"Tumben sekali kau tidak pingsan lagi," ujar Dwara pada Askara yang kala itu sedang membuntal luka perutnya yang sedikit menganga. Saat itu mereka sudah kembali lagi ke gua kediaman pasca penyerangan cindaku macan tutul tadi.
"Hehe ..." Askara hanya menggaruk kepalanya asal. Meskipun tawa membuat otot perut yang tengah terluka ikut bereaksi, tetap saja Askara memaksa tertawa meski sakit di perutnya itu perih bukan main.
Sengaja Askara mencoba mencairkan suasana, karena sedari tadi Dwara terlihat agak murung dari biasanya.
"Tadi aku menggunakan teknik peralihan mata biru. Dan ternyata memang benar, tenagaku tidak terlalu terkuras setelahnya. Ya, meskipun tenaga yang didapatkan sebelumnya kurang banyak," kata pemuda itu lagi.
"Kau belajar dengan cepat ya," sambung Dwara sembari mengganti pakaian luarnya dengan kain baru yang kering. "Karena itulah aku melatih fisikmu. Kita tidak bisa terlalu bergantung pada mata biru. Akan berbahaya jika seorang adiwira men
"Akhh ... Kepalaku." Askara akhirnya berhasil bangun. Posisinya kini sudah berada di atas ranjang kayu kembali. Didampingi Dwara yang sudah siaga berjaga di samping, pemuda itu berusaha untuk bangkit dari tidurnya."Masih basah lidahku karena memujimu yang tidak pingsan, ujung-ujungnya kau pingsan lagi. Sebenarnya kenapa kau ini?" tanya Dwara yang sedikit kesal dan berpangku tangan di dada. "Jika kau sering pingsan seperti ini, fisikmu masih dikatakan lemah. Dan aku belum bisa mengirimmu ke pegunungan cimungkal.""Entahlah, Sepuh." Napas Askara terputus-putus, seakan terbangun dari mimpi yang buruk. "Ada ingatan asing yang tiba-tiba masuk dalam pikiranku, itu membuatku sakit kepala."Lelaki itu kembali mengaduh, terus menerus menggelengkan kepala karena pening. "Apa-apaan? Siapa kau ini?" erangnya lagi.Dwara sedikit mengangkat alis, sedikit heran saat menganggapi kondisi terkini muridnya. Pemuda itu terus menggeliat sambil mengigau, lantas menjambak ramb
'Maafkan aku, Aska.''Mungkin kau akan malu mengakuiku. Percayalah, semua ini demi kebaikan bersama.''Jangan pernah menyesalinya.''Suatu hari nanti aku akan menjelaskannya.''Aku menyayangimu.'Askara terhentak. Bergegas ia bangun dari pembaringan seraya berteriak ketakutan. Sempat panik dan menjambak sejumput rambutnya, Askara berhenti memekik kala menyadari akan keberadaannya sekarang dalam gua.Gua kediaman Dwara.Banyak cuplikan memori yang menabrak masuk ke dalam ingatan, semua terasa membekas sekarang. Ia lihat ada bayangan seorang pria yang terus membelakanginya, namun terus meminta maaf. Askara bingung mengingat-ingat wajah pria itu. Siapakah dia?Yang paling ia ingat soal pria itu adalah kujang yang dipegangnya. Jika diingat kembali, bentuk kujang itu berbeda jauh dengan miliknya. Jika kujang macan memiliki tiga lubang dan eluk punggung, (sedikit melengkung menyerupai clurit) maka kujang yang muncul dalam ingatan Ask
"SIAL!" Askara terus mengayunkan kujangnya. Berlatih menyabit seraya terdengar mengumpat beberapa kali. Terhitung sudah ratusan kali tangannya sibuk mengayunkan senjata. Meskipun demikian, pikirannya kalut dan tak bisa melupakan apa yang dikatakan snag sepuh. Pemuda itu seakan menolak percaya dengan fakta yang menunjuk padanya. Di sisi lain Dwara kembali menemui rivalnya, merundingkan tentang latar belakang asal muasal Askara yang cukup mengejutkan. "Apa?! Kau tidak salah berbicara 'kan?" Baduga, salah satu sepuh pendekar adiwira yang tingkatnya sejajar dengan Dwara seketika terhentak mendengar berita itu. "Aku serius. Firasat ini muncul saat anak itu terus meracau saat tidur. Di mana sebelumnya aku sempat menceritakan tentang kisah adiwira kujang si penghianat itu," balas Dwara yang kemudian mengembuskan napas gusar. Ia tak menyangka, deretan hal rumit muncul semenjak Askara jadi muridnya. "Apa kau su
Askara terlihat diam mematung sejak tadi. Padahal beberapa waktu sebelumnya, Dwara sempat mengobati jemari tangan pemuda itu yang terluka. Tak habis pikir kenapa Askara sampai sibuk melukai diri sendiri. Tetapi di sisi lain Dwara faham, lelaki itu mungkin butuh waktu untuk menerima keadaan."Untung saja jarimu tidak patah. Lain kali jangan gunakan pohon kelapa sebagai sasaran tinjumu. Itu tak bagus," ucap Dwara. Muridnya itu masih terdengar hening tak menggubris perkataan sang sepuh.Dwara menghela napas panjang menanggapi itu. Ia lebih suka Askara yang berisik seperti biasanya — meskipun terkadang suka menistakan gurunya sendiri. Kini Dwara membuat target untuk mempertahankan Askara.Berharap pemuda itu tidak berkhianat seperti Ayahnya dulu."Apa-apaan?" gumam Askara di sela renungannya. Lantas ia mengusap gundah wajah sendiri. Sulit menerima kebenaran jika sebenarnya ia adalah putra seorang adiwira penghianat."Pantas saja aku dan Ashoka ti
[He manusa, mana kaniaya teuing ...] [Teu aya ras-rasan ...] [Kaula pake disumpit ...] [Naha naon dosa kula ...] "Ibu!" teriak Askara yang seketika bangun dari posisi berbaringnya. Pemuda itu mengedarkan mata, bukan lagi langit-langit gua batu yang terlihat. Melainkan air terjun dengan rumpunan daun yang menjadi tirai kedua sisinya. Askara sudah tak asing lagi dengan tempat keberadaannya sekarang. Bunga wisteria ungu yang menjulang tinggi sampai rimbunannya menutup awang-awang, sehingga sekilas telihat membentuk gua bunga yang menawan. "Tempat ini lagi ya?" gumam pemuda itu. Lantas setelahnya ia bangkit dan sibuk mengedarkan pandangan. Berusaha mencari alunan senandung yang ia dengar sebelumnya. Tembang pupuh yang berhasil mengingatkanya pada sang ibu. "Ibu?" "Ibu!" panggil Askara menyeru lebih kencang. "Tak ada ibumu di sini." "HUWAA!" Askara memekik sampai tubuhnya terjungkal ke belakang. Bagai bertemu
"Kalau aku yang menyanyikannya, kau akan percaya?" Hening seketika. Keduanya tak terdengar berbicara lagi setelah itu. "Tunggu sebentar, maksudmu apa, Paman? Kau yang sejak tadi bernyanyi tembang itu? Dari mana kau tau?" tanya Askara memastikan. Lantas Abiseka tertawa cekikikan sampai bahunya naik turun. "Dasar pelupa," katanya sambil mengetuk kening Askara di sela tawanya. "Dulu aku pernah bilang, akulah yang mengajari Ibumu kawih-kawih sunda. Bahkan tembang pupuh sekalipun, aku yang mengajari semuanya." Abiseka pun mendongkak, menatap langit-langit yang dipenuhi rimbunan bunga wisteria. Sesekali kerut bibir pria itu terangkat karena terbawa jauh akan lamunannya itu. "Woahh, Paman ... Kau ternyata yang mengajari Ibu. Kalau boleh tau sedekat apa kau dengan Ibuku?" "Yaaah, aku hanya mengajarinya tentang syair-syair dan sedikit ilmu bela diri. Itu s
"Namanya ..."" ... Anjani."Sontak pemuda itu membisu, tubuhnya mendadak diam mematung seiring otak berusaha mencerna ucapan Abiseka. Nama yang disebutkan pria itu, sepertinya Askara jelas tak asing lagi. Tidak. Bukan tak asing lagi, nama itu sudah melekat erat dalam hatinya."A-Anjani?" tanya lelaki itu penuh penekanan."Iya. Dia cinta pertamaku." Lagi-lagi Abiseka memejamkan mata, mungkin ia mendapat kenangan indah. Sosok yang ia idamkan sepertinya muncul dalam benak dan berhasil menghiasi lamunannya."Anjani? T-tidak mungkin!"Pria dengan ikat kepala bercorak batik mega mendung itu menatap Askara lewat senyum mesem. Sedangkan Askara, ia membisu dengan mulut terbuka, melemparkan tatapan seolah mengatakan 'tak kuduga'."Anjani ..." Askara memegangi kepalanya yang mendadak terasa sedikit pusing. Meski sebagian ingatannya dihapus pun, tetap saja ia ingat pasti siapa sosok perempuan itu."Ibu?!" pekik Askara sambil bangun dari p
"Hai anak muda!" panggil seseorang. Askara seketika membuka mata perlahan, menangkap seorang pria dengan janggut dan kumis sedikit lebat. Memakai pakaian dan bendo putih berpoletkan emas tengah duduk di samping pembaringannya. Askara pun menoleh, lelaki itu mengangkat alis sebelum akhirnya bertanya, "siapa kau?" "Ah, kita belum berkenalan rupanya. Perkenalkan, namaku Baduga. Aku Sepuh adiwira juga," kata pria itu lagi. Bola mata Askara terbeliak seketika. "S-Sepuh?" Lantas pemuda itu bergegas bangun, ia rasa tak enak pada Sepuh adiwira yang satu ini. Mengingat akhir-akhir ini ia terlalu bersantai sampai sering tertidur. 'Celaka, apa Sepuh Dwara melapor jika diriku sangat lemah karena sering pingsan?' batinnya. Bahkan Askara sempat berpikir, Baduga akan menghukumnya karena ia sadar dirinya malas. "Maaf Sepuh. S-saya janji, akan menjadi kuat supaya tidak terus pingsan dan berbaring." Askara memohon seraya merapatkan jari-jarinya. Siapa s