Usia hubungan Rangga dan Aya masuk dua bulan lebih. Rangga pun sudah lulus, hanya menunggu jadwal wisuda di dua pekan mendatang. Ia masih tak bercerita kepada bunda dan ayahnya perihal hubungan ia dan Aya. Melihat tingkah laku bunda yang begitu ingin melihat sang putra memiliki tambatan hati, berkali-kali Rangga ingin dikenalkan dengan putri dari rekannya itu namun putranya mampu menghindar dan acuh.
Ghania di balik semua tingkah laku Rangga itu. Adiknya jengah melihat sikap bundanya yang begitu pengatur.
"Woi bang,lo jadi jalan-jalan sama kak Aya?" Rangga tampak bersiap dengan kaos dan celana jeans yang ia kenakan sambil mengangguk.
"Pake mobil gue aja" Ghania duduk di atas ranjang Rangga.
"Lo nggak jalan sama Reno?" Wajah Ghania kusut. Ia terkekeh sinis.
"Lagi ribut. Dikit, biasa lah"
"Nggak bubar tapi kan?" Rangga mengambil sepatu dari dalam lemari khusus miliknya lalu duduk disamping adiknya itu sambil memakai sepatu.
"Nggak lah. Ya, namanya hubungan bang, lo juga nanti bakal gitu" Ghania menatap lekat abangnya. Lalu memeluk Rangga dari samping dengan helaan nafas panjang.
"Semoga bunda kita nggak macem-macem mau jodoh-jodohin kita ya bang"
Rangga mengusak kepala adiknya itu sambil tertawa. Ia lalu berdiri dan menatap penampilannya sekali lagi didepan cermin. Memastikan ia sudah siap.
"Lo mau kemana emang nya bang?" Ghania ikut beranjak.
"Belum kepikiran, tapi kayaknya mau ke rumah tanye Adel deh"
"Di bogor? Lo mau ngapain?!" Ghania bersedekap.
"Kenalin Aya lah. Seenggaknya gue bisa lebih terbuka ke tante Adel dan om Faruk kan"
Ghania tersenyum lalu mengangguk. Tante Adel itu istri om Farum adik paling kecil dari bundanya yang begitu sederhana dan nggak sesukses bunda. Tinggal di bogor dan membuka usaha pusat oleh-oleh.
***
Rangga sedang bercengkrama dengan orang tua Aya, sambil menunggu kekasihnya itu turun dari kamarnya. Rangga nyaman berada di dekat orang tua Aya, ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri. Kesederhanaan seseorang memang mampu menggerakan hatinya. Tak lama Aya turun dari lantai atas. Tampak cantik karena kemarin cerita ke Rangga kalau ia memotong rambutnya sedikit lebih pendek.
Rangga mengulum senyum. Ia begitu memuja gadis yang berdiri dihadapannya.
"Hati-hati ya, Rangga jangan ngebut-ngebut" ucap Ibu. Rangga beranjak dan mencium punggung tangan kedua orang tua Aya bergantian. Aya juga pamit.
"Ghania nggak pake mobilnya? Kenapa nggak naik motor aja ngga?" Keluh Aya yang merasa tak enak. Karena Rangga akan habis banyak uang jika terus menggunakan mobil jika pergi dengannya.
"Kita mau ke bogor sayang, kasian kamu kalo nail motor" Rangga masuk kedalam mobil. Disusul Aya.
Rangga menepati janjinya, ia sudah mengarah menuju ke pintu keluar tol bogor, ia senyum-senyum sendiri. Aya melirik.
"Kenapa kamu?" Rangga tak menjawab. Hanya mengusap kepala Aya dan membelai wajah kekasihnya itu.
"Kalau jatuh cinta sama kamu semudah dan sebahagia ini, aku udah ngejar kamu aja dari dulu ya" gombalan Rangga itu membuat Aya tersenyum.
"Belajar gombal dari mana kamu ngga" Aya membalas usapan diwajah Rangga. Membuat kekasihnya itu meraih jemari tangan Aya dan digenggamnya erat.
"Aku nggak akan lepasin genggaman ini Aya, aku sayang banget sama kamu" tatapan hangat Rangga begitu terasa. Aya menganggukan kepala.
"Cuma kamu ngga, cuma untuk kamu" Mereka saling melemparkan senyum.
Love bird, seakan semua rasa cinta dan panah asmara sang cupid terus mengelilingi mereka. Cara Aya memperhatikan Rangga yang begitu lembut dan penuh kasih, membuat Rangga semakin terjerumus kedalam rasa cinta yang begitu menggebu.
Rangga yang begitu spontan dalam tindakannya, membuat Aya mendapat banyak pengalaman baru. Pernah Rangga mengajaknya pulang dari kampus naik KRL yang belum pernah Aya manfaatkan alat transportasi itu, begitupun Rangga. Mereka berdua malah tersasar hingga ke arah lain. Bukannya kecewa atau marah, Aya dan Rangga malah tertawa dan akhirnya bisa kembali ke kampus setelah bertanya-tanya ke petugas stasiun yang mengajari mereka.
Ada juga lainnya, saat setelah Aya pulang mengajar tari daerah di sekolah dasar dekat rumahnya, Rangga tiba-tiba datang sambil diikuti penjual es krim yang menggunakan sepeda. Ia mentraktir murid-murid Aya yang begitu senang bebas mengambil es krim.
Aya begitu menyayangi Rangga. Debaran jantungnya selalu berpacu cepat jika bersama Rangga. Bahkan saat Rangga datang menjemput atau mereka bertemu, rasa itu terus menggetarkan rongga dadanya.
"Kita udah sampai Aya, ini toko sekaligus rumah tante Adel dan om Faruk. Aku sama Ghania dekat sama mereka" Rangga memarkirkan mobilnya. Rumah kuno jaman belanda itu di beli lima belas tahun lalu oleh tante dan omnya. Bagian depan dijadikan toko, tengah hingga belakang dijadikan tempat tinggal.
Anak mereka dua. Dua-duanya kuliah di Jepang. Beasiswa, teknik sipil dan pertanian. Kedua anaknya memang suka dengan bahasa Jepang. Sejak kecil kedua orang tuanya sudah mengarahkan minat anak-anaknya.
Wanita berusia empat puluhan itu berjalan keluar toko. Dengan dress sederhana bermotif garis-garis, rentangan tangan tante Adel disambut Rangga dengan hangat.
"Gantengnya tanteeeee, apa kabar" usapan lembut itu membuat kedua mata Rangga terpejam.
"Baik, tante Adel apa kabar. Maaf mendadak, nggak kabarin tante" kekeh Rangga seraya melepaskan pelukannya.
Kedua mata tante Adel menatap Aya yang masih diam berdiri sedikit berjarak dari mereka.
"Aya? Pacarnya Rangga ya?" Tante Adel mengulurkan tanggannya kearah Aya. Aya menyambutnya lalu digandeng tangannya oleh tante Adel dan berjalan masuk kedalam toko. Aya menoleh ke Rangga yang hanya mengangguk sambil tersenyum.
Mereka duduk di ruang tamu. Masuk dari pintu yang terhubung ke toko didepan.
"Kamu kuliah jurusan seni tari Aya?" Tanya tante Adel. Aya mengangguk.
"Tante Aya juga mantan guru tari daerah Aya, makanya aku kenalin ke kamu, karena kalian pasti cocok" Rangga berjalan menghampiri, ia baru saja dari garasi belakang menghampiri om Faruk yang sedang merapihakan motor antiknya.
Aya beranjak karena melihat om Faruk berjalan dibelakang Rangga. Lalu mencium punggung tangan om Faruk dan kembali duduk.
"Om kaget, Rangga kesini bawa pacar. Kirain nggak laku-laku kamu ngga" ledek om nya. Rangga hanya terkekeh lalu duduk disebelah Aya. Bersandar di bahu Aya yang membuat kekasih nya itu risih dan malu.
"Uluuhhhh... manjanyaaaaaa" ledek tante Adel sambil melempar Rangga dengan bantal sofa.
"Rangga. Kasep. Udah dikenalin ke bunda belum?" Tanya om Faruk. Rangga diam. Ia menggeleng. Om Faruk dan tante Adel saling melempar senyum dan menganggukan kepala.
"Punten. Bapak, ibu, didepan rombongan dari acara keluarga kantor yang kemarin janjian mau kesini sudah sampai" ucap pegawai tante Adel.
"Eh iya. Atuh papah. Hayuk bantu mamah didepan" tante Adel beranjak.
"Aya boleh bantu-bantu tante?" Aya beranjak.
"Boleh Aya. Yuk.. yuk.. rame, mereka ada tiga bis. Papah ganti baju sana." Tante Adel menggandeng tangan Aya. Rangga tersenyum menatap tante Adel yang menyambut hangat Aya. Mereka menuju toko menuju pintu yang tersambung langsung ke depan.
Kedua mata om Faruk dan Rangga saling bertemu.
"Om tahu tujuan kamu kesini apa ngga. Om akan bantu kamu sebisa om ya. Tau sendiri kan sikap bunda kamu ke om sama tante mu kaya gimana, yang penting jangan kecewain dan bikin malu om sama tante"
Rangga mengangguk. Adik bundanya yang hanya beda usia satu tahun itu paham betul sifat kakaknya. Tak bisa ditentang. Seenaknya sendiri dan otoriter.
"Rangga cuma mau ada keluarga yang tau kalau Rangga udah punya pacar dan Rangga mau jalanin ini serius om. Rangga nggak main-main sama Aya"
"Om tau. Kelihatan dari sikap kalian berdua. Aya juga begitu lembut dan kelihatan sederhana. Tante mu pasti sadar itu juga. Dan untuk latar belakang keluarga Aya?" Mata om Faruk seakan meminta jawaban yang jelas dan jujur.
Rangga duduk tegap dan menarik nafasnya perlahan.
"Penjual nasi goreng dan nasi uduk om"
"Ok. Om paham. Kita tau ngga ini arahnya kemana. Kalian jangan kebablasan ya, saling jaga. Walau kedepannya om tau ini akan kemana arahnya"
"Iya om. Makanya Rangga bawa Aya kesini. Karena om sama tante yang paham bunda"
Om Faruk mengangguk. Ia beranjak.
"Ke depan sana ngga. Bantuin tante kamu, om ganti baju dulu"
Rangga beranjak dan berjalan ke area toko. Tak salah ia mengajak Aya ke bogor untuk bertemu om dan tantenya. Orang yang jauh berbeda dengan bundanya.
Tampak Aya dengan ramah membantu memasukan belanjaan pelanggan disaat tante Adel menjadi kasir. Keduanya tampak kompak. Rangga bersandar didekat pintu sambil tersenyum. Aya yang menyadari itu ikut tersenyum.
I love you Aya
Ucap Rangga tanpa bersuara. Aya mengangguk dan tersenyum. Kembali menyapa ramah pelanggan yang datang dan sibuk memilih oleh-oleh yang dijual di toko tante Adel dan om Faruk.
Aya berlari-lari kecil saat melakukan pemanasan di dalam studio tempat ia belajar di kampusnya. Jurusan seni, konsentrasi seni tari, skripsi praktek tari Jawa tengah materi tesis Analisa dampak sebuah tari daerah pada budaya modern.Ia sudah cukup melakukan pemanasan. Lanjut menggunakan selendang panjang berwarna hijau yang ia ikat di pinggang rampingnya. Ia merapihkan kunciran rambutnya. Lalu beberapa teman sekelas lainnya datang. Mereka ber tos ria sambil mempersiapkan diri.Tak lama mereka berbaris sesuai tempatnya. Di depan cermin besar. Wajah mereka berubah serius lalu tersenyum. Perlahan, dengan mengikuti alunan lagu gamelan dan sinden jawa, liukan pelan, teratur, lembut dan anggun dari tubuh mereka pun tampak kompak.Pentas tari akan menjadi penentunya di akhir semester nanti. Walau masih satu tahun lagi, akan menjadi penting karena juri dan dosen yang menilai memang orang yang kompeten dibidang tari tradisional.Enam jam kuliah praktek hari ini menjadi hari terlelah Aya. Ia men
Bunda berjalan masuk ke dalam rumah sambil terus berbicara seperti tak ada ujung. Rangga menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Ghania menatapnya malas, ia sudah tau apa yang terjadi dengan kakaknya itu. Sepatu basket ia tenteng di tangan kirinya sambil berjalan santai menaiki tangga ke rumah besar itu. Diliriknya bunda yang masih menggedor-gedor pintu kamar kakaknya."Bun, nggak capek? Mending istirahat dulu." Ghania membuka pintu kamar dan masuk sambil menguncinya."RANGGA! BERANI KAMU MACEM-MACEM DAN NENTANG BUNDA. BUNDA NGGAK SEGAN-SEGAN TARIK SEMUA YANG BUNDA SAMA AYAH KASIH KE KAMU, YA!" teriak bunda. Lalu ia berbalik badan dan pergi menuju kamarnya di lantai bawah.Tak lama ketukan pintu terdengar lagi dikamar Rangga. Ketukan kode yang Rangga hafal betul. Ia membuka pintu. Tampak Ghania menatapnya sambil terus berjalan masuk kedalam kamar Rangga."Siapa? Sonya?" tanya Ghania yang langsung duduk di atas ranjang Rangga."Iya. Bunda main pesen cincin tunangan buat gue sama Sonya. Gue
Aku melepaskanmu hanya untuk sementara. Maafkan ketidak tegasanku. Tunggu aku di ujung dunia sana. -Rangga untuk Aya-***Keributan terjadi. Bunda terus memaksa keinginannya untuk menjodohkan Rangga dengan Sonya. Rangga memberontak. Ia melempar semua yang bundanya berikan untuknya. Ia angkat kaki dari rumah besar itu tanpa membaw apapun. Sifat keras kepalanya sama dengan bunda, tapi penempatannya jelas berbeda.Langkah kaki Rangga lebar, berjalan keluar pagar dengan wajah penuh kemarahan, kecewa, pilu dan hancur. Ghania mengejar kakaknya itu. Ia memeluk tubuh belakang kakaknya begitu erat."Bang, jangan tinggalin gue di rumah sendirian, bang. Ayo dibicarain baik-baik. Abang jangan pergi," lirih Ghania sambil terus memeluk. Rangga diam."Lo tau gimana bunda sakitin hati Aya dan orang tuanya Ghan? lo tau gimana malunya gue lihat mereka disakitin sama bunda. Ibu kandung kita.""Iya, Bang. Tau. Paham, tapi please bang. Jangan pergi. Akan semakin ribet Abang." Ghania terus menahan kepergian
Mereka berdua di dalam mobil Rangga. Tak melalukan apa pun yang berlebihan. Hanya pelukan hangat yang Rangga berikan kepada Aya. Mereka duduk di jok belakang mobil. Aya sesenggukan. Ia telah menangis. Karena rindu dan hancur secara bersamaan. Rangga tak kuat melihat itu. Ia menikmati harum wangi Aya dari kepala hingga terus memeluknya dari belakang. Mengusap bahu Aya yang begitu rapuh."Aya, sayang..." panggil Rangga pelan."Hem." Aya masih sesenggukan. Ia menoleh ke Rangga."Tunggu aku, ya. Aku janji. Semua ini akan berakhir cepat dan aku lepas semuanya. Ayah mau bantu. Apa kamu bisa?" Rangga mendekatkan wajah keduanya. Posisi Rangga masih memeluknya dari belakang."Rangga, pernikahan bukan main-main. Jalanin ya, Rangga. Mungkin emang kita nggak berjodoh." Rangga memejamkan matanya mendnegar ucapan Aya, ia merasa Aya begitu mudah menyerah. Rangga memeluk Aya lebih erat."Nggak. Aku mau kamu. Tetap kamu. Tolong, jangan berpaling Aya. Jangan." Rangga menghirup dalam-dalam wangi tubuh Ay
Sonya mencium tangan ibunda Rangga saat mereka tiba di rumah besar itu untuk berakhir pekan di sana. Bunda sengaja meminta Rangga dan Sonya menghabiskan akhir pekan di rumah itu dengan maksud keingintauan bunda, sudah sejauh mana hubungan anak dan menantunya itu. Sonya menata kue yang sempat mereka beli di toko kue dekat komplek apartemen sebelum ke rumah bunda. Bunda menghanpiri."Sonya, gimana Rangga? Sikapnya ke kamu," Bunda menarik kursi meja makan dan duduk di sana. Menatap menantunya yang tampak tersenyum. Akting yang luar biasanya dari seorang Sonya."Baik, Bunda. Mas Rangga care kok, sama Sonya," ucapnya diakhiri senyuman sambil menatap ibu mertuanya itu. Ghania ikut menghampiri. Ia hendak latihan basket di klub tempatnya bergabung."Ghan, bawa kue ini, ya, aku taruh di kotak bekal kamu." Sonya membuka lemari di sudut, mencari kotak makan untuk Ghania. Gadis itu hanya mengangguk."Tuh, kan ..., Bunda emang nggak salah pilih menantu. Sama adeknya Rangga aja perhatian banget. Gh
Tinggal seorang diri di kosan minimalis yang hanya berukuran 3x4 meter membuat Aya hanya bisa membawa tas pakaian dan beberapa perintilan barang-barang untuk riasan saat ia akan latihan tari. Seperti, selendang, kain jawa, stagen, kipas tangan, dan lain sebagainya.Kamar bernuansa warna putih itu hanya terdapat kamar mandi dan meja belajar, lemari pakaian pun tak ada.Aya duduk di atas tempat tidur tanpa dipan. Ia menyalakan kipas angin juga. Jendela kecil dekat pintu ia buka, supaya hawa dan sirkulasi udaranya masuk dengan baik.Tok ...Tok ...Seorang wanita seusianya berdiri di depan pintu."Baru ya tinggal di sini?" tanyanya, masih berdiri di depan pintu kamar Aya."Iya, Mbak, saya Aya," ujar Aya sambil beranjak dan mengulurkan tangan."Aku Dira. Di sini nggak boleh terima tamu cowok, kamu tau kan? Dan kalau teman atau keluarga, juga di batasi.""Iya, Mbak, tadi udah ketemu sama Ibu kos," jawab Aya ramah."Aku di kamar sebelah, sama kok kita, mahasiswi, tapi aku tinggal wisuda dua
Aya tak mau jika ia harus nikah siri dengan Rangga. Baginya, pernikahan itu hal yang sakral. Rangga terus membujuk tanpa lelah juga menyerah, baginya, seorang Aya adalah segalanya, tapi bagi Aya, kehormatan adalah yang utama. Semenjak hari itu, Rangga kembali intens menemuinya, bahkan saat pulang bekerja, hal pertama yang ia lakukan adalah bertemu Aya, entah di kampus atau tempat mengajar. Rangga begitu terpikat, namun juga tak bisa terlalu dekat. Para mata-mata bundanya sudah mulai muncul. Sonya bahkan meminta Aya dan Rangga berhati-hati."Aku rasa kita salah, Rangga. Aku takut Bunda akan menyalahkan Bapak dan Ibu aku, juga mengancamnya. Aku nggak nyaman kalau kita diam-diam begini. Kamu juga sama aja mempermainkan pernikahan kamu dan Sonya. Jangan begini ...." Aya menangis. Ia tak suka kucing-kucingan, resikonya juga besar.Rangga memeluk Aya, mereka sedang berada di daerah puncak. "Bunda kamu bisa lakuin apa aja, aku nggak mau bahayain banyak orang." Aya semakin terisak."Nggak! Per
(21+)Mohon bijak sebelum membaca, beberapa adegan akan saya buat sesederhana mungkin. Dan, ingat, bukan untuk ditiru! Tapi jadikan pelajaran karena sebagian besar dari kisah di judul ini FAKTA, sumber akurat. Oke, makasih.____"Kenapa ke sini? Kamu jangan gila, Rangga?" Sorot mata Aya menatap tak nyaman saat mereka menempati apartemen milik Sonya."Aya, kalau kamu pulang ke kosan, yang ada Bunda akan kejar kamu terus. Aku nggak bisa lindungin kamu kalau kamu nggak di deket aku. Kamu lihat kan kalau tadi, Bunda aja bisa tega sama anaknya sendiri. Aku. Gimana sama kamu?!" Rangga duduk di sofa. Ia mengusap kasar wajahnya. Aya duduk di sofa yang berhadapan dengan Rangga, terpisah meja kaca. Aya memangku kedua tangan di atas pahanya yang tertutup celana jeans. Keduanya diam, memikirkan masalah yang sedang terjadi."Kamu bisa pakai baju Sonya, Aya, dia tadi bilang, ada di lemari kamar itu," tunjuk Rangga. Aya mengangguk. Tak mungin juga ia tak bersih-bersih diri setelah kejadian kacau hari
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari