"Maafkan aku, Dalu ..."
Terhitung satu jam lamanya, Askara duduk termenung menghadap pemakaman Dalu yang terletak di bawah bukit pasir nagog. Sedikit meratapi kepergian anak itu, namun ia memaksakan diri untuk kuat. Ambisinya tidak akan tercapai bila lemah dan mudah menangis. Tragedi naas yang menimpa Dalu dan Ashoka cukup jadi tamparan keras, menuntutnya untuk senantiasa tegar dalam menghadapi masalah.
Tak lupa juga ia meletakkan seikat bunga di atas tanah kuburan baru itu. Di sela ia menghela napas panjang, Askara bergumam sendiri seolah mengajak kuburan Dalu berbicara.
"Meskipun pertemuan kita terbilang singkat, aku tidak akan pernah melupakanmu."
"Kau pasti senang di alam sana karena bisa bertemu orang tuamu."
"Lain denganku yang harus menjalani hidup di dunia tanpa Ayah dan Ibu." Kerut bibir Askara memang tersenyum namun seakan dipaksakan. Lelaki itu memang tengah getir saat ini.
Lamunan itu buyar seketika saat ia berniat kembali
Seharian ini, Askara sibuk mengagumi keindahan pusaka yang dipegangnya. Pusaka itu melengkung bak clurit, juga dihiasi tiga mata lubang yang menambah kesan sakral senjata itu. Entah kenapa alasannya, tetapi pemuda itu berangan jauh menjadi pendekar adiwira hebat menggunakan mata biru dan kujang itu. Padahal untuk seukuran manusia yang diilhami mata biru sepertinya, diperlukan latihan setengah mati untuk mendapat julukan urat kawat tulang baja. Ia sangat semangat berantusias ingin berlatih menggunakan kujang untuk pelatihan hari ini. Padahal Dwara memintanya untuk istirahat pasca pertarungan dengan cindaku yang terjadi beberapa hari lalu. Namun karena memaksa, akhirnya sang sepuh memberikan pelatihan ringan terlebih dahulu. Askara diminta memotong sepuluh batang pohon pisang mengunakan kujang miliknya dalam waktu sepuluh detik. Awalnya Askara termangu mendengar kalimat 'sepuluh detik'. Berarti satu bahan pohon pisang harus ia tebas dalam kurun waktu ku
"Bagaimana ini?" Dengan napas terenggah-enggah, Askara masih berdiri di depan batang pohon pisang yang tercabik kusut. Batang itu perlahan kembali ke wujud semula, membuat Askara jengkel karena tidak mampu menumbangkannya.Pemuda itu melirik sekitarnya, ia hanya mampu menumbangkan lima pohon pisang saja dalam kurun waktu seharian. Hanya lima. Tidak sesuai dengan apa yang dimintakan sang sepuh, selisihnya terlampau jauh."Apa aku bisa?" Askara mulai meragukan dirinya sendiri. Pasalnya Dwara memintanya untuk menebas sepuluh pohon pisang dalam waktu sepuluh detik. Sedangkan ia hanya bisa memotong lima, itupun dilakukan seharian.Askara berakhir duduk bersimbah, lelaki itu menghela napas berat. Berada di ambang keputusasaan karena diselimuti keraguan. Dalam nurani ia merenungi seputar pertanyaan akan keakuratan pusaka yang dipegangnya itu.'Senjata ini sangat cantik dan indah, tetapi kenapa sangat sulit di
Memikirkan perkataan Dwara tadi, Askara terus berlatih sampai hari menjelang malam. Ia tak henti untuk mengayunkan kujang guna menebas pohon pisang bersihir itu. Memang pohon itu sempat kembali ke bentuk semula, tak berhasil tumbang. Namun sepuluh pohon pisang itu pada akhirnya berhasil tumbang berkat kegigihannya yang kuat. "Memalukan," gerutu Askara saat waktunya melepas penat. "Padahal hanya pohon pisang, tapi kujang ini tak mampu menebangnya dengan cepat." Dwara mengatakan, jika Askara mampu membaca gerakan cindaku saat pertarungan kemarin, maka ia sudah memahami fungsi dari konsentrasi tingkat tinggi. Ia hendak mencobanya lagi pada kujangnya itu. Apalagi, pusaka itu hasil jerih saat berusaha menjinakkannya. Mungkin sekarang pun bisa. "Aku harus mengumpulkan konsentrasi tinggi, supaya menyalurkan energi pada kujang ini," ucapnya antusias. "Benar juga. Pelepasan energi. Akan kucoba." Sebelumnya Askara mencari lahan pohon pisang baru lagi, m
"Adududuh sakit ..." ringis Askara sambil terus mengusap-usap pucuk kepalanya yang terasa berdenyut sakit. Sebelumnya Askara terkena jitak maut Dwara karena dianggap telah menyinggung. Bukan menyinggung, lebih tepatnya mengejek sang Sepuh secara tidak langsung melalui pertanyaan konyolnya itu. Wajar jika pria itu agak sensitif, pasalnya Askara bertanya soal kondisi pinggang Dwara setelah refleks loncat-loncat. Dikira Dwara adalah pria tua yang mudah sakit otot, pantas saja kena amukan. Sepuh pendekar Adiwira sekelas Dwara dianggap pria dengan pinggang yang encok? Yang benar saja. "Ahihi ... Tapi tak apa. Setidaknya aku pernah melihat Sepuh bertingkah konyol," ujarnya disertai cekikikan kecil. Membayangkan wajah aib sang sepuh tadi menjadikan hiburan tersendiri baginya. Kini pemuda itu beralih pada deretan pohon berakar tunggang. Di mana batangnya pun cukup kuat untuk dijadikan alat percobaan. Askara kembali menebaskan kujangnya, namun kali ini tak ter
Cindaku macan tutul. Melihat totol hitam yang menyebar di sekujur makhluk itu, cukup meyakinkan Askara jika sosok di depannya kini adalah manusia setengah macan tutul. Wajah dan tubuh sekilas terstruktur bagai kerangka manusia, namun rupa kucing lebih mendominasi sehingga wujudnya lebih ke macan jadi-jadian. Askara bahkan tercengang mendapati otot perut dan otot tangan cindaku itu terbentuk sempurna —yang bahkan ia sendiri tidak memilikinya. Teringat akan kemalangan Dalu dan Ashoka yang diakibatkan nyalinya yang lemah, Askara kini berdiri tegap dan tak gentar. Ia bertekad mengalahkan makhluk itu meski kemampuan masih terbilang masih jauh dari kata hebat. Askara siap siaga dengan mengacungkan pusaka melengkung dengan tiga mata pisau itu pada si monster. Cindaku terlihat menggeram, menggertakkan gigi-gigi taringnya dilanjut mengaum sampai membisingkan sekitar. 'Ayo Askara, kau pasti bisa. Sebelumnya kau sudah berhasil mengalahkan cindaku juga.'
'Apakah ini adalah akhir hidupku?' Askara berbaring terlentang dengan perut sobek dan menganga. Badannya bergetar saat mendengar derap langkah cindaku macan tutul kian mendekat. Pemuda itu pun memejamkan mata, pasrah dengan keadaan jika seandainya ia mati diterkam si monster. Gra ...! Saat cindaku itu melompat setinggi mungkin hendak menerkam Askara yang tak berdaya, sekelebat cahaya disertai petir gemuruh merambat di udara. Makhluk itu seakan terkena cambukan guntur, terbanting jauh sampai kepalanya tersungkur di tanah. Askara sampai terhentak mendapatinya. Daya tahan cindaku macan tutul cukup kuat, segera mungkin makhluk itu bangun. Meski kepala terbentur keras, bisa hilang cukup dengan sekali gelengan. Si monster menggeram dan berakhir mengaum. Bersamaan dengan itu munculah pendekar yang berjalan di antara pepohonan jati. Menggusur senjata runcing dan panjangnya yang berwarna abu perak, juga berkilauan saat terkena cahaya matahari. "S-sepuh
"Tumben sekali kau tidak pingsan lagi," ujar Dwara pada Askara yang kala itu sedang membuntal luka perutnya yang sedikit menganga. Saat itu mereka sudah kembali lagi ke gua kediaman pasca penyerangan cindaku macan tutul tadi."Hehe ..." Askara hanya menggaruk kepalanya asal. Meskipun tawa membuat otot perut yang tengah terluka ikut bereaksi, tetap saja Askara memaksa tertawa meski sakit di perutnya itu perih bukan main.Sengaja Askara mencoba mencairkan suasana, karena sedari tadi Dwara terlihat agak murung dari biasanya."Tadi aku menggunakan teknik peralihan mata biru. Dan ternyata memang benar, tenagaku tidak terlalu terkuras setelahnya. Ya, meskipun tenaga yang didapatkan sebelumnya kurang banyak," kata pemuda itu lagi."Kau belajar dengan cepat ya," sambung Dwara sembari mengganti pakaian luarnya dengan kain baru yang kering. "Karena itulah aku melatih fisikmu. Kita tidak bisa terlalu bergantung pada mata biru. Akan berbahaya jika seorang adiwira men
"Akhh ... Kepalaku." Askara akhirnya berhasil bangun. Posisinya kini sudah berada di atas ranjang kayu kembali. Didampingi Dwara yang sudah siaga berjaga di samping, pemuda itu berusaha untuk bangkit dari tidurnya."Masih basah lidahku karena memujimu yang tidak pingsan, ujung-ujungnya kau pingsan lagi. Sebenarnya kenapa kau ini?" tanya Dwara yang sedikit kesal dan berpangku tangan di dada. "Jika kau sering pingsan seperti ini, fisikmu masih dikatakan lemah. Dan aku belum bisa mengirimmu ke pegunungan cimungkal.""Entahlah, Sepuh." Napas Askara terputus-putus, seakan terbangun dari mimpi yang buruk. "Ada ingatan asing yang tiba-tiba masuk dalam pikiranku, itu membuatku sakit kepala."Lelaki itu kembali mengaduh, terus menerus menggelengkan kepala karena pening. "Apa-apaan? Siapa kau ini?" erangnya lagi.Dwara sedikit mengangkat alis, sedikit heran saat menganggapi kondisi terkini muridnya. Pemuda itu terus menggeliat sambil mengigau, lantas menjambak ramb
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam