Bunda berjalan masuk ke dalam rumah sambil terus berbicara seperti tak ada ujung. Rangga menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Ghania menatapnya malas, ia sudah tau apa yang terjadi dengan kakaknya itu. Sepatu basket ia tenteng di tangan kirinya sambil berjalan santai menaiki tangga ke rumah besar itu. Diliriknya bunda yang masih menggedor-gedor pintu kamar kakaknya.
"Bun, nggak capek? Mending istirahat dulu." Ghania membuka pintu kamar dan masuk sambil menguncinya.
"RANGGA! BERANI KAMU MACEM-MACEM DAN NENTANG BUNDA. BUNDA NGGAK SEGAN-SEGAN TARIK SEMUA YANG BUNDA SAMA AYAH KASIH KE KAMU, YA!" teriak bunda. Lalu ia berbalik badan dan pergi menuju kamarnya di lantai bawah.
Tak lama ketukan pintu terdengar lagi dikamar Rangga. Ketukan kode yang Rangga hafal betul. Ia membuka pintu. Tampak Ghania menatapnya sambil terus berjalan masuk kedalam kamar Rangga.
"Siapa? Sonya?" tanya Ghania yang langsung duduk di atas ranjang Rangga.
"Iya. Bunda main pesen cincin tunangan buat gue sama Sonya. Gue nggak ngerti bunda kenapa gitu banget sama gue!" Marah Rangga.
"Hp lo mana?" Tangan Ghania sudah mengarah ke hadapan Rangga.
"Buat?" Sebelah alis mata Rangga terangkat.
"Telfon Kak Aya. Ini waktunya Bunda tau lo udah punya pilihan sendiri, Bang."
"Iya. Gue juga mikirnya gitu. Biar Bunda nggak seenaknya." Rangga tidak memberikan ponselnya. Ia lalu menghubungi Aya sendiri.
Telfon belum tersambung. Rangga menatap jam. Masih jam lima sore. Aya pasti sibuk membantu orang tuanya.
"Bang, tapi lo hadapin apapun resikonya." Ghania menepuk bahu Rangga dan berjalan keluar kamar kakaknya itu.
***
Rangga duduk di balkon kamarnya. Ia diam. Tak habis pikir dengan napsu bundanya itu. Ia terkejut karena rangkulan tangan ayahnya mendarat di bahunya.
"Emang kamu udah punya pacar, Bang?" Lelali lima puluh tahun itu bertanya dengan tatapan lurus ke atas langit malam yang mendung. Tak ada bintang dan bulan.
"Udah, Yah. Namanya Aya, dia..., Rangga sayang banget sama Aya, Yah." Helaan napas terdengar dari Rangga.
"Ajak ke sini. Ayah mau kenal. Besok ya." Mendengar itu Rangga menoleh. Ia begitu terkejut. Lalu mengangguk.
"Kita lihat reaksi Bunda. Siapa tau nggak jadi maksa kamu tunangan sama Sonya." Ayah lalu menepuk bahu Rangga seraya kembali berjalan kedalam kamar putranya dan menuju ke pintu keluar. Rangga tersenyum. Ia tak sabar ingin membawa pujaan hatinya ke kedua orang tuanya.
***
Harapan tinggal harapan. Semua musnah manakala bunda begitu marah saat melihat Aya datang dan diperkenalkan Rangga sebagai pacarnya.
"ANAK PENJUAL NASI GORENG MAU KAMU JADIIN PACAR DAN MASUK KE BAGIAN KELUARGA INI?! RANGGA! KAMU PIKIR KITA INI SIAPAAAAA. KITA INI KELUARGA TERPANDANG RANGGA. APA KATA SEMUA KOLEGA BUNDA DAN AYAH KALAU ANAK PERTAMA KAMI PUNYA CALON MASA DEPAN DARI KASTA RENDAHAN! RANGGA. KAMU UDAH BUNDA PILIH PASANGAN HIDUP KAMU RANGGA. BUKAN PEREMPUAN KAYAK GINI!"
Aya terkejut saat mendengar ibunda Rangga berbicara dengan nada kencang hingga menggebrak meja. Ia menunduk dan memainkan jemarinya. Jantungnya berdebar begitu hebat.
"BUNDA! Bunda kenapa bilangnya begitu. Bunda kenapa selalu lihat orang lain dari harta dan kasta mereka. Bunda juga bukan dari keluarga berada, 'kan dulu. Kenapa bunda sekarang gini." Rangga tak tinggal diam. Melihat dan mendengar Aya dihina seperti itu. Ghania berjalan cepat menuruni anak tangga dan segera berdiri didekat bundanya. Ia menatap lekat.
"Nggak punya hati." ucap ketus Ghania. Kedua matanya menatap bundanya begitu sebal.
"Tante, saya mohon maaf jika kehadiran saya tidak berkenan disini. Saya- permisi pamit pulang." Aya beranjak dan mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan bundanya Rangga.
Plak!
Tangan Aya di tepis Bunda dengan menepaknya. Rangga marah. Hingga kelepasan membentak Bundanya. Seketika amarah Bunda menjadi tangis.
"Rang- ga. Kamu, bentak Bun- da?" Bunda duduk sambil menangis.
"Maafin Rangga, Bunda. Tapi bunda sudah keterlaluan." Rangga menggandeng tangan Aya dan berjalan keluar rumah.
"Berhenti Rangga." Suara Bunda kembali terdengar.
"Lepas semua hal yang bunda kasih ke kamu. Kunci mobil, kartu kredit, kartu debet. Tinggal semua. Kamu akan tau bedanya hidup jadi gembel seperti mereka. Bunda kasih semua tapi karena perempuan ini. Kamu bisa begini ke Bunda." Bunda beranjak. Ia menoleh menatap suaminya.
"Ayah jangan coba belain atau fasilitasin Rangga selama masih berhubungan dengan perempuan itu."
"Kamu keterluan. Sama anak sendiri setega itu." Ayah berjalan ke Rangga dan Aya. Ia mengusap kepala Aya. Meminta maaf atas ucapan istrinya. Aya mengangguk.
"Pakai mobil Ayah. Udah malem, antar Aya sampai rumahnya, ya," ucap ayah. Suara omelan bunda terdengar kembali. Aya menatap sendu ke kedua mata bundanya Rangga yang justru melihat Aya begitu benci.
"Ayah kenapa belain Rangga! Ayah keterlaluan!" teriak bunda. Ayah dengan santai berjalan masuk kedalam kamarnya. Ghania terkekeh sinis menatap bundanya. Ia berjalan ke Rangga.
"Udah sanaaa, jalan sana.. sanaaa...." Ghania terkekeh. Ia mencoba mencairkan suasana. Rangga berjalan ke garasi dan menuju ke mobil ayahnya. Tak lama suara mobil itu pergi meninggalkan rumah Rangga menuju ke tempat lain sebelum pulang ke rumah Aya.
***
Aya masih diam menunduk. Seumur hidup baru kali itu ia di injak harga dirinya begitu hebat. Oleh seorang ibu.
Rangga membawa Aya ke parkiran rooftop salah satu gedung apartemen milik keluarga besarnya. Langit cerah, seharusnya malam itu menjadi malam yang menyenangkan bagi ia dan Aya. Namun ternyata nihil.
"Ngga," sapa Aya. Rangga menoleh. Mereka masih duduk didalam mobil.
"Aya maafin aku. Maafin bunda aku. Seharusnya nggak begini." Rangga meraih jemari Aya dan mengecupnya berkali-kali.
"Nggak pa-pa. Bunda kamu pasti tau mana yang baik untuk kamu, kan?" suara Aya mulai bergetar. Rangga tau. Betapa sakitnya hatinya jika ia berada di posisi Aya.
"Kamu sayang aku?" tanya Rangga. Aya mengangguk.
"Kalau aku nggak punya apa-apa, kamu mau terus sama aku?" Rangga terus menatap Aya. Aya terkekeh.
"Arah omongan kamu apa? Ke mana?" Aya menatap lekat.
"Ayo nikah. Aku mau tinggalin semua yang bunda kasih ke aku. Aku mau pergi dari sana. Dari semua hal yang bunda atur."
Aya diam. Cukup lama. Keberaniannya datang. Ia mengecup bibir Rangga. Membuat Rangga terkejut.
"Bunda kamu surga mu Rangga. Seharusnya kamu turutin kemauan bunda." Aya membelai wajah Rangga. Air matanya menetes perlahan.
"Kita putus ya, Rangga. Aku nggak mau kamu nggak dapat surga karena bunda marah besar ke kamu hanya karena aku. Ini takdir kita Rangga. Cukup sampai di sini." Aya melepaskan belaian tangannya di wajah Rangga.
"Aya, Aya, nggak gini sayang, enggak." Rangga menarik tubuh Aya kedalam pelukannya. Keduanya menangis. Begitu perih dan sakit.
"No..No..No..., jangan putus Aya sayang. Nggak bisa!" teriak Rangga emosi. Pelukannya begitu erat. Aya menangis hebat didalam pelukan Rangga. Ia tak mau membahayakan keluarganya. Orang seperti bunda Rangga akan bisa menggunakan segala cara untuk memisahkan anaknya. Aya tak akan biarkan kedua orang tuanya terinjak harga dirinya. Cukup Aya yang merasakan.
"Sayang, nggak ya, jangan bilang gini. Aya sayang sama Rangga, 'kan?" Rangga membingkai wajah Aya dan menatapnya lekat. Aya menghapus air mata Rangga dengan jemarinya.
"Sayang... banget Rangga. Tapi aku nggak mau kamu dalam masalah. Kamu pasti bisa punya rasa yang sama kaya ke aku, tapi ke perempuan lain," tatapan Aya sendu.
"Enggak Aya. Enggak akan. Di sini--" Rangga menunjuk ke dalam hatinya. "Cuma nama kamu Aya. Please, jangan begini."
"Kamu tadi lihat, 'kan, kamu udah bentak bunda walau nggak sengaja. Kamu lihat kan bunda benci sama aku. Padahal baru pertama ketemu dan karena aku, berstatus sosial beda sama kalian."
"I will always love you Rangga, tapi ini kenyataannya. Kita nggak bisa terus jalanin ini." Aya menyatukan kening mereka. Rangga mengecup lama kening Aya.
"Ayo berjuang. Jangan takut. Ayah dan Ghania ada dipihak kita. Oke sayang?" Rangga menatap lekat ke Aya.
"Aku nggak yakin Rangga."
"Bisa. Ayo kita berjuang luluhin hati Bunda," ucap Rangga lagi. Lalu ia memberanikan diri mencium bibir Aya. Mencurahkan rasa sayang dan cintanya yang besar. Lalu memeluknya erat.
***
"Saya Bundanya Rangga. Saya nggak mau basa basi. Tolong bilang ke anak bapak dan ibu untuk mengakhiri hubungan dengan putra saya. Stop. Karena putra saya sudah saya jodohkan dengan perempuan yang derajatnya sama dengan kami." Bunda datang ke rumah orang tua Aya. Kedua orang tua Aya yang baru selesai berjualan nasi uduk pun tampak terkejut.
"BUNDA!" teriak Rangga yang baru datang bersama Aya. "Bunda keterlaluan. Rangga yang kejar Aya. Rangga yang nggak mau putus sama Aya. Rangga yang mau berjuang untuk dapet restu dari bunda. Bunda nggak bisa kaya gini!" Rangga marah.
Ayahnya Aya beranjak. Ia menghampiri Rangga.
"Nak Rangga. Maaf, bapak tidak merestui kalian. Akhiri semua ya. Bunda kamu benar. Kami berbeda. Kami hanya orang berkasta rendah. Kami bukan apa-apa dibanding kalian. Sekarang, silahkan pergi dari sini bersama bunda nak Rangga ya. Bapak dan ibu mau istirahat. Sebelum sore nanti berjualan lagi. Maaf ibu. Jika sudah tidak ada yang disampaikan. Silahkan pergi dari sini," tunjuk bapak ke arah pintu. Tak ada nada bicara tinggi, sombong dan emosi. Semua tertata, rapih dan pelan namun begitu dalam.
Bunda beranjak. Berjalan tanpa permisi meninggalkan tempat sederhana itu. Rangga menatap ayahanda Aya. Ia berlutut. Memohon maaf atas sikap bundanya dan memohon untuk tetap bisa bersama Aya.
"Maaf nak Rangga. Kami tidak punya hal mewah apapun. Semua bisa diinjak. Tapi jika harga diri kami diinjak. Saya minta maaf, tidak akan saya biarkan. Rangga, terima kasih sudah sayang dan kasih kebahagiaan untuk putri cantik saya. Mohon maaf kalau Aya ada salah sama kamu ya Rangga." Bapak membantu Rangga berdiri. Ia menatap sendu. Lalu berganti menatap Aya yang menunduk dengan air mata terus mengalir.
"Turuti orang tua kamu. Turuti," ucap bapak sambil memeluk Rangga.
Aya dan Rangga saling menatap. Rangga berlutut didepan Aya yang duduk berdampingan dengan ibu yang juga menangis. Merasa malu dan sakit hati dengan ucapan ibunda Rangga.
"Aya. Denger aku." Rangga menangkup wajah Aya dengan dua jemari tangannya. Rangga menghapus air mata Aya dengan jemarinya.
"I will always love you. Sampai kapan pun. Aku akan terus punya perasaan ini ke kamu. Karena ini cuma punya kamu. Mau sampai berapa kalipun bunda jodohin aku sama perempuan manapun. Aku akan terus menceraikannya. Mau sampai berapa kalipun. Hati ini cuma untuk kamu Aya." Rangga menatap Aya. Ia juga meminta izin kedua orang tua Aya untuk memeluknya.
Keduanya berpelukan erat. Aya begitu sesak. Keduanya kembali mengeluarkan air mata pilu. Sebelum pelukan itu terlepas dan mereka berpisah.
Aku melepaskanmu hanya untuk sementara. Maafkan ketidak tegasanku. Tunggu aku di ujung dunia sana. -Rangga untuk Aya-***Keributan terjadi. Bunda terus memaksa keinginannya untuk menjodohkan Rangga dengan Sonya. Rangga memberontak. Ia melempar semua yang bundanya berikan untuknya. Ia angkat kaki dari rumah besar itu tanpa membaw apapun. Sifat keras kepalanya sama dengan bunda, tapi penempatannya jelas berbeda.Langkah kaki Rangga lebar, berjalan keluar pagar dengan wajah penuh kemarahan, kecewa, pilu dan hancur. Ghania mengejar kakaknya itu. Ia memeluk tubuh belakang kakaknya begitu erat."Bang, jangan tinggalin gue di rumah sendirian, bang. Ayo dibicarain baik-baik. Abang jangan pergi," lirih Ghania sambil terus memeluk. Rangga diam."Lo tau gimana bunda sakitin hati Aya dan orang tuanya Ghan? lo tau gimana malunya gue lihat mereka disakitin sama bunda. Ibu kandung kita.""Iya, Bang. Tau. Paham, tapi please bang. Jangan pergi. Akan semakin ribet Abang." Ghania terus menahan kepergian
Mereka berdua di dalam mobil Rangga. Tak melalukan apa pun yang berlebihan. Hanya pelukan hangat yang Rangga berikan kepada Aya. Mereka duduk di jok belakang mobil. Aya sesenggukan. Ia telah menangis. Karena rindu dan hancur secara bersamaan. Rangga tak kuat melihat itu. Ia menikmati harum wangi Aya dari kepala hingga terus memeluknya dari belakang. Mengusap bahu Aya yang begitu rapuh."Aya, sayang..." panggil Rangga pelan."Hem." Aya masih sesenggukan. Ia menoleh ke Rangga."Tunggu aku, ya. Aku janji. Semua ini akan berakhir cepat dan aku lepas semuanya. Ayah mau bantu. Apa kamu bisa?" Rangga mendekatkan wajah keduanya. Posisi Rangga masih memeluknya dari belakang."Rangga, pernikahan bukan main-main. Jalanin ya, Rangga. Mungkin emang kita nggak berjodoh." Rangga memejamkan matanya mendnegar ucapan Aya, ia merasa Aya begitu mudah menyerah. Rangga memeluk Aya lebih erat."Nggak. Aku mau kamu. Tetap kamu. Tolong, jangan berpaling Aya. Jangan." Rangga menghirup dalam-dalam wangi tubuh Ay
Sonya mencium tangan ibunda Rangga saat mereka tiba di rumah besar itu untuk berakhir pekan di sana. Bunda sengaja meminta Rangga dan Sonya menghabiskan akhir pekan di rumah itu dengan maksud keingintauan bunda, sudah sejauh mana hubungan anak dan menantunya itu. Sonya menata kue yang sempat mereka beli di toko kue dekat komplek apartemen sebelum ke rumah bunda. Bunda menghanpiri."Sonya, gimana Rangga? Sikapnya ke kamu," Bunda menarik kursi meja makan dan duduk di sana. Menatap menantunya yang tampak tersenyum. Akting yang luar biasanya dari seorang Sonya."Baik, Bunda. Mas Rangga care kok, sama Sonya," ucapnya diakhiri senyuman sambil menatap ibu mertuanya itu. Ghania ikut menghampiri. Ia hendak latihan basket di klub tempatnya bergabung."Ghan, bawa kue ini, ya, aku taruh di kotak bekal kamu." Sonya membuka lemari di sudut, mencari kotak makan untuk Ghania. Gadis itu hanya mengangguk."Tuh, kan ..., Bunda emang nggak salah pilih menantu. Sama adeknya Rangga aja perhatian banget. Gh
Tinggal seorang diri di kosan minimalis yang hanya berukuran 3x4 meter membuat Aya hanya bisa membawa tas pakaian dan beberapa perintilan barang-barang untuk riasan saat ia akan latihan tari. Seperti, selendang, kain jawa, stagen, kipas tangan, dan lain sebagainya.Kamar bernuansa warna putih itu hanya terdapat kamar mandi dan meja belajar, lemari pakaian pun tak ada.Aya duduk di atas tempat tidur tanpa dipan. Ia menyalakan kipas angin juga. Jendela kecil dekat pintu ia buka, supaya hawa dan sirkulasi udaranya masuk dengan baik.Tok ...Tok ...Seorang wanita seusianya berdiri di depan pintu."Baru ya tinggal di sini?" tanyanya, masih berdiri di depan pintu kamar Aya."Iya, Mbak, saya Aya," ujar Aya sambil beranjak dan mengulurkan tangan."Aku Dira. Di sini nggak boleh terima tamu cowok, kamu tau kan? Dan kalau teman atau keluarga, juga di batasi.""Iya, Mbak, tadi udah ketemu sama Ibu kos," jawab Aya ramah."Aku di kamar sebelah, sama kok kita, mahasiswi, tapi aku tinggal wisuda dua
Aya tak mau jika ia harus nikah siri dengan Rangga. Baginya, pernikahan itu hal yang sakral. Rangga terus membujuk tanpa lelah juga menyerah, baginya, seorang Aya adalah segalanya, tapi bagi Aya, kehormatan adalah yang utama. Semenjak hari itu, Rangga kembali intens menemuinya, bahkan saat pulang bekerja, hal pertama yang ia lakukan adalah bertemu Aya, entah di kampus atau tempat mengajar. Rangga begitu terpikat, namun juga tak bisa terlalu dekat. Para mata-mata bundanya sudah mulai muncul. Sonya bahkan meminta Aya dan Rangga berhati-hati."Aku rasa kita salah, Rangga. Aku takut Bunda akan menyalahkan Bapak dan Ibu aku, juga mengancamnya. Aku nggak nyaman kalau kita diam-diam begini. Kamu juga sama aja mempermainkan pernikahan kamu dan Sonya. Jangan begini ...." Aya menangis. Ia tak suka kucing-kucingan, resikonya juga besar.Rangga memeluk Aya, mereka sedang berada di daerah puncak. "Bunda kamu bisa lakuin apa aja, aku nggak mau bahayain banyak orang." Aya semakin terisak."Nggak! Per
(21+)Mohon bijak sebelum membaca, beberapa adegan akan saya buat sesederhana mungkin. Dan, ingat, bukan untuk ditiru! Tapi jadikan pelajaran karena sebagian besar dari kisah di judul ini FAKTA, sumber akurat. Oke, makasih.____"Kenapa ke sini? Kamu jangan gila, Rangga?" Sorot mata Aya menatap tak nyaman saat mereka menempati apartemen milik Sonya."Aya, kalau kamu pulang ke kosan, yang ada Bunda akan kejar kamu terus. Aku nggak bisa lindungin kamu kalau kamu nggak di deket aku. Kamu lihat kan kalau tadi, Bunda aja bisa tega sama anaknya sendiri. Aku. Gimana sama kamu?!" Rangga duduk di sofa. Ia mengusap kasar wajahnya. Aya duduk di sofa yang berhadapan dengan Rangga, terpisah meja kaca. Aya memangku kedua tangan di atas pahanya yang tertutup celana jeans. Keduanya diam, memikirkan masalah yang sedang terjadi."Kamu bisa pakai baju Sonya, Aya, dia tadi bilang, ada di lemari kamar itu," tunjuk Rangga. Aya mengangguk. Tak mungin juga ia tak bersih-bersih diri setelah kejadian kacau hari
Pagi hari itu menjadi tak biasa bagi Aya, ia menangis terduduk di atas kloset kamar kosannya, ia menggigit bibir bawahnya begitu menahan isakan tangis walau air mata terus membasahi wajahnya. Ia memegang hasil alat tes kehamilan, tanda plus itu tak bisa berbohong. Aya tertunduk, ia semakin terisak. Hal bodoh dihidupnya pun menimpa dirinya. Tak heran jika kini ia kalut dan tak tahu harus berbuat apa. Sementara di lain tempat, Rangga duduk diam mendnegar ocehan bunda yang terus mencecar dirinya kenapa bercerai dengan Sonya dan membuat malu keluarga. Rangga yang sadar jika ia tak bisa hidup mandiri tanpa sokongan keluarga, hanya bisa menahan emosi karena dirinya bodoh. Terbiasa hidup mewah dengan fasilitas lengkap juga gelimangan harta, ia kembali harus mengorbankan harga diri dan orang yang ia cintai. “Lihan kan, Rangga, mana bisa kamu hidup tanpa sokongan Bunda, bisa apa kamu! Kabur sama Aya yang pada akhirnya kamu pulang lagi. Bunda tau kamu. Kamu nggak akan bisa hidup miskin kayak A
Aya tak mungkin melanjutkan ujian akhir dengan kondisi kehamilannya, hanya tangis yang bisa ia luapkan saat di rumah Rangga, wanita itu yang terus mengatai dirinya wanita murahan. Hatinya sakit, mana kala Rangga tak bisa berkutik saat ancaman bundanya terlontar kembali. Orang tua Aya hanya bisa melamun, masa depan anak pertamanya hancur bersama perlakuan tak baik keluarga Rangga. “Apa kita sehina itu, Pak?” tanya ibu. Pria itu hanya bisa mengusap bahu istrinya. Ia sama hancurnya dengan Aya. Rumah itu saksi air mata dan kesakitan yang Aya rasakan. Jani menghampiri, ia memeluk kakaknya yang meringkuk dengan terus menangis. Menyesali perbuatan hinanya dengan Rangga dan juga menghancurkan masa depannya. “Kak, udah, Kak, kasihan anak Kakak, Kakak mau bunuh dia? Kakak cuma menambah dosa,” ucapan Jani semakin membuat Aya menangis histeris, Jani terus memeluk Aya erat. Satu minggu berlalu, kabar buruk Aya terima, ayahnya terserempet mobil bersama ibu saat pulang dari pasar, menyebabkan kedu
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari