Jika kau sering pingsan seperti ini, fisikmu masih dikatakan lemah. Dan aku belum bisa mengirimmu ke pegunungan cimungkal."
"Entahlah, Sepuh." Napas Askara terputus-putus, seakan terbangun dari mimpi yang buruk. "Ada ingatan asing yang tiba-tiba masuk dalam pikiranku, itu membuatku sakit kepala."
Lelaki itu kembali mengaduh, terus menerus menggelengkan kepala karena pening. "Apa-apaan? Siapa kau ini?" erangnya lagi.
Dwara sedikit mengangkat alis, sedikit heran saat menganggapi kondisi terkini muridnya. Pemuda itu terus menggeliat sambil mengigau, lantas menjambak ramb
'Maafkan aku, Aska.''Mungkin kau akan malu mengakuiku. Percayalah, semua ini demi kebaikan bersama.''Jangan pernah menyesalinya.''Suatu hari nanti aku akan menjelaskannya.''Aku menyayangimu.'Askara terhentak. Bergegas ia bangun dari pembaringan seraya berteriak ketakutan. Sempat panik dan menjambak sejumput rambutnya, Askara berhenti memekik kala menyadari akan keberadaannya sekarang dalam gua.Gua kediaman Dwara.Banyak cuplikan memori yang menabrak masuk ke dalam ingatan, semua terasa membekas sekarang. Ia lihat ada bayangan seorang pria yang terus membelakanginya, namun terus meminta maaf. Askara bingung mengingat-ingat wajah pria itu. Siapakah dia?Yang paling ia ingat soal pria itu adalah kujang yang dipegangnya. Jika diingat kembali, bentuk kujang itu berbeda jauh dengan miliknya. Jika kujang macan memiliki tiga lubang dan eluk punggung, (sedikit melengkung menyerupai clurit) maka kujang yang muncul dalam ingatan Ask
"SIAL!" Askara terus mengayunkan kujangnya. Berlatih menyabit seraya terdengar mengumpat beberapa kali. Terhitung sudah ratusan kali tangannya sibuk mengayunkan senjata. Meskipun demikian, pikirannya kalut dan tak bisa melupakan apa yang dikatakan snag sepuh. Pemuda itu seakan menolak percaya dengan fakta yang menunjuk padanya. Di sisi lain Dwara kembali menemui rivalnya, merundingkan tentang latar belakang asal muasal Askara yang cukup mengejutkan. "Apa?! Kau tidak salah berbicara 'kan?" Baduga, salah satu sepuh pendekar adiwira yang tingkatnya sejajar dengan Dwara seketika terhentak mendengar berita itu. "Aku serius. Firasat ini muncul saat anak itu terus meracau saat tidur. Di mana sebelumnya aku sempat menceritakan tentang kisah adiwira kujang si penghianat itu," balas Dwara yang kemudian mengembuskan napas gusar. Ia tak menyangka, deretan hal rumit muncul semenjak Askara jadi muridnya. "Apa kau su
Askara terlihat diam mematung sejak tadi. Padahal beberapa waktu sebelumnya, Dwara sempat mengobati jemari tangan pemuda itu yang terluka. Tak habis pikir kenapa Askara sampai sibuk melukai diri sendiri. Tetapi di sisi lain Dwara faham, lelaki itu mungkin butuh waktu untuk menerima keadaan."Untung saja jarimu tidak patah. Lain kali jangan gunakan pohon kelapa sebagai sasaran tinjumu. Itu tak bagus," ucap Dwara. Muridnya itu masih terdengar hening tak menggubris perkataan sang sepuh.Dwara menghela napas panjang menanggapi itu. Ia lebih suka Askara yang berisik seperti biasanya — meskipun terkadang suka menistakan gurunya sendiri. Kini Dwara membuat target untuk mempertahankan Askara.Berharap pemuda itu tidak berkhianat seperti Ayahnya dulu."Apa-apaan?" gumam Askara di sela renungannya. Lantas ia mengusap gundah wajah sendiri. Sulit menerima kebenaran jika sebenarnya ia adalah putra seorang adiwira penghianat."Pantas saja aku dan Ashoka ti
[He manusa, mana kaniaya teuing ...] [Teu aya ras-rasan ...] [Kaula pake disumpit ...] [Naha naon dosa kula ...] "Ibu!" teriak Askara yang seketika bangun dari posisi berbaringnya. Pemuda itu mengedarkan mata, bukan lagi langit-langit gua batu yang terlihat. Melainkan air terjun dengan rumpunan daun yang menjadi tirai kedua sisinya. Askara sudah tak asing lagi dengan tempat keberadaannya sekarang. Bunga wisteria ungu yang menjulang tinggi sampai rimbunannya menutup awang-awang, sehingga sekilas telihat membentuk gua bunga yang menawan. "Tempat ini lagi ya?" gumam pemuda itu. Lantas setelahnya ia bangkit dan sibuk mengedarkan pandangan. Berusaha mencari alunan senandung yang ia dengar sebelumnya. Tembang pupuh yang berhasil mengingatkanya pada sang ibu. "Ibu?" "Ibu!" panggil Askara menyeru lebih kencang. "Tak ada ibumu di sini." "HUWAA!" Askara memekik sampai tubuhnya terjungkal ke belakang. Bagai bertemu
"Kalau aku yang menyanyikannya, kau akan percaya?" Hening seketika. Keduanya tak terdengar berbicara lagi setelah itu. "Tunggu sebentar, maksudmu apa, Paman? Kau yang sejak tadi bernyanyi tembang itu? Dari mana kau tau?" tanya Askara memastikan. Lantas Abiseka tertawa cekikikan sampai bahunya naik turun. "Dasar pelupa," katanya sambil mengetuk kening Askara di sela tawanya. "Dulu aku pernah bilang, akulah yang mengajari Ibumu kawih-kawih sunda. Bahkan tembang pupuh sekalipun, aku yang mengajari semuanya." Abiseka pun mendongkak, menatap langit-langit yang dipenuhi rimbunan bunga wisteria. Sesekali kerut bibir pria itu terangkat karena terbawa jauh akan lamunannya itu. "Woahh, Paman ... Kau ternyata yang mengajari Ibu. Kalau boleh tau sedekat apa kau dengan Ibuku?" "Yaaah, aku hanya mengajarinya tentang syair-syair dan sedikit ilmu bela diri. Itu s
"Namanya ..."" ... Anjani."Sontak pemuda itu membisu, tubuhnya mendadak diam mematung seiring otak berusaha mencerna ucapan Abiseka. Nama yang disebutkan pria itu, sepertinya Askara jelas tak asing lagi. Tidak. Bukan tak asing lagi, nama itu sudah melekat erat dalam hatinya."A-Anjani?" tanya lelaki itu penuh penekanan."Iya. Dia cinta pertamaku." Lagi-lagi Abiseka memejamkan mata, mungkin ia mendapat kenangan indah. Sosok yang ia idamkan sepertinya muncul dalam benak dan berhasil menghiasi lamunannya."Anjani? T-tidak mungkin!"Pria dengan ikat kepala bercorak batik mega mendung itu menatap Askara lewat senyum mesem. Sedangkan Askara, ia membisu dengan mulut terbuka, melemparkan tatapan seolah mengatakan 'tak kuduga'."Anjani ..." Askara memegangi kepalanya yang mendadak terasa sedikit pusing. Meski sebagian ingatannya dihapus pun, tetap saja ia ingat pasti siapa sosok perempuan itu."Ibu?!" pekik Askara sambil bangun dari p
"Hai anak muda!" panggil seseorang. Askara seketika membuka mata perlahan, menangkap seorang pria dengan janggut dan kumis sedikit lebat. Memakai pakaian dan bendo putih berpoletkan emas tengah duduk di samping pembaringannya. Askara pun menoleh, lelaki itu mengangkat alis sebelum akhirnya bertanya, "siapa kau?" "Ah, kita belum berkenalan rupanya. Perkenalkan, namaku Baduga. Aku Sepuh adiwira juga," kata pria itu lagi. Bola mata Askara terbeliak seketika. "S-Sepuh?" Lantas pemuda itu bergegas bangun, ia rasa tak enak pada Sepuh adiwira yang satu ini. Mengingat akhir-akhir ini ia terlalu bersantai sampai sering tertidur. 'Celaka, apa Sepuh Dwara melapor jika diriku sangat lemah karena sering pingsan?' batinnya. Bahkan Askara sempat berpikir, Baduga akan menghukumnya karena ia sadar dirinya malas. "Maaf Sepuh. S-saya janji, akan menjadi kuat supaya tidak terus pingsan dan berbaring." Askara memohon seraya merapatkan jari-jarinya. Siapa s
"Lawanlah dia, Sanggapati ..." 'Adiwira panah? Aku harus mengenyahkan anak panahnya!' pikir Askara menyusun taktik. Setelah sesi dorong mendorong, anak panah itu ditepis sampai terlempar entah ke mana. Pemuda yang bernama Sanggapati itu pun terjun dan mencoba menapakkan kaki di tanah. Ia pun menundukkan kepala, lantas memutar badan seraya menyiapkan tendangan. Maka saat tiba waktu kakinya menendang, Askara sigap menahan serangan betis itu menggunakan tangan yang telah melakukan pelepasan energi sebelumnya. Lantas Askara mencengkram erat pergelangan kaki Sanggapati, lalu ia banting badan lawannya ke udara sampai pemuda itu terlempar. Namun ternyata Sanggapati tidak terbentur, lelaki itu terlihat berhasil mendarat di tanah dengan kedua kaki. Saat itu juga Askara melihat perawakan Sanggapati yang berdiri kokoh di jarak sepuluh meter sana. Tingginya diterka juga sama dengan dirinya. Pemuda itu juga menyelempangkan busur panah hingga terlihat menyilang di
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam