Aya melangkahkan kaki turun dari KRL itu, stasiun Bogor ia jajaki. Hiruk pikuk suasana kota yang baru Aya pijaki membuatnya mendadak diterjang pikiran kosong. Ia tak tahu harus ke mana, ia tak kenal siapapun di kota itu. Aya memeluk tas ransel miliknya, hanya berisi pakaian dan juga dompet serta ponsel. Tak ada barang beharga lainnya. Ia berdoa dalam hati, meminta keselamatan atas dirinya dan juga janin di dalam perutnya. Dengan mantap, ia berjalan menyusuri pinggiran trotoar sambal menuju ke satu-satu persatu rumah makan guna mencari pekerjaan. Kondisinya sedang hamil muda, dan ia kabur, maka pekerjaan sederhanalah yang mampu ia lakukan. Aya menuju ke rumah makan padang, tak ada pekerjaan di sana, lalu beralih ke took kue, took pakaian, hingga berakhir ia duduk di taman kota karena kakinya merasa lelah berjalan. Ia membeli minuman dan makanan, perutnya lapar, dan hari sudah petang. Tujuan Aya selanjutnya adalah musala atau masjid, untuk ia jadikan tempatnya menginap. Ternyata, tak s
Aya mengangguk, tangisannya tertahan juga, namun tetap terasa sesak di dalam dadanya. Ia menerima segelas teh manis hangat dari ibu tersebut. “Neng, Aya, semua orang pernah berbuat salah, seharusnya memang keluarga laki-laki itu jangan bertindak begini. Repot memang kalau hidup masih berdasarkan gengsi dan juga strata sosial masyarakat. Hal itu juga kan yang membuat yang kaya akan terlihat makin kaya dan yang miskin kalau nggak bisa bertahan ya akan semakin miskin. Neng Aya yang sabar, yang penting jangan digugurin, anak itu nggak salah.” Aya mengangguk, ia paham betul akan hal itu, setidaknya ia masih punya sosok Rangga dari anak di rahimnya itu.
Satu tahun kemudian. “Kita sudah menikah, Rangga,” ujar wanita bernama Mita yang kini menyandang nama belakang Rangga ‘Satrio’. Keduanya duduk berjajar dipelaminan, sebenarnya, perjodohan itu sudah lama di elu-elukan oleh bunda, tetapi Rangga terus mengelak dengan tujuan mengulur waktu. Selama setahun, ia terus mencari keberadaan Aya secara diam-diam namun, hasilnya nihil.Mita menggenggam jemari tangan Rangga yang tak ia balas genggaman itu. Mereka masih harus tampak harmonis, meskipun raut wajah Rangga tak akan di bohongin aura dinginnya. Bahkan, Ghania yang baru saya mengenyam bangku kuliah, harus rela pulang dari Singapura demi pernikahan memuakkan itu. “Kenapa kamu nggak mau belajar mencintai aku, Rangga? Bahkan Bunda kelihatan bahagia dengan pernikahan kita.” Jemari tangan wanita itu terus menggenggam erat jemari tangan Rangga yang kala itu mengenalan stelan jas putih dan
Tangis Aya pecah, ia memeluk makam berukuran kecil di hadapannya. Lilis dan Ening ikut menangis sembari memeluk Aya. Ketiganya, baru saja memakamkan jenazah putri yang baru enam bulan ia lahirkan. Naya, bayi perempuan itu lahir enam bulan lalu dan langsung mengalami kelainan pada salah satu organ tubuhnya yang tak berkembang sempurna, hingga akhirnya Naya kembali kepada sang pencipta.“Aya, ayo kita pulang, Pak Ustad juga udah pulang dari tadi. Relakan Naya ya, Aya.” Lilis memeluk Aya, lalu merangkul bahu dan membantu beranjak.“Anak Aya meninggal, Ibu…” tangis Aya kembali pecah di dalam pelukan Lilis. Ening beranjak, membantu kakaknya memapah Aya yang masih tampak lemas.“Nanti kita ke sini lagi, sekarang kita pulang, udah sore. Aya yang sabar, ya,” kini Ening ikut bicara. Aya masih terisak.Tak ada orang tua yang mudah merelakan kepergian darah dagingnya. Perjuangan Aya menjalani kehamilannya juga tak mudah, be
Tadir baik berpihak kepada Aya, pertemuannya dengan Sari dan Agung, membuatnya terkejut dengan permintaan kedua orang tua itu. Bahkan, kata-kata itu diucapkan di depan Lilis dan Ening yang begitu haru juga bahagia.“Aya, kami minta kamu tinggal dengan kami, kami akan menyekolahkan kamu untuk ambil kuliah jurusan lain. Kami tidak punya anak lagi setelah kepergian Jovanka, kami sangat terpukul saat itu hingga tidak memikirkan ingin memiliki keturunan lagi. Dan sepertinya, ini takdir kita untuk bertemu. Anggap kami orang tua angkat kamu, Aya, kami berdua paham kondisi kamu dan juga, kami tidak akan meminta pamrih.Kamu bisa lihat, suami saya dan saya sudah masuk usia senja. Kami berdua pensiunan PNS, tetapi, memang kami memiliki bisnis hotel dan restoran konsep keluarga. Bukan sepenuhnya milik kami, kami join bersama beberapa kolega, kami lelah, ingin ada seseorang yang bisa meneruskan usaha itu.” Sari menyudahi kata-katanya karena
Wanita mana yang tak suka dengan kegiatan arisan, kegiatan yang mampu menunjukkan keakbraban juga saling tau informasi terkait cerita kehidupan masing-masing anggotanya. Bunda sudah begitu mempersiapkan diri, bahkan, ia sudah berada di salon sejak pukul Sembilan pagi, padahal arisan dimulai pukul sebelas siang.Ia sudah duduk tenang sembari menunggu mekapnya selesai dipoles pada wajahnya oleh seseorang yang sudah menjadi langganannya di salon mewah itu. “Arisan di mana Bu Arinda?” tanya wanita itu.“Di kafe timur tengah, yang di dekat apartemen mewah itu,” jawab Bunda yang beranama Arinda.“Ini arisan yang mana, Bu? Berlian, barang mewah, dollar atau—““Properti.” Jawabnya santai.“Rumah atau apartemen?” tanya mekap artis itu.“Rumah, seharga delapan ratus juta.” Ucapnya santai. Mek
Mita menghidangkan makan malam yang dimasak pembantu, catat, pembantu, bukan dia yang di elu-elukan Arinda saat arisan saat itu. Jangankan memasak, sekedar membuat mie instan saja ia tak bisa. Mita tipikal anak manja, egois, dan tak mau repot, selalu merengeh dan mau semua keinginannya terpenuhi.“Rangga, cobain, tadi Bibi masak ikan asam manis ini,” ujar Mita mencoba melayani Rangga yang justru beranjak dan memilih pergi untuk makan diluar rumah. Mita diam, ia menatap nanar punggung tegap suaminya yang pergi.Malam semakin larut, waktu menunjukkan hampir tengah malam, Mita sudah berada di kamar yang ditempati Rangga, berharap suaminya itu akan terkejut dengan pakaian minim yang ia kenakan malam itu. Ia sengaja tak tidur sebelum Rangga pulang. Terdengar pintu kamar terbuka, Rangga menatap datar tanpa rasa terkejut saat melihat Mita dengan penampilannya yang mencoba menggoda dirinya.“Rangga, kita belum… mmm…” Mita cukup malu
Rangga menepati janjinya, rasa sakit hati, sedih, dan kecewa menjadikan hatinya semakin membatu dan sikapnya pun sedingin kutub es. Ia memang tak pernah pergi dari rumah lagi, atau sekedar duduk di club atau bar bersama beberapa temannya hanya untuk berbincang. Setelah bekerja, ia tak langsung pulang, memilih duduk santai di ruangannya, merenungi sikap bodohnya yang meninggalkan Aya saat itu karena takut dengan ancaman bunda. Setiap malam, tepatnya pukul sembilan, barulah ia beranjak untuk pulang ke rumah.Tiba di rumah, ia juga langsung menuju ke kamarnya. Makanan bibi antar ke kamar juga. Tak sudi berada satu meja dengan Mita yang memilih di rumah saja dengan alasan jika itu tugas utama istri. Masa bodoh, Rangga tak peduli hal itu.“Aku hamil.” ucap Mita seraya menyerahkan amplop putih ke atas meja di hadapan Rangga yang sedang menikmati sarapan paginya, masakan bibi, bukan Mita yang selalu tak ingin ke dapur.Rangga bergeming, ia makan sembari men
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari