Motor matic hitam itu sudah sampai di depan rumah Aya. Gadis itu terkejut karena ia tak menganggap pernyataan Rangga malam sebelumnya tentang ia yang akan menjemput Aya itu serius. Lelaki itu tersenyum sambil duduk diatas motornya. Aya menutup pintu dan berjalan menghampiri.
"Kamu, beneran jemput?" Aya masih mencoba yakin.
"Iya lah. Helm kamu, nih, Ay...." Rangga memberikan helm warna putih ke Aya. Dengan ragu Aya menerima. Namun ia segera menepis pikiran aneh nya dengan memakai helm tersebut dan naik membonceng Rangga.
"Kamu bawa jas alamater nggak?" Aya sedikit mendekat ke telinga Rangga saat berbicara.
"Nggak. Kalo aku nggak boleh kedalam, aku tunggu kamu di parkiran" Rangga menyalakan mesin motornya.
"Emang kamu nungguin? Nggak ada bimbingan skripsi?" Motor mulai berjalan pelan meninggalkan area tempat tinggal Aya.
"Enggak. Besok baru ada. Pegangan Aya!" Ucap Rangga dari balik helmnya. Aya menggeleng. Ia malu dan takut jika ia melingkarkan tangannya melingkar di pinggang dan perut Rangga.
"Malu ya?" Rangga menatap dari kaca spion. Aya hanya terkekeh dan membuang tatapan.
"Yaudah. Pegang aja jaket gue ya" lalu Rangga menambah kecepatan sepeda motornya. Aya tersenyum sesekali saat Rangga tak menyalip kendaraan didepannya. Ia tetap stabil mengendarai motornya.
"Salip-salip juga nggak pa-apa ngga , nggak usah takut aku marah" Aya sedikit meninggikan nada bicaranya. Rangga menoleh.
"Nggak. Bawa anak orang nggak boleh ngebut-ngebut" jawab Rangga sambil melirik melalui kaca spion kiri motornya. Aya terkikik.
Mereka sampai dilokasi acara jam tujuh kurang sepuluh menit. Lapangan luas di pemukiman padat penduduk itu sudah didirikan tenda dengan beberapa meja tersusun rapih dan bangku-bangku untuk duduk warga yang antri.
Aya melambaikan tangan ke tim nya. Sebagai penanggung jawab, ia langsung turun tangang mengecek semua kelengkapan kegiatan. Rangga berjalan dibelakang Aya. Semua mata menatap bingung dan kaget. Seorang Rangga ada di antara mereka. Paham kan reputasi Rangga seperti apa.
"Kita pakai ID card ini ya, setiap panitia jangan ada yang nggak pakai. Jas almamater juga. Yang belum hadir siapa aja?" Aya menatap sekeliling dengan kertas berisi nama-nama panitia.
"Hampir semua udah ya" Kartika dari tim bagian pendaftaran dan pendataan menjawab.
"Kita briefing dan berdoa dulu yuk, supaya dilancarkan kegiatan baksi sosial kita hari ini"
Semuanya berkumpul. Rangga duduk di bawah pohon besar yang terdapat beberapa bangku disana. Dari jauh ia memperhatikan sosok gadis yang mampu mengisi ruang kosong dihatinya. Tanpa senyum, ia terus menatap. Wajah ceria Aya sudah mewakili apa yang ia rasakan juga. Ia bahagia.
"Semoga dikegiatan kita hari ini berjalan lancar tanpa halangan berat, semua panitia mudah dalam menjalaskan tugasnya dan bisa menjadi maafkan bagi masyarakat banyak. Berdoa dimulai" pimpin Aya. Mereka menunduk dan berdoa dengan keyakinan masing-masing.
"Selesai" Ujar Aya lagi. Mereka melakukan tos ala panitia. Semua orang bersiap di posisi masing-masing. Aya duduk di kursi sebelah Rangga. Memantau para anak buahnya bekerja. Satu persatu warga sekitar yang sudah didata dan mendapatkan undangan sebelumnya, berdatangan hadir.
Kegiatan bakti sosial suntik vaksin untuk anak dan balita, lalu cek kesehatan lansia, pemberian obat gratis, hingga sembako. Cukup ramai dan disambut hangat. Seksi dokumentasi mengabadikan tiap moment dan menyempatkan membuat video Aya sebagai ketua penyelenggara dan penangggung jawab untuk memberikan komentar serta kesan berjalannya program kegiatan kampus mereka. Sekaligus mengucapkan terima kasih kepada donatur yang sudah berkontribusi.
Rangga merasa bangga karena menjadi bagian dari kegiatan itu. Gadis yang disukainya itu begitu bersemangat dan membuat ceria semua orang. Termasuk dirinya.
***
Siang hari semakin terik. Acara mereka selesam jam tiga sore. Masih dua jam lagi.
"Kamu mau makan bakso nggak?" Aya berdiri didekat Rangga yang sedang memainkan ponselnya.
"Boleh" ia beranjak sambil menaruh ponsel kedalam sakunya.
"Saya jangan paka seledri ya bang, sambalnya dua sendok, nggak pake kecap" ucap Aya.
"Kamu apa? Lengkap semua?" Tanyanya kepada Rangga yang dijawab anggukan.
Mereka kembali duduk dibawah pohon besar dengan kursi-kursi yang tertata disana. Panitia lain juga sedang istirahat di lokasi masing-masing. Mereka seperti menjaga jarak dari Aya yang sedang bersama Rangga. Selain segan, mereka takut mengganggu acara pdkt Rangga ke Aya.
Aya membuka tutup botol air mineral yang masih baru untuk Rangga. Kekehan tampak diwajah cowok itu. Ia bahksan sampai harus menunduk.
"Kenapa? Ada yang aneh?" Aya juga membuka tutup botol air mineral miliknya.
"Aku baru tau. Rasanya diperhatiin sama orang lain selain keluarga sendiri. Gini rasanya" Rangga meminum air mineral miliknya.
"Kenapa? Aneh ya?" Aya senyum-senyum.
"Nggak. Justru suka" Rangga mengusap kepala Aya. Ia beranjak dan mengeluarkan dompetnya seraya membayar bakso yang sudah habis mereka makan.
"Aku kesana ya" tunjuk Rangga ke sudut kebun yang terdapat teman-teman cowok Aya.
"Kamu, ngerokok?" Tanya Aya dengan tatapan bingung. Rangga tersenyum.
"Sebentar ya" Rangga lalu berjalan dan Aya mengangguk.
Aya dihampiri Kartika.
"Aih gilaaaa.. gercep banget bos besar"
"Mulut lo ya tik kalo ngomong" Aya terkekeh. Kartika menatap Aya lekat.
"Pdkt? Apa mau langsung nembak?" Wajah Kartika begitu penasaran.
"Mana gue tau. Rangga cuma bilang mau deket sama gue"
"Ya itu pdkt namanya Ayaaaa, hih lemot" Kartika mengetuk-ngetuk kepala Aya dengan pulpen.
"Terus, perasaan lo gimana?"
Aya menjawab dengan senyum-senyum malu. Kartika bersorak. Ia lalu tertawa.
"Tika. Berisik deh lo" Aya ngomel.
"Biarin. Kalo udah sama-sama suka. Yaudah langsung aja Aya. Lagian, emang lo dari dulu suka sama Rangga kan. Tapi lo diem dan tenang-tenang aja"
"Kagum Tika. Bukan suka"
"Alahhhh.. sama aja ya. Mudah-mudahan cepet ditembak sama Rangga ya" Kartika semangat. Aya hanya berdecak sambil menunduk mengulum senyum.
***
Menjelang senja mereka sudah selesai merapihkan lokasi acara dibantu beberapa warga dan aparat terkait. Aya dan semua tim merasa senang dan puas.
Acara baksos sebelum libur semester pun berjalan sukses. Rangga juga ikut puas setelah seharian ini mengikuti Aya.
"Aku mau ajak jalan-jalan kamu sebentar boleh?" Rangga masih berdiri di sisi motornya.
"Kemana?" Aya memakai helm keatas kepalanya.
"Nonton adek aku tanding basket mau?"
"A-adek?" Aya merasa ragu. Rangga menatapnya lekat.
"Iya. Aku mau kenalin kamu ke adek ku. Perempuan, Gania namanya. Club basketnya lagi tanding sama club basket perempuan lainnya"
"Mmm- sebentar kan" Aya masih ragu. Rangga mengangguk. Aya lalu menyetujui.
***
Setengah jam kemudian mereka sampai di GOR Basket putri di kawasan senanyan. Suara decit sepatu dengan lantai lapangan beradu seru. Rangga duduk dibangku penonton bersama Aya. Gadis SMA kelas 3 itu tampak cekatan bermain basket.
"Dia adek aku satu-satunya. Aku deket sama dia. Makanya aku mau kenalin ke kamu ya" Rangga menoleh. Aya mengangguk.
"Aya,"
"Ya"
Rangga tersenyum. Ia cukup tampak grogi. Terlihat dari posisi duduknya yang tenang sejak beberapa waktu lalu.
"Kita jadian mau?"
"Eh..?" Aya menatap bingung. Rangga terkekeh malu-malu.
"Aku nggak ngerti cara bilangnya gimana Aya" Rangga tampak salah tingkah.
"Ini untuk pertama kalinya aku kaya gini. Kaya orang bodoh ya?" Rangga menatap Aya dengan sebelah alis mata terangkat. Suara peluit tanda waktu selesai pun terdengar.
Rangga dan Aya menatap ke lapangan. Tampak Gania loncat-loncat karena tim nya menang. Ia melambaikan tangan ke Rangga. Lalu berlari menghampiri.
Nafasnya ngos-ngosan dengan keringat bercucuran.
"Bang!" Sapa Gania. Rangga mengangkat dagunya. Sorot mata Gania melihat ke Aya yang tampak kikuk.
Gania melirik ke Rangga. Memainkan kode yang hanya diketahui mereka.
"Gania" ucap Gania sambil mengulurkan tangannya.
"Aya" balas Aya.
"Udah jadian belum. Buruan terima deh kak. Pusing aku denger curhatan dia tentang kak Aya terus"
Aya menoleh. Rangga membekap mulut adiknya itu. Gania melotot sambil mencubit perut Rangga.
"Udah Rangga. Kasian Gania nggak bisa nafas nanti" Aya menarik tangan Rangga yang membekap Gania.
"Udah diterima kan? Aku jamin abang ku ini super baik. Nggak pernah nyakitin perempuan. Nurutttttt banget sama orang tua. Beda sama aku yang suka ngeyel" ujar Gania yang memang tampak lebih tomboy, berani dan blakblakan.
"Bongkar aja. Mulut ember" celetuk Rangga.
"Bodo. Udah ya bang. Gue mau mandi. Kak Aya"
"Hm"
"Abang suka sama kakak. Udah lama, tapi gini deh. Suka pasif orangnya. Cupu." Ghania lalu berlari sebelum dijewer Rangga.
Kini mereka duduk berdua. Sambil menunggu Gania yang akan menghampiri mereka lagi.
Keduanya terdiam. Sama-sama malu.
"Jadi, gimana Aya. Aku diterima apa di tolak?" Rangga menatap serius ke Aya. Kedua mata mereka saling mengunci. Tak lama, Aya tersenyum sambil mengangguk.
Rangga merasa lega. Ia menghela nafas dan mengangkat kedua tangan ke udara. Aya tertawa.
Aya tak mungkin bilang tidak. Karena ia terlalu memuja pria yang bersamanya itu. Iya sudah mengambil keputusan, dan itu akan ia jalankan.
Layaknya pasangan muda yang baru jadian. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama secara intens. Rangga bahkan dengan rela menghabiskan sore hingga malam di waruny nasi goreng milik keluarga Aya. Kedua orang tua Aya begitu baik. Ia terbuka menerima kehadiran Rangga dihidup putrinya. Bukannya apa-apa, karena sejak dekat dan menjalin kasih dengan Rangga, Aya menjadi semakin ceria dan bersemangat menjalani hari-harinya.Rangga tak pernah menggunakan mobil mewahnya lagi. Ia sadar kalau Aya tak akan suka dan tak mungkin dibawa ke lingkungan itu.Jaket yang dikenakan Rangga ia lepas di digantung di dinding warung sambil kalender. Ia bergegas membantu bapak kekasihnya mengangkat keranjang bulat tempat nasi putih. Lalu merapihkan kursi-kursi dan terakhir, memasang spanduk."Makasih ya Rangga,b
Cinta ibu bagaikan telaga dikala haus melanda. Rasa sedih dan gundah pun seakan semua tertumpahkan disatu sosok, ibu.Namun, bagaimana mana jika sosok seorang ibu yang seperti itu tidak didapatkan Rangga. Seakan ia hanya robot yang harus menuruti semua yang diinginkan sang bunda.***Mentari pagi menyilaukan kedua mata Rangga yang tirai kamarnya disibak oleh Ghania. Adik satu-satunya. Ia duduk di tepi ranjang Rangga lalu menatap abangnya yang justru meringkuk."Bang bangun. Kita disuruh siap-siap ke acara lamaran Stefi. Buruaaannn... gue pusing nih denger bunda cerewet banget dari tadi" Ghania mendorong-dorong pinggang Rangga supaya abangnya itu bangun."He-em, udah disia
Usia hubungan Rangga dan Aya masuk dua bulan lebih. Rangga pun sudah lulus, hanya menunggu jadwal wisuda di dua pekan mendatang. Ia masih tak bercerita kepada bunda dan ayahnya perihal hubungan ia dan Aya. Melihat tingkah laku bunda yang begitu ingin melihat sang putra memiliki tambatan hati, berkali-kali Rangga ingin dikenalkan dengan putri dari rekannya itu namun putranya mampu menghindar dan acuh.Ghania di balik semua tingkah laku Rangga itu. Adiknya jengah melihat sikap bundanya yang begitu pengatur."Woi bang,lo jadi jalan-jalan sama kak Aya?" Rangga tampak bersiap dengan kaos dan celana jeans yang ia kenakan sambil mengangguk."Pake mobil gue aja" Ghania duduk di atas ranjang Rangga."Lo nggak jalan sama Reno?" Wajah Ghania kus
Aya berlari-lari kecil saat melakukan pemanasan di dalam studio tempat ia belajar di kampusnya. Jurusan seni, konsentrasi seni tari, skripsi praktek tari Jawa tengah materi tesis Analisa dampak sebuah tari daerah pada budaya modern.Ia sudah cukup melakukan pemanasan. Lanjut menggunakan selendang panjang berwarna hijau yang ia ikat di pinggang rampingnya. Ia merapihkan kunciran rambutnya. Lalu beberapa teman sekelas lainnya datang. Mereka ber tos ria sambil mempersiapkan diri.Tak lama mereka berbaris sesuai tempatnya. Di depan cermin besar. Wajah mereka berubah serius lalu tersenyum. Perlahan, dengan mengikuti alunan lagu gamelan dan sinden jawa, liukan pelan, teratur, lembut dan anggun dari tubuh mereka pun tampak kompak.Pentas tari akan menjadi penentunya di akhir semester nanti. Walau masih satu tahun lagi, akan menjadi penting karena juri dan dosen yang menilai memang orang yang kompeten dibidang tari tradisional.Enam jam kuliah praktek hari ini menjadi hari terlelah Aya. Ia men
Bunda berjalan masuk ke dalam rumah sambil terus berbicara seperti tak ada ujung. Rangga menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Ghania menatapnya malas, ia sudah tau apa yang terjadi dengan kakaknya itu. Sepatu basket ia tenteng di tangan kirinya sambil berjalan santai menaiki tangga ke rumah besar itu. Diliriknya bunda yang masih menggedor-gedor pintu kamar kakaknya."Bun, nggak capek? Mending istirahat dulu." Ghania membuka pintu kamar dan masuk sambil menguncinya."RANGGA! BERANI KAMU MACEM-MACEM DAN NENTANG BUNDA. BUNDA NGGAK SEGAN-SEGAN TARIK SEMUA YANG BUNDA SAMA AYAH KASIH KE KAMU, YA!" teriak bunda. Lalu ia berbalik badan dan pergi menuju kamarnya di lantai bawah.Tak lama ketukan pintu terdengar lagi dikamar Rangga. Ketukan kode yang Rangga hafal betul. Ia membuka pintu. Tampak Ghania menatapnya sambil terus berjalan masuk kedalam kamar Rangga."Siapa? Sonya?" tanya Ghania yang langsung duduk di atas ranjang Rangga."Iya. Bunda main pesen cincin tunangan buat gue sama Sonya. Gue
Aku melepaskanmu hanya untuk sementara. Maafkan ketidak tegasanku. Tunggu aku di ujung dunia sana. -Rangga untuk Aya-***Keributan terjadi. Bunda terus memaksa keinginannya untuk menjodohkan Rangga dengan Sonya. Rangga memberontak. Ia melempar semua yang bundanya berikan untuknya. Ia angkat kaki dari rumah besar itu tanpa membaw apapun. Sifat keras kepalanya sama dengan bunda, tapi penempatannya jelas berbeda.Langkah kaki Rangga lebar, berjalan keluar pagar dengan wajah penuh kemarahan, kecewa, pilu dan hancur. Ghania mengejar kakaknya itu. Ia memeluk tubuh belakang kakaknya begitu erat."Bang, jangan tinggalin gue di rumah sendirian, bang. Ayo dibicarain baik-baik. Abang jangan pergi," lirih Ghania sambil terus memeluk. Rangga diam."Lo tau gimana bunda sakitin hati Aya dan orang tuanya Ghan? lo tau gimana malunya gue lihat mereka disakitin sama bunda. Ibu kandung kita.""Iya, Bang. Tau. Paham, tapi please bang. Jangan pergi. Akan semakin ribet Abang." Ghania terus menahan kepergian
Mereka berdua di dalam mobil Rangga. Tak melalukan apa pun yang berlebihan. Hanya pelukan hangat yang Rangga berikan kepada Aya. Mereka duduk di jok belakang mobil. Aya sesenggukan. Ia telah menangis. Karena rindu dan hancur secara bersamaan. Rangga tak kuat melihat itu. Ia menikmati harum wangi Aya dari kepala hingga terus memeluknya dari belakang. Mengusap bahu Aya yang begitu rapuh."Aya, sayang..." panggil Rangga pelan."Hem." Aya masih sesenggukan. Ia menoleh ke Rangga."Tunggu aku, ya. Aku janji. Semua ini akan berakhir cepat dan aku lepas semuanya. Ayah mau bantu. Apa kamu bisa?" Rangga mendekatkan wajah keduanya. Posisi Rangga masih memeluknya dari belakang."Rangga, pernikahan bukan main-main. Jalanin ya, Rangga. Mungkin emang kita nggak berjodoh." Rangga memejamkan matanya mendnegar ucapan Aya, ia merasa Aya begitu mudah menyerah. Rangga memeluk Aya lebih erat."Nggak. Aku mau kamu. Tetap kamu. Tolong, jangan berpaling Aya. Jangan." Rangga menghirup dalam-dalam wangi tubuh Ay
Sonya mencium tangan ibunda Rangga saat mereka tiba di rumah besar itu untuk berakhir pekan di sana. Bunda sengaja meminta Rangga dan Sonya menghabiskan akhir pekan di rumah itu dengan maksud keingintauan bunda, sudah sejauh mana hubungan anak dan menantunya itu. Sonya menata kue yang sempat mereka beli di toko kue dekat komplek apartemen sebelum ke rumah bunda. Bunda menghanpiri."Sonya, gimana Rangga? Sikapnya ke kamu," Bunda menarik kursi meja makan dan duduk di sana. Menatap menantunya yang tampak tersenyum. Akting yang luar biasanya dari seorang Sonya."Baik, Bunda. Mas Rangga care kok, sama Sonya," ucapnya diakhiri senyuman sambil menatap ibu mertuanya itu. Ghania ikut menghampiri. Ia hendak latihan basket di klub tempatnya bergabung."Ghan, bawa kue ini, ya, aku taruh di kotak bekal kamu." Sonya membuka lemari di sudut, mencari kotak makan untuk Ghania. Gadis itu hanya mengangguk."Tuh, kan ..., Bunda emang nggak salah pilih menantu. Sama adeknya Rangga aja perhatian banget. Gh
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari