Memikirkan perkataan Dwara tadi, Askara terus berlatih sampai hari menjelang malam. Ia tak henti untuk mengayunkan kujang guna menebas pohon pisang bersihir itu. Memang pohon itu sempat kembali ke bentuk semula, tak berhasil tumbang. Namun sepuluh pohon pisang itu pada akhirnya berhasil tumbang berkat kegigihannya yang kuat.
"Memalukan," gerutu Askara saat waktunya melepas penat. "Padahal hanya pohon pisang, tapi kujang ini tak mampu menebangnya dengan cepat."
Dwara mengatakan, jika Askara mampu membaca gerakan cindaku saat pertarungan kemarin, maka ia sudah memahami fungsi dari konsentrasi tingkat tinggi. Ia hendak mencobanya lagi pada kujangnya itu. Apalagi, pusaka itu hasil jerih saat berusaha menjinakkannya. Mungkin sekarang pun bisa.
"Aku harus mengumpulkan konsentrasi tinggi, supaya menyalurkan energi pada kujang ini," ucapnya antusias.
"Benar juga. Pelepasan energi. Akan kucoba."
Sebelumnya Askara mencari lahan pohon pisang baru lagi, m
"Adududuh sakit ..." ringis Askara sambil terus mengusap-usap pucuk kepalanya yang terasa berdenyut sakit. Sebelumnya Askara terkena jitak maut Dwara karena dianggap telah menyinggung. Bukan menyinggung, lebih tepatnya mengejek sang Sepuh secara tidak langsung melalui pertanyaan konyolnya itu. Wajar jika pria itu agak sensitif, pasalnya Askara bertanya soal kondisi pinggang Dwara setelah refleks loncat-loncat. Dikira Dwara adalah pria tua yang mudah sakit otot, pantas saja kena amukan. Sepuh pendekar Adiwira sekelas Dwara dianggap pria dengan pinggang yang encok? Yang benar saja. "Ahihi ... Tapi tak apa. Setidaknya aku pernah melihat Sepuh bertingkah konyol," ujarnya disertai cekikikan kecil. Membayangkan wajah aib sang sepuh tadi menjadikan hiburan tersendiri baginya. Kini pemuda itu beralih pada deretan pohon berakar tunggang. Di mana batangnya pun cukup kuat untuk dijadikan alat percobaan. Askara kembali menebaskan kujangnya, namun kali ini tak ter
Cindaku macan tutul. Melihat totol hitam yang menyebar di sekujur makhluk itu, cukup meyakinkan Askara jika sosok di depannya kini adalah manusia setengah macan tutul. Wajah dan tubuh sekilas terstruktur bagai kerangka manusia, namun rupa kucing lebih mendominasi sehingga wujudnya lebih ke macan jadi-jadian. Askara bahkan tercengang mendapati otot perut dan otot tangan cindaku itu terbentuk sempurna —yang bahkan ia sendiri tidak memilikinya. Teringat akan kemalangan Dalu dan Ashoka yang diakibatkan nyalinya yang lemah, Askara kini berdiri tegap dan tak gentar. Ia bertekad mengalahkan makhluk itu meski kemampuan masih terbilang masih jauh dari kata hebat. Askara siap siaga dengan mengacungkan pusaka melengkung dengan tiga mata pisau itu pada si monster. Cindaku terlihat menggeram, menggertakkan gigi-gigi taringnya dilanjut mengaum sampai membisingkan sekitar. 'Ayo Askara, kau pasti bisa. Sebelumnya kau sudah berhasil mengalahkan cindaku juga.'
'Apakah ini adalah akhir hidupku?' Askara berbaring terlentang dengan perut sobek dan menganga. Badannya bergetar saat mendengar derap langkah cindaku macan tutul kian mendekat. Pemuda itu pun memejamkan mata, pasrah dengan keadaan jika seandainya ia mati diterkam si monster. Gra ...! Saat cindaku itu melompat setinggi mungkin hendak menerkam Askara yang tak berdaya, sekelebat cahaya disertai petir gemuruh merambat di udara. Makhluk itu seakan terkena cambukan guntur, terbanting jauh sampai kepalanya tersungkur di tanah. Askara sampai terhentak mendapatinya. Daya tahan cindaku macan tutul cukup kuat, segera mungkin makhluk itu bangun. Meski kepala terbentur keras, bisa hilang cukup dengan sekali gelengan. Si monster menggeram dan berakhir mengaum. Bersamaan dengan itu munculah pendekar yang berjalan di antara pepohonan jati. Menggusur senjata runcing dan panjangnya yang berwarna abu perak, juga berkilauan saat terkena cahaya matahari. "S-sepuh
"Tumben sekali kau tidak pingsan lagi," ujar Dwara pada Askara yang kala itu sedang membuntal luka perutnya yang sedikit menganga. Saat itu mereka sudah kembali lagi ke gua kediaman pasca penyerangan cindaku macan tutul tadi."Hehe ..." Askara hanya menggaruk kepalanya asal. Meskipun tawa membuat otot perut yang tengah terluka ikut bereaksi, tetap saja Askara memaksa tertawa meski sakit di perutnya itu perih bukan main.Sengaja Askara mencoba mencairkan suasana, karena sedari tadi Dwara terlihat agak murung dari biasanya."Tadi aku menggunakan teknik peralihan mata biru. Dan ternyata memang benar, tenagaku tidak terlalu terkuras setelahnya. Ya, meskipun tenaga yang didapatkan sebelumnya kurang banyak," kata pemuda itu lagi."Kau belajar dengan cepat ya," sambung Dwara sembari mengganti pakaian luarnya dengan kain baru yang kering. "Karena itulah aku melatih fisikmu. Kita tidak bisa terlalu bergantung pada mata biru. Akan berbahaya jika seorang adiwira men
"Akhh ... Kepalaku." Askara akhirnya berhasil bangun. Posisinya kini sudah berada di atas ranjang kayu kembali. Didampingi Dwara yang sudah siaga berjaga di samping, pemuda itu berusaha untuk bangkit dari tidurnya."Masih basah lidahku karena memujimu yang tidak pingsan, ujung-ujungnya kau pingsan lagi. Sebenarnya kenapa kau ini?" tanya Dwara yang sedikit kesal dan berpangku tangan di dada. "Jika kau sering pingsan seperti ini, fisikmu masih dikatakan lemah. Dan aku belum bisa mengirimmu ke pegunungan cimungkal.""Entahlah, Sepuh." Napas Askara terputus-putus, seakan terbangun dari mimpi yang buruk. "Ada ingatan asing yang tiba-tiba masuk dalam pikiranku, itu membuatku sakit kepala."Lelaki itu kembali mengaduh, terus menerus menggelengkan kepala karena pening. "Apa-apaan? Siapa kau ini?" erangnya lagi.Dwara sedikit mengangkat alis, sedikit heran saat menganggapi kondisi terkini muridnya. Pemuda itu terus menggeliat sambil mengigau, lantas menjambak ramb
'Maafkan aku, Aska.''Mungkin kau akan malu mengakuiku. Percayalah, semua ini demi kebaikan bersama.''Jangan pernah menyesalinya.''Suatu hari nanti aku akan menjelaskannya.''Aku menyayangimu.'Askara terhentak. Bergegas ia bangun dari pembaringan seraya berteriak ketakutan. Sempat panik dan menjambak sejumput rambutnya, Askara berhenti memekik kala menyadari akan keberadaannya sekarang dalam gua.Gua kediaman Dwara.Banyak cuplikan memori yang menabrak masuk ke dalam ingatan, semua terasa membekas sekarang. Ia lihat ada bayangan seorang pria yang terus membelakanginya, namun terus meminta maaf. Askara bingung mengingat-ingat wajah pria itu. Siapakah dia?Yang paling ia ingat soal pria itu adalah kujang yang dipegangnya. Jika diingat kembali, bentuk kujang itu berbeda jauh dengan miliknya. Jika kujang macan memiliki tiga lubang dan eluk punggung, (sedikit melengkung menyerupai clurit) maka kujang yang muncul dalam ingatan Ask
"SIAL!" Askara terus mengayunkan kujangnya. Berlatih menyabit seraya terdengar mengumpat beberapa kali. Terhitung sudah ratusan kali tangannya sibuk mengayunkan senjata. Meskipun demikian, pikirannya kalut dan tak bisa melupakan apa yang dikatakan snag sepuh. Pemuda itu seakan menolak percaya dengan fakta yang menunjuk padanya. Di sisi lain Dwara kembali menemui rivalnya, merundingkan tentang latar belakang asal muasal Askara yang cukup mengejutkan. "Apa?! Kau tidak salah berbicara 'kan?" Baduga, salah satu sepuh pendekar adiwira yang tingkatnya sejajar dengan Dwara seketika terhentak mendengar berita itu. "Aku serius. Firasat ini muncul saat anak itu terus meracau saat tidur. Di mana sebelumnya aku sempat menceritakan tentang kisah adiwira kujang si penghianat itu," balas Dwara yang kemudian mengembuskan napas gusar. Ia tak menyangka, deretan hal rumit muncul semenjak Askara jadi muridnya. "Apa kau su
Askara terlihat diam mematung sejak tadi. Padahal beberapa waktu sebelumnya, Dwara sempat mengobati jemari tangan pemuda itu yang terluka. Tak habis pikir kenapa Askara sampai sibuk melukai diri sendiri. Tetapi di sisi lain Dwara faham, lelaki itu mungkin butuh waktu untuk menerima keadaan."Untung saja jarimu tidak patah. Lain kali jangan gunakan pohon kelapa sebagai sasaran tinjumu. Itu tak bagus," ucap Dwara. Muridnya itu masih terdengar hening tak menggubris perkataan sang sepuh.Dwara menghela napas panjang menanggapi itu. Ia lebih suka Askara yang berisik seperti biasanya — meskipun terkadang suka menistakan gurunya sendiri. Kini Dwara membuat target untuk mempertahankan Askara.Berharap pemuda itu tidak berkhianat seperti Ayahnya dulu."Apa-apaan?" gumam Askara di sela renungannya. Lantas ia mengusap gundah wajah sendiri. Sulit menerima kebenaran jika sebenarnya ia adalah putra seorang adiwira penghianat."Pantas saja aku dan Ashoka ti