Layaknya pasangan muda yang baru jadian. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama secara intens. Rangga bahkan dengan rela menghabiskan sore hingga malam di waruny nasi goreng milik keluarga Aya. Kedua orang tua Aya begitu baik. Ia terbuka menerima kehadiran Rangga dihidup putrinya. Bukannya apa-apa, karena sejak dekat dan menjalin kasih dengan Rangga, Aya menjadi semakin ceria dan bersemangat menjalani hari-harinya.
Rangga tak pernah menggunakan mobil mewahnya lagi. Ia sadar kalau Aya tak akan suka dan tak mungkin dibawa ke lingkungan itu.
Jaket yang dikenakan Rangga ia lepas di digantung di dinding warung sambil kalender. Ia bergegas membantu bapak kekasihnya mengangkat keranjang bulat tempat nasi putih. Lalu merapihkan kursi-kursi dan terakhir, memasang spanduk.
"Makasih ya Rangga,bapak jadi cepat beres-beresnya"
"Iya pak. Saya senang kok bantu-bantu disini"
Dari dalam terdengar Aya memanggil adiknya untuk mencuci gelas-gelas. Sedangkan dirinya menuruni tangga sambil membawa kotak untuk menaruh uang hasil jualan.
Rangga mengusap kepala Aya saat kekasihnya itu lewat didepannya. Aya tersenyum sambil menatap ke Rangga.
"Kamu mau makan dulu? Mau dibuatin apa ngga" Aya merapihkan alat tulis, dan kalkulator.
"Nanti aja. Belum juga di ada pelanggan masa aku makan" Tolak Rangga sambil membantu ibu membawa baskom berisi telur yang kemudian di tata di gerobak.
Rangga menatanya dengan apik. Berikut sayuran juga. Ibu tersenyum menatap. Lalu melirik ke Aya yang sibuk membuat catatan kecil.
"Aya, bikin minum buat Rangga, sana" Suara lembut dan pelan ibunya membuat Aya mengangguk cepat. Ia beranjak dan berjalan ke dapur. Membuatkan teh manis hangat untuk kekasihnya itu.
***
Pelanggan ramai. Wajar. Malam minggu. Bisa dua kali lipat yang datang. Dan dalam waktu tiga jam semua ludes habis terjual. Rangga takjub. Rasa nasi goreng, mie goreng, dan lainnya, terlalu sedap. Layaknya restaurant china. Padahal semua bapak dan ibu yang meracik dan menemukan resepnya. Sehingga beda dari yang lain.
Rangga bertopang dagu. Menatap Aya yang menghitung uang lembaran dan recehan begitu tekun.
Apa gue beliin mesin kasir ya
Pikiran itu terlintas dikepala Rangga. Urusan sepele untuk itu. Tapi ia ragu, takut Aya menolak. Akhirnya Rangga mengurungkan niat itu.
"Rangga, makan. Kamu belum makan kan" ibu menyuguhkan sepiring mie goreng kehadapan Rangga.
"Wah ibu, repot-repot. Saya nanti makan dirumah juga nggak pa-pa bu" Rangga merasa tak enak hati.
"Jangan, makan disini aja. Kamu kan udah bantu kami tadi, tapi makanannya ya ini-ini aja, ibu belum masak menu lain kalau jam segini"
Rangga tersenyum sopan sambil mengangguk.
"Ini udah mantap bu. Terima kasih" jawab Rangga sopan.
Nilai kesopanan itu yang membuat kedua orang tua Aya begitu menerima Rangga. Selain karena pacar pertama putrinya, sikal Rangga yang utama dinilai.
"Aya"
"Ya pak" Aya beranjak. Ia menghampiri bapaknya.
"Mau makan apa?"
Aya tersenyum.
"Terserah bapak" Aya lalu membawa kotak uang itu kelantai atas. Lalu kembali turun dan membantu adiknya merapihkan gelas yang sudah bersih dan kering kedalam tempatnya.
***
Rangga merangkul bahu Aya. Mereka berjalan kaki menuju ke area pasar malam. Mereka saling melempat tawa saat saling bercerita hal lucu. Aya membeli gula-gula kapas. Lalu memberikan Rangga untuk ia cicipi, karena, katanya Rangga belum pernah makan itu.
"Kamu terlalu kaya sampai makan gula kapas aja nggak tau" ledek Aya sambil duduk di bangku kayu panjang di pinggir jalan menatap ramaikan pasar malam.
"Bunda nggak bolehin aku makan nya, takut gigi ku rusak kalau makan manis katanya" Rangga mencomot gula kapas itu lagi.
"Maklumin aja, bunda dokter gigi dan pengusaha juga"
Aya menoleh. Ia memaksakan tersenyum. Pikirannya kemana-mana. Ia sadar, hubungannya dengan Rangga tak bisa jika diseriuskan, kasta mereka berbeda. Sekali lagi, berbeda.
"Ngga" Aya menatap Rangga yang tak risih berada diantara masyarakat banyak.
"Apa sayang" mendengar itu. Kupu-kupu di perut Aya bereaksi hebat. Ia justru menunduk dan mengulum senyum. Rangga menoleh. Ia terkekeh.
"Aku emang sayang kamu Aya"
"Iya tau, tapi nggak usah gitu juga manggilnya. Aku malu Ngga" Aya masih menunduk. Rangga tertawa.
"Mmm- ini, bukan untuk serius kan? Maksudku, kita jalanin aja tanpa ke arah yang lebih-" Aya menatap lekat ke netra Rangga. Raut wajah Rangga justru yak memperlihatkan main-main.
"Aku serius Aya. Terlalu serius. Sebentar lagi aku lulus, aku kerja dan aku akan-"
"Stop ngga. Jangan bilang yang berangan terlalu tinggi. Itu- terlalu jauh" Aya juga menatap Rangga serius.
"Perasaan aku serius ke kamu Aya. Aku nggak pernah main-main sama kata-kata. Apalagi kamu yang pertama ambil hati aku, ambil dunia aku yang terpusat ke kamu, dan aku bisa pastikan kamu juga yang terakhir. Pemilik kunci hati aku yang kamu simpan. Aya-"
"Aku nggak main-main" Rangga begitu serius. Aya bahkan bingung apa yang dilakukan orang-orang yang berpacaran. Apa saja yang mereka lalukan. Untuk apa. Dan bagaimana. Keduanya masih sama-sama belajar akan hal itu.
Aya mengangguk.
"Aku percaya Rangga. Karena- kamu juga yang jadi pusat perhatian ku. Kamu- yang bisa masuk ke hati aku. Dengan diamnya kamu"
"Diam?" Rangga menatap bingung.
"Ck. Kamu kan diem. Dingin. Cuek. Masa bodo. Tapi, itu menarik perhatian aku"
"Jadi kamu udah merhatiian aku lama?" Kedua mata Rangga membulat sempurna. Aya tersenyum dan mengangguk pelan. Ia malu jujur saja. Tapi untuk apa menutupi dan gengsi, toh mereka sudah bersama kan.
"Ohhh jadi udah naksir duluan tohhhhh" ledek Rangga sambil melirik dan tersenyum. Aya terkekeh.
"Kamu juga kan, ngaku hayooooo" ia mencubit wajah Rangga pelan.
"Iya. Kamu ceria, aku seneng lihat aura kamu yang bikin aku juga seneng" keduanya saling melempar senyum. Rangga mengajak Aya kembali ke warung sekaligus rumah Aya. Hari sudah malam, jam setengah sebelas.
Sepanjang jalan mereka berjalan kaki, Rangga terus menceritakan tentang keluarganya. Betapa bangganya ia dengan bunda,ayah dan Ghani. Keluarga yang sukses diprofesi dan bisnis.
"Aku kenalin ke keluarga ku ya Aya?"
Aya menghentikan langkah kakinya. Rangga menoleh.
"Terlalu cepat Rangga. Jangan dulu ya"
"Kenapa? Kamu kan udah kenal Ghania?"
"Beda ngga. Ini kedua orang tua kamu. Aku- takut dan belum siap. Denger dari cerita kamu, keluarga kamu terlalu tinggi untuk aku yang latar belakang keluargu dari kasta rendahan. Kita jalanin aja ya, tanpa terlalu dalam kenal keluarga masing-masing. Aku mau kenal dan paham seorang Rangga tanpa bawa-bawa orang tua, bisa?" Tatapan Aya begitu memohon. Rangga luluh. Ia mengangguk.
"Dimulai dari kita dulu maksud kamu?" Rangga menangkup wajah gemas Aya. Gadis itu mengangguk.
"Oke. Aku setuju" Rangga lalu melapaskan tangan diwajah Aya dan beralih menggandeng jemari Aya.
"Sayang kamu Aya" bisik Rangga. Aya mengangguk. Ia merangkul lengan Rangga sebagai jawaban atas apa yang ia rasakan. Rangga pamit. Hari minggu besok ia tak bisa ke rumah Aya. Ada acara keluarga hingga malam hari. Aya tak masalah, toh bisa chat dan telfon.
"Aku kabarin kalau udah dirumah ya sayang" Rangga mengusap wajah Aya. Gadisnya itu mengangguk.
Aya masuk dan mengunci pintu. Ibu dan Ayah tersenyum menatap putrinya.
"Aya bahagia buk,pak" lalu ketiganya saling melempar senyuman.
Cinta ibu bagaikan telaga dikala haus melanda. Rasa sedih dan gundah pun seakan semua tertumpahkan disatu sosok, ibu.Namun, bagaimana mana jika sosok seorang ibu yang seperti itu tidak didapatkan Rangga. Seakan ia hanya robot yang harus menuruti semua yang diinginkan sang bunda.***Mentari pagi menyilaukan kedua mata Rangga yang tirai kamarnya disibak oleh Ghania. Adik satu-satunya. Ia duduk di tepi ranjang Rangga lalu menatap abangnya yang justru meringkuk."Bang bangun. Kita disuruh siap-siap ke acara lamaran Stefi. Buruaaannn... gue pusing nih denger bunda cerewet banget dari tadi" Ghania mendorong-dorong pinggang Rangga supaya abangnya itu bangun."He-em, udah disia
Usia hubungan Rangga dan Aya masuk dua bulan lebih. Rangga pun sudah lulus, hanya menunggu jadwal wisuda di dua pekan mendatang. Ia masih tak bercerita kepada bunda dan ayahnya perihal hubungan ia dan Aya. Melihat tingkah laku bunda yang begitu ingin melihat sang putra memiliki tambatan hati, berkali-kali Rangga ingin dikenalkan dengan putri dari rekannya itu namun putranya mampu menghindar dan acuh.Ghania di balik semua tingkah laku Rangga itu. Adiknya jengah melihat sikap bundanya yang begitu pengatur."Woi bang,lo jadi jalan-jalan sama kak Aya?" Rangga tampak bersiap dengan kaos dan celana jeans yang ia kenakan sambil mengangguk."Pake mobil gue aja" Ghania duduk di atas ranjang Rangga."Lo nggak jalan sama Reno?" Wajah Ghania kus
Aya berlari-lari kecil saat melakukan pemanasan di dalam studio tempat ia belajar di kampusnya. Jurusan seni, konsentrasi seni tari, skripsi praktek tari Jawa tengah materi tesis Analisa dampak sebuah tari daerah pada budaya modern.Ia sudah cukup melakukan pemanasan. Lanjut menggunakan selendang panjang berwarna hijau yang ia ikat di pinggang rampingnya. Ia merapihkan kunciran rambutnya. Lalu beberapa teman sekelas lainnya datang. Mereka ber tos ria sambil mempersiapkan diri.Tak lama mereka berbaris sesuai tempatnya. Di depan cermin besar. Wajah mereka berubah serius lalu tersenyum. Perlahan, dengan mengikuti alunan lagu gamelan dan sinden jawa, liukan pelan, teratur, lembut dan anggun dari tubuh mereka pun tampak kompak.Pentas tari akan menjadi penentunya di akhir semester nanti. Walau masih satu tahun lagi, akan menjadi penting karena juri dan dosen yang menilai memang orang yang kompeten dibidang tari tradisional.Enam jam kuliah praktek hari ini menjadi hari terlelah Aya. Ia men
Bunda berjalan masuk ke dalam rumah sambil terus berbicara seperti tak ada ujung. Rangga menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Ghania menatapnya malas, ia sudah tau apa yang terjadi dengan kakaknya itu. Sepatu basket ia tenteng di tangan kirinya sambil berjalan santai menaiki tangga ke rumah besar itu. Diliriknya bunda yang masih menggedor-gedor pintu kamar kakaknya."Bun, nggak capek? Mending istirahat dulu." Ghania membuka pintu kamar dan masuk sambil menguncinya."RANGGA! BERANI KAMU MACEM-MACEM DAN NENTANG BUNDA. BUNDA NGGAK SEGAN-SEGAN TARIK SEMUA YANG BUNDA SAMA AYAH KASIH KE KAMU, YA!" teriak bunda. Lalu ia berbalik badan dan pergi menuju kamarnya di lantai bawah.Tak lama ketukan pintu terdengar lagi dikamar Rangga. Ketukan kode yang Rangga hafal betul. Ia membuka pintu. Tampak Ghania menatapnya sambil terus berjalan masuk kedalam kamar Rangga."Siapa? Sonya?" tanya Ghania yang langsung duduk di atas ranjang Rangga."Iya. Bunda main pesen cincin tunangan buat gue sama Sonya. Gue
Aku melepaskanmu hanya untuk sementara. Maafkan ketidak tegasanku. Tunggu aku di ujung dunia sana. -Rangga untuk Aya-***Keributan terjadi. Bunda terus memaksa keinginannya untuk menjodohkan Rangga dengan Sonya. Rangga memberontak. Ia melempar semua yang bundanya berikan untuknya. Ia angkat kaki dari rumah besar itu tanpa membaw apapun. Sifat keras kepalanya sama dengan bunda, tapi penempatannya jelas berbeda.Langkah kaki Rangga lebar, berjalan keluar pagar dengan wajah penuh kemarahan, kecewa, pilu dan hancur. Ghania mengejar kakaknya itu. Ia memeluk tubuh belakang kakaknya begitu erat."Bang, jangan tinggalin gue di rumah sendirian, bang. Ayo dibicarain baik-baik. Abang jangan pergi," lirih Ghania sambil terus memeluk. Rangga diam."Lo tau gimana bunda sakitin hati Aya dan orang tuanya Ghan? lo tau gimana malunya gue lihat mereka disakitin sama bunda. Ibu kandung kita.""Iya, Bang. Tau. Paham, tapi please bang. Jangan pergi. Akan semakin ribet Abang." Ghania terus menahan kepergian
Mereka berdua di dalam mobil Rangga. Tak melalukan apa pun yang berlebihan. Hanya pelukan hangat yang Rangga berikan kepada Aya. Mereka duduk di jok belakang mobil. Aya sesenggukan. Ia telah menangis. Karena rindu dan hancur secara bersamaan. Rangga tak kuat melihat itu. Ia menikmati harum wangi Aya dari kepala hingga terus memeluknya dari belakang. Mengusap bahu Aya yang begitu rapuh."Aya, sayang..." panggil Rangga pelan."Hem." Aya masih sesenggukan. Ia menoleh ke Rangga."Tunggu aku, ya. Aku janji. Semua ini akan berakhir cepat dan aku lepas semuanya. Ayah mau bantu. Apa kamu bisa?" Rangga mendekatkan wajah keduanya. Posisi Rangga masih memeluknya dari belakang."Rangga, pernikahan bukan main-main. Jalanin ya, Rangga. Mungkin emang kita nggak berjodoh." Rangga memejamkan matanya mendnegar ucapan Aya, ia merasa Aya begitu mudah menyerah. Rangga memeluk Aya lebih erat."Nggak. Aku mau kamu. Tetap kamu. Tolong, jangan berpaling Aya. Jangan." Rangga menghirup dalam-dalam wangi tubuh Ay
Sonya mencium tangan ibunda Rangga saat mereka tiba di rumah besar itu untuk berakhir pekan di sana. Bunda sengaja meminta Rangga dan Sonya menghabiskan akhir pekan di rumah itu dengan maksud keingintauan bunda, sudah sejauh mana hubungan anak dan menantunya itu. Sonya menata kue yang sempat mereka beli di toko kue dekat komplek apartemen sebelum ke rumah bunda. Bunda menghanpiri."Sonya, gimana Rangga? Sikapnya ke kamu," Bunda menarik kursi meja makan dan duduk di sana. Menatap menantunya yang tampak tersenyum. Akting yang luar biasanya dari seorang Sonya."Baik, Bunda. Mas Rangga care kok, sama Sonya," ucapnya diakhiri senyuman sambil menatap ibu mertuanya itu. Ghania ikut menghampiri. Ia hendak latihan basket di klub tempatnya bergabung."Ghan, bawa kue ini, ya, aku taruh di kotak bekal kamu." Sonya membuka lemari di sudut, mencari kotak makan untuk Ghania. Gadis itu hanya mengangguk."Tuh, kan ..., Bunda emang nggak salah pilih menantu. Sama adeknya Rangga aja perhatian banget. Gh
Tinggal seorang diri di kosan minimalis yang hanya berukuran 3x4 meter membuat Aya hanya bisa membawa tas pakaian dan beberapa perintilan barang-barang untuk riasan saat ia akan latihan tari. Seperti, selendang, kain jawa, stagen, kipas tangan, dan lain sebagainya.Kamar bernuansa warna putih itu hanya terdapat kamar mandi dan meja belajar, lemari pakaian pun tak ada.Aya duduk di atas tempat tidur tanpa dipan. Ia menyalakan kipas angin juga. Jendela kecil dekat pintu ia buka, supaya hawa dan sirkulasi udaranya masuk dengan baik.Tok ...Tok ...Seorang wanita seusianya berdiri di depan pintu."Baru ya tinggal di sini?" tanyanya, masih berdiri di depan pintu kamar Aya."Iya, Mbak, saya Aya," ujar Aya sambil beranjak dan mengulurkan tangan."Aku Dira. Di sini nggak boleh terima tamu cowok, kamu tau kan? Dan kalau teman atau keluarga, juga di batasi.""Iya, Mbak, tadi udah ketemu sama Ibu kos," jawab Aya ramah."Aku di kamar sebelah, sama kok kita, mahasiswi, tapi aku tinggal wisuda dua
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari